Di taman sebuah sekolah ternama yang jauh di sudut kota—Maria High School, pemuda dengan wajah yang manis itu berdiri dihadapan seorang pemuda yang berbeda dengannya—yang mempunyai perawakan yang datar—hendak mengucapkan sesuatu kepadanya. Pemuda dengan rambut belah tengah tampak jenuh menunggu bocah didepannya, terlihat dari wajah datarnya yang mulai menampakkan raut kesal.

"Aku mencintai kakak. Maukah kakak menjadi pacarku?" akhirnya, mulut pria manis itu terbuka mengucapkan—atau lebih tepatnya, mengungkapkan perasaannya kepada pria didepannya yang sedikit terkejut akan pernyataannya.

!

SnK © Isayama Hajime

Title: Bahagia atau Menyedihkan?

Pairing: RiRen

Please Enjoy

!

"Kau bilang apa, bocah?" pemuda berwajah datar itu meminta bocah yang didepannya untuk mengulangi perkataannya. Tak ada jawaban. Yang dilakukan pria dengan mata beriris hijau itu hanya menunduk malu. Kesal karena pertanyaannya tak digubris, pria dengan wajah datar ini menjambak pelan rambut anak didepannya agar menatapnya, "Kutanya sekali lagi, kau bilang apa, bocah?".

Sang empunya rambut hanya meringis kesakitan ketika jari- jari dingin milik seseorang yang ia cintai, menjabak rambutnya, "Anu.. aku cinta kakak. Maukah kakak menjadi pacarku?" pemuda dengan tinggi 170 cm itu mengulang perkataannya yang sebenarnya membuat si 'pendengar' merasa terbang hingga langit yang ketujuh.

"Siapa namamu?" tanya pemuda yang lebih pendek dari si pemuda berwajah manis tersebut. "Eren Jaeger, kak.." jawab si 'penembak', Eren Jaeger, dengan suara yang sedikit bergetar. "Eren.." pemuda dengan rambut hitam—Levi—mengulang kembali nama pemuda yang berada tepat dihadapannya.

!

!

!

"Armin, Mikasa!" suara panggilan menggema di lorong sekolah. Pemuda berkulit tan, Eren, berlari dengan cepat menuju sahabatnya yang berdiri menatapnya diujung lorong yang sepi ini.

"Eren? Ada apa?" tanya Mikasa ketika Eren sudah ada didepannya dan sahabatnya, Armin. Perempuan yang memiliki rambut hitam legam itu menatap cemas saudaranya terengah- engah. "Kau dikejar sesuatu?"

"Ah.. tidak.." jawab Eren setelah dirasa paru- parunya tidak lagi berteriak meminta oksigen. "Aku punya kabar gembira!" ujar Eren semangat dengan mata yang berbinar.

Dikehidupan, manusia dapat merasakan kebahagiaan,

Yang membuatnya tersenyum dan tertawa,

Tapi dibalik semua kebahagiaan,

Pernakah manusia menyadari satu hal?

"Apa itu?" Armin bertanya pada sahabat yang dulu sering menolongnya ketika kesusahan. Ia tertawa geli melihat wajah Eren yang mirip dengan anak kecil yang baru saja mendapatkan permen secara cuma- cuma.

"Aku jadian sama Kak Levi!" perkataan Eren membuat dua reaksi berbeda diwajah sahabat- sahabatnya. Mikasa yang terlihat kesal dan tidak suka akan hal itu dan Armin yang tampak kaget dengan sedikit membuka mulutnya.

"Kenapa harus dia, Eren? Dia itu kejam. Bagaimana kalau kau sampai diapa- apakan olehnya?" tanya Mikasa dengan tatapan cemas yang berlebihan kepada saudaranya itu.

"Mikasa.. jangan seperti itu! Dia itu sebenarnya baik!" pembelaan Eren terhadap kekasihnya itu membuat Mikasa tambah geram. Ia tak mau saudaranya itu dekat dengan Levi, apalagi berpacaran dengannya. Mikasa tak selamanya bisa disamping Eren untuk melindunginya. Bagaimana kalau sesuatu yang buruk menimpa Eren? Tidak, Mikasa tidak mau orang yang ia cintai itu terluka.

Melihat wajah Mikasa bagaikan harimau yang siap mengaum, Eren dengan cepat menepuk pundak saudarinya, "Tenang saja, Mikasa. Aku bisa jaga diri kok." ujar Eren meyakinkan perempuan berkulit putih itu. Mikasa mengangguk, percaya dengan ucapan Eren. Walau sebenarnya, dia tak rela Eren dekat dengan pria bernama Levi.

"Tapi Eren, pasti kamu dan Kak Levi akan jarang bertemu.." ucapan Armin membuat Eren menoleh kepadanya. "Kok gitu?" tanya Eren bingung. Pria dengan rambut blonde ini hanya terkekeh geli, "Karena kak Levi akan menghadapi ujian. Dan jika dia lulus, dia akan melanjutkan sekolahnya ke Universitas. Dan kau Eren, tidak bisa bertemu dengannya selama satu tahun."

Muka Eren tampak terkejut sekaligus takut mendengar kata- kata sahabatnya. Mata Eren menatap tajam pada mata sapphire sahabatnya itu, "Tapi kan, masih bisa bertemu saat hari libur!".

"Iya iya.. aku tahu itu. hahaha.." Armin hanya tertawa melihat tingkah sahabatnya yang satu itu.

"Kalian berdua, merasa tidak sedang diperhatikan?" tanya Mikasa pada kedua sahabatnya yang sedang asyik berbincang.

"Tidak.. hanya perasaanmu saja mungkin. Kita ke kelas aja yuk! Bentar lagi jam istirahat habis nih.." ajak Eren. Mereka bertiga pun berjalan meninggalkan lorong yang tidak berpenghuni itu. Ah, salah. Ada satu orang yang sedang bersembunyi diantara pilar- pilar yang menahan atap lorong itu. Pemuda itu tersenyum bagaikan iblis yang menemukan sesuatu yang akan membuatnya sangat bahagia.

"Eren Jaeger…" ucapnya sebelum hilang dari lorong. Membuat lorong menjadi tak berpenghuni.

!

!

!

Di atap sekolah, terlihat dua pemuda yang sedang bermesraan—atau mungkin hanya berbincang—ditemani dengan bungkusan makanan yang isinya sudah habis dimakan.

Eren dan Levi, dua pemuda yang diyakini sedang bermesraan itu hanya menatap matahari yang dengan enggannya pergi. Matahari itu masih ingin melihat dua sejoli ini bermesraan entah sampai kapan. Tetapi sayang, bulan sudah bangun dari tidurnya untuk menggantikan Sang matahari. Dengan perlahan, mataharipun pergi meninggalkan pasangan yang berada di atap sekolah. Hanya ada mereka berdua di sana. Ya, hanya berdua.

'Hanya berdua di sini.. bentar lagi malam pula.. duh, gimana kalau yang Mikasa katakana itu benar? Kalau nanti Kak Levi melakukan sesuatu terhadapku..' pikir Eren. Sebenarnya, tidak terlalu masalah baginya kalau Levi ingin melakukan sesuatu terhadapnya, bahkan menjamah tubuhnya sekalipun, Eren tak peduli. Tapi walaupun begitu, Eren sedikit takut jika levi akan menjamah tubuhnya malam ini, di atap. Eren teringat pada blue film yang dulu sering ia tonton bersama teman- teman lelakinya. Eren masih ingat bagaimana perempuan itu menjerit kesakitan ketika sesuatu memasuki lubangnya. Apakah jika laki- laki dengan laki- laki melakukan hal semacam itu, rasanya juga akan sakit? Apakah Eren akan berteriak? Apakah Eren akan merasakan sakit yang luar biasa pada lubangnya? Ah, imajinasinya terlalu sempit sehingga ia tak memikirkan ketika 'pedang' kekasihnya masuk ke sarung miliknya.

Pemuda yang lahir pada bulan Desember menatap kekasihnya dengan heran, "Kenapa kau? Sakit?" tangan Levi bergerak menyentuh kening Eren ketika dilihat muka kekasihnya yang memerah. Bukan Levi, kau salah. Andaikan kau dapat membaca pikiran Eren, mukamu pasti akan bersemu sama sepertinya. Walau tak semerah muka yang sedang kau tatap ini.

"Eh!? Bukan! Itu.. Aku baik- baik saja!" jawab eren gelagapan ketika tangan dingin kekasihnya menyentuh keningnya yang hangat. Membuat warna merah dimukamu menjadi semakin merah.

"Hari sudah semakin gelap. Aku akan mengantarkanmu pulang." ujar pemuda dengan berat 65 kg tersebut kepada kekasihnya yang masih saja terpaku pada imajinasinya sendiri.

!

!

!

Suara derap langkah kaki terdengar di lorong lantai tiga sekolah menengah itu. Sepi. Hanya itu kata yang dapat menggambarkan kondisi sekolah saat ini. Semua murid sudah pulang sejak dua jam yang lalu, sekitar jam empat sore. Terkecuali dua pasangan yang sedang berjalan berdampingan dalam sunyi. Tidak ada dari mereka yang mengucapkan sepatah kata apapun.

"Kak.." suara Eren memberhentikan acara jalan mereka didalam sekolah yang gelap ini—karena lampu sudah dimatikan oleh Pak penjaga sekolah. "Aku mau ke toilet dulu.. boleh kan?" tanya Eren agak malu. Rasanya, dia seperti anak kecil yang sedang bertanya kepada ibunya. Levi hanya menganggukan kepalanya dan bersender pada pintu kelas yang berada tepat dibelakangnya. Posisi yang lumayan nyaman untuk menunggu sampai Eren kembali lagi kehadapannya.

"Sebentar ya, kak.." Eren pun dengan tergesa- gesa berlari ke kamar mandi yang hanya melewati dua tikungan dari tempat Levi menunggu.

!

!

!

Sembari menunggu, Levi mengambil sesuatu dari kantung bajunya. Sebuah bungkusan kecil berwarna merah yang tertulis mints. Jarinya dengan perlahan membuka bungkusan berwarna merah tersebut. Setelah bungkusan terbuka, terlihat sesuatu bulat berwarna merah sedang terdiam di sana. Jemari Levi mengambil benda itu—permen—lalu memasukannya kedalam mulutnya. Merasakan rasa strawberry dan mints yang dirasakan oleh lidahnya.

!

!

!

"Ah leganya~" ujar Eren pada dirinya sendiri. Ia menaikkan kembali resleting celananya.

Kriet

Suara pintu yang terbuka, tertangkap oleh telinga Eren. Dadanya mulai berdegup dengan kencang. Imajinasi saat berada di atap, kini terulang lagi dipikarannya. Tetapi berbeda dengan yang sebelumnya. Di imajinasi yang satu ini, Eren mempunyai opening sebelum menuju klimaks. Opening yang tergambar adalah Levi memasuki kamar mandi, mendekap Eren dari belakang, lalu membisikkan suatu ajakan. Barulah setelah ini, bagian klimaks dimulai.

Tapi, oh ayolah Eren! Ini tidak akan sama dengan imajinasimu! Cepat lari dari sana atau berteriak sekencang- kencangnya. Benar- benar akan terjadi hal buruk, Eren. Cepat berbalik dan pergi dari sana sekarang juga!

Orang itu semakin mendekat, terdengar dari langkah kakinya yang terdengar semakin jelas ditelinga Eren. Eren sudah siap sepenuhnya jika ia dan Levi akan melakukan 'itu' di sini, didalam kamar mandi. Sakitpun tak apa asal dapat membahagiakan kekasihnya, pikir Eren.

Hap

Sebuah tangan milik seseorang, entah itu siapa, mendekap badan Eren. Sedangkan yang satunya lagi, untuk membekap mulut Eren.

Tidak, tangan ini terlalu besar dari tangan Levi, Eren tahu itu. Lantas tangan siapa ini?

"Eren.. ayo kita bereempat bermain dulu di kelas.." suara yang dingin, tetapi berbeda dengan suara Levi. Rasanya, Eren pernah mendengar suaranya. Entah dimana. Ia tidak bisa mengingatnya karena panik ketika orang ini mengangkat tubuhnya. Membawanya ke tempat yang ia katakan, kelas.

!

!

!

Kriet

Blam

"Hah Hehi!" teriak Eren dalam dekapan seseorang yang tengah menggedongnya. Tiba- tiba, tangan orang itu membiarkan Eren untuk mengatakan sesuatu, "Kak Levi!" orang yang namanya disebut oleh Eren, hanya dapat meronta di atas lantai. Terlihat tali tambang yang mengikat badan dan juga kakinya. Didekat Levi, ada seseorang yang berdiri. Rambutnya berwarna hitam, terlihat jelas karena dibantu oleh sinar bulan yang masuk dari kaca jendela yang terbuka. Eren kenal orang itu. Dia pernah melihatnya saat pertama kali masuk sekolah ini. Salah satu senior yang ada dalam kegiatan Ospek. Sayang, Eren lupa nama orang itu.

Brak

"Akh!" Eren meringis kesakitan ketika tubuhnya dihempaskan ke lantai begitu saja. Setelah itu, dibalikkan tubuh Eren dan seseorang menduduki perutnya, "Ugh.. berat..". Eren membuka matanya perlahan untuk melihat mahluk sebesar apa yang kini dengan beraninya duduk diatas perutnya, membuatnya susah untuk bernapas. "Ka.. kau! Kak Reiner!" Eren sangat terkejut ketika melihat sosok Reiner—senior yang sering berbincang dengannya—ada dihadapannya, menindihnya dan memperlihatkan senyuman yang membuat taringnya terlihat.

"Apa- apaan ini!? Kak Reiner, apa yang kau lakukan!? Kenapa Kak Levi diikat!?" tanya Eren bertubi- tubi. Reiner hanya tertawa melihat wajah panik Eren, yang membuatnya tambah menggemaskan.

"Hanya ingin bermain- main denganmu. Bert, ke sini.." jawaban yang singkat tetapi tidak menjawab semua pertanyaan Eren.

"Baiklah.." pemuda yang berdiri didekat Levi, Bertholdt, langsung berjalan menghampiri Eren dan Reiner begitu namanya dipanggil .

"Brengsek kalian berdua! Apa gara- gara hal itu hah!? Jika iya, ini tidak ada sangkut pautnya dengan bocah itu!" teriak Levi. Mukanya menampakkan kebencian melihat dua pemuda yang tinggi dan besar, mendekati kekasihnya. Niat ingin membantu Eren. Tapi apadaya, Levi tidak bisa menggerakkan tubuhnya karena tali tambang yang memeluknya dengan sangat erat.

"Kalian mau apa!?" tanya Eren panik ketika Reiner membuka kancing atas baju Eren. Keringat mengucur dari pelipis Eren. Demi apapun, dia benar- benar takut. Ini bukan seperti yang ada di imajinasinya. Ini benar- benar berbeda. Tidak ada pemain tambahan dalam imajinasinya. Hanya Eren dan Levi. Hanya mereka berdua yang seharusnya memadu kasih.

"Sudah kubilang, kita akan bermain- main, Eren.." jawab Reiner dengan cengiran mesum yang Eren pernah lihat disalah satu buku R18 milik temannya.

Slurp

"Eh!?" bulu kuduk Eren berdiri ketika sesuatu yang lunak dan basah menjilat pipi kirinya.

Slurp

Kini giliran bibir Eren yang dijilat oleh lidah Bertholdt. Tak terima dirinya diperlakukan seperti itu, Eren dengan tangannya yang bebas, akan meninju pipi Bertholdt. Baru saja melayangkan kepalan tangan kanannya, tangan kiri Bertholdt memegangnya. Tapi bukan Eren Jaeger jika ia menyerah begitu saja. Dilayangkan lagi tangan kirinya. Sialnya, dapat pula ditahan oleh tangan kanan Bertholdt.

"Lepaskan!" dengan sekuat tenaga, Eren berusaha menarik tangannya dari genggaman Bertholdt. Tapi percuma, kekuatan Eren tak sebanding dengan Bertholdt.

Bertholdt menelungkupkan badannya diatas kepala Eren. Disejajarkan mukanya dengan muka Eren. Tangannya tetap menggenggam tangan Eren agar anak itu tidak bisa memukulnya. Sedangkan sikutnya menjadi tumpuan.

Slurp

Lidah Bertholdt menari- nari diatas bibir Eren. Melumurinya dengan saliva miliknya. Berharap Eren akan membuka mulutnya dan membiarkan lidah mereka bertarung didalam goa yang hangat itu.

"Bert, sudah kubukakan kancing bajunya. Itu wilayahmu." ujar Reiner. Bertholdt menganggu disela kegiatan menjilat bibir Eren. Kasihan melihat temannya itu tak dapat memasukkan lidahnya kedalam mulut Eren, Reiner dengan akal bejadnya memegang sesuatu dibalik celana Eren.

"Ah!" desah Eren ketika tangan besar milik Reiner menggenggam pelan benda pusakanya. Melihat mulut Eren yang terbuka, Bertholdt lantas tidak menyia- nyiakannya. Ia langsung memasukkan lidahnya ke dalam mulut Eren yang dipenuhi oleh saliva.

"Baru dijilat seperti itu saja sudah tegang? Dasar.." Reiner yang tampaknya senang, membuka resleting celana Eren. Diremasnya benda yang tegang itu. Membuat si empunya mendesah dalam ciuman panasnya dengan Bertholdt.

Dia. Seseorang yang hanya melihat semuanya, hanya menggeram kesal. Demi Orpheus yang kehilangan istrinya, jika dia bisa lepas dari pelukan tali tambang, dia berjanji akan melempar kedua orang itu ke Tartarus atau membuang mereka untuk santapan Cerberus.

"Ngg.. ah.. hen—ngg!" desah Eren menjadi teriakan tertahan ketika dirasanya, Reiner menaggali celananya. Menyisakan seragam—itupun kancingnya sudah terbuka.

"Aku bawa lotion nih, Eren. Mau yang tutupnya warna pink atau hijau?" tanya Reiner yang mengeluarkan dua lotion dari saku celananya.

"Jang- ngg!" sebelum dapat mengatakan sesuatu dengan jelas, Eren dibuat mendesah oleh Bertholdt karena perlakuan jari- jari panjangnya yang mencubit nipple Eren setelah dirasa Eren sudah tidak mempunyai tenaga untuk melawan, Bertholdt pun melepaskan tangan Eren dari genggamannya.

"Oh.. hijau. Biar sama dengan matamu ya? Oke deh.." Reiner yang dengan seenak jidatnya, memutuskan lotion mana yang akan ia pakai. Dibuka tutup lotion berwarna hijau itu dan dipencet badan lotion itu hingga memuntahkan isinya diatas telapak tangan kiri Reiner. Setelah itu, lotion yang ada ditelapak tangannya itu dilumuri kejari- jari tangan kanannya. Setelah lotion itu merata di jari- jarinya, Reiner memasukkan jari telunjuknya terlebih dahulu ke lubang Eren.

"AH! SAKIT! HENTIKAN!" teriak Eren setelah Bertholdt, akhirnya menyudahi ciumannya dengan Eren. "Ngg ah!" tapi teriakan itu berubah menjadi desahan ketika tangan Bertholdt bermain diatas dada Eren. Mencubit dan memilin nipple yang menegang dan memerah tersebut.

"Kalian berdua brengsek!" tidak ada yang menanggapi Levi. Kedua orang biadab itu sedang fokus dengan pekerjaannya. Bahkan Eren, ia sudah tidak bisa berpikir dengan jernih. Setiap Reiner memasuk- masukkan jarinya lebih dalam lagi, Eren hanya bisa mendesah. Dia tidak lagi menolak ataupun berteriak karena perlakuan Bertholdt dan Reiner terhadapnya. Entah Eren menikmatinya, atau karena ia benar- benar tidak bisa berpikir lagi dengan jernih.

"Eren, tahan ya. Mungkin ini akan menyakitkan, tetapi kau akan menyukainya nanti." ujar Reiner. Eren yang mendengar ucapan Reiner, langsung bergidik ngeri. Teringat pada perempuan di blue film yang terlihat kesakitan ketika benda yang besar itu memasuki lubangnya.

"Tung—ah ng!" protes Eren berubah menjadi desahan lagi karena Bertholdt yang menghisap nipple-nya sampai memerah. Seperti bayi yang menyusu pada ibunya.

"AHH!" teriak Eren ketika benda besar milik Reiner memasuki lubangnya yang bisa dikatakan sempit. Sangat sempit.

"Khh.. sempit.." Reiner mencoba memasukkan kejantanannya yang baru kepalanya saja yang masuk.

"Ah.. cu.. cukup, hentikan! Ngg! Ah sakit! Ah ngg!" erang Eren ketika seluruh kejantanan Reiner masuk kedalam lubangnya. Tangannya menjambak rambut Bertholdt yang menghisap nipplenya dengan keras.

Tidak mempedulikan Eren yang kesakitan, Reiner langsung memasuki dan mengeluarkan kejantannya dengan cepat dilubang Eren. Membuat si empunya lubang mendesah sejadi- jadinya. Air mata keluar dari matanya yang menatap sayu pada langit- langit kelas. Sama halnya dengan langit yang kini menangis secara tiba- tiba. Membuat malam ini dihiasi dengan suara Eren dan juga suara tangisan dari langit.

Manusia juga merasakan kesedihan,

Yang membuat hidup mereka hancur dalam sekejap,

Yang membuat mereka berpikir tentang hal yang negatif,

Yang membuat mereka melakukan hal yang membahayakan hidup mereka,

Untuk lari dari kesedihan,

Agar mereka tidak dapat merasakannya lagi.

"Ja—jangan di situ ngg! Ah hentikan mhh Kak Reiner! Ahng!" desah Eren semakin menjadi ketika Reiner menemukan titik apabila kau menyentuhnya, maka sang empunya titik akan merasakan kenikmatan.

Reiner bagaikan orang yang kesurupan, memaju mundurkan pinggulnya dengan liar. Sedangkan Bertholdt tampak tenang menghisap dan menjilat nipple Eren.

"Eren.. ng.. aku akan keluar!" ujar Reiner dan tak berapa lama kemudian, kejantanan Reiner memuntahkan seluruh isinya didalam lubang Eren. Badan Eren menggelijang merasakan cairan hangat yang berada didalam lubangnya.

"Hah.. ah.. sudah.. aku lelah.." nafas Eren terengah- engah. Sungguh, jadi ini rasanya melakukan hal seperti itu? Tidak, Eren tidak senang akan hal ini. Yang seharusnya melakukan ini dengannya adalah Levi, kekasihnya. Bukan dua orang yang tak begitu Eren kenal. Ah, Levi. Eren teringat pada Levi.

Eren menoleh pada Levi dan mendapati muka kekasihnya yang merah—entah menahan marah atau malu melihat hal yang sangat memalukan.

"Ng?" Reiner melihat lubang Eren. Terlihat cairan berwarna putih dan merah disana. Senyum Reiner mengembang lagi, "Jadi, aku yang pertama kali melakukan hal ini pada Eren ya? Kukira kau dan Eren berlama- lama di atap sedang melakukan sesuatu. Ternyata dugaanku salah, eh?" Reiner tertawa puas.

Levi marah. Bukan, bukan karena Reiner adalah orang pertama yang menjamah tubuh kekasihnya itu. Tetapi ia marah karena ia tak bisa melindungi kekasihnya dari dua iblis yang terlihat puas itu. Betapa lemahnya dia ketimbang tali tambang yang mendekapnya ini. Levi terus mengutuk dirinya.

"Karena aku sedang dalam mood yang lumayan bagus.." Reiner berpose seperti sedang memikirkan proyek yang besar, "Bagaimana kalau kau juga mencicipi tubuh kekasihmu ini?" tiba- tiba saja Reiner mengangkat tubuh Eren yang lemas itu. Ia mengedipkan matanya pada Bertholdt. Pria yang tinggi itu mengangguk lalu berjalan mendekati Levi yang terlentang tak berdaya, masih bergulat pada tali yang mengikat tubuhnya. Tangan Bertholdt menurunkan resleting celana Levi lalu membuka dalamannya. Sehingga terlihatlah adik Levi yang sudah menegang.

"Oh.. jadi daritadi ingin ya menikmati tubuh kekasihmu juga?" Reiner membawa Eren menuju Levi. "Sialan kau, dasar badan besar! Jangan kau bawa Eren kemari!" bentak Levi. "Kau marah pada Eren, eh?" tanpa mempedulikan perkataan Levi, Reiner mendudukkan Eren diatas kejantanan Levi. Bertholdt memegang kejantanaan Levi yang menegang, sedangkan Reiner berusaha memasukkan kejantanan Levi ke lubang Eren.

"Ah.. ng.. hentikan. A.. aku sudah tidak kuat—gya!" dengan paksa, Reiner menurunkan pinggul Eren dengan kasar, membuat kejantanan Levi masuk seluruhnya ke dalam lubang Eren dalam satu hentakan. "Ng ah.. Kak Reiner.. hentikan.. kumohon.." pinta Eren dengan wajah memelas.

"Nikmati saja, Eren. Lagipula, yang berada dilubangmu itu adalah kejantanan kekasihmu. Seharusnya kau senang. Nah, Levi, puaskan kekasihmu ya.." Reiner mengangkat dan menurunkan pinggul Eren dengan perlahan.

"Ah.. mn.. Kak Reiner, ah hentikan ng.." pinta Eren sekali lagi. "Mendesahlah dengan seksi sambil menyebut nama kekasihmu itu. Meminta lebihlah padanya. Baru akan kupertimbangkan." balas Reiner yang mulai mempercepat pekerjaan tangannya menaik- turunkan pinggul Eren.

"Hina kau, Braun! Kubunuh kau!" ancam Levi. Peluh membasahi badannya, terlihat dari bajunya yang basah.

"Ah~ Kak Levi~ lebih dalam ah ng lagi~ ba.. badanku ini milikmu! Ah.. lakukan semamumu.. ng mn.. puaskan ah aku~" desah Eren dengan suara yang seksi.

Levi menatap horror muka Eren. Apakah bocah yang didepannya itu sudah kehilangan akal sehatnya?

"A.. aku ng sudah melakukan ah apa.. ah apa yang mnn.. Kak Reiner minta. To- tolong lepaskan aku!"

"Tidak sebelum Levi mengeluarkannya!" Reiner mempercepat pekerjaannya. Ia memutarkan pinggul Eren dan menaik- turunkannya, memanjakan lubang Eren dan kejantanan Levi.

"Khh.." Levi menahan desahannya. Oh, dia masih waras dan dia tak mau setan- setan yang sedang mempermainkannya ini terkekeh geli jika mendengar desahannya.

"Eh? Jika mau mendesah, mendesah saja, Levi, tidak usah ditahan.." ujar Reiner dengan senyum yang sangat menyebalkan. Membuat Levi ingin menampar muka didepannya itu.

"Ah.. hentikan! Ng a—aku mau keluar! Ah Kak Levi!" tanpa sadar, Eren menyebut nama Levi dalam desahannya. Ya, tanpa sadar.

Melihat Eren seperti itu, tangan Bertholdt memegang kejantanan Eren. Jempolnya ia tempatkan dilubang kejantanan Eren agar anak itu tidak bisa cum sebelum Reiner mengizinkannya.

"Ah! Lepaskan! A—aku sudah tidak kuat lagi!" pinta Eren. Ia memejamkan matanya erat- erat. Oh, ayolah, biarkan saja dia mengeluarkannya. Kasihanilah dia!

"Tidak sebelum Levi cum. Jika dia sudah, maka kamu boleh cum.." ujar Reiner. Manusia pemberi harapan palsu ini membuat Eren kesal.

Eren menatap sayu muka Levi yang sekarang dibanjari oleh peluh, "Kak ah~ Levi.. keluarkan ng se—semuanya didalamku! Ah~" ujar Eren. Levi yang tadinya tidak mau—sangat tidak mau—cum dihadapan Reiner, terpaksa harus melakukannya demi kekasihnya tercinta. Ia tak tega melihat kekasihnya yang kesakitan karena Bertholdt menutup akses lubang kejantanan Eren sehingga pemuda berwajah manis itu tidak bisa mengeluarkan spermanya.

"Kak—Kak Levi—arggh! Ng!" desah Eren semakin liar ketika merasakan ada cairan hangat yang membanjiri lubangnya. Mengetahui akan hal itu, Bertholdt melepaskan genggamannya pada kenjantanaan Eren, membiarkan Eren untuk mengeluarkan spermanya. "Ahng.." akhirnya Eren dapat mengeluarkannya. Ia bernafas lega sekaligus terengah- engah.

"Bert, kita pergi.." perintah Reiner lalu menjatuhkan tubuh Eren diatas badan Levi yang masih terikat.

Manik abu itu menatap tajam kepergian kedua orang iblis itu. Lalu beralih menatap kekasihnya yang lelah. Levi menghela nafas. Entah apa yang sedang ia pikirkan. Dia hanya menatap nanar Eren.

!

!

!

!

Setelah sepuluh menit berlalu, Levi menatap kembali kekasihnya, "Eren.." panggilnya dengan suara yang pelan. Eren yang mendengarnyapun, menengok kekasihnya dengan sisa tenaga yang ia miliki.

"I… iya?" tanya Eren dengan suara yang terdengar lelah ditelinga Levi.

"Bangun dan cari sesuatu yang tajam untuk memotong tali ini. Cepat!" perintah Levi dengan muka dingin. Eren mengerti lalu mencoba untuk berdiri walau rasanya sakit dibagian lubangnya belum menghilang.

Eren melihat sekeliling, mencari sesuatu yang tajam. Dan sepertinya Tuhan sedang berbaik hati padanya. Ketika matanya melihat gunting didalam laci salah satu meja, ia dengan cepat mengambilnya dan berjalan ke arah Levi. Eren pun menggunting tali yang mengikat badan Levi.

Butuh waktu lama hingga tali itu putus—dikarenakan Eren yang hampir kehabisan tenaga. Mereka berdua—Levi dan Eren—membenahi diri mereka. Memakai pakaian mereka pada tubuh mereka masing- masing dan mengelap sperma yang terdapat di atas lantai.

"Kak Levi.. maaf tadi aku menyuruh Kak Levi mengeluarkan semuanya didalamku. Aku hanya tidak kuat menahannya.." ujar Eren yang menatap Levi yang membelakanginya.

"Menjauh.."

"Eh?"

"Menjauh dariku. Mulai malam ini, kita putus. Anggap hal tadi tidak pernah terjadi. Lupakan semuanya." ujar Levi. Mendengar itu, Eren terkejut bukan main. Oh jangan bercanda, Levi. Tidakkah kau kasihan melihat Eren yang sedang lelah ini?

"A.. apa maksud Kak Levi? Putus? Menjauh dari Kak Levi? Tapi kenapa?" tanya Eren yang hendak menangis.

"Karena kau menjijikkan dan murahan. Memberikan tubuhmu pada orang seperti mereka. Tidakkah kau ingat desahan dan wajahmu tadi? Itu menjijikkan, dasar laki- laki murahan. Enyah kau dari kehidupanku." tanpa melihat wajah Eren, Levi menjawab pertanyaan kekasihnya itu dengan dingin dan sangat menusuk.

Jleb

Sakit. Hati Eren sakit. Eren juga tidak percaya apa yang baru saja telinganya dengar. Enyah dari kehidupan Levi?

Tap tap

Dan rasa sakit itu bertambah ketika sang kekasih—ah, sekarang mungkin adalah mantan kekasih—meninggalkan dirinya sendirian di dalam kelas yang gelap ini. Levi sama sekali tak peduli pada Eren. Ya, sangat sangat tak peduli.

Blam

Dan sosok itupun pergi. Sosok yang hari ini membuat Eren sangat bahagia sekaligus membuat sangat sedih dalam hari yang sama.

"Tidak.. ini pasti mimpi kan?" gumam Eren.

Plak!

"Ugh.." ringis Eren ketika merasakan sakit pada bagian pipinya yang baru saja ia tampar dengan tangannya sendiri. "I.. ini bukan mimpi.. i.. ini.. nya.. ta..?" tanya Eren pada dirinya sendiri.

Tik

Biarkanlah Eren menangis, meluapkan semua perasaannya yang sedang kacau saat ini. Ditemani dengan langit yang juga menangis.

Kesedihan,

Bukan hanya tercipta dari sesuatu yang kau benci,

Maupun sesuatu yang kau tak suka,

Tetapi,

Kesedihan juga dapat tercipta dari orang yang kau sayangi,

Orang yang kau cintai,

Dapat membuatmu bersedih,

Bahkan kesedihan yang tercipta dari orang yang kau cintai itu,

Lebih menyakitkan,

Dari kesedihan yan tercipta dari sesuatu yang kau benci.

!TBC!

Adegannya tak memuaskan? Maaf. Ceritanya membosakan? Maaf. Maaf telah membuang waktu kalian secara sia- sia karena membaca cerita abal ini—itupun jika ada yang baca sampai akhir. Maaf juga bagi para fans Reiner maupun Bertholdt, karena saya sudah membuat merek menjadi orang jahat dicerita ini /bungkuk. Maaf juga Levi dibuat seperti itu.. /bungkuk

Tapi mohon kritik dan saran. Apa cerita ini berakhir dichapter dua atau lebih dari dua chapter? Dan apakah akhirnya harus bahagia atau menyedihkan? Sebenarnya mau bikin yang menyedihkan, dikarenakan saya suka sad ending daripada happy ending /kayakhidupmunak. Karena takut ditimpuk kalau akhirnya itu menyedihkan /nak

Tapi terima kasih telah membaca cerita ini.

Sekian,

Salam hangat Malachite!