Title : Sun Bathing
Genre : Romance, Kingdom!au, BxB
Rating : NC 21+
Length : 4 Chapters
Cast : Kwon Soonyoung (king), Lee Jihoon
[DISCLAIMER]
Seluruh cast di fanfiksi ini benar-benar ada dan sejujurnya melanggar aturan FFN. Namun Pitik tetap menggunakan namanya sebagai bahan imajinasi. Alur cerita memang milik Pitik, namun karakter mereka sesungguhnya adalah milik mereka sendiri. Maafkan Pitik, FictionPress!
Chapter 1: Chameleon
Terlahir dalam keluarga miskin bukanlah sesuatu yang bisa kau syukuri. Apalagi jika kau berada di masa lampau. Keluarga miskin menempati kasta rendah, gologan yang tidak pantas mengharapkan keadilan.
Keluarga Lee adalah salah satu di antaranya. Mereka terdiri dari tiga anggota: ayah, ibu, dan seorang putra. Sang ayah pergi meladang setiap pagi hingga petang, ibu mengurus rumah, sedangkan sang putra, Jihoon, membantu keduanya. Ia mengantarkan makan siang ke ladang juga membantu ibunya mengerjakan tugas-tugas berat seperti mengangkat timbaan air sumur.
Namun lupakan rutinitas itu sekarang, semuanya berubah seratus delapan puluh derajat ketika putra mahkota dipaksa naik tahta. Usianya memang telah menginjak dua puluh tahun, namun perangainya tidak dapat diandalkan. Semasa ayahnya bertahta, ia senang berkeliaran di luar istana dan singgah di rumah bordir. Tidak jarang pengawal istana memergokinya. Yang mulia ratu, ibunya sudah sering memperingati, namun sang anak tetap saja bebal.
Kemalangan menimpa diri seorang Jihoon ketika desa mereka mengalami kekeringan hebat. Saat seharusnya pihak istana membantu mereka, namun rakyat malah terbengkalai. Satu-satunya cara untuk mendapatkan uang adalah menyerahkan seorang wanita ke istana. Bukan sebagai selir atau dayang, namun pelampiasan nafsu sang raja.
Tentu tidak ada keluarga yang rela. Mereka tidak akan mau anak mereka disia-siakan walaupun oleh tangan seseorang yang paling berkuasa di negeri itu.
Keluarga Lee seharusnya tidak perlu merasakan hal itu karena anak mereka adalah seorang pria. Namun sebuah keadaan mendesak, membuat mereka terpaksa merelakan anaknya. Lee Jihoon, nasib malang menuntunnya untuk berpakaian wanita dan pergi ke istana bersama gadis-gadis lain.
Jihoon tahu sangat berat bagi ibunya untuk merelakan anak semata wayang, namun yang terpenting baginya saat itu adalah nasib kedua orangtuanya. Bila ia menjual diri ke istana, setidaknya mereka berdua memiliki jatah beras yang cukup untuk hari-hari berikutnya.
Walaupun Jihoon sadar betul, penyamarannya ini memiliki resiko terbongkar yang amat tinggi. Pria dan wanita memiliki perbedaan tubuh yang amat spesifik. Bila ia nekat dan lolos hingga masuk dalam paviliun raja, nyawanya tidak akan selamat.
Dengan berat hati, laki-laki itu membuang rasa malu dan takutnya.
Pergi menuju neraka.
.
.
.
"Yang mulia—akh," rintih seorang gadis yang baru saja masuk ke dalam paviliun raja.
Norma dan etika dengan mudah luntur di dalam sana, bersama dengan desahan dan gerakan yang brutal.
"Kau sudah lelah?" tanya sang raja dengan nada mengancam.
Gadis yang baru saja ternodai itu menggeleng cepat. Pria di hadapannya ini masih menghujam kemaluannya. Terus menerus, membuatnya teramat lelah.
Ini kali pertamanya. Dan seseorang merenggutnya dengan kasar. Terlebih lagi, orang itu bukanlah sosok yang ia cintai.
Yang bisa ia lakukan sekarang adalah mendesah. Hanya itu. Meronta hanya akan membuat dirinya dipenggal selepas keluar dari paviliun ini.
"Senang bisa melucuti keperawananmu," bisik sang raja di telinga gadis itu.
Ia merasa terhina. Titik terhina yang pernah ia dapat selama hidup. Gadis itu adalah seorang anak bangsawan. Namun ayahnya dengan tega menyerahkannya demi jabatan penasehat kerajaan.
Ironis.
Sang raja berhenti mengguncang area selatannya, beralih mencumbu puncak dadanya. Sekujur tubuhnya menegang karena rangsang itu. Walaupun situasinya sangat tidak menguntungkan, jamahan pada tubuh tetap memiliki kenikmatan tersendiri.
Ia hanya tidak berharap seseorang dengan kedudukan raja yang melakukannya. Terlebih lagi, ia adalah wanita yang ke sekian. Ada ratusan wanita yang pernah mengalami ini sebelumnya.
Tubuhnya tidak istimewa, itu kesimpulannya. Hanya bahan pelampiasan layaknya pelacur di rumah bordir. Gadis itu benci perasaan ini.
"H-hentikan, yang mulia," ronta sang gadis, membuat sang raja justru menggigit area sensitifnya dengan keras.
Gadis itu memekik kesakitan. Namun tanpa belas kasihan, sang raja malah menimpa tubuhnya, membuat kepala gadis itu membentur lantai kamar. Sekali lagi ia mengaduh, namun tidak ada yang peduli.
Tidak juga pria yang mengukungnya saat ini.
"Kau tahu apa akibat menolak raja?" bisik pria itu ditelinganya.
Sang gadis dapat merasakan gigitan di tulang rawannya, juga saliva yang tertinggal di area pipinya karena ciuman basah.
"Kau—"
Sang raja menempelkan bibirnya pada bibir gadis itu, memberikan ciuman terakhir.
Mungkin terakhir dalam hidup gadis itu.
"—dipenggal."
.
.
.
Jihoon berdiri dalam barisan, mengantri untuk memasuki istana. Ada sekiranya sepuluh gadis yang berada di sana. Didandani dengan cantik, serta mengenakan pakaian sutera yang mahal. Jihoon tidak memilikinya. Namun seorang dayang menahannya dan memberikan sebuah kotak.
"Pakailah pakaian ini! Jangan sampai ada yang melihatmu berganti pakaian! Hanya raja yang boleh melihat tubuhmu. Lalu pergilah ke paviliun tetua dayang," pesannya.
Lelaki yang tengah menyamar itu mengangguk patuh. Ia berjalan cepat sambil memeluk kotak berisikan pakaian wanita itu di depan dadanya. Jihoon menengok ke kanan dan kiri, mencari sebuah tempat yang cukup tersembunyi untuk berganti pakaian.
Ada banyak pengawal yang hilir mudik, begitu juga para dayang. Jihoon terus menunduk ketika berpapasan dengan mereka. Tapi kedua matanya masih awas mencari.
Untungnya bola lampu imajiner menyala di atas kepalanya. Ada sebuah gudang sempit di sebelah dapur. Ia bisa menggunakan tempat itu untuk berganti pakaian. Namun langkahnya berhenti di depan pintu gudang. Ada suara-suara aneh yang muncul dari dalam. Rasa penasaran menuntun lelaki itu untuk mengintip dari celah dinding.
"Ku kira para dayang adalah wanita raja. Siapa yang menyetubuhimu sebelum aku, hum?" bentak seorang pria di dalam sana.
Jihoon menelan ludahnya kasar. Dari dua kalimat itu, sudah jelas apa status kedua orang di dalam. Mereka adalah raja dan seorang dayangnya.
"Ampuni hamba, yang mulia," mohon dayang.
"Aku tidak ingin seorang hina menjadi dayang di istanaku. Esok pagi, kepalamu akan dipenggal bersama anak bangsawan itu," tegas sang raja.
Telapak tangan Jihoon basah oleh keringat.
Pintu gudang itu dibuka dengan keras, membuat lelaki itu sontak minggir, memberi jalan pada sang raja. Ia lantas membungkuk rendah ketika sang raja lewat.
Pria itu tidak langsung pergi ketika berpapasan dengan Jihoon. Ia menghentikan langkahnya sejenak dan menatap lelaki berpakaian wanita itu penuh arti.
"Perlihatkan wajahmu!" perintahnya.
Jihoon langsung berdiri tegap, menatap luruh ke arah sang raja sesuai perintah. Sebagai seorang lelaki seharusnya ia baik-baik saja. Nyatanya, kedua kakinya gemetar sekarang. Ia bahkan menahan nafasnya saat tatapan mereka bertemu.
Raut sang raja tampak sangat mengintimidasi. Poin utamanya terletak pada sepasang mata yang selalu meneliti tajam.
"Apa kau mendengar perkataanku di dalam tadi?" tanya sang raja, tidak dengan nada bentakan seperti tadi, kali ini lebih ramah.
Tapi Jihoon tidak yakin pria di hadapannya akan seramah itu setelah ini.
"Aku sangat kecewa hari ini," keluhnya sambil melirik jalanan istana yang sepi. Tidak ada pengawal yang berjaga di belakangnya. Desas desus mengatakan bahwa raja tidak akan berjalan bersama pengawalnya bila menghampiri seorang wanita. Karena kegiatannya bersama wanita itu adalah privasi. Ia tidak ingin menjadi bahan konsumsi pengawal-pengawalnya.
Setelah kalimat keluhan itu, Jihoon lantas menundukkan kepalanya. Ia tidak menjawab apapun, hanya menunduk. Bibirnya terlalu gemetar untuk melontarkan kata.
"Malam ini, datanglah ke paviliun tengah," mutlaknya lantas mengangkat dagu lelaki itu.
Jihoon terpaksa harus bertemu dengan tatapan penuh intimidasi itu lagi. Baru kali ini ia merasa amat takut.
Tentu saja. Penyamarannya akan segera terungkap malam ini dan besok pagi akan menjadi hari kematiannya bersama dua wanita raja sebutkan tadi.
Sekilas ia melirik dayang yang masih meringkuk di dalam gudang. Pakaian magenta-biru yang dikenakannya sudah tidak beraturan.
"Hibur aku."
.
.
.
Mimpi buruk akan dimulai dari malam ini— bukan, Jihoon tidak akan mungkin sempat bermimpi karena ia akan segera mendekam di penjara segera setelah keluar dari paviliun tengah.
"Kau gadis yang diminta raja tadi siang?" tanya seorang pengawal yang berjaga di gerbang area paviliun.
Jihoon mengangguk pelan, walaupun sebenarnya apa yang ia setujui tidaklah benar.
"Yang mulia telah menunggu Anda di dalam," balas pengawal itu.
Jihoon menunduk hormat sambil melangkah masuk. Ia hanya sendiri saat berjalan menuju pintu paviliun. Hanya sang raja yang ada di dalam sana dan itu akan membuat suasananya semakin tegang.
Ia akan segera diusir setelah raja mengetahui dirinya adalah seorang laki-laki.
"Kau mempermainkanku?" Sebuah pertanyaan langsung menyambut kedatangan Jihoon.
Pria dengan pandangan mengintimidasi tadi siang tengah berdiri di tengah ruangan.
Jihoon memberanikan diri untuk mendongak, membalas pernyataan itu dengan kuluman pada bibir sendiri. Ia sangat gugup. Ia sangat takut akan mati besok.
Lelaki berpakaian wanita itu langsung membungkuk hormat di lantai, memohon kemurahan hati raja negeri itu. Jihoon tidak bisa berkata-kata. Ia terlalu takut untuk bicara.
Namun sang raja tidak akan semudah itu memberikan kemurahan hati.
Pria itu berjalan dan berhenti tepat di depan Lee Jihoon. Kemudian ia menarik tali jubahnya, membiarkannya tersibak begitu saja.
"Bangun dan tanggalkan pakaianmu," perintahnya.
Jihoon mendongak, menatap pemandangan tidak senonoh di hadapannya. Dua orang pria telanjang bersamaan seharusnya bukan sesuatu yang aneh.
Namun lupakan pernyataan itu dalam situasi ini. Jihoon mendadak malu membuka setelan wanita yang membalut tubuhnya. Nafasnya sendiri memburu. Membuka pakaian sama saja dengan bunuh diri. Ia meremas tali atasannya kuat-kuat sementara sang raja masih menatapnya tajam.
Rautnya tampak sangat sadis. Jihoon bisa merasakan itu walaupun ia tidak melakukan apapun saat ini. Pria itu hanya berdiri menatapnya. Ia sama sekali belum menyentuhnya.
Beberapa detik berlalu dalam keheningan. Cengkraman Jihoon pada tali atasannya masih sama kuatnya. Kedua kakinya semakin gemetar ketika ia mencoba berdiri dari posisinya. Rasanya hampir tidak mungkin menolak permintaan yang terdengar absolut barusan. Namun harga dirinya sebagai lelaki menolak dengan tegas.
"Aku tahu kau bukan seorang gadis. Lakukan perintahku!"
.
.
.
To be continued
Peringatan: Ini bukan mpreg, ya.
