Kamar Kebutuhan menyala dalam kobaran.
Api-api abnormal bergemuruh, menjilat segala benda yang menghalangi jalan mereka, memutasikan jilatan api menjadi monster yang ganas.
Dan tinggi di atas lantai, di tumpukan bangku ringkih yang teremulsi asap kebakaran—Draco Malfoy memeluk Gregory Goyle yang separuh tak sadarkan diri.
"Tolong…" bisiknya lemah, mulai merasakan asap dalam hidungnya—nyaris tak ada oksigen bersih lagi disini. "Tolong!" teriak Draco lebih keras.
Tak ada suara kecuali keretakan maut Fiendfyre yang semakin menggila, dan bahkan Draco tidak memerhatikan apapun lagi, bahkan rasa marahnya kepada si Tolol Crabbe yang menciptakan ini—tidak, ia hanya ingin keluar.
Lalu, sesaat kemudian—Draco melihat dua titik harapan di udara, berdesing—
Tunggu, berdesing?
Dan sesaat kemudian Draco sadar. Itu Si Anak Lelaki yang Bertahan Hidup—Harry Potter—musuhnya, sedang berkelit dari maut dengan sapu terbang menuju pintu keluar Kamar Kebutuhan, dan untuk sedetik yang lama, Draco bisa melihat emerald cemerlang itu menatapnya ragu.
"POTTER, TOLONG!"
Dan sesaat kemudian emerald itu lenyap. Harry Potter menyeringai, meninggalkan Draco yang sekarat. Dua titik itu menghilang di pintu keluar yang terbakar.
Hal terakhir yang diingat Draco adalah degup jantungnya yang tiba-tiba terhenti, dan semuanya gelap.
.
.
A/N: Yaaap Bea datang dengan pairing Drarry di tangan. Yes, ini Drarry, bukan Dramione *kedapkedip centil* /plak. Dan ini slash pertamakuuu T^T *gelundungan* *dibuang* Semoga gak secacat yang kubayangkan, dan maap kalo romensnya gak kerasa T_Tv dan untuk yang gasuka Slash dan sebagainya, silahkan out dari page ini, terimakasih!
.
.
—A Debt of Honor—
© Beatrixmalf
{-1 of 2-}
Harry Potter belongs to J. , and I never take any profit and money from this fanfic.
.
.
For FSF's Way of Love Challenge in Infantrum.
.
.
Warning: Typo(s), Shounen-ai, Cinta bertepuk sebelah tangan(?), Minim Dialog, Slash ringan, Failed Angsty, AR, Canon, Settings: After War.
.
.
Draco terbangun dengan peluh membasahi tubuhnya. Mimpi yang penuh api itu seketika terputus—dan setengah merutuk, pemuda itu bangun dari ranjangnya yang basah oleh keringat, dan melayangkan pandang ke luar.
Masih gelap. Intuisi Draco mengatakan ini nyaris subuh.
Dan lagi-lagi, Draco kembali terbangun karena mimpi konyol yang menghantui dirinya akhir-akhir ini—lalu menemukan dirinya bangun dengan perasaan yang lebih buruk dari biasanya.
"Stapshoe," panggilnya dalam gelap—dan bunyi tar keras cukup mengisyaratkan bahwa peri rumah-nya itu telah mendengar panggilannya.
"Ada apa, Tuan?" cicit peri rumah itu takut-takut.
"Buatkan aku Ramuan Tidur Tanpa Mimpi lagi," pesannya, sebelum meraih gelas air putih di sampingnya dan meneguk banyak-banyak. "Yang cepat."
Stapshoe mengangguk, dan ia kembali hilang diiringi bunyi tar nyaring.
"Sial," Draco memaki, melempar tubuhnya lagi ke tempat tidur, sambil memikirkan mimpi buruk tadi. Mimpi yang mengingatkannya akan hutang budinya kepada Harry Potter—pahlawan Hogwarts sekaligus musuhnya.
Dan mengapa mimpi itu baru menghantuinya setelah lima tahun telah terlewat?
Jawabannya sederhana. Karena minggu lalu ia telah bekerja di Kementerian Sihir, (Ya, bekerja—satu kata yang asing untuk keturunan Malfoy, karena tak ada kata 'kerja' dalam kamus mereka) dan sialnya, ia akan melihat wajah Harry Potter setiap hari—
Dan karena Si Brengsek Potter-lah Draco kembali mengingat tentang hutang yang menodai kehormatannya itu (Seorang Malfoy tidak boleh berhutang, kalaupun iya—mereka harus melunaskannya cepat-cepat) yang menyebabkan semua mimpi ini.
"Tuan, ini minumnya," bahkan Draco tidak menyadari peri itu telah kembali!
Draco menerima piala itu dengan kasar, dan untuk melampiaskan kesalahannya, pemuda itu memukul peri rumahnya hingga Stapshoe terlempar ke seberang ruangan. Stapshoe mengerang, tapi Draco tak peduli.
"Kau boleh pergi."
Kemudian diiringi anggukan takut-takut Stapshoe, Draco meminum piala itu banyak-banyak, terdiam sebentar—lalu kantuk mulai menguasainya.
.
.
"Mom, aku pergi," Draco merapikan kerahnya lalu membungkuk untuk mengecup pipi Narcissa Malfoy. Narcissa memandangnya dengan iba, tetapi Draco pura-pura tidak melihat. "Aku akan kembali selepas makan malam."
"Ya. Kau bersama Blaise, Draco?" tanya Narcissa, menyembunyikan maniknya yang berkaca-kaca, dan Draco hanya mengangguk.
Ia mengalihkan pandangnya ke Lucius Malfoy yang sedari tadi diam, "Dad, aku kerja dulu," tambahnya, lebih lirih. Lucius masih tidak mau menatap mata Draco, tapi pemuda itu sudah cukup lega karena Ayahnya mengangguk.
Merasa tak ada yang perlu dikatakan, Draco berjalan perlahan melintasi ruang makan, menuruni tangga ke ruang tamu tempat Blaise menunggu.
Dan benar saja. Sahabatnya itu—satu-satunya sahabat, yang menemani Draco walaupun pamor mereka makin turun dan keuangan Malfoy menipis (yang memaksa Draco berkerja)—hanya menyeringai menatapnya.
"Pagi yang buruk?" sapanya sok lembut, dan Draco mendengus.
"Kau tahu sendiri," gumam Draco acuh, tetap berjalan sehingga Blaise terpaksa menjejeri langkahnya.
"Ayahmu masih marah?"
"Tentu saja," kata Draco tenang. "Tapi kemarahannya berkurang, setelah melihat Galleon yang kubawa kemarin—yah, tidak ada yang bisa menjaga gengsinya bahkan setelah melihat kekayaan mereka bertambah."
"Kemajuan yang drastis," Blaise mengangguk serius. "Lagipula menurutku pribadi, seorang Malfoy haruslah bekerja—selain bisa menambah penghasilan, kau kan menorehkan sejarah dalam keluargamu, iya, kan Draco?"
Hening. Draco memutuskan tidak menjawab.
Blaise terkekeh. "Tidak usah merajuk. Dan bagaimana dengan hutang kehormatanmu kepada Harry—sudah memutuskan cara terbaik untuk melunasinya?"
Mood Draco langsung menggelap. "Belum. And Blaise, sekali lagi kau bawel soal permasalahanku dan keluargaku—aku akan melemparmu ke merakku."
Blaise hanya tertawa lugu, tetapi pemuda berkulit kecoklatan itu tetap bungkam hingga mereka tiba di perbatasan untuk ber-Apparate.
Seraya merasakan sensasi hisapan Apparate, Draco mulai menemukan setitik jalan untuk melunaskan hutangnya—kepada Harry Potter.
.
.
Atrium penuh dengan Pegawai Kementerian yang berlalu-lalang. Draco menganggukkan salam perpisahan kepada Blaise Zabini sekilas, lalu menuju Lantai Empat—kantornya.
Draco menghela napas pelan sebelum meletakkan tubuhnya di meja di sudut ruangan. Ia tidak pernah berharap takdirnya akan berubah seperti ini. Ia adalah Malfoy pertama yang bekerja untuk orang lain, dan semua itu dikarenakan kekayaan Malfoy berkurang drastis, sehingga ia terpaksa bekerja.
Dan sekarang Draco bekerja dalam bidang yang sama dengan Harry Potter—ia Kepala Direksi Penyelamatan Pertama dan bertanggung jawab kepada Harry Potter selaku Kepala Auror. Ya—akibat situasi yang seperti ini Draco terbayang-bayang dengan adegan heroik Harry ketika menyelamatkannya di Kamar Kebutuhan.
"Mr. Malfoy?" Draco mengangkat kepalanya, dan menatap langsung ke manik biru pucat Lortarius Snow—Wakilnya. Lortarius berdeham sejenak. "Laporan yang harus kuselesaikan sudah rampung, Mr. Malfoy. Dan jika laporanmu selesai, aku bisa menyerahkannya sekalian kepada Mr. Potter."
Draco terdiam sejenak, menatap berkas-berkas laporannya yang baru tiga per empat rampung. "Taruh saja disitu, aku akan menyerahkannya nanti."
Lortarius mengangguk sejenak, lalu berjalan meninggalkan Draco. Draco teringat sesuatu. "Ah, Lortarius," wakilnya itu menegang lalu menoleh kepadanya. "Terimakasih."
Lortarius menatapnya tercengang sekilas, lalu mengangguk lagi dan meninggalkannya dengan tergesa. Draco menyeringai tipis.
Banyak-banyak melakukan hal baik, karena keberuntungan akan cepat datang padamu.
.
.
Setelah meletakkan pena dan laporan-laporannya tertumpuk rapi, Draco berdiri dan berjalan keluar dari kantornya untuk menyerahkan berkas-berkas itu ke Harry.
Ia meneguk salivanya yang nyaris mencapai mulutnya. Baik bagaimanapun, Draco baru bekerja seminggu disini—dan ia nyaris tidak pernah bertandang ke kantor Harry. Bagaimana sebaiknya ia bersikap kepada mantan musuhnya—kepala bidangnya—orang yang dihutanginya? Dan astaga—mengapa ia jadi keringat dingin seperti ini?
Ada yang salah. Draco sangat gugup, dan pemuda itu tahu dia gugup bukan karena harus bertemu dengan mantan musuhnya. Seperti ada rasa lain. Rasa takut akan penolakan?
Ah—ini dia. Draco menarik napas, mengisi paru-parunya penuh-penuh, sebelum memegang handel pintu.
"Aku tidak dapat bernegosiasi apa-apa, Kingsley!" terdengar suara kalut dari dalam yang bahkan terdengar sampai luar. Draco membeku. "Maksudku—Demi Merlin, Istriku sedang hamil besar! Ada seseorang yang menguntitnya—dan—tidak, tidak!"
Hening sejenak. Draco memasang telinganya lagi, mengabaikan degup jantungnya yang berdetak kencang.
"Tak bisakah kau mengutus Auror untuk menjaganya? Aku tahu, aku tahu!"
Hening lagi, dan Draco mulai menekan telinganya ke pintu.
"—Ini bukan tentang profesionalitas pekerjaan!" Harry nyaris berteriak, bahkan suaranya bergaung di koridor tempat Draco menguping. "Apa susahnya? Aku hanya meminta agar rumahku diproteksi, kemarin Ginny nyaris keguguran karena diserang!"
Draco ternganga. Apa ia tak salah dengar? Kabar sebesar ini—bahkan berita ini tak muncul di Daily Prophet. Harry kembali berseru, "Auror Tingkat Tiga? Tak bisakah kau mengutus Auror Tingkat Satu—"
Draco tahu apa yang akan Kingsley jawab selanjutnya. Tidak, dalam Peraturan Pendorongan Auror dalam Misi; tertulis bahwa Auror hanya boleh dikerahkan apabila ada alasan-alasan yang benar-benar kuat, di antaranya adalah penyerangan yang telah terbukti sebagai penyerangan, dan tidak boleh dilanggar dalam bentuk apapun.
Yang berarti itu bukan tugas Auror, melainkan Mata-Mata. Draco berasumsi bahwa Harry ingin perlindungan terbaik bagi istrinya—dan alasan 'perlindungan' itu tidak berdasar, tidak dapat menjadi alasan untuk pengerahan Auror dalam misi. Masih bagus Auror Tingkat Tiga dikerahkan untuk Harry.
Terdengar suara telepon dibanting, dan suara geraman marah.
Beberapa menit berselang, dan Draco memutuskan untuk masuk ke Ruang Kerja Harry sekarang. Anehnya, dia malah merasa lebih tenang dari tadi.
Harry dengan cepat menoleh begitu mendengar siulan pintu. Draco bisa melihat muka memerah Harry, keringatnya yang bergulir di pelipis, dan tatapan lelahnya. Diam-diam Draco merasa iba.
Draco berdeham. "Err—Mr. Potter, laporan dari penyelamatan kemarin telah kurampungkan dan kusegel."
Harry menerima laporan itu tanpa suara, dan menatap Draco kaku. "Jadi kau anak buahku, Malfoy?" bahkan ia bisa bertingkah menyebalkan di saat ia lelah, Draco membatin. "Terima kasih. Dan tolong—panggil aku Potter saja, jangan sok suci."
Lihat! Bahkan Draco tidak mencari gara-gara. Tapi tersirat gurauan di kalimat sarkastis Harry. "Baiklah. Sayang sekali kau tidak menawariku untuk memanggilmu Kepala Codet."
Harry menyeringai tipis, dan mau tak mau Draco merasa gembira perubahan emosi seorang Potter bisa berubah karenanya. "Aku masih waras, Malfoy."
Draco mengangkat bahu. "Well, Selamat Siang."
Harry mengangguk sopan, lalu Draco berlalu dengan setitik kemenangan dalam benaknya—
—Karena ia sudah tahu bagaimana caranya melunaskan hutang kehormatannya kepada Harry Potter.
Banyak-banyak melakukan hal baik, karena keberuntungan akan cepat datang padamu.
Yah, itu benar.
.
.
"Kita makan di Diagon All—" Blaise tidak melanjutkan kata-katanya, dan menatap Draco dengan mulut menganga.
Draco melirik sinis dengan heran. "Ada apa, Blaise?"
Blaise masih dalam posisi tercengangnya, lalu perlahan pemuda itu memasang mimik biasa dan menatap Draco ngeri. "Apa ini hanya penglihatanku yang salah, atau—kau… berbinar, Drake? Dan bahkan—Demi Upil Merlin—kau berbinar?"
"Oh, tutup mulut," jawab Draco santai, saat ini mood-nya sedang kelewat baik untuk dihancurkan sahabatnya. Draco dan Blaise mulai berjalan beriringan dengan seratus Pegawai Kementerian lain—yang juga sedang mencari tempat untuk makan siang. "Akan kuberitahu saat sampai di restoran nanti."
Blaise hanya mengangguk, dan dari gestur tubuhnya, Draco dapat melihat bahwa sahabatnya itu tengah tak sabar.
Maka ketika mereka berbelok di tikungan ketujuh Diagon Alley dan memasuki salah satu Italian Restaurant, Blaise segera menyeretnya ke meja paling ujung.
"Astaga, Blaise, jangan bertingkah memalukan," gerutu Draco ketika Blaise membantingnya ke kursi kayu.
Blaise mengindahkannya. "Jadi—kutebak, kau sudah menemukan cara untuk membayar hutang kehormatanmu, hm?"
Draco mendengus. "Darimana kau tahu?"
Blaise mengibaskan tangannya. "Tidak penting! Sekarang jelaskan padaku—apa rencanamu, dan darimana kau mendapat inspirasi dalam rencanamu."
Biasanya Draco akan marah apabila Blaise memerintahnya seperti ini, tapi seperti yang dibilang tadi—mood Draco sedang kelewat baik, dan ia memang perlu bercerita kepada seseorang. Jadi Draco membeberkannya semuanya.
Blaise menatapnya seakan Draco sudah gila, lalu berkata lambat-lambat. "Kau… bersukarela menjadi… pelindung istri Harry? Sekaligus penyelidiknya?"
"Yeah," Draco menyetujui dengan singkat, lalu memuntir penne carbonara yang tersaji di depan tubuhnya. Bahkan Draco tidak menyadari makanannya itu telah ia habiskan separuh. Mood memang berpengaruh terhadap segalanya.
Blaise menggelengkan kepalanya. "Kalau kau menyanggah bahwa kau sudah tidak waras, Draco—berarti kau sudah terjerat pesona Harry Potter."
"Apa-apaan, kau?" dengus Draco, tapi satu kalimat itu membuat secercah perasaan tak nyaman dalam hatinya. "Potter sudah beristri, dan kami berdua laki-laki."
"Yah, siapa tahu?" Blaise menyeringai, menabur merica di atas soup-nya. "Lagipula aku tidak bilang kau menyukainya, aku hanya bilang kau terjerat pesonanya."
Draco tidak menjawab apa-apa, hanya menyerang penne-nya ganas, dan Blaise segera terpingkal-pingkal. "Demi Merlin, Drake—kau harus tahu bahwa kau baru saja merona."
Draco menggeram. "Blaise—untuk ukuran laki-laki, kau sangat berisik—dan jika kau tidak membungkam mulut busukmu, aku akan mengumpanmu ke Naga Gringotts."
Blaise masih terpingkal, tapi perlahan ia merubah wajahnya menjadi serius. "Ah—oke. Lalu apa rencanamu selanjutnya? Kau mau mulai kapan?"
Draco terdiam, mengelap ujung bibirnya dengan serbet, lalu menyeringai. "Kau lupa aku dulu mata-mata Death Eaters, Blaise? Aku akan memulainya hari ini, tentu saja."
Draco tersenyum misterius lagi. "Dan untuk rencana awal, aku akan ke Knockturn Alley—melakukan transaksi dengan—ah, Mr. Borgin."
Dan detik itu juga Draco merasa gembira ketika melihat ekspresi Blaise Zabini yang seakan kehilangan kelaminnya.
.
.
Menjadi mata-mata mungkin spesialisasi seorang Draco Malfoy. Ia sendiri heran—mengapa dirinya memilih menjadi Auror dan bukan mata-mata.
Yang terpenting—Draco telah memiliki setumpuk rencana yang tersusun dalam otak Slyherinnya. Ia sudah 'shopping' di Borgin&Burkes, membeli beberapa keperluan dan kehilangan beberapa Galleon (Anehnya, Draco sama sekali tidak menyesal.), lalu ia akan menjalankan rencananya nanti malam.
Malam sudah mulai larut, bahkan beberapa anak buah Draco telah merampungkan pekerjaan mereka dan pulang ke rumah masing-masing. Draco sendiri tinggal menyegel lima laporan, setelah itu ia akan—
Ah, kau tahu sendiri.
"Mr. Malfoy, aku duluan," sapaan sopan itu memukul gendang telinga Draco. Dengan heran ia memandang Lortarius yang tersenyum formal ke arahnya. Draco mengangguk, lalu dengan ragu-ragu membalas senyumnya.
"Sebentar, Lortarius," Draco segera berseru sebelum wakilnya itu pergi. "Apa Potter—Mr. Potter masih ada di mejanya? Apa kau tahu ia akan pulang jam berapa?"
'Nice Step, Draco. Kau kedengaran seperti pemuda menjomblo yang kasmaran dan ingin menggaet atasan sendiri,' Draco memaki dalam hati.
Untungnya, Lortarius tidak berpikir demikian. "Kurasa—tadi Mr. Potter berkata ia akan usai pukul 19.45…," Lortarius mengerling arlojinya. "Berarti ia akan keluar 10 menit lagi."
Draco menghembuskan napas lega, lalu menyingkirkan lembar laporan terakhirnya. "Baiklah. Kau boleh pergi, Lortarius. Terima kasih."
Setelah Lortarius berlalu, Draco buru-buru merapikan jasnya dan berdiri, tapi—
Draco merutuk. Ia melupakan janji kepulangannya pada Narcissa. Seraya melambaikan tongkatnya dan menggumam Expecto Patronum lirih, seekor Chimaera perak terbentuk dan menatapnya.
"Mom, maaf aku tidak bisa pulang selepas makan malam," Draco berdeham. "Aku ada, errr—urusan, sepertinya akan pulang larut. See you, Mom."
Dan Chimaera itu berseruduk keluar—menembus dinding, lalu lenyap.
.
.
Ada kalanya Draco berpikir Harry Potter sungguh-sungguh memiliki sesuatu yang didambakannya di hidupnya.
Harry memiliki kekuasaan—ketampanan, ketenaran, kebaikan, kebajikan, kasih sayang—semuanya. Bahkan Harry Potter memiliki impian konyol yang selalu didambakannya, yaitu; memiliki rumah tinggal di Godric's Hollow.
Memang impian itu terdengar aneh, tapi sejak kecil Draco sudah jatuh cinta kepada Godric's Hollow karena banyaknya sejarah yang tertoreh disana, dan pemuda itu mendambakan hidup dalam rumah yang terpisah dari ayahnya.
Dan sekarang ia telah menginjak jalan impiannya. Ironisnya, Draco kesini bukan untuk mewujudkan cita-citanya tapi—
Untuk menguntit pemuda dengan bekas luka kilat di dahinya, yang sekarang telah berjalan cukup jauh darinya, di depan.
Draco memantapkan hatinya, lalu seraya menebar Bubuk Kasatmata (yang dibeli pagi tadi di Borgin&Burkes) ia melangkah ke jalan bebatuan yang diselimuti salju, dan dengan hati-hati menghapus jejak kakinya.
Tadinya Draco merasa yakin 98 % rencananya akan berhasil, tapi…
"Siapa disana?"
Harry Potter menoleh ke arahnya dengan waspada. Memang Draco tak kasatmata—tapi jika diamati seperti ini…
Draco bergeming, berusaha tidak membuat suara. Harry Potter juga masih bergeming di tempatnya, sampai akhirnya pemuda itu mengeluarkan tongkat sihirnya. Draco tercekat.
"Jika kau tidak menunjukkan identitasmu, maka aku akan melayangkan Cruciatus untukmu," ancam Harry, manik emeraldnya berkilat berbahaya.
Draco masih bungkam. Satu sisi, ia masih ingin hidup untuk membayar hutangnya sekaligus menjaga gengsinya. Di sisi lain—ia tak ingin rencananya diketahui.
"Well," Harry bergumam. "Jika itu yang kau mau—Cru—"
"STOP!" pekikan Draco bergaung di jalan bebatuan yang sepi. Draco terengah, Harry termangu—dan sejenak kesunyian kembali merambati mereka.
"Malfoy?" Harry kembali pulih dari keterkejutannya, lalu emosinya berubah menjadi curiga lagi. "Kau Malfoy yang asli atau tiruan?"
Lalu Harry merangsek maju dengan kecepatan tak terprediksi, lalu mencengkram kerah Draco. "Jawab, penguntit. Apa yang terjadi di Kamar Kebutuhan saat Perang Besar?"
Oh, no way. Jangan pertanyaan ini. Jadi Draco terdiam, dan Harry semakin gusar. "JAWAB, SIALAN!"
"Harry Potter menyelamatkanku. Dan—Goyle. Dengan sapu, Fiendfyre. Yeah," Draco menjawab linglung, setengah benci pada dirinya sendiri karena bertindak begitu bodoh.
Harry melepaskan cengkramannya, tapi ekspresi kalut dan gusar belum sirna dari wajahnya. "Ya, kau Draco Malfoy," gumam Harry, menggelengkan kepalanya. Lalu maniknya kembali menyipit. "Dan alasan logis apa yang bisa kau utarakan jika aku bertanya mengapa kau disini?"
"Kau tak perlu tahu," tukas Draco cepat.
"Oh, aku harus tau," bentak Harry.
"Godric's Hollow adalah jalan umum."
"Terlalu umum sehingga kau berjalan dengan Serbuk Tak Kasatmata?" Harry bertanya dingin, dan serta-merta Draco terbungkam.
Harry mengarahkan tongkat sihirnya searah manik kelabu Draco dengan tenang. "Walau kutahu kau telah menyebrang pihak, Malfoy—aku tetap akan menyerangmu apabila kau tak menjelaskan alasanmu berada disini."
Draco tak punya pilihan. Ia memutar otaknya cepat—dan berkata cukup tenang, "Aku ingin—mengunjungi makam sanakku. Di Pemakaman."
Dan untunglah Draco merona, semakin memperkuat alasannya—dan pastilah Harry menyangka Draco memerah karena memiliki saudara disini. (—yang sebenarnya Draco merona karena menyadari jarak bibir mereka yang hanya beberapa senti, Demi Merlin—)
Tapi sayang Harry belum percaya. "Oh ya? Kalau begitu tunjukkanlah makamnya padaku."
Hati Draco mencelos. Dengan sedikit keberuntunganlah ia dapat menemukan makam darah murni di Godric's Hollow, mengingat mereka; Para Darah Murni bahkan dalam kuburnya tak mau disamakan dengan Muggle.
"Aku—baru saja pulang," Draco mendengus gugup. "Dengar, sebenarnya aku punya urusan mendesak dengan Ayahku—dan aku harus segera pulang ke rumah."
"Dan mengapa kau menguntitku?"
Draco memaki dalam hati. "Aku—err, tidak tahu tempat yang kugunakan tadi untuk Ber-Apparate, jadi… kupikir…"
Harry menurunkan tongkatnya, dan Draco menghembuskan napas lega. Setidaknya ia tak akan mati malam ini. "Dimana tempatmu Ber-Apparate?"
Draco bersyukur ia mengingat nama jalan tadi. "Little Worthingthon."
"Ikuti aku."
Dan walaupun ia gagal menjalankan misinya, entah mengapa Draco merasa bahagia—entah karena kenyataan gila bahwa ia dan Harry berjalan beriringan dalam siraman salju yang begitu romantis, atau karena kenyataan bahwa Harry tak curiga lagi.
Satu hal yang ia tahu: ada perasaan yang berkembang dalam hatinya, dan perasaan itu sangat, sangat salah.
—1 of 2 finish—
Cuap-Cuap Sayur Lodeh:
A- astaga, maafkan Bea telah membuat fic abal ini TAT mu- muaaffff! Slash pertama, dan beribu maaf saya hanturkan karena Slash dalam fic ini agak kaku. Bener gak? *nangis gelindingan* oke, oke, stop. Nanti saya malah gak publish fic ini /plak.
Sebenarnya, saya termasuk 60 % Straight—yang berarti saya 40 % fujoshi (seperti yang tertera di profile saya._.)—dan Slash pair yang saya gilai(?) itu SBRL, Drarry sebenernya juga, tapi lebih condong ke SBRL. T- tapi saya malah belum ngepublish SBRL apapun, dasar fans gaguna /dor 8D
Te- terus maaf juga kalo Draco kerasa kayak Uke disini T_T (dan dodolnya lagi, saya baru nyadar di tengah cerita *gelundungan* ;w;) padahal gak maksud, serius. Saya pun lebih menyukai Draco x Harry dengan kedudukan Seme x Uke. TAPIGAKMAUTAHU! INI MASIH SAYA ANGGAP DRARRY! /plugduesh tunggu aja ya Harry, aku akan membuatmu menjadi uke di fic Drarry yang lain ;_;
Dan, HanariaBlack, jika kau datang untuk bertandang, apa Bea sudah kehitung ngebuat Drarry ini namanya? ;_;
Dah ah rambling/randomnya. Berikan Bea saran, kritik, cacimaki, konkrit, apapun di kotak review! Terbuka, terbuka yak sayang anak *buka lapak* *digiling* dan uhm, coba lihat… part 2nya akan saya update minggu depan jika memungkinkan (dan ada yg minta._.)
Btw, ini angst...…...hehe. /dor
2816 words only. (Without A/N and CCL) 4/4/2012,
Ah noo bees,
Bea.
