Title : Sekoci yang Hilang

Author : Dirty Noble's Master

Pairing : SehunxKai — etc.

Length : Chaptered

Rating : M

Disclaimer : Tidak ada lainnya yang harus diklaim kecuali plot cerita yang akan membuatmu sakit kepala.

.

Namaku Sehun, berusia 30 tahun ini.

Aku memang bekerja sebagai seorang psikiater, namun siapa sangka sebenarnya akulah yang membutuhkan bantuan psikiatrik disini.

Hari ini, pagi-pagi sekali— bahkan aku belum sempat untuk membasuh wajahku, salah satu rekanku di kepolisian menelepon. Dia bilang butuh bantuan menginterogasi tersangka. Sebenarnya aku tidak terlalu menyukai masalah penyelidikan seperti ini, apalagi orang yang akan kukorek informasinya adalah seorang bocah berumur tujuh belas tahun yang menggorok leher kakaknya sendiri.

Memang 'pasien-pasien' yang direkomendasikan Joonmyun—orang sialan yang menelepon di pagi buta, rata-rata atau dapat dikatakan bahwa seluruhnya adalah seseorang yang berurusan dengan kejahatan dan mempunyai sedikit 'gangguan' tentu saja.

Orang normal tak membutuhkan psikiater, kan?

Jadi ya begitulah, hampir setiap harinya aku harus berurusan dengan manusia yang sedikit bergeser dan perlu diluruskan. Kalau masalah yang sudah hilang kewarasan, itu sudah di tangan dokter sakit jiwa. Lain lagi urusannya dengan psikiater.

Bukannya membenci pekerjaanku, aku sangat menyukainya malah. Menurutku seorang manusia itu adalah seperti sebuah labirin. Lain orangnya, lain pula bentuk labirinnya, dan lain pula untuk mendapatkan jalan keluar dari sana. Dan aku adalah tipe orang yang menyukai tantangan, apapun akan kuusahakan untuk masuk ke dalam labirin dan keluar dengan selamat dan membawa hasil.

Tepat pukul sepuluh, aku sudah berada dalam sebuah kantor dimana banyak orang-orang sibuk dengan laptop, berkas, panggilan telepon, dan aku juga mendapati ada sekumpulan preman yang sedang disidang.

Jonnmyun berjalan ke arahku dengan senyum lebarnya, seperti biasa. Mood-nya memang kelihatan selalu baik, atau juga karena dirinya pandai menyembunyikan kegelisahan. Tapi tidak denganku, aku tahu ada yang salah dengan sorot matanya yang tidak tenang.

"Kantor polisi setiap hari memang sesibuk ini ya?" aku berusaha mencairkan suasana. Joonmyun terkekeh sengau pelan. "Ada apa?"

"Parah," aku menunggu kelanjutan kalimatnya. "Belum pernah ada kasus seperti ini, setidaknya tidak pernah semenjak karirku,"

"Aku akan mencoba berbicara dengannya,"

Joonmyun mengangguk dan sorot matanya berubah sedikit cerah. "Aku tidak tahu, tapi kurasa anak itu seorang alter-ego,"

Aku menaikkan alis tanda tertarik, "Benarkah?"

"Ya. Tapi kupikir alter-ego tidak sampai membunuh, kau tahu—"

"Skizofrenia. Bisa dibilang alter-ego parah,"

Joonmyun mengedikkan bahu dan berkata 'aku menyerahkan semuanya padamu' lewat gerak badannya. Aku mengikutinya berjalan di sebuah lorong yang tak terlalu panjang dan mendapati sebuah pintu dengan plang: Interrogate Room. Aku yakin bocah sinting itu ada di dalamnya.

"Semua orang dibuat bingung dengan kata-katanya. Terlalu berbelit-belit dan kata-katanya selalu berubah. Dia bahkan mengancam akan bunuh diri tapi lima menit kemudian dia bersikap seolah ketakutan dengan badan yang gemetar." Terang Joonmyun.

Aku memang belum pernah mendapat klien dengan kejahatan parah dengan umur yang masih remaja. Terang saja aku sangat bersemangat, aku sangat penasaran, kau tahu? Tapi aku hanya diam dan berusaha menekan seringaiku menjadi sebuah senyuman.

Saat pintu dibuka yang terlihat adalah seorang bocah, laki-laki, rambutnya acak-acakan dengan baju tahanan yang sudah kumal. Ia tengah memeluk kaki di atas kursinya dan membenamkan wajahnya pada kedua lututnya. Tubuhnya yang kecil terkesan ringkih, aku sempat terlena dan mengabaikan fakta anak ini telah menggorok leher kakak kandungnya sendiri.

"Hey," aku menarik sebuah kursi di hadapannya. Walaupun kami terpisah dengan keberadaan meja besi, aku masih dapat melihat luka sayatan cukup panjang pada kakinya.

Bocah itu tidak bergeming, aku sempat mengira bocah ini tidur kalau tidak melihat pergerakan kecilnya yang menggaruk sebelah lengannya.

"Siapa namamu?" pertanyaan yang aku pikir tidak akan dijawab olehnya itu ternyata berhasil mendapat atensinya. Ia melongokkan sedikit kepalanya dan matanya tepat menghujam di irisku. Pandangan yang menurut ekspektasiku adalah tatapan membunuh rupanya tak lain dari tatapan seorang bocah pada umumnya.

"Jongin," Suaranya sengau tertahan pada kakinya. "Orang-orang tidak berhenti menanyaiku bergantian sejak tiga hari yang lalu. A—aku hanya ingin pulang. Aku ingin mengunjungi kakakku. Aku tidak membunuhnya. Aku tidak membunuh.. Aku tidak membunuh.." hingga ia berakhir dengan isakan.

"Aku percaya padamu," aku berusaha menampilkan senyum terbaikku. Hanya saja aku sebenarnya jarang tersenyum, jadi aku tidak peduli tanggapan bocah ini dengan ekspresi anehku.

"Kau percaya?" bocah itu mengangkat kepalanya secara penuh dan sekarang terlihat jelas matanya yang membengkak karena terlalu sering menangis.

"Aku percaya. Oh, namaku Sehun. Kau bisa memanggilku hyung,"

"S—Sehun hyung?"

"Seperti itu. " aku mengulurkan tangan untuk mengusak rambutnya. Yang semula kukira sekasar anak jalanan itu rupanya malah terasa seperti anak yang dirawat penuh oleh kedua orangtuanya.

Jongin menurunkan kakinya dan kuhargai usahanya untuk tidak gugup. Ia memilin-milin ujung baju tahanan berwarna jingganya.

"Aku disini untuk membantumu,"

Jongin mengangguk lesu, perlahan dan hanya dua kali. "Orang-orang tadi juga berkata seperti itu. Tapi akhirnya mereka membentakku dan bilang aku gila—"

"Aku tidak menganggapmu gila,"

Jongin terkesiap dengan kalimatku yang memotongnya, namun sedetik kemudian bahunya kembali merosot tanda bahwa ia tidak bisa sepenuhnya percaya padaku. Tapi aku bukanlah Oh Sehun kalau tidak bisa mendapat atensi penuh dari para klienku. Aku berusaha membantu mereka, sebalikya sudah seharusnya mereka bersikap kooperatif denganku. Terlepas dari suka atau tidaknya mereka kepadaku.

"Kau pasti akan menganggapku gila, hyung—"

"Kau sudah sarapan?"

Jongin menggeleng. "Aku lapar, tapi kata 'dia' kalian menaruh racun pada makanan dan minumanku."

"Dia?"

Jongin mengangguk, "Kau tahu, hyung? Aku sebenarnya buta!"

Tatapan mataku pada iris kecoklatan Jongin makin intens. Aku mengernyitkan dahi karena yang kudapati adalah sorot mata yang hidup. Seperti orang normal kebanyakan. Mata itu tidak mati seperti yang dikatakannya. "Buta?"

Jongin mengangguk sekali lagi, kali ini lebih cepat dan penh antusias. "Aku menyebutnya 'visi'. 'Visi' membantuku untuk melihat. Aku tidak tahu bagaimana harus menjelaskannya padamu— Tapi aku buta, hyung. Tapi aku bisa melihat,"

Aku mencoba untuk bersikap santai. Anak ini sepertinya memang butuh pertolongan, dan kelak ia harus mempertanggung jawabkan perbuatannya oleh nyawa kakaknya. Aku tahu, dengan sekali lihat. Memang Jongin-lah yang menggorok leher kakaknya. Hanya saja, waktunya akan datang ketika ia sudah siap untuk membuka itu semua.

"Kata 'visi', kau berulangtahun hari ini, hyung?"

.

.

A/N

Muehehe..

FF baru bertemakan psikologi atau apalah itu. Saya janji ff ini nggak akan digantung lagi kaya ff yang itu tu— HAHAHA -_-

Review?