Jepretan dari kamera yang menyala dari ujung panggung hingga orang - orang yang melihatnya, menatapnya dengan tajam juga ayahnya. Si tua itu menatapnya dengan tajam saat anaknya berjalan di runway. Anaknya tidak berani menatapnya. Kakinya bergetar seakan meminta pertolongan untuk keluar dari tempat ini.

Senyum - senyum terpatri saat Yoongi berjalan di panggung runway. Menatap bajunya yang ia pakai, tidak salah lagi menjadi model dan berjalan layaknya peragawan. Tapi itu tidak benar, ini bukan keinginan seutuhnya. Ia seharusnya terbebas dari semua ini, kalau bukan permintaan ayahnya yang kejam itu menginginkan anaknya menjadi model papan atas, dan mengekspos tubuhnya di setiap pemotretan. Dan kalian harus tahu, bahwa ayahnya tidak pernah absen menemani dia untuk sehari saja.

Mungkin kalian akan melihat bahwa ia ada anak kesayangan, tapi. Tentunya, tidak.

"Kau berjalan dengan bagus, Yoongi." Seorang desainer menyanjungnya di hadapan ayahnya yang sudah di sampingnya.

Dengan tubuh yang sedikit bergetar ia menatap ayahnya yang tinggi lebih darinya dan juga tubuh kekar itu.

"Dad," panggil Yoongi tanpa menatap ayahnya.

"Kau tidak menjaga tubuhmu, kan?"

Yoongi memundurkan tubuhnya, tidak berani menatap ayahnya.

"Pagi tadi kau makan apa? Ini New York Fashion Week, Yoongi. Bukan hal main - main kau berada di sini. Kalau bukan aku yang mendidikmu hingga kau bisa berdiri di sini, kenapa kau bisa berlaku seperti itu."

"Ingin menambah berat badan, hm?" bisik ayahnya. Memang terdengar dengan jelas desisan suara ayahnya itu. Tapi, ia yakin, ia tidak memakan hal yang merugikan tubuhnya.

"A—aku."

"Setelah ini ada photoshoot dan kau mau menghancurkan tubuhmu di kamera?" tanya ayahnya dengan desisan menyeramkan.

Yoongi menggeleng. "Jadi, jawab aku apa yang kau makan pagi tadi, atau mungkin siang tadi."

"Pipimu terlihat tembam. Bukan tirus." Mau berapa kali yang harus Yoongi katakan bahwa pipinya itu tidak akan bisa tirus.

"Pagi tadi aku meminum segelas anggur. Itu saja."

Ayahnya menggeram marah, bagaimana bisa anaknya yang harus datang ke acara seperti ini, lalu paginya meminum segelas anggur. Persetan. Apa Yoongi ingin menghancurkan acara ini dan mempermalukan ayahnya di depan para kritikus fashion?

Setelah ini ia harus mengikuti photoshoot majalah ternama di seluruh dunia, siapa yang tidak tau majalah Vogue New York, ia menjadi salah satu model halaman pertama untuk bulan depan. Yoongi pun sebenarnya tidak begitu senang karena ayahnya akan membicarakan itu setiap hari di depan rekan kerja sesama model ataupun aktor yang dikenal oleh ayahnya.

"Ayo, kita tidak punya cukup waktu." Ayahnya menarik tangannya keluar dari tempat ini tanpa harus Yoongi mengganti pakaiannya.

"Kau akan makan saat makan malam bersama para model nanti malam, mungkin setelah itu aku akan membebaskanmu sehari," ujar ayahnya menuju mobil yang terparkir di basement.

Yoongi menatap kota New York di musim panas yang akan menjadi musim gugur, seperti dirinya yang tidak pernah tersenyum, karena ia tidak tahu harus kabur dari kukungan ayahnya seperti apa.

Sebenarnya sedari tadi, perutnya sudah berteriak meminta asupan, karena sejak kemarin ia tidak memakan apapun kecuali segelas anggur pagi tadi. Ia tidak habis pikir bagaimana ayahnya itu tahu bahwa anaknya sehabis makan atau minum. Sampai kapan ia harus menyiksa dirinya untuk menjadi model yang sempurna. Tidak bisa menjadi lelaki di luar sana yang senang – senang saja bermain dengan temannya. Fakta menarik, dia tidak memiliki teman seumur hidupnya, teman dekat maksudnya.

Itu dilarang oleh ayahnya.

Pemotretan berjalan lancar, tidak ada yang harus Yoongi pikirkan, tapi hanya satu ia tidak bisa makan dan harus menahan lapar hingga malam tiba. Makan malam bersama model terkenal yang diselenggarakan oleh CEO muda.

Ia tidak tahu siapa CEO muda itu, kenapa ia harus mencari tahu.

Apa yang harus ia lakukan dengan tubuhnya sekarang, apa ia harus berdiam diri, atau berendam air hangat sampai malam tiba untuk menenangkan pikirannya.

Meski ia dikatakan sempurna oleh orang lain, ia masih belum sempurna di hadapan ayahnya, dan Yoongi benci akan itu.

Sampai di apartemennya yang hanya sendiri kadang berdua dengan ayahnya jika si tua itu ada urusan lain. "Aku akan mandi dulu, lalu istirahat, panggil aku jika sudah akan bersiap." Kata Yoongi tanpa melihat ayahnya, lalu pergi ke lantai atas, ke kamarnya yang luas itu.

Ia tersuguk menangis tidak tahu harus berlaku apa untuk menolak permintaan ayahnya, ia ingin menjadi sempurna tapi tidak dengan ini. Jangan menyakiti dirinya atau jiwanya.

Yoong berjalan ke kamar mandi menyalakan air hangat lalu membuka bajunya, berendam di sana. Berharap ini akan menyelesaikan masalah dipikirannya. Maafkan aku tidak bisa memberimu makan, ujar Yoongi dalam hati kepada perutnya yang sedari tadi berteriak minta makan.

Setelah bersedih, ia menatap dirinya di kaca yang semakin kurus mungkin, lihat saja tulang selangka yang semakin timbul.

"Yoon, kau sudah di kamarmu dua jam, sayang," panggil ayahnya lembut dari luar.

"Aku akan bersiap..."

"Kutunggu dua puluh menit lagi."

Yoongi menyiapkan dirinya dengan setelan formal karena makan malam ini akan di kunjungi banyak orang terkenal, meski ia sudah terkenal karena ayahnya.

Lagi – lagi ayahnya harus mengatakan bahwa ia harus mendekati CEO itu, persetan. Ia saja belum kenal orang itu.

Jalanan New York tidak macet, tidak seperti biasanya, padahal ini sudah malam. Ia cukup senang bahwa ia akan memanjakan diri di depan teman modelnya yang sebenarnya tak terlalu dekat. Persetanlah, dengan pertemanan, kadang Yoongi tidak membutuhkan itu.

"Hey, Yoongi," panggil seseorang dari belakang sambil membawa segelas anggur putih yang sangat ia sukai. Dan pastinya mahal.

"Oh, Hoseok." Yoongi tersenyum melihat temannya si photografer ceria itu. Tidak seperti Yu Tsai yang akan naik darah jika melihatnya untuk photoshoot karena ia tidak bisa mengeluarkan wajah sangar.

"Tidak bersama ayahmu, hm." Yoongi menyunggingkan senyum canggungnya pada Hoseok yang menatap wajahnya ingin tahu.

"Hm—m," ujar Yoongi. Matanya mengedarkan ke seluruh ruangan menatap seseorang yang menarik perhatiannya, apakah itu yang ayahnya katakan. Seseorang yang sudah mengundangnya di makan malam ini, atau pesta ini. Karena tidak terlihat seperti undangan makan malam.

"Kuharap kalian senang dengan ini," ujar pemuda itu dari beberapa anak tangga agar terlihat di para undangan. Mata Yoongi menatapnya lamat hingga ia tidak pernah bosan melihat pemuda itu. Pemuda yang membuatnya bungkam untuk hanya melihatnya. Kalian perlu tahu bahwa tatapannya itu menyeramkan, seperti elang ingin menerkam mangasanya dari jauh.

Tubuh Yoongi membeku menghadap ke depan hanya untuk menatap pemuda tampan itu, hingga pemuda itu membalas tatapannya. Tatapan yang lebih tajam, hingga tubuhnya benar – benar membeku. Napasnya pun tercekat karena pemuda itu mulai menghampirinya. Benar – benar menghampirinya.

"Ah—aku tahu kau..." ujar pemuda tegap, tampan, dan mengintimidasi di hadapan Yoongi. Mulutnya tidak benar – benar menganga tapi ini benar memalukan menurutnya.

"Anak laki – laki James Mason, hm." Yoongi pun baru ingat bahwa ayahnya mengganti nama keluarganya.

"Tepat," ujarnya berupaya tegas, seperti yang dilakukan pemuda di depannya.

Bagaimana bisa ia baru berada di sini sekitar sepuluh menit, tapi sudah ada kejadian seperti ini.

"Ayo pergi dari sini, aku ingin mengenalmu," ucap pemuda itu menarik tangan Yoongi erat, keluar dari keramaian yang sudah ia ciptakan. Dan perlu juga untuk mengetahui bahwa ia sudah ditatap ayahnya dari kejauhan, serta orang – orang yang diundang di sini.

"Kau Korea, kan?" tanya pemuda itu, tetap sambil menggenggamnya di atap.

"Ya, dan sepertinya kau pun juga."

"Aku Park Jimin, jika kau ingin tahu," ujar pemuda itu sambil menampilkan senyum dinginnya, hingga Yoongi menggedikkan bahunya.

"A—ku,"

"Kau, Yoongi, Min Yoongi. Si model terkenal itu tapi terkekang oleh ayahnya." Jimin menatap mata jenuhnya dalam hingga Yoongi pun bisa merasakan hembusan napas dinginnya.

"Bagaimana kau tahu, tentang—itu.."

"Aku hanya tahu, sayang..." ucap Jimin mengecup perpotongan leher jenjangnya, ia bisa merasakan bahwa Jimin menghisapnya.

"Aku juga tahu, apa yang sudah dilakukan ayahmu hingga kau seperti ini."

"Kau penguntit!" Yoongi mendorong tubuh kekar Jimin, tapi tangannya digenggam oleh pemuda bernama Jimin itu. Persetan, dengan kehidupan yang sudah diketahui oleh Jimin.

Mata Jimin menggelap, hingga Yoongi tak berani menatapnya. "Lepas, Jim." Rintih Yoongi disela – sela tangisannya.

"Maaf—" Jimin mencium bibir Yoongi, mengecupnya pelan hingga Yoongi berhenti terisak.