Kegelapan adalah sesuatu yang monoton sekaligus familiar di saat yang bersamaan.

Ia pergi ke dapur tanpa menyalakan lampu. Tak perlu. Dengan mata ditutup pun, ia bisa berjalan kesitu tanpa menabrak apapun. Ia mengenal setiap bagian di rumah ini sebaik ia mengenal warna matanya sendiri.

Diambilnya cangkir yang ada di rak piring, lalu menyeduh teh manis untuk dirinya sendiri. Orang bilang, jika seseorang terserang insomnia maka disarankan untuk minum susu dengan madu untuk menenangkan pikiran, sehingga cepat tertidur. Namun saran itu tak berlaku baginya. Ia bisa meminum bercangkir-cangkir teh bila ia mau, dan tetap bisa tertidur setelahnya.

Namun tidur bukanlah hal yang ia butuhkan saat ini.

Ia ingin sadar sepenuhnya, ia ingin tenggelam dalam kedalaman pikirannya—dan menyusun sesuatu yang tak dibayangkan orang lain. Ia ingin tenggelam sepenuhnya dalam berbagai spekulasi gelap yang berputar di kepalanya. Ia tak takut akan kegelapan.

Ia tak peduli bila ia membiarkan kegelapan itu menelan dirinya sepenuhnya.

Uchiha Itachi menyesap tehnya perlahan, membiarkan rasa manis menjalari lidahnya dan selama beberapa waktu, ia hanya diam bersandar di wastafel yang dingin hingga dini hari tiba.


(Capsaicin)

.

Naruto (c) Masashi Kishimoto. Tidak mengambil keuntungan materiil dari fanfiksi ini.

catatan: AU. Not for a pleasant read.


Ia hanya tidur sejam malam itu.

Terbangun dengan cepat, ia melirik weker yang ada di nakas, lalu memutuskan untuk segera bangkit dari ranjang. Rumah masih sunyi sepenuhnya. Dengan sekali tebak, ia sudah tahu kalau adiknya masih tertidur di kamar sebelah.

Ia tak tahu bagaimana caranya Sasuke bisa tidur lelap di waktu belakangan ini. Mungkin adiknya terkena mimpi buruk, namun tak menceritakannya ke dirinya. Atau mungkin Sasuke meminum obat tidur. Meskipun ia tahu kalau opsi yang terakhir sama sekali tidak mungkin.

Ia beranjak ke kamar mandi, lalu keluar beberapa menit kemudian. Sembari mengeringkan rambutnya yang basah, ia mengambil selembar kaus dan celana panjang yang dipilihnya asal dari dalam lemari untuk pakaiannya hari itu. Ketika ia tengah berpakaian, ia melihat sekilas ke cermin, dan berhenti sebentar ketika memandangi refleksi dirinya yang terpantul disana.

Bayangan seorang pemuda berambut acak-acakan dengan mata berkantung tampak di permukaan cermin. Ia memandangi refleksinya sekali lagi, mendapati kalau matanya merah dan berair, seperti orang yang kurang tidur parah. Wajahnya tampak tirus, dan cekungan yang ada di bawah matanya terlihat semakin dalam. Dilemparkannya pandangannya ke samping, memutuskan kalau ia tak peduli dengan keadaan dirinya yang mungkin bisa dibilang mengkhawatirkan saat ini.

Selesai berpakaian, ia pergi ke ruang makan untuk membuat sarapan. Sekilas bisa dilihatnya bayangan Uchiha Mikoto yang tengah berdiri membelakangi dirinya, membuat hidangan untuk hari itu. Dan bayangan Uchiha Fugaku yang tengah duduk di meja sembari menyesap kopinya, buku agenda yang terbuka ada di hadapannya.

Langkahnya terhenti di ambang pintu.

Ruang makan yang sunyi muncul lagi di hadapannya. Disandarkannya tubuhnya ke dinding perlahan, tangannya mencengkeram pinggir meja kecil yang ada di dekat situ tanpa sadar. Napasnya memburu.

Ia mengerjapkan matanya sekali, dan kedua orang itu segera menghilang—dan sekarang yang ada hanya dirinya dan pikirannya sendiri.

Itachi menghela napas, lalu melanjutkan langkahnya tanpa suara. Dibuatnya nasi goreng dengan bahan seadanya yang ditemukannya di kulkas, serta nasi sisa kemarin. Ia memasak sarapan dengan gerakan kaku, pikirannya tak berada di situ sepenuhnya—dan kalau saja bukan untuk Sasuke, ia tak akan peduli bila nasi gorengnya terlalu asin atau bahkan gosong sekalipun.

Setelah nasi gorengnya matang, ia menjerang teh dan menyiapkan meja makan. Suara Uchiha Mikoto yang sesekali berceloteh riang tentang apapun di pagi itu bergema pelan di belakangnya, seperti suara radio yang gelombangnya terlalu jauh.

Ia berusaha tak menghiraukan hal itu, sepenuhnya menyadari kalau ia tengah berada dalam halusinasi—entah yang keberapa.

Dimatikannya kompor, lalu dituangnya teh yang masih mengepul ke dalam teko. Sekarang tinggal membangunkan Sasuke di kamarnya.


Ia melintasi koridor yang gelap sepenuhnya tanpa menyalakan lampu, merasakan kalau lantai yang diinjaknya berdebu dan dalam hati mencatat untuk mengepel rumah sewaktu ia pulang nanti. Dibukanya pintu kamar adiknya yang tak dikunci perlahan, lalu berjalan masuk.

"Sasuke," ia mengguncang tubuh adiknya pelan. Pemuda itu membuka matanya dua menit kemudian.

"Sarapan sudah siap," ia memberitahu. Adiknya mengerjapkan matanya beberapa kali, lalu menatapnya dengan mata yang masih mengantuk.

"Ng… tapi ini baru jam empat, Nii-san," gumamnya serak. Itachi menggeleng sedikit, lalu tersenyum.

"Hari ini ada ulangan matematika, kan? Kau masih bisa belajar lagi sebelum berangkat," ia menjelaskan seraya menyentuh dahi adiknya pelan dengan dua jarinya. Sasuke berjengit sedikit, sebelum kemudian menggosok-gosok matanya lagi.

"Oh… baiklah," ia menyingkirkan selimutnya dengan gerakan lambat, lalu bangkit dan berjalan ke kamar mandi. Itachi melirik kepergian adiknya sekilas, sebelum kemudian mengambil selimut yang ada di sudut ranjang dan melipatnya.


Sarapan berlalu dalam kesunyian.

Sasuke memakan nasi gorengnya dengan perlahan-lahan, seakan tak begitu peduli apapun yang dikunyahnya saat itu. Di seberang meja, Itachi hanya menggeser-geser nasi yang ada di piringnya tanpa tujuan, matanya sama sekali tak fokus dan entah apa yang ada di pikirannya.

Sasuke menghentikan makannya, dan menatap kakaknya dengan kening berkerut.

"Nii-san tidak makan?"

Itachi segera tersadar dari lamunannya, meski tidak terlalu kentara. "Hm? Oh, sepertinya aku sedang tidak terlalu lapar, Sasuke," ia membalas seraya tertawa kecil, tawa hampa yang lebih terdengar seperti gumaman serak yang dipaksakan.

"Tapi kau membuat nasi goreng untuk dua porsi," balas adiknya seraya mengangkat alis. "Sayang kalau tidak dihabiskan."

"Ehm," ia membalas dengan gumaman asal, perkataan adiknya tadi hanya terdengar seperti gelombang suara samar di pikirannya. Mungkin ia tak begitu peduli pada percakapan ini.

"Nii-san," Sasuke menghela napas panjang, lalu menatap kakaknya dengan pandangan yang menyiratkan kecemasan. Itachi segera menangkap hal itu.

"Maaf ya Sasuke, kalau nasi gorengnya tak seenak buatan Ibu," katanya serak tanpa menatap adiknya.

Sasuke mengerjapkan matanya terkejut.

"Bukan… itu," katanya setelah beberapa detik yang menyesakkan berlalu. "Maksudku… nasi goreng buatan Nii-san enak, dan aku tak mempermasalahkan tentang masakan buatan Ibu."

Adiknya mengatakan kalimat itu dengan terburu-buru, seakan khawatir akan suatu hal.

Itachi menundukkan pandangannya ke meja, tak merasa ingin bertemu pandangan cemas yang membayang di mata hitam adiknya. Ia tak boleh terlihat lemah seperti ini.

Di antara mereka berdua, harusnya ia yang tetap berdiri kuat.

"Maaf ya, Sasuke," gumamnya samar, seakan berbicara pada dirinya sendiri. Sasuke sampai harus terdiam selama beberapa detik untuk memastikan kalau kakaknya benar-benar berbicara tadi.

"Untuk… apa?" Ia memandangi pemuda itu dengan bingung.

Namun Itachi sudah keburu bangkit dari kursinya, dan meninggalkan meja makan itu tanpa mengatakan apapun.


Ia mengenakan jaketnya dengan gerakan mekanis yang tak fokus, lalu menenteng ranselnya ke dapur. Sasuke masih membereskan buku di kamarnya.

Dibukanya laci meja yang ada di dekat wastafel, lalu memperhatikan beberapa buah pisau dapur yang tersimpan disana. Ada yang untuk memotong daging, ada juga pisau buah yang ukurannya tak terlalu besar. Setelah terdiam selama beberapa saat, ia mengambil pisau untuk menyayat ikan yang ada di sudut laci.

Ditatapnya pisau yang bergagang plastik hijau itu dengan tatapan tak terbaca, sebelum kemudian tersenyum samar dan membuka ranselnya.

Ia memasukkan pisau itu di selipan bukunya, lalu menutup retsleting ranselnya lagi.

Setelahnya, ia berjalan keluar, ransel sudah terpasang di punggungnya.

"Sasuke, aku tunggu di teras ya," katanya memberitahu ketika ia melewati depan kamar adiknya.


Ia memperhatikan Sasuke yang tengah memasang tali sepatunya, sementara dirinya menunggu dengan sabar di dekat gerbang.

"Ayo berangkat, Nii-san," adiknya berdiri, dan tersenyum padanya. Suasana hatinya menjadi lebih membaik setelah itu, meskipun tak mengurangi rasa hampa yang ada di dadanya.

Dikuncinya pintu, lalu ia membalas senyum adiknya, dan mereka berjalan dalam keheningan yang bersahabat setelah itu.


Sasuke tak tahu bahwa kakaknya telah menyelipkan sebilah cutter ke dalam kaus kaki tebal yang dipakainya, sebelum kemudian mengunci pintu.


.

.

Bersambung.


Catatan: masih prolog. iya saya tau saya kebanyakan bikin multichapter. -_-

terima kasih sudah membaca.