.

.

.


The Last Pearl Chronicle


.

.

.


Disclaimer (C) Hiro Mashima

Genre : Romance, Mystery, Adventure

Rate : K+

Warning : Full Gray's POV, Semi-Canon, Typos, Divergence, dll.


.

.

.


Chapter 1: Pembawa Hujan


.

.

.

Akhir – akhir ini ada yang aneh dengan Juvia. Apa yang aneh?

Aku ingin tahu jawaban dari firasat tak beralasan ini. Maksudku, dia selalu aneh kan? Berkhayal super mainstream, senyum – senyum dan bicara sendiri, mengikutiku hampir 24 jam, memandangku dengan mata berbentuk hati, seenaknya menyalah artikan setiap tindakanku, dan memanggilku dengan sebutan kesukaanya: 'Gray – sama'. Meladeni semua kelakukan anehnya setiap hari, saking lelahnya, aku harusnya sudah terbiasa.

Lalu bagaimana bisa aku merasa ada yang ganjal pada dirinya akhir – akhir ini?

Awalnya kuabaikan. Mungkin aku ketularan berkhayal karena terlalu sering bersamanya. Tapi lama – kelamaan firasat ini terus datang dan membuatku terganggu. Kalau memang ini khayalan yang tertular darinya, aku tidak boleh lupa bahwa firasat Juvia itu tajam dan lumayan benar. Ingin aku menanyakan langsung padanya apa dia punya masalah atau tidak, tapi dia pasti akan menyalah artikannya lagi dengan berkata 'Apa?! Gray – sama mengkhawatirkanku?!' atau 'Akhirnya Gray – sama jatuh cinta padaku~~'. Membayangkannya saja sudah membuatku kehilangan niat untuk bertanya.

Dan hari ini aku dan Juvia kerja bersama. Pekerjaannya mudah, yaitu memecahkan kasus kebakaran yang sering terjadi secara misterius di daerah dekat perbatasaan. Karena Mira yang menawarkannya, entah kenapa aku merasa dijebak. Harusnya kami bertemu dengan klien siang ini, tapi begitu sampai di stasiun kota tempat klien kami tinggal, hujan deras membuat kita tak bisa keluar stasiun. Kami hanya bisa duduk di kursi dekat pintu keluar.

JRAAAAAASH!

"I-ini bukan perbuatan Juvia..." kata Juvia dengan wajah sedikit cemberut.

"Tidak ada yang bilang ini salahmu kan?" jawabku sambil memerhatikan derasnya hujan.

Suaranya sedikit rendah, apa ini masalahnya ya? Selama di kereta, tumben – tumbennya dia sedikit tertidur. Dan sekarang wajahnya kelihatan sedikit pucat. Mungkin dia sedang tidak sehat? Karena selalu terlihat ceria setiap harinya, aku jarang melihatnya sakit.

"Mau istirahat sebentar?" tanyaku.

"Apa?! Istirahat?!" responnya kaget "Istirahat... istirahat..."

/Mari kita tidur bersama.../

Bicaranya ngelantur dan wajah bodohnya memerah, pasti dia mikir yang aneh – aneh lagi.

"Aku serius, kau terlihat pucat"

"Akh~, Gray – sama mengkhawatirkan Juvia~~"

"Hoi! Dengerin orang bicara!"

Juvia membalikkan badannya dan tersenyum "Juvia tidak apa – apa kok, Gray – sama. Ayo kita pergi, Juvia bisa menghalau hujan untuk kita berdua seperti payung cinta!" katanya dengan mata berkaca – kaca seperti anak anjing yang minta diajak jalan - jalan.

Payung cinta? Yang benar saja. Mungkin menguntunkan karena bisa ke rumah klien lebih cepat, tapi kalau dia memang benar tidak enak badan, dia bisa sakit.

"Tidak usah, paling sebentar lagi reda" kataku seketika membuatnya berwajah kecewa.

15 menit kemudian...

Sial. Hujannya tambah deras. Mungkin ini hujan terderas yang pernah aku lihat. Kalau tahu begini, aku tidak akan sok keren menolak tawaran Juvia dengan berkata 'sebentar lagi reda'. Tapi mungkin aku membuat keputusan yang tidak salah. Kini wajahnya benar – benar terlihat pucat lebih dari sebelumnya. Sepertinya dia memaksakan diri untuk terlihat baik – baik saja. Sudah terlambat untuk memintanya menghalau hujan sederas ini dengan kondisinya yang seperti itu.

"Juvia, bisa kau tunggu di sini sebentar?" tanyaku tiba – tiba.

"Gray – sama mau kemana?" tanyanya dengan wajah pucat yang sudah tak dapat disembunyikan lagi.

"Ke toko yang di dalam, aku haus" jawabku asal. Sebenarnya aku mau cari payung sih.

Aku membeli payung dan beberapa minuman hangat. Kalau ku pikir baik – baik lagi, apa mungkin dia kuat berangkat ke klien dengan keaadan seperti itu? Walau pakai payung, mungkin kondisinya bisa memburuk. Mungkin kita harus cari penginapan dulu untuknya agar bisa beristirahat. Lagipula aku bisa ke klien sendiri, toh melawan api mungkin sudah seperti rutinitasku dengan Natsu setiap hari.

"Juvia aku kemba—eh? Kamu ngapain?"

Juvia berdiri di depan pintu stasiun yang terbuka lebar, menatap keluar seakan ada sesuatu di tengah derasnya hujan. Aku mengalihkan pandanganku ke arah pandanganya tertuju. Tidak tampak jelas di tengah hujan... seorang anak laki – laki? Wajahnya tak begitu jelas karena tertutup tudung jas hujannya, tapi aku yakin dia laki – laki. Apa yang dilakukannya di tengah hujan deras begitu?

"Ra.. in... er..."

BRUK! Seketika Juvia jatuh tak sadarkan diri.

"Juvia? Ah, hei! Bertahanlah!"

Aku segera menghampirinya. Nafasnya terengah – engah dan wajahnya memerah. Aku mengangkat tubuhnya yang lemas. Badannya terasa sangat panas walau aku hanya sedikit menyentuhnya, kenapa aku tidak segera menyadari bahwa dia memiliki demam setinggi ini sejak tadi?

Salah satu petugas staff mendekati kami dengan panik"Tuan ada apa?!"

"Apa di dekat sini ada rumah sakit?! Tolong, temanku sedang tak sadarkan diri!"

"Ba-baik! Kami akan segera mencarikan bantuan dan rumah sakit terdekat!"

"Terima kasih!... Bertahanlah Juvia, sebentar lagi bantuan datang..."

Seketika aku teringat kata – kata yang diucapkannya tepat sebelum ia tak sadarkan diri. Apa ya yang dia katakan? Aku tak begitu jelas mendengarnya karena hujan. Juvia mengucapkannya ketika memandang laki – laki di tengah hujan itu, mungkinkan dia mengenalnya? Segera aku melihat kembali tempat laki – laki itu tadi berdiri di tengah hujan tadi. Tidak ada siapa – siapa. Siapa dia sebenarnya?

Hujan... rain... kalau tidak salah ada kata 'rain'-nya.

/"Ra.. in... er..."/

Rainer? Pembuat hujan? Ah tidak... mungkin lebih tepatnya...

"...pembawa hujan?"

.

.

.


To Be Continued...


Terima kasih banyak! Saya newbie di sini, semoga karya saya dapat menghibur di sini! Aku akan sangat senang jika ada yang mereview karya ini! Sampai jumpa di Chapter selanjutnya!