Mohon maaf karena telah menelantarkan FF yang lainSemoga menghibur. Jangan Lupa review ya.Udah Tau FF jadi jangan harap alur sama seperti di bukunya ya.Fanfiction - Oneshoot? - OC


Barbie Girl

- Malory Malfoy -

Suara ketukan di pintu mengejutkan gadis bersurai pirang emas yang sedang berkutat dengan cat kukunya. Dengan enggan ia melambaikan tongkat dan seketika pintu menjeblak terbuka.

Pria berusia awal 40an itu mengedarkan pandangan ke tiap sudut ruangan yang di dominasi warna peach, pink dan hijau muda. Setengah mendesah ia mendudukan diri di satu-satunya kursi yang berhadapan langsung dengan putrinya.

"Aku harap kau bisa merubah sikapmu lebih baik. Tak pernah ada sejarah Malfoy berkelakuan centil", pria itu mengusap mukanya beberapa kali sebelum kikikan dari arah sang putri membuat atensinya beralih.

"Ayolah, Dad", bujuknya sambil melambai-lambaikan kuas catnya. "Ini sudah zaman modern. Saatnya meninggalkan kebiasaan Malfoy yang kaku".

"Mum tidak akan setuju", ancam pria itu sambil mendelik. Putrinya hanya memutar bola matanya.

"Apa Dad bersikap seperti ini pada Julian? Tidak. Aku yakin Dad tidak melakukannya. Karena Julian sempurna dimata Dad", gadis itu memasang tampang cemberut. Ia mengibas-ibaskan kedua tangannya berharap angin kecil itu akan segera mengeringkan cat kuku yang terpoles cantik di kedua jemari kakinya. Ia menekuri hasil olesan kuasnya. Indah. Gabungan Warna putih hijau dan emas terpoles sempurnah di kedua puluh jari tangan dan kakinya. Ia tersenyum sumringah seraya berputar-putar di depan kaca kamarnya yang besar.

"Astaga, Malory", Draco, sang ayah, memelototi putrinya yang tampak acuh. "Julian laki-laki dan dia tau betul bagaimana cara menjaga dirinya. Sedangkan kau.. kau putriku yang aku sayangi. Kuharap kau mengerti kekhawatiran Dad. Saat ini kau mengalami masa puber dan itu mengerikan untuk semua orang tua dimanapun".

"Ayolah Dad, apa aku pernah mengecewakan Dad dan Mum selama ini? Lihatlah nilai akademisku. Mereka sempurna. Aku bisa membuktikan menjadi keturunan Malfoy yang baik. Disamping sikapku yang aku terlalu nyaman dengan diriku yang supel", gadis itu kini berdiri sambil berkacak pinggang. Usianya baru 15 tahun. Tapi gayanya lebih seperti gadis berusia 17 tahun. Ia suka memakai barang-barang berkelip. Bermotif cantik dan berwarna norak. Entah apa yang Hermione idamkan dulu sehingga putri satu-satunya tumbuh menjadi seorang gadis yang genit. Berbeda dengan Ibunya yang tegas, atau ayahnya yang angkuh. Gadis ini memiliki perilaku yang terbuka. Penyayang binatang, banyak teman, suka berteriak dan yang pasti suka menata rambut blondenya dengan berbagai gaya yang membuat kedua orang tuanya pusing. Seperti saat ini, rambut ikal blondenya dijalin sedemikian rupa sehingga membentuk untai-untaian rumit yang disisipi mutiara dan pita warna-warni. Jujur saja Draco memandangnya dengan silau. Sama sekali bukan gaya Mumnya atau bahkan gaya neneknya.

Julian, kakak dari sang gadis menjadi legenda di Hogwarts. Parasnya tampan khas Malfoy. Mata abu-abu gelap, badan tegak, rambut pirang platina sempurna dan berbeda dengan Malory rambut Julian lurus seperti milik Draco. Yang menjadi ciri khas Hermione hanya tulang pipi dan dahinya yang agak lebar. Perilakunya nyaris sempurna. 7 tahun di Horgwarts tanpa celah dan sensasi. Ia seorang Seeker yang handal, berprestasi dalam bidang akademis, seorang Ketua Murid dan diusinya yang menginjak 20 tahun ia sudah bergelar Sarjana di Bidang Sains Universitas Muggle, Oxford University.

Julian sangat sayang terhadap ibunya dan menghormati ayahnya sebagai ayah, teman dan sahabat. Peringainya sopan, ramah namun tetap sekaku Malfoy yang lainnya. Kecintaannya terhadap sains-alih-alih sihir, membuat ia memutuskan memasuki universitas muggle. Yang mendapat dukungan penuh dari sang ibu dan tatapan kecewa dari sang ayah. Meski begitu dia adalah anak lelaki yang membanggakan. Kekurangannya adalah... well, dia lebih tertarik pada perkamen, buku dan sains daripada wanita.

- Malory Malfoy -

Suara derap kaki yang menghentak-hentak membuat Hermione mengalihkan pandangan dari masakan yang sedang ia olah. Draco dengan wajah masam berjalan kearahnya dan duduk diatas stool. Bertopang dagu di island marmer hitam mengkilat sambil menatap istrinya penuh makna.

"Apalagi sekarang?", tanya istrinya dengan nada lelah. Baru dua hari putri mereka datang namun dua hari itu pula wajah suaminya terlihat tegang dan gusar.

"Dia semakin menunjukan gejala puber dan aku tak dapat mencegahnya", gumam Draco lemas.

Hermione mengusap punggung suaminya dengan lembut seraya mendekatkan diri.

"Dia akan baik-baik saja. Jangan terlalu over protective. Tidak akan baik untuknya", Hermione kembali menekuni masakannya. Draco semakin gusar. Mengapa istrinya bisa setenang itu? Gadis kecilnya memasuki masa puber. Bisa gawat jika sikapnya masih secentil ini. Bisa-bisa dia melepas keperawanan sebelum usia 17. Well, Draco makin pusing memikirkan hal itu.

"Ngomong-ngomong, kapan Julian kembali?", tanya Draco mencoba mengubah topik.

" Aku harap minggu ini. Belum pasti karena dia ingin memastikan pengajuan beasiswa study lanjutannya diterima", Hermione meletakkan seekor ayam yang sudah dibumbui ke dalam oven kemudian mengalihkan pandangannya ke arah suami.

"Kenapa harus mengajukan beasiswa? Aku masih sanggup membiayainya, kau tau", Hermione hanya menggelang ringan mendengar penuturan suaminya. Sangat Malfoy. Ia tak peka dengan apa yang putra mereka inginkan.

"Harusnya kau bangga. Bukan berarti dia mengabaikan segala yang ia miliki. Ah, sudahlah. Ku jelaskan pun kau mungkin tak akan mengerti. Sejauh ini selama dia menikmati apa yang ia kejar, kita harus mendukungnya". Hermione melepas celemek, menggantungkannya di dinding dan merapat kearah suaminya. Kecupan ringan mereka diiringi suara "Iyuhh" dari arah belakang.

Malory tak berusaha mengendap-endap. Tapi perutnya lapar. Tak seperti Hogwarts, Mumnya bersikeras melarang pemakaian peri rumah sebagai budak. Sebaliknya peri rumah dibuatkan undang-undang baru sebagai pengasuh Orphanage Manor. Manor tempat anak-anak terbuang. Setidaknya mereka tidak kehilangan harga diri sebagai peri rumah. Dan kebanggan mereka adalah melayani. Sudah sepatutnya anal-anak terlantar dilayani dengan baik.

"Bisakah kalian melakukannya nanti? Aku sudah lapar", erang Malory membuat kedua orang tuanya terkikik.

"Sayang sekali gadis manis, makan siang jam 12 tepat. Dan ayam panggang baru bisa dihidangkan 30 menit lagi", ujar Mumnya dengan kerlingan menggoda.

"Ayam panggang? Iyuh... aku sedang berdiet Mom. Berikan aku apa saja. Asal jangan daging dan telur. Aku ingin setinggi Melissa Hump dengan kaki jenjangnya yang indah. Tidak ingin melebar seperti Angeli Morgan yang terlalu banyak memakan daging", keluh Malory sambil berkacak pinggang.

Hermione menaikkan alis sedang Draco sudah menangkupkan kedua tangannya ke pelipis. Masalah puber ini sulit ia hadapi dan bagaimana bisa ia berbicara diet, kaki jenjang dengan putrinya.

"Aku mau salad, selada dengan timun dan kentang merah. Irisan lemon dan dada ayam tanpa lemak. Tolong jangan tambahkan mayonaise. Lebih baik dengan olive oil atau tanpa oil sama sekali. Bisakah Mum?", ia menambahkan nada permohonan dia akhir kalimat. Hermione hanya tertawa geli sambil mengangguk mantap.

Sama seperti putrinya, ketika remaja dia juga memikirkan hal itu. Meskipun tidak terlalu terang-terangan seperti sang gadis. Ia memakan apapun, dengan porsi setengah alih-alih pilih makanan.

"Aku bingung", seru Draco membungkam tawa Hermione. "Seingatku kau tidak mengidam yang aneh-aneh".

"Oh, Drake. Ini sangat wajar. Aku juga begitu dulu", gumam Hermione menengahi.

"Yah, bahkan Pansy dan Daphne. Apa kalian begitu mempermasalahkan bentuk tubuh?", sindir Draco.

"Dad, bentuk tubuh, ukuran dan berat badan adalah hal sensitif dan tabu untuk dibuat lelucon. Sama sekali tidak lucu", Malory mencubit lengan ayahnya hingga Draco mengaduh. Tatapan sebal ia lempar ke sang ayah yang kini tersenyum geli.

Oh, Merlin, gadisku baru 15 tahun dan apa yang terjadi dengannya? Draco membatin dengan resah.

"Pesta dansa tahun depan", gumam Hermione sambil mencuci selada. "Sudah memilih gaun yang akan kau bawa, Sayang?".

Mata Draco melebar melihat sang putri sumringah. Ini yang ditakutkan setiap ayah. Putrinya dewasa dan mengenal apapun itu yang namanya puber, cinta pertama, dansa, ciuman dan... er... sex. Meski tak setabu itu tapi tetap saja, orang tua mana yang senang melihat putri-putrinya dijamah pria?

"Aku melihat Barbie Ovia dan sangat kepingin memakai baju pestanya yang keren", sahut Malory bersemangat.

"Barbie Ovia?", Draco menaikkan salah satu alisnya. Tak paham dengan maksud putrinya.

"Hermione, apa itu Barbie Ovia?", tanya Draco meminta penjelasan istrinya.

"Oh Drake, Barbie yang biasa putrimu tonton selama 11 tahun hidupnya sebelum masuk Hogwarts. Tanyakan padanya", ujar Hermione sambil menahan tawa.

"Aku akan menunjukkannya jika Dad mau", seru Malory sambil menarik tangan sang ayah menuju kamarnya.

"Dad harus tau siapa yang memberiku inspirasi", sambung Malory. "Kuperkenalkan sahabat cantikku, Barbie".

Malory mengayunkan tongkatnya mengarah ke almari putih disamping almari bajunya. Almari itu berderak sebelum membuka lebar. Menampilkan puluhan boneka cantik warna-warni dengan hiasan kepala dan baju aneh-aneh serupa dengan Malorynya. Oh, Merlin, boneka inikah inspirasinya?

"Siapa yang memberimu banyak boneka mencolok mata ini?", Draco setengah bergidik melihat putrinya mengambil salah satu boneka yang sangat mirip dengannya. Rambut Blonde ikal dengan beberapa mutiara kecil menghiasi tiaranya, memakai gaun berwarna magenta terang berkelip tanpa lengan dengan panjang hampir selutut.

Mata gadis itu hampir memutih ketika memutar bola matanya.

"Semua orang kecuali Dad. Dad tidak peka dengan apa yang aku inginkan", sindir Malory sambil berlalu dari hadapan Draco kembali menuju sang ibu.

"No Malory Malfoy", seru Ayahnya dari belakang. "Gaun apapun yang normal. Tidak boleh tanpa lengan".

Dan lengkingan itu hanya disambut kikikan kedua wanitanya.

- Malory Malfoy -

Suara ringtone smartphone milik Hermione menggema di dalam ruangan dapur. Hermione yang sedang mengolah salad untuk putrinya mencoba mengerling sang suami yang melangkah ke arahnya untuk menjawab panggilan tersebut. Dengan enggan-Draco masih sedikit membenci apapun tentang teknologi muggle, akhir ia menggeser tanda gagang hijau.

Suara Ron yang lantang sedikit mengejutkan indra pendengarannya. Dengan sedikit makian ia segera menyerahkan smartphone tersebut pada Hermione. Tak lama setelah membiarkan sang istri berbincang akhirnya ia meletakkan kembali benda persegi panjang itu di atas lemari pendingin.

"Ini makan siangmu, cantik", seru Hermione sambil menghampiri Malory yang sedang duduk di meja makan.

"Oh ya sayang", seru Hermione pada Draco tepatnya. "Ron dan Lavender akan berkunjung siang ini. Mereka meminta tolong kita untuk menjaga si kecil Daisy. Ron dan Lavender hendak ke Kementrian mengurus surat penyitaan atas rumah orang tua keluarga Brown. Kau keberatan?".

Ya, Draco keberatan. Ia keberatan dikunjungi sahabat istrinya, apalagi Ron. Ia tidak melupakan pemukulan Ron di pesta pernikahannya. Atau kehebohan lain yang terjadi saat acara ulang tahun pertama pernikahan mereka. Selama 5 tahun awal pernikahan mereka, Ron dengan sikap masih tidak terima Hermione memilih Draco sebagai suaminya sempat melakukan beberapa tindakan berbahaya. Hingga kementrian-sebut Harry Potter, turun tangan dan memberi larangan mendekat hingga 10 tahun terakhir. Setelah ia menikah dengan gadis Brown itu sikapnya lebih terkendali dan mereka memutuskan saling memaafkan. Bersahabat kembali? Hell, No! Tapi istrinya melakukan hal itu. Untuk menebus kesalahan, katanya. Padahal hubungan mereka bukan merupakan kesalahan. Status Hermione saat itu single, setelah 2 tahun putus dari Ron yang memilih memacari Romilda Vane ditahun ke tujuhnya. Draco dan Hermione menikah dengan status bersih dari segala ikatan dan sensasi. Namun ternyata lelaki turunan Weasley itu mencoba menghancurkan pernikahan mereka. Yang tentu saja tidak berhasil mengingat sahabat mereka sekaligus saudara iparnya, Harry Potter, mencegah tidakan brutal tak masuk akalnya itu.

"Drake?", Hermione menunggu jawaban suaminya. Ia mengangguk sekilas meskipun anggukannya tidak begitu ketara.

"Baiklah, kuharap ini berjalan dengan lancar", ucap Hermione sungguh-sungguh.

Perapian menguarkan cahaya hijau terang diiringi kehadiran 2 orang dewasa yang salah satunya mendekap balita berusia kurang dari 2 tahun.

Ron berjalan mendahului Lavender dan menjabat erat tangan Draco dengan pandangan meminta maaf. Lavender yang sedang menggendong putrinya menyapa Draco dan Hermione dengan malu-malu.

Draco terkejut melihat penampilan istri Ron. Maaf-maaf saja, dia tidak pernah memperhatikan gadis-gadis aneh semasa di Hogwarts dan sepertinya perempuan di depannya adalah salah satu dari mereka. Diusianya yang tidak lagi muda, perempuan tersebut masih mempertahankan gaya nyentriknya. Hampir mirip perempuan gipsy. Memandang Lavender mengingatkan Draco pada guru ramalannya. Sebut saja untaian rambut brunetnya yang jalin dengan bunga-bungan kristal, dipadu dengan untaian rantai perak. Antingnya menjuntai-juntai. Gaunnya berlapis, tidak semodern dan semenawan Hermione. Warna-warni terang menjadi ciri khas perempuan dihadapannya mengingatkan ia pada seseorang dilantai dua rumahnya, Malory. Well, dia tidak terima jika putrinya akan menua dengan keadaan seperti perempuan dihadapnnya.

-Malory Malfoy-

Suatu hari saat Malory sudah kembali ke Hogwarts, Draco menemui sang istri yang sedang membaca di perpustakaan rumah mereka.

Ada hal yang mengganggu dibenaknya dan ini harus segera di luruskan.

"Honey", panggil Draco mencoba mengalihkan atensi perempuan kesayangannya itu.

"Hai, Drake", sambut Hermione sambil membuka kedua tangannya. Draco segera menghampiri istrinya yang sedang duduk di sofa kesayangannya. Berwarna merah dan berkelim emas ditepiannya. Khas Gryfindor yang mana merupakan kebanggaannya mengingat kedua anak mereka masuk ke asrama Slyterin.

"Aku ingin berbicara sesuatu mengenai Malory", Terlihat jelas pandangannya penuh tanya. Tapi bibirnya merapat menunggu Draco bicara.

"Setelah melihat Lavender...", mata Hermione terlihat melebar. Ya, ya, Draco yakin ada sesuatu.

"Kau yakin tak ada yang ingin kau sampaikan?", selidik Draco. "Lavender dan Malory?".

-Malory Malfoy-

Hermione mendesah berkali-kali. Draco semakin frustasi. Well, ada apa sebenarnya?

"Drake, jika aku mengatakannya apa kau sanggup memaafkanku?", Hermione memandangnya dengan sorot terluka. Apakah ini sesuatu yang buruk? Apakah seburuk itu? Draco sebenarnya tak siap untuk mendengar apapun yang akan Hermione katakan. Namun ia mau tak mau harus tau kebenarannya. Mengapa sikap gadis manisnya mirip sekali dengan Lavender.

"Kau tau ada sebuah tabu di dunia sihir?", Draco masih mendengar tanpa sanggup menyela memberi jawaban. Atensinya melekap pada kedua bola mata sang istri. "Aku tak tahu, Drake. Jujur saja, andai malam itu Narcissa tidak menceritakannya mungkin ini semua tak akan pernah terjadi".

Draco menegang ketika nama mendiang ibunya disebut-sebut.

"Malam itu usia kandunganku memasuki bulan ke tujuh. Dan kau ingat betapa kita bersemangat hendak membeli segala sesuatu menyambut kehadiran bayi perempuan kita? Ya, aku masih ingat Drake. Malam itu sebelum kita kembali ke rumah, Narcissa sempat memberitahuku hal yang tabu. Yaitu tentang memiliki perasaan benci atau risih terhadap apapun yang melewati pandanganku. Itu akan berdampak pada kandunganku".

Hermione menarik napas sejenak. "Siangnya kita ke Diagon Alley. Aku mencoba mengabaikan apa saja hal-hal buruk yang terlihat. Tetapi ketika memasuki toko baju hamil-yang kau bersikeras hendak ke toko perabotan, disanalah aku melihat Lavender. Waktu itu aku melihat gayanya yang centil menyapa beberapa pengunjung. Aku baru tau toko itu miliknya. Penampilannya yang membuat mata sakit membuatku mengplumpat dan memakinya dalam hati, berkali-kali. Padahal dia tak melakukan hal yang jahat padaku. Namun aku tak dapat mencegahnya. Sikapnya yang teramat.. uh.. bagaimana aku menyebutnya, membuatku tak nyaman. Sehingga ketika selesai membayar aku bergegas keluar tanpa mengucapkan terimakasih. Dan kau tau akhirnya".

Draco mengambil napas beberapa kali. Tabu yang konyol. Putrinya... Ia pusing. Oh, Merlin. Bagaimana ini?

"Kau memaafkanku?", tanya Hermione penuh sesal. Matanya mulai berkaca-kaca. Mau tak mau aku memeluknya meski sebenarnya sebal sekali mengingat gara-gara itu dia membuat putri kesayangan kami luar biasa centil meskipun sifatnya menyenangkan.

"Merlin", bisikku berkali-kali tanpa bisa ku cegah. Bayangkan jika aku melihatnya dulu, mungkin aku juga akan memakinya dalam hati. Dalam hal ini Hermione tidak sepenuhnya salah.

"Apa masih bisa diperbaiki?", tanya Draco putus asa.

"Tentu saja. Aku akan mengajarinya menjadi wanita yang anggun. Aku yakin dia mampu, Drake. Dia Malfoy", Hermione mengecup ujung hidung suaminya sambil berusaha meyakinkan diri agar merubah kebiasaan putri centilnya menjadi lebih anggun dan membuat orang lain terpana-alih2 sakit mata.

Di ruang rekreasi Slyterin, seorang gadis bersin berkali-kali. Sang sahabat, lelaki bersurai hitam berantakan mengernyitkan dahinya sambil bertanya. "Kau sakit?".

"Tidak", jawab gadis itu sambil bergidik. "Aku merasa ada yang membicarakanku".

"Oh yeah, siapa yang tidak membicarakanmu?", sindir lelaki itu sambil memutar bola matanya.

"Well, setidaknya ini berhasil. Aku hanya ingin mengerjai kedua orang tuaku". Keduanya terkikik geli.

Yah, sebenarnya Malory gadis yang anggun. Namun kenyataan itu hanya diketahui seseorang yang kini sedang duduk berdua dengannya menghadap perapian. Albus Severus Potter, sahabat sekaligus cinta pertamanya.

Gadis itu mati-matian mempertahankan gaya nyentrik centilnya yang bisa membuat ayahnya sesering mungkin memegang pelipis dengan pandangan putus asa. Aha... siapa yang tidak?

Malory suka, sangat suka bergaya barbie mengingat ia memang sangat mirip dengan boneka itu. Tubuhnya oke, minus payudara yang sedang ia nanti. Rambut dan kulitnya berkilauan. Membuat iri banyak gadis. Sebut saja Gabriela Malkin. Gadis itu cantik, tapi tak secantik Malory. Apapun yang dipakai Malory, bahkan jika itu kain goni-akan terlihat pas dan tetap menunjukkan kecantikan alami gadis itu. Hal yang semestinya di syukuri sang ayah.

"Kau oke?", tanya Albus sambil menggoyang bahunya yang dijadikan sandaran Malory.

Malory hanya mengangguk singkat sambil melanjutkan bacaannya. Berbeda dengan Julian atau kakaknya yang lain yang jarang disebut, Malory menyukai Novel alih-alih buku pelajaran. Otaknya terlalu encer dan daya ingatnya cukup kuat. Sekali membaca dan mengamati tiap lembar bacaannya ia akan selalu ingat.

"Ehm, pesta dansa nanti...",

"James sudah mengajakku", potong Malory membuat Albus berjengit. James? Kakaknya? Bukankah mereka sering bertengkar?

"Kau terlalu lama, Al. Aku tak bisa terus menerus menunggumu dan mengabaikan banyak laki-laki yang mengajakku", tambah Malory.

"Tapi kenapa James?", tanya Al tidak terima. Yah, apa yang dilihat Malory dari James, cowok yang sering mengejek Malory seperti badut berjalan?

"Mana yang akan kau pilih jika kau jadi aku? Sahabat yang mencoba terlihat sempurna dimatamu atau musuhmu yang mencoba menarik atensimu?", tanya Malory tetap menatap bukunya dengan penuh minat. Mengabaikan tatapan horor Albus yang mati-matian berusaha menenggelamkan emosinya.

"Kau terlalu sibuk menyempurnakan diri Al",

-Malory Malfoy-


Tbc or End Oneshoot?

Thanks for Reading. Please Review. No flame ya. Makasih.