"Kau pasti menyesal." Ino menatapku setengah mengejek dan tersenyum penuh misteri kepadaku.

Aku menaikan satu alisku sambil menyesap secangkir cappucinno-ku, menatapnya pandangan bingung sekaligus tidak terlalu ingin tahu. Tapi wanita yang sebulan lalu itu menikah dengan seorang seniman kaya raya sekaligus pemilik ratusan benda bernilai seni tinggi itu menangkap maksudku dengan maksud yang berbeda. Gadis itu tertawa sombong dan aku hanya menatapnya malas.

"Sudah kuduga, kau pasti penasaran kan?" dia tersenyum senang sedangkan aku balas tersenyum apa adanya.

"Ini tentang pria itu."

Aku mengerutkan dahiku.

"Sasuke, Uchiha Sasuke."

Di detik selanjutnya hampir saja aku menyemburkan cappucinno yang berada di tenggorokanku, aku menatapnya dengan pandangan tidak percaya sekaligus penasaran.

Disclaimer & Original Story : Masashi Kishimoto

Story : Watashi no Namae

Watashi no Namae Present

That Day, When We Meet Again

Ada yang bilang bahwa pertemuan kami adalah takdir.

Aku dan dirinya selalu sekelas selama tiga tahun berturut-turut. Setiap mengambil urutan bangku, kami selalu bersebelahan atau berada di depan dan belakang. Selalu bersaing untuk memperebutkan posisi juara umum dan selalu berkerja sama dengan sangat baik apabila ada tugas ataupun sebuah acara yang membutuhkan kerja sama. Kami satu prinsip dan kami sangat cocok satu sama lain. Hingga akhirnya kami tersadar, perasaan ini bukan hanya sekedar teman.

Singkatnya, kami memutuskan untuk bersama di hari kelulusan SMA. Namun seperti yang kubilang, pertemuan kami adalah pertemuan yang sangat indah dan tak akan pernah kulupakan. Hubungan kami tidak terlalu mulus dan sulit bagi kami untuk meluangkan waktu karena terlalu sibuk dengan kuliah dan hal-hal lainnya. Ditambah dengan kenyataan bahwa kami berbeda universitas dan jarak diantara universitas kami cukup memakan waktu. Jarak diantara kami mulai tercipta dan akhirnya kami memutuskan berpisah setelah lebih dari satu tahun bersama. Setelah itu, aku tidak tahu lagi bagaimana kabarnya. Kami kehilangan kontak dan semua terjadi begitu saja.

Lulus kuliah spesialis dokter anak aku pergi ke salah satu kota kecil di Suna, berkerja menjadi dokter anak di salah satu klinik sederhana dan menikmati hari liburku di apartemen mungil di tengah kota kecil tersebut. Hidupku cukup sederhana. Tiap ada tanggal merah aku akan pergi ke kota Konoha untuk menemui Ibu dan Ayahku dan sesekali mengunjungi beberapa sahabat lamaku.

.

.

"Kau akan menyesal sungguh!" Ino menelponku dan aku hanya mengangguk-anggukan kepalaku malas—meski aku tahu bahwa wanita itu tidak akan melihat anggukan kepalaku. "Ayolah Sakura, manfaatkan kesempatan ini! Kau hanya perlu berkata 'hai' dan semuanya selesai."

"Tidak." jawabku tegas seraya mengganti channel televisi. "Ah, Ino, ada acara Hai Fashion malam ini bukan?" aku berusaha mengganti topik pembicaraan. Ayolah, lebih aku mendengar ocehan Ino tentang fashion dan segala macam jenis baju dengan harga jutaan yen daripada aku harus mendengar tentang pria itu.

"Aku tidak akan mengganti topik." jawab Ino setengah mengejek. "Katakan ya maka aku akan mengganti topik pembicaraan."

Aku mendengus kesal.

"Sakura, ini kesempatan." wanita itu berkata dengan nada penuh rayu namun halus, dia mengatur nada bicaranya dengan sangat baik sehingga ini seperti tawaran memenangkan lotere senilai seratus juta yen. Tapi tentu saja, aku tidak akan terjebak dengan permainan nada bicaranya itu.

"Ya, ini kesempatan untuk membunuhku—"

"Bagus! Kita akan ke pertemuannya dan kuharap kau bersiap-siap minggu ini!" Ino bersorak kegirangan dan aku melotot tajam kearah ponselku.

Tunggu! Apa maksudnya tadi itu?!

"Tunggu!" seruku dengan nada tinggi. "Apa maksudmu!? Aku tidak—"

"Kuanggap kau berkata ya, Haruno Sakura-chan!" Ino terkikik geli sedangkan aku heboh setengah mati.

"Tidak! Sunguh! Aku tidak berkata ya!" seruku kesal. "Dan siapa yang ingin pergi ke pertemuan gila tersebut!?"

"Tentu saja kau, Sakura-chan."

"Aku tidak berkata ya, Yamanaka Ino!" geramku kesal.

"Dan baru saja kau berkata ya, nona Uchiha Sakura."

"Tunggu aku bukan Uchiha Sakura—"

"Kutunggu hari minggu kalau begitu, Uchiha-chan." panggilan terputus secara sepihak dan aku menatap kearah ponselku dengan pandangan tidak percaya.

Sungguh, bukan itu maksudku! Ya Tuhan! Bagaimana ini?!

.

.

"Sudah kuduga kalau kau akan menyambutku dengan tampang kusut seperti itu. Berbahagialah Sakura, kau akan melihat dia!" Ino menatapku penuh kengerian saat aku membuka pintu apartemenku. Ini hari minggu dan tiba-tiba sahabatku itu datang, membuatku mengerutkan dahi bingung.

Wanita berambut pirang itu berpenampilan layaknya model di siang bolong. Dia sudah memoles make-up di wajahnya dan mengenakan gaun berkerah Sabrina berwarna biru dongker selutut dan sebuah heels hitam berhias intan putih yang melekat sempurna. Aku mengerutkan dahiku saat menyadari bahwa gadis itu tengah membawa sebuah baju yang masih terbungkus rapih dengan plastik laundry. Menyadari bahwa aku tengah bingung dengan apa yang wanita itu bawa, Ino menatapku dengan senyum misteriusnya.

"Tenang saja, ini hanya pertemuan non formal."

Aku mengerutkan dahiku. "Huh?"

Ino memutar mata bolanya. "Apa kau sudah terkontaminasi dengan berbagai macam bau obat sehingga kau melupakan hari ini?"

Aku semakin tidak mengerti. "Aku tidak merasa bahwa aku memiliki—Ya Tuhan!" detik selanjutnya, aku teringat. Ya ampun, bagiamana aku bisa dengan bodohnya lupa kalau hari ini adalah minggu yang dimaksud Ino!? Seharusnya aku tidak membuka pintu tadi!

Aku baru saja akan menutup pintu dengan keras ketika tangan Ino justru mendorong pintu dan entah bagaimana bisa justru aku yang terdorong kearah belakang. Ino masuk ke dalam apartemenku dan mengunci pintunya, membuatku menelan ludah kelu. Ino menatapku dengan senyum penuh mautnya, matanya menatapku senang dan aku bergidik ngeri kemudian. Ya Tuhan… aku tahu kalau Ino bagaimana menyeramkan Ino ketika ia sudah serius dengan perkataannya.

"Dengar, Uchiha—"

"Haruno!" koreksiku cepat sambil bangkit berdiri, menatapnya dengan pandangan tidak suka dan kesal.

"Uchiha Sakura—"

"Haruno! Haruno! Haruno!" kembali kukoreksi perkataannya dan ia menatap wajahku kesal.

Ino menatapku sebal dan kemudian menghela nafas. "Dengar, calon menantu Uchiha—"

"Aku bukan menantu—"

"Akan!" kini giliran Ino yang mengoreksi perkataanku dan membuatku semakin kesal dan rasanya ingin segera mengusir sahabatku ini. "Kau calon menantu Uchiha dan adalah hal yang wajar kalau kau mengikuti pertemuan ini bukan?"

"Ayolah Ino, aku bukan siapa-siapanya lagi! Berhenti mengada-ada karena aku memang bukan siapa-siapanya!" aku menjerit frustasi.

Ino menatapku dengan pandangan berbeda kali ini. "Oh, ayolah Sakura. Dia ingin bertemu denganmu!"

Aku menatapnya kesal. "Jangan mengada-ada!" seruku marah. "Aku bahkan bukan siapa-siapa bagi pria itu, untuk apa dia ingin bertemu denganku!? Kau sudah gila ya? Ino, kurasa imajinasimu tentang hubunganku dengan pria itu sudah terlalu jauh! Hentikan itu karena aku cukup muak!"

"Demi Tuhan Sakura! Demi Tuhan!" kini giliran Ino yang menjerit frustasi. "Pria itu yang ingin bertemu denganmu, bukan aku!"

"Ino, kumohon—"

"Pameran perhiasan di London tiga bulan lalu aku bertemu dengannya dan ia berkata bahwa ia sangat berharap bisa bertemu denganmu. Percayalah Sakura, pria itu datang jauh-jauh dari Amerika hanya karena ingin bertemu denganmu hari ini saja!" Ino mengubah nada bicaranya menjadi memohon dan menatapku penuh harapan. "Hanya pertemuan biasa. Tidakkah kau menghargai pria itu karena sudah meluangkan waktunya?"

Aku terdiam selama beberapa detik, mencoba mencari kebohongan dalam wajah Ino tapi aku tak dapat menemukannya dan itu membuatku depresi sekaligus kesal, dan rasa bahagia yang terselip di hatiku. Tunggu, untuk apa aku merasa bahagia?!

"Ugh… aku tidak tahu, sungguh!" aku memijat pelan pelipisku. "Ini sudah sangat lama sekali. Sudah hampir tujuh tahun…"

Ino berjalan mendekat kearahku, merangkul pundakku dan membantuku untuk duduk di sofa. Wanita itu duduk di sampingku dan menyampirkan baju yang masih terbungkus plastik itu di punggung sofa. Sesekali Ino mengusap bahuku pelan.

"Ayolah Sakura, pria itu ingin bertemu denganmu."

Aku terdiam, sibuk dengan pikiranku.

"Awalnya aku juga sangat terkejut saat pria itu berkata bahwa ia benar-benar ingin bertemu denganmu. Awalnya kupikir ia hanya bercanda tapi detik selanjutnya aku langsung percaya bahwa pria itu benar-benar ingin bertemu denganmu." Ino berkata dengan nada yang sangat lembut, mengalir begitu saja dan tak ada kebohongan setitik pun di dalamnya.

Aku terdiam selama beberapa detik. "Untuk apa dia menemuiku?" tanyaku sedikit frustasi.

Ino terdiam, tidak langsung menjawab. "Kau akan tahu nanti." dia tersenyum kecil.

"Dan kenapa kau mengejekku sebagai Uchiha, huh?"

Kali Ino terdiam, membuatku menatapnya dari ekor mataku. Wanita itu hanya semakin mengeratkan rangkulannya kepadaku dan kemudian tersenyum kearahku. Membuatku menatapnya dengan pandangan bingung.

"Kau akan tahu nanti." dia tersenyum penuh misteri. "Aa… ngomong-ngomong, karena aku tahu kau tidak memiliki gaun yang pantas, jadi aku akan meminjamkan salah satu gaun milikku kepadamu."

Aku menatapnya ngeri. "Siapa yang bilang aku akan ikut?!"

Ino langsung melotot marah kearahku, membuat nyaliku serasa seperti semut sekarang.

"Aku tidak ingin ke Konoha," aku mencoba mencari alasan lain. "Maksudku… aku lelah. Kemarin cukup banyak perkerjaan di klinik. Jadi…"

"Jangan khawatir." Ino menatapku penuh senyum. "Pertemuannya di Suna. Kalau dari sini hanya satu jam, kan?"

Dan aku tahu dengan pasti, kalau sudah seperti ini, tidak ada kata tidak untuk Ino.

.

.

"Katakan bahwa penampilanku sangat jelek dan kacau." kataku sedikit mengerang frustasi.

"Kau sangat cantik Sakura." jawab Ino santai seraya menarik tanganku masuk ke dalam café.

"Ugh… tidak, penampilanku sangat jelek dan kacau. Lebih baik aku pulang sekarang juga."

Selanjutnya, aku langsung mengurungkan niatku saat melihat tatapan tajam Ino yang melotot kearahku seolah-olah aku telah mempermalukan nama bangsa Jepang di hadapan Internasional. Tatapannya seoah-olah seperti peluru yang akan menusukku dengan sangat cepat, menghabisi nyawaku di detik selanjutnya.

"Jangan mengada-ada. Kita sudah sampai di depan café." Ino berkata dengan nada dingin dan menusuk.

"Bukan aku yang ingin—"

"Uchiha Sakura—"

"Haruno!"

Ino menatapku pasrah. "Terserah! Pria itu sudah ada di dalam dan aku bertanggung jawab penuh tentang kedatangan dirimu."

"Tunggu! Kau berkerja sama dengan pria itu?! Ya Tuhan… bagaiman mungkin aku baru sadar sekarang?!"

Ino menatapku sebal. "Bagaimana mungkin kau ini mejadi dokter Sakura!? Seharusnya kau menyadari itu ketika di apartemenmu tadi."

"Ya Tuhan! Kau benar, seharusnya aku menyadari hal itu di apartemenku!"

Ya ampun, bagiamana bisa kau sebodoh itu, Sakura!? Apa karena pria itu maka pikiranmu menjadi kacau seperti ini!?

"Sudahlah, tak perlu memikirkan hal yang perlu!" Ino langsung menarik paksa tanganku masuk ke dalam café dan aku sedikit merintih kesakitan karena wanita itu terlalu kencang mencengkram pergelangan tanganku.

"Tunggu! Tunggu!" seruku diantara rasa sakit, gugup dan malu. Mentalku benar-benar tidak siap untuk ini. Jantungku berdetak tak karuan dan rasanya aku ingin lari dan kabur saja dari tempat ini. Aku benar-benar tidak siap mental.

"Apa lagi!?" tanya Ino kesal.

"A-ano—"

"Ah! Sasuke-kun! Lihat, ini dia Sakura!"

Ya Tuhan! Ingin sekali rasanya aku melempar bongkahan batu besar kearah kepala pirang temanku ini! Kenapa di saat-saat seperti ini wanita itu tidak mengerti keadaanku!?

Ino dengan semangat menarik tanganku berjalan kearah sebuah meja yang berada di pojokan café. Dengan cepat, aku menahan tarikan tangannya seraya membuang muka kearah samping—aku benar-benar tidak ingin melihat pria itu sekarang!

"Sakura…" Ino mendesis pelan, memberiku peringatan dan kubalas dengan pelototan tajam.

"Tidak!" balasku tajam.

Ino melotot kaget kearahku. "Sakura, sudah sejauh ini—"

"Tidak!" potongku cepat. "Jangan memaksaku atau—"

"Keras kepala seperti biasa."

Aku mendengar suara baritone itu dan detik selanjutnya, aku dapat merasakan dengan sangat jelas. Sangat jelas sehingga jantung di dadaku ini rasanya ingin melompat keluar entah karena kaget atau senang. Aku dapat merasakannya, sebuah tangan besar yang mengacak-acak rambutku dan kemudian tangan besar itu mencubit pelan pipiku. Membuatku refleks menatap kearah pemilik tangan tersebut dan detik selanjutnya mataku membulat.

Pria itu, pria yang tidak ingin kutemui. Uchiha Sasuke.

"K-kau…" aku membisik pelan, membisu di tempat.

"Lama tidak jumpa. Kau masih keras kepala seperti dulu, ya." pria itu tidak tersenyum dan menatap kearahku dengan pandangan yang sulit dijelaskan. Antara kerinduan, senang dan ragu. Tatapan yang membuatku dilema tentang perasaanku sendiri seketika.

Pria itu menatapku dengan sebuah senyum yang sangat tipis yang terukir di wajahnya dan aku menatapnya dengan pandangan takjub. Ya Tuhan… bahkan senyumnya masih dapat membuat jantungku tidak karuan—ya ampun Sakura! Dia itu masa lalumu kan!?

Pria itu menyeringai pelan, membuatku menatapnya bingung seketika. Selanjutnya, pria itu berjalan dengan santai kearah meja di pojokan café. Pria itu membawa secangkir kopi hitam dengan aroma yang cukup tajam di tangan kanannya.

Aku membeku di tempat. Jantungku berdebar tidak karuan dan dapat kurasakan sekarang bahwa seluruh tubuhku rasanya ingin memeluk pria itu sekarang juga. Melepas kerinduan selama hampir tujuh tahun dan kemudian rasanya aku ingin menangis haru sekarang.

Pria itu tidak berubah sama sekali. Hanya saja tingginya semakin jauh diatasku dan tubuhnya yang semakin menunjukkan bahwa dirinya sudah sangat matang. Pria itu mengenakan sebuah kemeja lengan panjang berwarna putih polos, kedua lengannya ia gulung hingga siku dan pria itu menggunakan celana bahan berwarna hitam. Penampilan yang berhasil membuat jantungku berdebar tak karuan sekarang.

"Lihat sekarang. Kau tidak menyesalkan kuajak kesini."

Aku menatap Ino bingung. Wanita itu terkekeh pelan.

"Lihat, saking senangnya kau sampai mengeluarkan air mata."

"Ha-ha…?" tanyaku bingung seraya mengusap pipiku dan ya ampun Sakura! Kenapa kau menangis?!

Wanita itu tertawa meremehkan seraya menutup mulutnya dengan telapak tangannya. "Sudah kuduga."

"Apanya yang sudah kau duga?!" jawabku kesal seraya berjalan dengan langkah berat menuju meja pria itu.

"Kau masih menyukai Sasuke-kun."

Aku kembali membeku di tempat. Tunggu! Apa yang tadi Ino katakan?!

Detik selanjutnya, aku langsung menatapnya dengan pandangan bingung dan tida percaya.

"Jangan berlagak seolah kau tidak tahu. Jujur saja Sakura, debaran masa SMA itu masih ada kan?" wanita itu tersenyum geli seraya berjalan mendekat kearahku dan ketika ia melewati diriku, Ino membisikan sesuatu di telingaku.

"Ini kesempatannya. Jangan di sia-siakan."

Dan aku mengerutkan dahiku bingung.

.

.

"Keras kepala."

"Apa maumu, Uchiha-san?!" tantangku marah namun masih menjaga nada bicaraku.

Disinilah kami berada, di sebuah meja di pojokkan café. Berdua dengan hanya dua buah cangkir milik kami yang berada di atas meja. Pria itu memesan kopi hitam sementara aku teh hijau. Aku sudah tidak tahu dimana Ino, wanita itu bilang kalau dia ingin membeli secangkir kopi dan selanjutnya masih belum kembali hingga sekarang.

Dan pria itu terkekeh pelan dan berhasil membuatku kembali ke dunia nyata dan menatap bingung kearahnya.

"Ya Tuhan! Uchiha Sasuke! Sebenarnya untuk kepentingan apa kita bertemu?! Daritadi kau hanya mengolok-olokku keras kepala dan kemudian kau tertawa!" seruku kesal, menggepalkan kedua tangan yang rasanya ingin kulayangkan sekarang juga kearah pria di depanku. "Dan dimana Ino sekarang?! Kenapa dia hanya mengambil secangkir kopi saja lamanya minta ampun!?"

"Dia sudah pergi."

"A-apa?!" aku menatap pria itu dengan pandangan tidak percaya.

Haruno Sakura, kau yang bodoh! Mempercayai dan mengikuti Ino dalam masalah seperti ini sama saja seperti mempercayai dan mengikuti seorang dukun mengerjakan soal fisika olimpiade! Sama saja cari mati!

Aku menghela nafasku gusar. "Ya Tuhan…" geramku tertahan. Pria di depanku menatapku dengan pandangan bingung.

"Aku pulang saja." seruku kesal seraya berdiri dari tempat dudukku.

"Tungu."

"Apa?! Ingin mengolok-olokku lagi?!" seruku marah.

Pria itu menatapku dengan pandangan berbeda di detik selanjutnya. Pandangan lembut sekaligus meminta. Tatapannya tetap tajam namun pria itu memandangku seolah-olah aku benar-benar dibutuhkan dirinya sekarang ini.

"Sebentar lagi saja. Nanti aku yang akan mengantarmu pulang." pria itu berkata dengan nada berbeda, nada seolah-olah sedang memohon dan memaksa disatu kata.

Rasanya seperti dihipnotis. Saat pria itu berkata demikian, tanpa sadar tubuhku merosot kembali kearah bangkuku dan selanjutnya jantungku kembali berdebar tak karuan. Aku menggenggam tanganku erat dan menaruhnya di atas pahaku. Ya ampun… bagaimana caranya aku mendekripsikan perasaanku sekarang?

Selanjutnya, tak ada yang memulai percakapan. Pria itu menatap lurus keluar jendela sedangkan aku menunduk, memutar-mutar cangkir teh hijauku dan menatap bayanganku di atasnya. Bayanganku dengan pandangan wajah bingung sekaligus senang dalam satu waktu.

Ah, pria itu, sebenarnya apa yang sedang ia pikirkan saat ini? Kenapa wajahnya terlihat antara gusar, takut dan senang seperti itu? Kenapa dia harus menopang dagunya dengan tangan kanan dan menatap lurus kearah jendela di luar sana.

"Kalau dipikir-pikir lagi… sebenarnya, apa penyebab kita putus?" pria itu bertanya dengan nada mengambang. Pandangannya masih lurus kearah jendela.

Aku menatapnya dengan pandangan bingung. "Hm?"

"Hari itu. Hari dimana kita memutuskan untuk berpisah." jelas pria itu seraya menatapku dalam, membuatku entah mengapa ingin menangis sekarang juga.

Aku menunduk. "Kesibukan?" simpulku asal, entah bertanya entah membuat pernyataan.

"Atau jarak?" aku tidak tahu pria itu membuat pertanyaan atau pernyataan.

Aku menatapnya. "Untuk apa kau bertanya tentang ini?"

Pria itu tidak langsung menjawab. "Karena hal ini berarti untukku."

Dan aku dapat merasakan dengan jelas bahwa hatiku terasa sangat sakit. Tubuhku terasa sangat lemas dan rasanya aku ingin menangis sekarang. Bayangan tentang hari-hari kami berputar dengan sangat lambat di otakku, membuatku senang dan sedih ketika mengingatnya kembali. Membuat dadaku sesak dan itu menyakitkan.

Sejujurnya, alasan utamaku tidak ingin menemuimu adalah karena setiap aku bertemu denganmu dadaku rasanya akan seperti tercabik-cabik. Rasa senang bercampur satu dengan rasa sesak dan kau harus tahu bahwa itu sangat menyakitkan. Saat aku bertemu denganmu, itu sama saja seperti menggores luka sendiri.

"Kenapa berarti?" tanyaku sambil menyembunyikan dalam-dalam sesak di hatiku.

"Karena ini tentangmu."

"Apa semua tentangku berarti untukmu?" dan detik selanjutnya aku langsung menutup mulutku dan menatap pria itu dengan pandangan terkejut. "Maaf, aku tidak bermaksud menanyakan hal yang bersifat privasi kepadamu."

Pria itu menggeleng pelan. "Aku senang kau bertanya seperti itu."

Aku menatap pria itu terkejut. "Apa… maksudmu?"

Pria itu tersenyum penuh misteri. "Sejujurnya, jika aku bisa, aku akan kembali ke masa lalu."

"Kau tidak akan pernah bisa." sanggahku cepat.

Pria itu terdiam selama beberapa detik. "Kau benar. Kita tidak akan bisa kembali ke masa lalu."

Aku menatap pria itu bingung. "Aku tidak mengerti arah pembicaraan kita."

"Tidak perlu dipikirkan." pria itu menyesap pelan kopi hitamnya dan kemudian kembali menaruhnya di atas meja. "Itu hanya basa basi tidak penting."

Aku semakin menatapnya bingung. "Lalu, kenapa kau masih menahanku disini?"

Pria itu tidak langsung menjawab, kembali menatap lurus ke jendela dengan tatapan ragu. "Ada sesuatu yang ingin aku ungkapkan."

Aku menatapnya heran.

"Aku akan menikah."

Dapat kurasakan dengan sangat jelas bahwa hatiku hancur sekarang. Rasanya seperti diremukkan dalam hitungan detik oleh bulldozer dan kemudian kau diinjak-injak oleh sekumpulan manusia.

"Dan aku mengundangmu ke pernikahan kami."

Aku ingin menampar pria itu sekarang.

"Kuharap kau bisa datang."

Rasanya seperti sebuah tamparan keras bertubi-tubi yang mengenai titik fatal di hatimu. Menyakitkan.

"Hanya itu!?" aku menatap marah dan kecewa kearah pria di depanku. Air mataku meleleh dan aku sadar bahwa aku tengah mengeluarkan air mata yang cukup deras. Aku kecewa dan aku tidak tahu kenapa aku kecewa.

"Hanya karena kau ingin mengatakan hal itu, kau memaksa Ino untuk membawaku kesini!? Kau gila!" seruku marah dan muak, berdiri dari tempat dudukku dan menatapnya. "Yang kau perlu lakukan adalah mengirimkan undangan ke apartemenku, bukan mengajakku bertemu dan kemudian menghancurkan perasaanku! Ya Tuhan…!"

Pria itu menatapku dengan pandangan terkejut dan tidak percaya. "Sakura—"

"Keterlaluan!" potongku marah seraya berjalan dengan langkah cepat meninggalkan pria itu. Hatiku hancur dan rasanya sangat tidak mengenakan.

"Tunggu!" pria itu mencengkram erat tanganku, kemudian memutar bahuku dan memaksaku menatapnya. "Bisakah kau tenang?! Dengarkan seluruh omonganku dulu!"

"Kau gila!" desisku tajam. Masa bodoh dengan seluruh mata yang kini tengah menatap kami.

"Haruno Sakura!" pria itu menaikkan nadanya, mengcengkram kedua bahuku erat dan aku tahu dengan sangat jelas bahwa pria itu tidak suka dengan sikapku sekarang.

"Apa?!" balasku sama tidak suka dan kemudian pria itu menatapku lembut, tatapan yang semakin membuat air mataku mengalir.

"Oh, ya Tuhan." pria itu berbisik pelan. "Ikut aku!"

"Tidak!"

Dan pria itu menatapku tajam.

.

.

Dan disinilah aku. Dengan penampilan yang sangat kacau. Menangis dalam diam, bekas air mata masih ada di pipiku dan pipiku perih karena aku terlalu banyak mengusap pipiku. Aku membuang pandanganku keluar jendela. Pria itu ada di sampingku, berada di balik kemudi dan membawaku entah kemana. Kami saling terdiam dan aku tidak ingin memulai topik pembicaraan.

"Hentikan tangisan itu, Haruno Sakura. Kau membuatku merasa sangat bersalah." ungkapnya dengan nada datar tanpa menoleh sedikit kearahku.

Aku terdiam, tidak mau menjawab.

"Apa kau ingin kita menikah? Baiklah, aku akan menikahimu sekarang."

Aku melotot tidak percaya kearahnya, mendengus kesal. "Kau butuh rumah sakit jiwa."

"Aku memang butuh rumah sakit jiwa." jawabnya santai.

"Ya Tuhan! Uchiha Sasuke gila!" seruku ngeri seraya merapatkan diriku dengan pintu mobil.

Pria itu terkekeh pelan dan membuatku semakin bergidik ngeri. "Sudah selesai menangisnya?"

Aku terdiam, tidak ingin menjawab dan lebih memilih membuang muka. "Mau kemana mobil ini berjalan?" tanyaku setengah berbisik.

Pria itu tidak langsung menjawab. "Kau ingin kemana?"

Dan aku menatap pria itu dengan pandangan tidak percaya. "Kau tidak tahu kita akan kemana?! Lalu untuk apa kau mengemudikan mobilmu!?"

"Karena hanya ini satu-satunya cara untuk membuatmu diam bersamaku." jawab pria itu santai dan dengan sangat berhasil membuatku merona malu.

"A-apa?"

"Kalau di tempat terbuka, kau pasti akan kabur."

Aku terdiam, tidak berniat untuk menjawab karena memang itulah kenyataannya. Aku akan kabur dan berlari kencang jika ini ruangan terbuka. Pada akhirnya, aku hanya menghela nafasku panjang dan bersandar di jok mobil. Memijat pelan dahiku yang terasa pusing dan menutup rapat mataku.

"Bagaimana kalau ke rumahku?" tanyanya dengan nada yang sulit kujelaskan, antara candaan dan keseriusan.

"Ke rumah sakit jiwa saja. Kau benar-benar butuh dokter jiwa." jawabku spontan, masih tetap memijat dahiku dan memejamkan mata.

Pria itu mendengus geli dan aku dapat mendengarnya dengan sangat jelas.

"Aku ingin pulang." gumamku pelan, hampir seperti bisikan. Kubuka mataku dan dapat kurasa sinar matahari di musim panas menerpa wajahku, membuatku refleks menyipitkan mataku dan menghalau sinar matahari dengan tanganku.

"Nanti malam kuantar kau pulang." jawab pria itu santai.

Aku tidak menjawab, percuma menentang keputusan pasti pria itu. Jika aku menentang, yang terjadi adalah perdebatan sengit diantara kami mulai tercipta.

"Aku lapar."

Dan pria itu mendengus geli, membuatku lekas mengambil sebuah bantal penyangga leher di atas dashboard-nya dan melemparnya tepat kearahnya. Membuatnya hampir kehilangan kendali atas stir mobil dan kemudian melotot kaget dan marah kearahku selama beberapa detik sebelum kembali menatap lurus kearah jalan.

"Uchiha Sakura!" pria itu mendisis marah, antara refleks sekaligus kesal.

Tunggu! Apa katanya!? Uchiha Sakura?! Siapa Uchiha Sakura disini!?

"Siapa yang kau sebut 'Uchiha Sakura', huh!?" tanyaku marah.

"Kau." jawabnya setengah marah setengah santai.

Aku membuang nafasku marah. "Siapa yang Uchiha Sakura!? Namaku Haruno Sakura! Ha-ru-no! Bukan Uchiha! Hanya kau satu-satunya Uchiha di mobil ini!" seruku marah. "Kenapa kau jadi seperti Ino?! Wanita itu juga mengolok-olokku sebagai Uchiha Sakura! Aku ini Haruno Sakura dan tidak ada perbedabatan untuk hal itu."

"Uchiha Sakura." pria itu masih bersikukuh dan tertawa kecil melihat reaksiku, menutup mulutnya dengan tangan kirinya sementara tangan kanannya berada di stir mobil.

Aku menatapnya semakin marah dan kesal. Marah dan kesal karena aku senang. Impianku di masa akhir SMA dulu akhirnya terwujud, pria itu memanggilku dengan marganya. Uchiha Sakura, nama yang kuimpikan sewaktu di masa dulu. Nama yang selalu membuatku berhasil merona merah dan berdebar tak karuan. Namun di sisi lain, aku bukanlah diriku yang dulu. Aku bukanlah Haruno Sakura di masa labil SMA.

Tapi kemudian otakku merespon hal yang lain. Kenangan demi kenangan tentang kemi berdua terus berputar. Mengingatkanku akan seluruh kejadian yang luar biasa dalam yang pernah terjadi hidupku.

Ketika kami berdua belajar bersama, meributkan hal kecil dan kemudian kami berdua akan tertawa entah karena apa. Saat-saat dimana kami berdua, saat-saat indah itu. Saat dimana aku menonton bersamanya, kemudian aku menangis saat adegan sedih diputar dan pria itu akan mengejekku. Membuatku kesal namun kemudian pria itu tertawa.

Semua kenangan itu berputar. Berputar di dalam otakku. Kenangan indah itu.

Aku terdiam, cukup lama. Untuk apa aku senang? Pria itu akan menikah kan?! Jadi Haruno Sakura, kau tidak pantas untuk senang. Seharusnya kau marah. Haruno Sakura, inilah kenyataan. Pria itu akan menikah dan kau tidak akan menyandang marga pria itu.

"Oh, ya ampun. Bagaimana reaksi calon pengantin wanitamu jika kau tahu kau memanggil wanita lain seperti itu…?" tanyaku setengah meremehkan dan setengah mati menahan air mata yang tiba-tiba ingin kembali keluar.

Pria itu tidak langsung menjawab. "Kau tahu tanggal berapa ini?" tanyanya lebih memilih menggantik topik pembicaraan.

"Tidak tahu." jawabku asal seraya kembali mengusap pelan pipiku dan berharap semoga pria itu tidak sadar bahwa aku kembali menangis.

"23 Juli."

Aku terdiam, lebih memilih menyeka air mataku yang semakin sulit kukendalikan. Kuputar sembilan puluh derajat mukaku dan berpaling dari pria itu. Menatap lurus keluar jendela seraya menahan isakan tangis yang ingin keluar.

Aku tahu tanggal apa itu.

"Ini hari ulang tahunku." pria itu berkata dengan nada sendu.

"Apa peduliku?" tanyaku dengan nada pelan, sangat pelan. Berusaha menyembunyikan keras bahwa suaraku sudah sangat serak saat ini.

Pria itu tidak menjawab dan tidak pula melanjutkan percakapan. Kami berdua terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing sementara aku tetap menangis dalam diam. Sesekali kutepuk pelan dadaku dan menggigit bibirku—menahan isakanku.

Keterlaluan! Pria ini sangat keterlaluan! Haruno Sakura, kau pantas untuk membencinya!

"Boleh aku meminta sebuah permintaan?" tanya pria itu dan membuatku memejamkan mata. Ya Tuhan… bahkan disaat emosiku sedang tidak stabil seperti ini, pria itu masih tetap tidak mengerti perasaanku?!

"Memangnya kau anak kecil!?" jawabku marah seraya menunjukkan wajah kacauku kearahnya dan detik selanjutnya, aku langsung terisak, mengeluarkan seluruh emosiku di sampingnya seraya menutup wajahku dengan telapak tanganku.

Pria itu terdiam, tidak menjawab dan berhasil membuatku semakin kacau karena dia tidak berkata sepatah kata pun. Pria itu tetap fokus dengan stir mobil.

"Kau lapar?" tanya pria itu saat tangisku sudah mulai mereda.

"Dasar pria tidak peka!" seruku hampir saja melayangkan tinju kearah wajahnya. Masa bodo dengan fakta bahwa mobil ini masih melaju dan membutuhkan supir sementara aku tidak bisa mengendarai mobil.

"Haruno Sakura," pria itu bekata dengan nada berbeda. Dengan nada yang sebelumnya tidak pernah kudengar dari mulut seorang Uchiha. "Jika aku bisa menikahimu hari ini, aku akan pergi memintamu dari orang tuamu dan akan kubawa kau pergi ke rumahku. Tapi masalahnya, aku tidak bisa—"

"Persetanan!" seruku antara marah dan tidak mengerti. "Untuk apa kau mengatakan hal seperti itu?! Kau ingin membuatku semakin merasa terombang-ambing, huh?! Membuatku merasa jengah dan memutuskan mati bunuh diri!? Apa yang kau mau!? Jangan seperti remaja labil, Uchiha Sasuke-san!" rasanya aku ingin menampar dan menginjak-injak pria itu sekarang juga.

Pria itu tidak langsung menjawab.

"Aku di jodohkan."

"Aku tidak peduli!" seruku marah.

"Aku tidak punya pilihan, Uchiha Sakura."

"Uchiha, Uchiha, Uchiha! Siapa yang Uchiha Sakura disini!?" seruku marah tak tertahankan. "Aku ingin pulang atau akan kubuka paksa pintu mobil ini!"

Pria itu terdiam selama beberapa detik, menghela nafas panjang dan menatap kearahku selama dua detik. "Bisakah aku meminta satu permintaan darimu?" tanyanya dengan nada yang berbeda. Sebuah nada halus sekaligus meminta, sebuah nada yang membuatku semakin tidak mengerti dengan perasaanku sendiri.

"Terserah!" seruku tidak peduli dan marah. Kuusap kembali pipiku dan menundukkan wajahku.

"Berhenti menangis dan kita pulang, Uchiha Sakura."

Dan aku dapat menangkap dengan jelas arti nada yang ia gunakan dalam kalimatnya. Refleks, kutatap pria itu dengan pandangan terkejut. Ya Tuhan… pria itu, pria itu menatapku dari ekor matanya dengan seringai khas dirinya.

Ya Tuhan, aku benar-benar ingin memeluknya dan menangis di bahunya sekarang. Aku ingin kembali seperti dulu, hari-hari bahagia kami. Hari-hari dimana kami masih menjadi sepasang kekasih.

"Kau gila." gumamku pelan sambil sesugukan. "Kalau begini caranya, mana bisa aku membencimu."

Dan pria itu hanya terkekeh pelan dan mengacak-acak puncak kepalaku dengan sepenuh hatinya. "Kau kebanyakan menangis."

Tuhan, aku mencintai pria ini.

.

.

Ingin sekali, jika aku bisa aku memiliki kesempatan untuk melakukannya, akan kulakukan sekarang juga. Aku ingin memutar waktu kembali, mengubah nasibku dan kemudian aku bahagia. Tapi masalahnya sekarang, aku tidak bisa dan tidak akan pernah bisa.

Kejadian seminggu lalu saat aku bertemu dengan pria itu benar-benar berputar seperti kaset rusak di otakku. Membuatku senang karena dapat melihat pria itu kembali, juga kecewa dan marah ketika kenyataan menghampiri akal sehatku. Membuatku rasanya ingin menangis dan terpuruk juga senang dan bahagia dalam satu waktu.

Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Selama seminggu ini pula, aku tidak fokus dalam mengerjakan apapun. Menyiram tanaman lalu tanamanku mati karena terlalu banyak air yang kuberikan sehingga membuat potnya berubah menjadi genangan air. Aku memanaskan air di atas kompor lalu kemudian airku tinggal setengah karena setengahnya lagi menguap entah kemana. Aku merasakan bahwa tubuhku sedang melayang, tidak berada di tempatnya. Pikiranku terus melayang-layang ke peristiwa seminggu yang lalu. Peristiwa yang sangat berarti bagiku.

"Bukankah sudah kubilang padamu, itu kesempatannya bukan? Kenapa kau sia-siakan!?"

Dan tiba-tiba saja aku melihat wajah Ino berada lima centi di depanku.

"YA TUHAN!" pekikku kaget dan aku dapat merasakan bahwa jantungku rasanya mencelos seketika. "Kenapa kau disini? Kenapa bisa?!"

Ino menghela nafas panjang. "Aku berniat untuk mengunjungimu. Kau tidak mengunci apartemen mungilmu ini dan untung saja aku yang masuk. Bayangkan kalau pencuri atau psikopat gila yang masuk. Lain kali, kau harus hati-hati, Sakura."

Ino berjalan menuju kulkasku, membukanya dan mengambil sekaleng soft drink yang selalu menjadi persediaanku di kulkas. Kemudian wanita itu dengan santai duduknya di sofa ruang tamu, menyalakan televisi dan membuka kaleng minuman.

Ino mengerutkan dahinya bingung kearahku. "Kenapa bengong menatapku? Masakanmu hampir saja—"

"Ya Tuhan!" seruku tersadar dan kemudian membalik badanku menatap kompor yang menyala dimana di atasnya terdapat wajan. Kutatap teriyaki yang baru saja kubuat hampir saja gosong jika saja Ino tidak memperingatkanku, dengan lekas kumatikan api kompor dan menghela nafas lega. Ya ampun, aku kembali kehilangan fokus.

"Sakura, kau tidak keberatan jika menunda acara makan malammu selama sepuluh menit?" tanya Ino dengan tatapan masih fokus kearah layar televisi.

Aku menatapnya bingung. "Ada apa?" aku melepaskan apronku dan menaruhnya di atas pantry, berjalan kearah ruang tamuku dan duduk di samping Ino.

Ino tidak langsung menjawab. "Ada yang ingin kuberikan."

Aku menatapnya dengan pandangan tidak mengerti. Sedetik kemudian, wanita itu tiba-tiba saja melempar sebuah kotak kecil kearahku dan dengan refleks kutangkap kotak kecil tersebut. Aku mengerutkan dahiku bingung saat mengetahui kotak apa tersebut. Sebuah kota yang dilapisi kain beludru hitam, kotak perhiasaan—lebih tepatnya kotak cincin.

"Ino, bukankah ini kotak perhiasaan?" tanyaku bodoh.

Ino mengangguk pelan. "Buka saja."

Dan detik selanjutnya, aku membuka kotak tersebut. Mataku hampir saja keluar dari tempatnya melihat isi kotak tersebut. Mulutku terbuka secar refleks dan langsung kututup dengan telapak tanganku.

Ya Tuhan, cincin ini indah sekali. Ada sebuah batu permata yang kurasa adalah pink diamond berbentuk oval yang terpatri di tengahnya dengan hiasan berlian putih di sekitar batu berwarna pink pucat tersebut. Cincinnya terbuat dari emas putih dan terdapat ukiran dengan tangan di sekeliling cincin tersebut, ukiran yang sangat indah. Tanpa sadar, tanganku bergetar melihat cincin indah ini. Tak pernah kulihat cincin seindah ini.

"I-Ino… ini…" aku menatap takjub kearah cincin di tanganku.

"Untukmu."

"H-ha…?"

"Untukmu." ulang Ino santai.

"Untukku…?" aku menatap dengan pandangan tidak percaya, heran, bingung dan sangat luar biasa tidak masuk akal. Mataku membulat sempurna sedangkan wanita di sampingku dengan santainya menegak soft drink-nya.

"Ya, untukmu, Haruno Sakura."

Aku terdiam selama beberapa detik. Ada yang aneh dengan nada bicara Ino dan aku dapat merasakannya dengan jelas.

Dengan cepat, aku langsung menutup kembali kotak cincin tersebut dan menyodorkannya kearah Ino.

"Aku tidak menginginkannya." jawabku sambil tersenyum kecil. "Cincin seindah ini mana cocok kalau aku yang pakai."

Ino menatapku dengan pandangan yang sulit diartikan. "Cincin itu memang dibuat khusus untukmu, Sakura."

Aku menatapnya heran. "Untukku? Apa Sai sudah gila hingga membeli cincin indah ini untukku? Kau pasti salah, cincin ini pasti untukmu." kataku dengan nada sangat yakin sekaligus menaruh cincin tersebut di atas meja pendek di depan sofa.

Ino mendengus geli dan kemudian terkekeh pelan. Aku menatap dengan pandangan bingung.

"Apa? Kau dan Sai tidak sedang bertengkar bukan?" tebakku khawatir dan menatap Ino dengan pandangan bertanya.

Wanita itu masih terkekeh pelan dan kemudian menaruh kaleng soft drink-nya di atas meja. Detik selanjutnya, wanita itu menatapku dalam, tatapan yang selama ini selalu kulihat dari dirinya yang sedang serius. Tatapan lembut namun tegas dalam satu pandangan.

"Aku dan Sai baik-baik saja." wanita itu tersenyum pasti. "Yang tidak baik-baik saja jutsru kau dan pria itu." katanya seraya mencubit pelan pipiku selama beberapa detik, membuatku meringis kesakitan dan Ino hanya tertawa kecil.

"Apa maksudmu membawa-bawa pria itu, huh?" tanyaku kesal. "Hentikan topik tentang pria itu. Aku sudah muak."

Dan detik selanjutnya, pandangan Ino berubah. Berubah menjadi datar dan kosong dalam dua detik dan kemudian ia berpaling menuju kotak berlapis kain beludru yang tadi kutaruh di atas meja. Sedetik kemudian, wanita itu kembali mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Kali ini masih sebuah kotak persegi panjang yang juga dilapisi kain beludru berwarna hitam.

"Oh, tidak Ino. Tidak dengan perhiasan mahal lainnya." aku menggerutu pelan. Ayolah, aku bukan perusak rumah tangga orang! Mana mungkin aku menerima perhiasan mahal yang dibelikan oleh suami orang?!

"Sungguh Sakura, aku akan sangat tersanjung apabila kau mau menerimanya." jawab wanita itu santai seraya membuka di hadapan kotak persegi panjang tersebut dan detik selanjutnya aku menatapnya dengan kebingungan. Sebuah kalung berantai halus yang terbuat dari emas putih.

Aku menatap Ino tidak yakin sekaligus tidak mengerti. Tapi wanita itu mengeluarkan kalung berantai halus tersebut dari kotaknya, membuka kaitan di kalung dan selanjutnya membuka kotak cincin yang sangat indah tersebut. Ino mengeluarkan cincin bertahtahkan pink diamond itu dengan sangat hati-hati, bahkan aku melihatnya dengan cukup jelas bahwa tangan Ino sedikit bergetar saat mengeluarkannya. Dan aku tidak kalah tegangnya, tanpa kusadari bahwa jantungku berdetak dengan kencang saat cincin mahal tersebut di keluarkan dari kotaknya. Rasanya seperti sedang melihat penobatan kerajaan secara langsung dan itu sangat menegangkan.

Selanjutnya, Ino memasukan salah satu ujung kalung tersebut ke dalam lubang cincin dan kemudian aku baru menyadari bahwa Ino menjadikan cincin yang sangat indah itu sebagai liontin sebuah kalung. Aku memandang kalung tersebut dengan pandangan luar biasa takjub. Ya Tuhan… ini sangat indah.

"Aku tahu kau tidak terlalu nyaman menggunakan cincin. Apalagi kau seorang dokter, terkadang mengenakan cincin semewah ini pasti sangat menyusahkan. Jadi aku membelikanmu sebuah kalung dengan bahan dasar yang sama dengan bahan cincinnya dan kemudian… taraa… kalung yang sangat indah bukan? Kau bisa memasukkannya ke dalam bajumu, jadi tak seorang pun tahu kau mengenakan sebuah kalung." Ino tersenyum sangat puas dengan hasil kerjanya dan menunjukkan kepadaku dengan keadaan kalung tersebut belum dikaitkan.

"Ino…" aku menatap Ino seraya menggeleng pelan. "Ini tidak pantas untukku. Sai membelikannya—"

"Bukan Sai yang membelikannya." jawab Ino cepat.

Aku menatapnya bingung dan terkejut. "Lalu…?"

Ino tidak langsung menjawab. "Hmm… aku hanya ingin kau menggunakannya."

"Tidak—"

"Ya, Haruno Sakura. Kau tahu sekali bahwa aku ini pemaksa dan aku tidak suka penolakan." Ino melotot tajam kearahku, membuat nyaliku mulai menciut.

Dan detik selanjutnya, Ino memasangkan kalung tersebut di leherku. Wanita itu tersenyum sangat lebar dan manis saat melihat diriku yang mengenakan kalung tersebut. Aku menatapnya ragu sekaligus tidak yakin. Sungguh, aku tidak pantas menerima barang semewah ini.

"Kau sangat cantik."

"Ino…" aku memanggilnya pelan. "Kau yakin?"

Ino mengangguk pasti. "Ya. Sejujurnya, aku lebih senang kau mengenakan cincin tersebut di jari manismu, tapi… mungkin sekarang bukan saatnya."

Aku menatap kalung di leherku dengan pandangan takjub. Ya Tuhan… ini sangat indah. Indah sekali.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Pengecut."

"Sudah kuduga kau mengikuti kami." pria itu menyeringai kecil.

"Tentu saja, bagaimana mungkin aku berani meninggalkan sahabatku yang polos itu denganmu? Kau pikir aku bodoh, ya?"

"sou ka." jawab pria itu enteng seraya berjalan menuju mobilnya yang terparkir di parkiran apartemen mungil di salah satu kota kecil di Suna.

"Kau bilang kau akan melamarnya!?"

Pria itu terdiam selama beberapa detik. "Awalnya. Tapi keadaan berkata sebaliknya."

"Kau benar-benar pria pengecut." wanita berambut pirang mendesis tajam dan berjalan mengikuti pria itu.

"Terima kasih atas pujiannya."

"KAU!" wanita itu menunjuk punggung pria itu marah. "Tahukah kau betapa susah payahnya diriku menarik gadis itu?! Kupikir kau akan membahagiakannya! Kupikir kau akan membuatnya tersenyum! Tapi nyatanya, kau membuatnya menangis! Keterlaluan! Kau pria pengecut! Kalau kau berani—ya, ya… HEI! Apa ini!?"

Tiba-tiba saja pria itu melempar sebuah kotak kecil berlapis kain beludru berwarna hitam di tengah luapaan emosi wanita berambut pirang itu. Membuat wanita itu refleks mengambil kotak tersebut seraya menatap bingung dan marah kearah pria yang masih berjalan santai menuju mobilnya.

"Untukmu." sahut pria itu santai seraya mengeluarkan kunci mobilnya dari dalam saku celananya.

"Huh?!" detik selanjutnya, wanita itu membuka kotak tersebut. Matanya hampir saja keluar dari tempatnya, tangannya bergetar kecil kemudian dan wanita itu menatap dengan pandangan tidak percaya kearah punggung pria itu yang semakin menjauh. Dengan gerakan kilat, wanita itu menutup kotak beludru tersebut dan berjalan dengan langkah lebar menuju pria itu, mencegat pria itu dan menatapnya dengan pandangan tajam.

"Apa maksudmu dengan cincin ini!?" tanya wanita itu seraya menyodorkan kotak tersebut di depan wajah si pria.

"Bukan apa-apa—"

"Bukan apa-apa katamu!? Kau pikir aku tidak tahu batu permata apa yang terpatri di cincin ini?!" Ino menatapnya marah sekaligus heran. "Pink diamond, harganya bisa mencapai lebih dari 40 juta US Dollar di pasar lelang! Kau tidak mungkin menghabiskan uang sebanyak itu hanya untuk benda yang bukan apa-apa, bukan?!

"Dan berlian di sekelilingnya, aku tahu dengan sangat pasti bahwa itu berlian dengan kualitas paling baik. Ditambah dengan cincin yang terbuat dari emas putih kualitas paling baik yang diukir dari tangan ini dan kupastikan bahwa keseluruhan cincin ini adalah handmade dan kau memesannya khusus hanya untuk dirimu karena aku tidak pernah melihat cincin seperti di ini di pameran maupun di pasar lelang. Ditambah dengan kenyataan bahwa kau adalah Uchiha dan aku bisa menjamin bahwa kau pasti tidak akan pernah memilih sembarang orang untuk membuat perhiasan ini.

"Aku bisa menjaman bahwa kau menghabiskan lebih dari 75 juta US Dollar, tidak bahkan mungkin 100 juta US Dollar atau bahkan lebih hanya untuk semua ini. Jadi katakan padaku, apa maksudmu!?"

Pria itu terdiam selama beberapa detik, terkekeh pelan. "Sejak kapan kau menjadi sangat mengetahui masalah seperti ini, Ino?" tanya pria itu setengah geli setengah terkejut.

"Jangan kau pikir bahwa selama ini aku hanya menghabiskan uang suamiku tanpa tahu benda apa yang kubeli." jawab wanita itu setengah memamerkan harga dirinya dan tersenyum puas.

Pria itu menyeringai puas. "Baiklah, baiklah. Kau sama keras kepalanya seperti gadis itu. Meski gadis itu lebih keras kepala daripada dirimu."

Ino menatap pria itu heran dan kemudian menurunkan tangannya dari depan wajah pria itu.

"Berikan itu kepada Sakura." nada memerintah keluar dari mulut pria itu.

Ino menatap pria itu heran. "Untuk apa?"

"Sejujurnya, saat di pameran perhiasan di London tiga bulan yang lalu, aku memesan dan membeli cincin tersebut. Saat itu, aku tidak tahu kalau orang tuaku sudah menjodohkanku dengan wanita lain. Dan kemudian, aku mengetahui kenyataan bahwa aku akan menikah dalam waktu kurang dari empat bulan—itu artinya, aku akan menikah bulan depan. Aku sudah menolak keras tapi kurasa kau lebih dari tahu bagaimana keluarga bangsawan itu." mata pria itu menatap sendu, kepalanya mendongkak keatas dan menatap salah satu apartemen yang berada di bangunan aprtemen tersebut.

"Jadi… maksudmu…"

"Ya, kurasa kau bisa mengambil kesimpulannya." pria itu menghela nafas panjang dan kemudian menatap lurus kearah wanita berambut pirang tersebut. "Uchiha Sakura, bukankah itu sangat terdengar pas?"

Wanita itu tertawa hambar dan menatap dengan pandangan tidak percaya kearah pria itu. "Lalu, bagimana rencanamu? Bagaimana dengan gadis itu?"

"Aku tidak tahu."

"APA!?"

"Sudah kubilang aku tidak tahu." ulang pria itu santai. "Kita lihat saja bagaimana keadaan selanjutnya."

Ino menatap pria itu dengan pandangan tidak percaya. "Benar apa kata Sakura, kau butuh rumah sakit jiwa."

"Wah, wah… sepertinya kau juga menguping pembicaraan kami, ya?" pria itu berkata dengan nada tenang, berjalan melewati Ino dan mematikan alarm mobilnya. "Sampai jumpa kalau begitu." pria itu menatap kearah Ino selama beberapa detik dan kemudian membuka pintu mobil sport hitamnya, masuk ke dalam dan menyalakan gas. Baru saja pria itu akan melajukan mobilnya, tiba-tiba saja Ino sudah berada di sampingnya, menggedor-gedor kaca mobilnya dengan pandangan marah sekaligus kesal. Pria itu menurunkan kaca jendela mobilnya dan menatap Ino dengan pandangan datar.

"Katakan padaku, bagaimana nasib sahabatku itu selanjutnya!?" Ino berteriak marah seraya berkacak pinggang.

Pria itu menghela nafas panjang, tidak langsung menjawab. Menatap lurus-lurus ke depan seraya menyenderkan punggungnya yang tegang di jok mobil, menggenggam erat-erat stir mobil. Detik selanjutnya, pria itu kembali menatap kearah Ino.

"Kau percaya takdir?" pria itu bertanya dengan nada mengambang.

"HA!? Kau… kau jangan—" baru saja wanita itu akan kembali menyembur pria itu sebelum akhirnya kalimatnya di potong oleh pria itu.

"Aku percaya pada takdir. Jadi, kita kembalikan urusan ini kepada takdir." dan detik selanjutnya, pria itu menjalankan mobilnya meninggalkan Ino yang berdiri mematung dan sedetik kemudian langsung berteriak kesal dan marah.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Omake

"Haruno Sakura, kau percaya takdir?"

Sakura menatap kearah Ino dengan dahi mengkerut. "Kau kenapa?"

"Kau percaya takdir atau tidak?!"

Sakura terdiam selama beberapa detik. "Ya."

Ino tersenyum simpul. "Kau benar. Kau harus percaya pada takdir."

Sakura semakin menatap Ino dengan pandangan bingung. "Kau kenapa? Tumben sekali kau bertanya hal mendalam seperti ini padaku."

"Hmm… bagaimana ya?"

Sakura semakin mengkerutkan dahinya. "Bagaimana apanya?"

Detik selanjutnya, Ino tersenyum lebar, menampakkan gigi-gigi putihnya dan kemudian menunjuk kearah kalung yang tergantung di leher Sakura. "Suatu hari nanti, Pangeran akan datang. Seperti Cinderella yang ditemukan Pangerannya hanya karena sepatu kaca."

"Ino, kau butuh rumah sakit jiwa."

Dan Ino tertawa keras.

The End

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Holla Minna-san!

Ini hanyalah cerita one-shoot iseng-iseng saat ada ide ini~! ^^

Wkwkwkwk… sejujurnya, ini cerita menurut saya rada aneh sih. Wkwkwk... saya nggak tahu bagaimana cara mengungkapkan perasaan saya soal cerita ini. Tapi nggak tahu kenapa, saya suka banget adegan waktu Sakura ketemu Sasuke, hehehe…

BTW, perasaan saya nano-nano banget waktu tahu kalau Sakura Hidden isinya—kayaknya—bakal tentang SasuSaku! KYAAAA… waktu tahu, perasaan saya benar-benar luar biasa mengangkasa. Nggak sabar nunggu novelnya rilis! (w)/ lihat prolognya aja rasanya pengen lompat-lompat di atas trampoline sambil teriak-teriak nggak jelas! Wkwkwk… ^^

Mohon maaf kalau ada kekurangan dan kesalahan, juga jika terdapat typo. ^^

Well, akhir kalimat, semoga readers senang dengan bacaan ini.

Review ditunggu selalu! Arigatou gozaimasu~~!