Aku berdiri sendirian di bawah pohon Sakura. Tangan kananku membawa catatan kecil. Tentu saja catatan itu aku baca, aku bukan tipe orang yang suka buang waktu. Tangan kiriku memegangi tas yang tergantung pada bahu kiriku. Seperti itu kira-kira posisiku sekarang. Seragamku masih baru, menandakan diriku ini adalah siswa baru. Bukan baru dalam artian siswa transfer, tapi memang aku baru masuk SMA. Ini hari pertama aku sekolah sebagai murid tahun pertama, di SMA Syoyo.

Saat-saat yang sangat kunantikan. Aku sudah menyiapkan naskah pidato semalam. Aku sudah berlatih berpidato di depan cermin. Aku berlatih pidato untuk memberikan sambutan sebagai peserta baru terbaik seangkatanku. Dan saat sang MC memanggil nama peserta didik terbaik itu, aku hanya bisa menutup telingaku dengan muka depresi. Tidak, dari dulu aku selalu menjadi yang terbaik dari yang terbaik. Aku tak percaya ada yang bisa menyaingiku. Tolong hentikan, kenapa sang MC memanggil-manggil nama itu sedari tadi? Ataukah nama itu selalu terngiang-ngiang di kepalaku karena menabur benih benci dalam diriku?

Badanku panas. Aku merasa sangat loyo. Badan kurusku sudah ambruk di pinggir jalan yang lumayan sepi. Kurasakan kakiku panas sekali. Apakah aku akan sakit disaat-saat yang seperti ini? Sungguh buang-buang waktu. Aku takkan membiarkan diriku bermalas-malasan. Meskipun badanku sakit, otakku tetap harus bekerja. Tiap hari aku belajar, karena harapanku adalah menjadi wanita hebat yang bisa menghasilkan 1M yen perbulan. Aku mencoba bangkit, tapi pupus karena demam ini membuatku merasakan pusing yang sangat.

"Are?" ucap seorang cowok

Ada seorang cowok yang mendekatiku. Rupanya ia sudah mengamatiku sedari tadi. Tanpa berkata-kata ia menggendongku. Tenagaku sudah habis melawan demam ini. Kepalaku sudah terasa pusing sekali. Tapi, ini jalan menuju rumahku. Bagaimana cowok ini bisa tahu tempat tinggalku? Ataukah, cowok ini akan menculikku dan berbuat yang tidak-tidak padaku tapi ia kebetulan saja lewat sini?

"Pak Mizutani, ini putri anda hampir pingsan di jalan" ucap cowok itu

"Terimakasih Haru, kau sudah mengantarkan putriku pulang" ucap ayahku

Sebenarnya siapa cowok itu? Aku terlalu cuek hingga tak pernah menyadari keadaan sekitar. Yang aku pedulikan hanya belajar, belajar, dan yang aku lakukan sekarang, aku sedang berlatih mengerjakan soal-soal kalkulus dll. Disaat seperti ini, seorang guru muda datang menghampiriku. Membuat moodku jelek saja karena mengganggu aku yang sedang belajar.

"Temui aku sepulang sekolah di kantor ya" ucap guru itu padaku

Berisik, ruang kelas ini sangat berisik meskipun masih ada seorang guru. "diam" ucapku hingga membuat semuanya terdiam. Aku melanjutkan lagi acara belajarku yang sempat tertunda. Kudengar bisik-bisik mereka yang mengatai aku 'Dry Ice'. Tak ku pedulikan, bukan urusanku. Urusanku disini hanyalah belajar. Aku mengambil isi pensil di tasku, yang kugeletakkan di kursi sebelah tempat dudukku. Satu bulan ini aku selalu duduk sendirian, karena murid yang duduk di sebelahku ini belum pernah masuk sejak kejadian di hari pertama itu. Isu ini sudah tersebar luas di Syoyo, bahkan sekolah tetangga. 'Phantom of first year' itu adalah julukan untuk murid yang seharusnya duduk di sebelahku.

Aku berjalan menyusuri lorong, kebanyakan dari mereka yang berpapasan dengan ku sedang membicarakan 'Phantom of first year' itu. Bukan urusanku, urusanku sekarang adalah pergi ke ruang guru menemui guru muda itu. Aku sempat terkekeh mendengar permohonan guru itu.

"Aku mohon padamu Shizuku" ucap guru muda

"Tidak mau, itu bukan urusanku" balasku

Bagaimanapun juga, akhirnya aku jadi mau karena guru itu menyogokku. Ia bilang kalau aku mau mengantarkan surat ini pada 'Phantom of first year', aku akan mendapatkan buku kalkulus. Argh... capek sekali. Aku merebahkan tubuhku pada tempat tidurku. Tapi, ini buang-buang waktu. Aku melanjutkan belajar di meja belajarku.

"Shizuku, makan dulu" ucap ayahku

"Nanti" jawabku seperlunya

"Shizuku, bila kuperhatikan kau terus menerus belajar. Padahal, gadis seusiamu itu biasanya suka baca manga atau ngerumpi sama teman-temannya" ucap ayahku mengganggu belajarku

"Buang-buang waktu" jawabku seadanya

"Hey, biasanya juga gadis seusiamu sedang merasakan kasmaran"

"Bukan urusanmu"

"Shizuku, apakah ini musim dingin? Kenapa ruanganmu di penuhi salju?"

"Sudahlah jangan ngelantur. Aku akan makan saja daripada diganggu terus" ucapku sambil marah-marah

Apa yang ayahku bilang? Gadis seusiaku suka baca manga? Itu buang-buang waktu. Gadis seusiaku suka ngerumpi? Itu buang-buang waktu. Lagipula, aku tak punya teman. Aku tak suka mengurusi hal yang bukan urusanku. Aku sangat merasa nyaman bila bisa berada sendirian tanpa gangguan orang lain. Banyak orang yang bilang aku aneh, gak penting itu bukan urusanku. Mereka menjulukiku 'Dry Ice'.

Aku mendapat julukan itu sejak usia enam tahun. Waktu itu aku masih sekolah di taman kanak-kanak. Mereka semua aneh karena menangisi hewan peliharaan yang mati. Memangnya kelinci mati itu bisa membuat kita menjadi juara? Mereka menjulukiku 'Dry Ice' karena aku tak menangisi kelinci mati itu. Memang apa pentingnya kelinci itu untukku? Itu bukan urusanku.

"Sensei, aku mau pulang dulu" ucapku waktu itu

"Kenapa? Kelinci peliharaan kita mati" ucap sang guru

"Aku tak bisa belajar bila orang-orang di sekitarku terus menangis. Aku mau belajar di rumah"

Kira-kira seperti itu percakapan antara aku dan guru tua itu. Semuanya berhenti menangis dan menatapku dalam diam. Memang apa salahnya kalau aku tak mau mengurusi urusan orang lain? Aku tak suka mengurusi urusan orang lain, kecuali yang satu ini. Aku mau mengantarkan surat ini karena sogokan dari guru muda itu. Aku mau melakukannya karena itu ada sangkut pautnya dengan urusanku.

Apa? Ternyata rumah 'Phantom of first year' itu bersebelahan denganku? Kubaca lagi nama yang tertera pada surat itu, disana tertulis 'Yoshida Haru' dan kubaca tulisan di gerbang rumah tetanggaku, disana tertulis 'Kediaman Yoshida'. Dengan tangan bergetar aku memencet tombol bel itu. Keluarlah seorang cowok yang mukanya familiar. Cowok itu sangat mirip dengan cowok yang menggendongku waktu itu. Mungkin cowok ini kakak dari cowok yang kemarin menggendongku.

"Mizutani?" panggilnya

"Maaf, saya mau mengantarkan surat ini untuk Yoshida Haru" jawabku

"Oh, adikku?"

Aku memberikan surat itu dan meninggalkan kakak itu. Tapi, kakak itu menawariku mampir. Ini pertama kali aku ditawari untuk mampir ke rumah orang. Aku bingung bagaimana aku harus menolak. Akhirnya aku duduk di ruang tamu keluarga Yoshida. Aku tak suka akan hal ini, buang-buang waktu. Aku mengambil ringkasan Biologiku. Aku membaca ringkasan itu sembari menunggu sang empunya rumah.

"Are?" ucap cowok yang membawa minuman kearahku itu

"Kau, yang menggendongku kemarin?" tanyaku

Prang... cowok itu membuang baki berisi gelas itu begitu saja. Memangnya apa yang salah padaku? Dia langsung berjalan menuju jendela, apa? Kulihat sepertinya dia mau melompat dari jendela. Tubuhnya tertahan oleh jendela yang bertralis itu. Bodoh, apakah kau sebodoh itu? Cowok yang menggendongku waktu itu akhirnya duduk di sebelahku dengan kepala penuh lebam akibat jitakan kakaknya Haru.

"Maaf Mizutani, adikku memang aneh" ucap kakak itu

"Apakah dia adikmu?" tanyaku

Mereka berdua sama-sama kaget mendengar pertanyaanku. Memang apa salahnya bertanya? Kenapa semua orang menganggapku aneh? Wajarkan bila aku bertanya karena tak tahu.

"Kita ini tetangga, apakah kau tak mengenalku?" ucap cowok yang menggendongku waktu itu

"Mizutani, dia ini adikku" ucap kakaknya Haru

He? Tidak mungkin. Jadi 'Phantom of first year' itu adalah tetanggaku? Apa? Jadi sang setan tahun pertama itu yang menggendongku kemarin? Ha? Aku panik setengah mati, aku takut berada dekat-dekat dengan cowok ini.

"Yoshida, aku pamit dulu" ucapku

"Panggil saja aku Haru" ucapnya sambil cengar-cengir

Oh iya, dan satu hal lagi yang baru aku ingat. Waktu itu ayahku memanggil cowok yang menggendongku dengan nama panggilan Haru. Arghh... aku ingin menjerit. Sejak kapan aku jadi selemot ini? Aku harus belajar dengan rajin. Aku harus mengasah IQ-ku. Aku tak boleh lengah sedikitpun. Aku harus menjadi nomer satu diantara nomer satu.

Malam ini juga, aku akan mengasah IQ-ku. Berdasarkan test terakhir kali, aku tahu bahwa IQ –ku sudah mencapai angka 131. Itu angka yang lumayan untukku. Sebenarnya aku geram sendiri karena IQ-ku tak naik-naik. Memang harus bagaimana lagi sih? Aku sudah berlatih mengerjakan soal pengetes IQ berkali-kali. Aku sudah belajar kesana kemari. Takkan kubiarkan otakku menganggur sebentarpun. Bahkan ketika aku berada di wc. Aku menempeli dinding wc ku dengan kertas-kertas yang kulaminating. Jadi, aku bisa belajar juga saat mandi. Dinding kamarku, jangan ditanya. Kalian takkan melihat celah lagi pada dinding kamarku. Semua bagian yang terlihat olehku, pasti aku tempeli dengan ringkasan-ringkasan pelajaran. Tapi, kenapa IQ-ku hanya segitu saja? Aku tambah geram saat tak berhasil menemukan buku penguji IQ baruku itu. Dimana?

Saatnya aku pikir lagi. Aku harus bisa mengasah otakku. Siang ini, setelah aku pulang sekolah. Aku berjalan kaki melewati jalan. Ingat Shizuku! Kau lewat jalan yang seperti apa? Argh... aku selalu membaca ketika berjalan. Tapi, setidaknya pandangan periperhalku masih menangkap warna pink. Eto... eto kira-kira... apa ya? Oh iya benar juga. Aku pulang lewat jalan yang kanan kirinya terdapat pohon Sakura. Tadi saat aku pulang lewat sana, bunganya sedang berguguran. Terbukti dari kelopak bunganya yang terselip di buku yang aku baca saat jalan. Oh iya, benar juga. Ada toko buku di dekat sana. Toko itu berwarna biru, pokoknya dominan biru. Saat aku masuk kedalam, selalu pelayan toko itu yang menyapaku. Rupanya pelayan toko itu masih muda dan cantik. Tapi, bukan pelayan toko itu yang ingin aku ceritakan.

Setelah kubeli buku itu, aku membacanya seraya mencari alamat Yoshida Haru. Karena gemetaran, oh iya aku ingat sekarang. Awalnya aku akan memasukkan surat itu ke kotak pos saja, tapi aku terkagetkan oleh kakaknya Haru dan yang aku masukkan adalah buku psikotesku. Yes, aku berhasil mengingat kejadiannya. Mungkin IQ-ku sekarang sudah meningkat. Yatta... 'Kresek' suara apa itu? Ternyata ayah dan adikku sama-sama sedang mengintipku. Gawat, sejak kapan aku jadi ekspresif seperti ini. Meskipun hanya gerakan mengepalkan tangan, itu bukan aku banget.

"Apa yang kalian lihat?" ucapku dengan aura yang bisa membekukan air dalam gelas yang dipegang ayahku

"Mengerikan" ucap adikku

"Kalau adikmu sudah berkata-kata, berarti..." ucap ayahku

"Urusi urusan kalian saja" ucapku sambil meninggalkan mereka

"Hey Shizuku, apakah perbendaharaan katamu hanya itu-itu saja? Yang aku dengar dari kamu hanyalah urus,urusan, dan urusi. Apakah kehidupan remaja itu penuh dengan urus-urus?" ucap adikku

Sejak kapan adikku jadi secerewet itu? Biarkan saja anjing menggonggong. Bukan urusanku. Argh aku menjadi sering menggunakan kata-kata itu. Meski hanya monolog dalam pikiranku saja. Tapi, benar juga kata adikku. Argh, gak penting. Yang penting sekarang adalah bagaimana caraku mengambil buku psikotesku? Haruskah aku memanjat pagar di depanku ini? Baiklah, aku akan memanjat pagar ini. Argh, terasa capek sekali. Butuh setengah jam untuk memanjat dinding itu. Salahku sendiri sih karena tak pernah melatih ototku. Aku sudah berada diatas, sekarang bagaimana caranya aku turun? Hah aku depresi karena tak bisa turun. Seperti ada yang menahanku. Argh... apa yang harus aku lakukan?

"Mizutani, rok mu tersangkut" ucap Haru

"Oh, arigatou" ucapku sambil menarik rokku

Nani? Argh? Mukaku merah, sejak kapan Haru ada di depanku? Hah? Aku sempat ngelamun sebentar dan brush rokku sobek sedikit. Salah siapa menggunakan rok disaat memanjat dinding. Tapi, jangan permasalahkan itu. Permasalahkan posisiku sekarang saja. Aku terjatuh diatas tubuh Haru. Aku langsung bangkit darinya. Aku takut sekali. Aku takut kalau Haru akan memarahiku.

"Mizutani, kau suka warna biru?" tanyanya

Are? Itu warna pantsu-ku. Pasti Haru sudah melihatnya. Aku takkan bisa jadi pengantin. Aku depresi saat itu juga.

"Hey, buku biru ini milikmu kan?" ucap Haru

"berikan padaku" ucapku sambil mencoba merebut buku itu darinya

"Tak secepat itu" ucapnya

"Kau pamrih?"

"Hey, aku menemukan buku ini di kotak posku. Jadi, ini milikku"

"Berikan padaku"

"Aku akan memberikannya padamu. Dengan satu syarat"

"Apa?"

"Antar aku ke Mall akhir pekan" ucapnya dengan senyum merekah

Nani? Apa yang harus aku lakukan? Aku menabung sekian lamanya hanya untuk membeli buku mahal itu. Aku mengangguk kepala saja. Tiba-tiba Haru mendekatkan mukanya kearahku. Kini hanya berjarak beberapa centimeter saja. Dengan cepat aku menjauhkan diriku dari lelaki berbahaya itu.

"Mizutani, sepertinya aku memang menyukai mu" ucapnya

"Hah?"

"Iya, berdasarkan buku yang kau beli"

"Buku yang ku beli?" tanyaku sambil mengechek buku yang berada di tangan Haru

Memang tertulis tulisan Psikotest disampulnya, tapi tulisan kecil di bawah tulisan Psikotest itu K O I, 'KOI'! Koi yang berarti cinta. Aku semakin depresi karena telah menghabiskan uang tabunganku untuk membeli buku seperti itu. Rupanya aku salah ambil buku.

"Buku itu untukmu saja" ucapku pada Haru

"Arigatou, Shizuku. Saat akhir pekan nanti, pakailah baju warna pink ya." Ucap Haru

"Hey, aku sudah tak menginginkan buku itu lagi" bantahku

"Tapi kau telah berjanji padaku"ucap Haru

"Haru, kemari kau" ucap kakaknya

"Dah, Mizutani. Aku jemput kau jam 4" ucap Haru sambil melompati pagar rumahnya

Kakak Haru mengejar adiknya yang kabur itu. Are? Apa yang terjadi padaku? Aku yang telah melompati pagar rumah orang ini ditinggalkan begitu saja. Dan kata-kata Haru tentang perasaannya padaku terus saja membuat jantungku dag dig dug tak karuan. Ini pertama kalinya aku merasakan Doki Doki pada lawan jenis. Argh aku tak peduli. Itu tak penting. Aku pulang saja.