Summary: Sequel dari BitterSweet Marriage
Hinata masih mencintai gurunya semasa SMA. Kali ini ia berniat untuk mengakhiri semuanya dan mengawali hidupnya yang baru di tempat yang baru. Ia akan memulai cinta yang baru... Tapi dengan siapa?
WARNING: AU, OOC, PLOT TWIST, SEXUAL IMPLICATION, SUGESTIVE THEME
DISCLAIMER: STANDARD APPPLIED.
.
"In my dream, you are mine.
But in my life, you are a dream."
.
Chapter 1
.
.
"Ayah dan ibu sudah memutuskan..."
Diam sejenak. Sepasang suami istri yang sudah menikah selama lebih dari lima belas tahun itu saling bertukar pandang. Anak perempuan mereka yang duduk di hadapan mereka hanya menunduk. Dalam hati ia sudah tahu apa yang akan mereka katakan dan ia sudah menyiapkan diri sejak lama. Ia sudah tahu bahwa hari seperti ini akan tiba juga. Ia tahu bahwa ini adalah hal yang tidak bisa dihindari, dan sebenarnya ia menyadari bahwa ini adalah hal yang terbaik untuk kedua orangtuanya. Untuknya.
Ia menunggu beberapa saat sampai kedua orangtuanya itu menemukan kata-kata yang tepat untuk melanjutkan kata-katanya. Mereka mencoba mencari kata-kata yang tepat, yang tidak akan terlalu menyakitkan untuk putri tunggal mereka itu. Rupanya mereka tidak paham bahwa bagaimana pun cara mereka menyampaikannya, dengan kata-kata yang seperti apa pun, itu tidak akan merubah kenyataan bahwa mereka telah melukai perasaan putri mereka itu. Tidak hanya dengan mengambil keputusan ini, jauh sebelum itu mereka telah menyakiti perasaan putri mereka dengan segala pertengkaran dan perselingkuhan yang mereka lakukan.
Hinata menunggu dengan sabar meski pun ia tidak mengerti apa yang membuat pasangan yang tampaknya sudah tidak saling mencintai itu kesulitan untuk menyampaikan kabar itu.
Ia sudah siap. Sebenarnya ia telah menyiapkan dirinya sejak lama. Ini hanya soal waktu...
"Kami akan bercerai."
Akhirnya. Hinata merasa tenggorokannya tercekat seketika. Meski pun ia telah menyiapkan diri namun tetap saja mendengarkannya secara langsung terasa berbeda. Ada perasaan aneh yang memenuhi perutnya. Seperti seseorang telah mengambil seluruh organ dalam tubuhnya dan menggantinya dengan batu besar yang dingin.
Hinata tahu ia harus mengatakan sesuatu tapi ia tidak bisa menemukan suaranya. Ia membuka mulutnya namun tidak ada suara yang keluar.
"Hinata? Sayang?"
Hinata menghela napas perlahan. Mencoba untuk menenangkan dirinya.
Ini adalah hal yang terbaik untuknya. Untuk kedua orang tuanya.
"Nak?"
Hinata memaksakan sebuah senyuman, seperti yang selama ini selalu ia lakukan. Ia sudah terbiasa. Ya, hal seperti ini bukanlah sesuatu yang baru untuknya. Ia hanya perlu tersenyum dan semua akan berlalu begitu saja. Ia hanya perlu memalsukan sebuah senyuman dan menyembunyikan perasaannya. Kedua orangtuanya tidak akan pernah tahu. Mereka tidak akan pernah sadar.
"Aku mengerti," katanya sambil mencoba untuk menyembunyikan rasa sakit hatinya, "aku hanya ingin yang terbaik untuk kalian."
"Kau tampak kacau, Sasuke."
Sasuke Uchiha, pengacara muda yang selama ini dikenal dengan wajah tampan dan kecerdasannya itu menoleh ke arah rekan sekantornya yang entah sejak kapan berdiri di belakangnya. Pengacara muda berambut hitam pendek yang baru saja menegurnya itu tersenyum ramah padanya. Sasuke menghela napas dan membalas senyuman Sai Anbu sebelum kembali menoleh ke arah dokumen yang tengah dibacanya. Dahinya berkerut dan ia nampak serius membaca tulisan di hadapannya itu tapi Sai telah mengenal Sasuke cukup lama, ia tahu bahwa saat ini pikiran temannya itu tengah dipenuhi dengan hal lain.
"Masih soal mantan pacarmu itu?"
Sai duduk di tepian meja Sasuke, menunggu jawaban dari pengacara muda itu. Sebagai dua pengacara muda yang cukup berprestasi di firma tersebut, keduanya cukup dekat. Terlebih lagi keduanya merupakan lulusan dari universitas yang sama, sebuah universitas swasta terkenal di Tokyo, keduanya sama-sama pintar dan tampan sehingga meskipun mereka bukanlah sahabat dekat, setiap kali mereka bersama orang-orang akan memandang mereka dengan kagum.
Sebenarnya Sasuke bukanlah tipe yang selalu terbuka tentang kehidupan pribadinya. Ia lebih suka menyembunyikan tentang apa yang ada di dalam pikirannya, atau apa yang ia rasakan. Sai bisa mengetahui masalahnya dengan Sakura Haruno karena suatu malam saat mereka minum bersama, Sasuke yang biasanya sanggup mengendalikan diri dari pengaruh alkohol kali itu lepas kendali dan menceritakan semuanya pada temannya itu. Sejak saat itu, entah bagaimana, Sai menjadi satu-satunya orang yang Sasuke percaya untuk mendengarkan ceritanya tentang mantan kekasihnya yang sekarang telah menikah dan memiliki anak.
Sai tahu hanya dari mendengar cerita Sasuke, bahwa sahabatnya itu sangat mencintai mantan kekasihnya itu dan ia benar-benar menyesal karena harus berpisah dengannya nyaris dua tahun yang lalu. Sai tidak bisa banyak berkomentar karena masalah ini menyangkut rumah tangga orang lain, namun ia juga tidak bisa membiarkan rekannya itu terus seperti ini. Sasuke mungkin bisa menyembunyikannya dari orang lain dengan wajah tanpa ekspresinya itu, namun Sai terlalu cerdas untuk bisa dibohongi dengan cara seperti itu. Ia tahu bahwa Sasuke tidak dapat berkonsentrasi belakangan ini. Meskipun tidak ada masalah sejauh ini dengan kasus yang ditanganinya, Sai juga tahu bahwa Sasuke tidak seratus persen saat menangani kasus-kasus yang diserahkan padanya.
"Bagaimana kalau kita keluar minum malam ini?" kata Sai pada Sasuke yang tampaknya menolak untuk menjawab pertanyaannya itu, Sai tersenyum saat Sasuke mendongakan wajah menatapnya, "kalau kamu tidak bisa bercerita tentang masalahmu dan mantan pacarmu itu, mungkin kita bisa membahas masalah lain," ia mengetukan jarinya di atas sebuah map yang tergeletak di atas meja Sasuke, "seperti kasus perceraian yang sedang kau tangani saat ini."
Sasuke tahu bahwa begitu ia menyentuh alkohol, ia akan membuka mulut tentang masalah pribadinya tapi entah mengapa ia tidak keberatan. Setelah menghela napas panjang ia pun menyetujui tawaran temannya itu.
Dear Sensei, aku...
Hinata menghentikan gerakan tangannya yang tengah menulis secarik surat. Ia meremas kertas yang ada di hadapannya itu dan mencampakannya ke lantai begitu saja bersama tumpukan kertas lainnya. Ia tidak bisa melanjutkan kata-kata itu. Ia telah memutuskan untuk mengakhiri semuanya. Ia tidak bisa kembali merepotkan gurunya itu. Ia harus bisa mengatasi semuanya sendiri. Kali ini, ia benar-benar sendirian...
Beberapa saat yang lalu ia telah memutuskan untuk berpamitan dengan gurunya itu. Ia akan pergi meninggalkan kota itu. Ia tidak akan pernah bertemu dengan Uzumaki-sensei yang dicintainya lagi. Ia tidak akan pernah kembali ke kota ini lagi. Semuanya akan dimulai lagi dari awal dan ia harus bisa meninggalkan semuanya di kota ini, tidak perlu lagi melihat ke belakang. Hinata telah memutuskan bahwa ia akan berjuang sendirian, bahwa ia tidak akan menjadi seperti dirinya yang dulu. Ia akan menjadi kuat. Selama ini ia telah banyak merepotkan orang-orang di sekitarnya. Ia telah banyak menyusahkan Uzumaki-sensei yang disukainya. Sekarang adalah saat yang tepat baginya untuk memulai semuanya dari awal.
Gadis itu menghela napas panjang dan melihat jam digital yang ada di atas meja belajarnya. Saat ini sudah lewat jam sembilan malam dan kedua orang tuanya tidak ada di rumah. Sejak mereka memutuskan untuk bercerai, ayahnya telah meninggalkan rumah untuk tinggal bersama kekasihnya, dan ibunya... Hinata tidak tahu apa yang ibunya lakukan diluar sana tapi dalam waktu dekat mereka akan pindah meninggalkan kota ini ke kampung halaman ibunya.
Hinata tidak akan mengeluh. Bercerai atau tidak, semuanya tidak banyak berbeda. Kedua orangtuanya masih tidak peduli padanya. Ia masih sendirian. Ia masih harus makan malam sendirian di rumah yang kosong. Ia tidak perlu merasa sedih karena orang tuanya berpisah, semuanya tidak ada yang berubah. Ia masih merasa kesepian.
Ia merasa perutnya bergolak pertanda lapar. Hinata beranjak dari kursinya dan mengambil jaketnya. Ia benci makan sendirian di dapur, meskipun ibunya telah meninggalkan makanan untuk dihangatkan. Setelah mengambil dompet dan telepon selularnya, Hinata meninggalkan rumahnya untuk mencari makan malam.
Hinata tersenyum menatap nasi kari di hadapannya. Beberapa bulan yang lalu, ia juga memesan pesanan yang sama, di restoran yang sama, di meja yang sama, hanya saja saat itu kursi di hadapannya tidaklah kosong seperti saat ini. Saat itu, di hadapannya duduk pria yang dicintainya, Uzumaki-sensei.
Ia masih bisa mengingat dengan jelas bagaimana dadanya terasa hangat hanya dengan keberadaan gurunya itu di hadapannya, menemaninya menghabiskan makan malamnya, meskipun mereka tidak bicara apa-apa. Ia masih mengingat bagaimana gurunya itu menatapnya dengan lembut... Meskipun ia tahu, tatapan itu bukanlah tatapan seorang pria yang jatuh cinta.
Sejak awal Hinata tidak pernah berharap bahwa hubungannya dengan gurunya itu akan berjalan lebih jauh. Ia tahu bahwa gurunya itu telah menikah dan saat itu Uzumaki-sensei juga akan segera menjadi seorang ayah. Hinata tahu dari cara Uzumaki-sensei bercerita tentang keluarga kecilnya, dari kilatan di matanya, ia tidak memiliki celah sedikitpun di hatinya untuk Hinata. Hinata tahu bahwa mustahil baginya untuk membuat Uzumaki-sensei jatuh cinta padanya. Tapi bagaimana pun, ia tetap meminta Uzumaki-sensei untuk datang menemuinya, meskipun ia tahu Uzumaki-sensei harus berbohong pada istrinya untuk menemuinya, tapi ia tidak peduli. Ia hanya ingin makan ditemani dengan orang yang dicintainya.
Meskipun ia selalu menemani Hinata makan malam, Uzumaki-sensei tidak pernah memesan makanan. Ia hanya akan duduk sambil menghabiskan secangkir minuman yang dipesannya. Uzumaki-sensei selalu makan malam di rumah, ia hanya memakan makan malam yang disiapkan istrinya untuknya. Hal seperti itu, meskipun membuatnya cemburu namun juga membuatnya semakin mengagumi gurunya itu. Ia bisa merasakan seberapa besar cinta gurunya itu terhadap istrinya.
Ia pun ingin dicintai seperti itu...
Hinata menghabiskan makan malamnya hanya dalam waktu lima belas menit. Ia mencoba untuk duduk berlama-lama di restoran itu namun setelah beberapa menit ia memutuskan untuk pulang. Ia tidak memiliki alasan untuk berlama-lama di tempat yang penuh kenangan seperti itu. Ia tidak ingin mengingat-ingat kenangan bersama Uzumaki-sensei lagi. Ia sendiri yang telah memutuskan untuk mengakhiri semuanya.
Jalanan telah mulai sepi saat Hinata meninggalkan restoran itu. Ia memasukan kedua tangannya kedalam saku jaketnya. Udara malam itu cukup dingin dan ia lupa membawa sarung tangannya. Hinata bergegas pulang. Jalanan di malam hari sedikit menakutkan untuknya.
Hinata mencoba untuk tidak memikirkan hal-hal yang menakutkan saat ia melewati jalanan yang sepi di area pertokoan yang sudah tutup. Beberapa tempat karaoke dan bar masih buka tapi jalanan di sekitar tempat itu telah sepi. Saat melihat beberapa pemuda yang berkumpul di depan sebuah toko yang telah tutup, Hinata mempercepat langkahnya. Ia bisa melihat kaleng-kaleng minuman keras di sekitar pemuda-pemuda itu dan ia tahu ia akan berada dalam masalah kalau mereka menyadari keberadaannya.
Apa yang ia takutkan menjadi kenyataan. Saat ia melintas melewati mereka, salah seorang dari pemuda-pemuda itu melihatnya.
"Hei, nona manis, mari bergabung bersama kami!"
Hinata mencoba untuk tidak menghiraukannya dan mempercepat langkahnya namun salah seorang dari mereka telah berdiri dan menangkap pergelangan tangannya.
"Lepaskan aku!" jerit Hinata yang ketakutan saat para pemuda itu mengelilinginya, "aku mohon, biarkan aku lewat!"
"Hey," salah seorang dari mereka tertawa, Hinata dapat mencium aroma sake dari tubuh mereka, "setelah dilihat dari dekat, gadis ini cantik juga!"
Pemuda lainnya mulai bersiul, disambut tawa yang lainnya. Hinata mencoba untuk menerobos para pemuda mabuk itu namun salah seorang dari mereka mencengkeram pundaknya dan menahannya. Hinata benar-benar ketakutan dan ia tidak tahu bagaimana ia bisa kabur dari orang-orang itu.
"Bagaimana kalau kau ikut bersenang-senang dengan kami?"
Hinata memohon lagi, "tidak, biarkan aku pergi..."
"Hei, ayolah," kali ini salah seorang dari mereka mencoba menciumi leher Hinata, "jangan jual mahal begitu..."
Ia tidak bisa menahan diri lagi. Dalam keputusasaannya Hinata berteriak memanggil satu orang yang ada di kepalanya saat itu, "Uzumaki-sensei!"
Tepat saat itu tubuh pria yang tengah menciumi lehernya itu tertarik menjauh darinya dan terhempas ke tanah.
Seseorang datang menolongnya.
.
.
Author's Note:
Akhirnya~!
Chapter ini sengaja aku putus disini karena aku lagi nggak mood nulis adegan berantem.
Ah... chapter 2nya kapan update? Kalau aku dapat cukup review untuk chapter 1, aku akan update chapter 2, begitu seterusnya :D
Dan ya, ini pertama kali aku nulis cerita dengan pairing ini, jadi... begitulah.
