Di Balik Sebuah Nama
Gundam Seed/Destiny belongs to its owner: SUNRISE, BANDAI, and its creators
No material profit taken from this.
Fantasy/Romance
T rated
Warning: OOC, short multichapter, AU, typo(s), kegajean cerita dan penulisan.
Hope you enjoy!
.
Seorang pemuda dengan rambut biru tua yang agak gondrong dan berantakan melangkahkan kakinya dengan santai menyusuri hutan. Laki-laki itu mendongakkan kepalanya dan menarik udara segar dalam-dalam, masuk menuju paru-parunya. Langit cerah dengan awan-awan putih yang berlayar terlihat dari balik pohon-pohon rindang yang tersebar di sekelilingnya. Burung-burung kecil yang sibuk bermain mengeluarkan kicauan merdu nan ramah. Ayunan dan suara gesekan daun yang bergerak ikut mengantarkan semilir angin yang menggelitik kulitnya.
Ia tersenyum. Sudah lama ia tidak menginjakkan kaki di hutan yang sudah seperti halaman rumahnya ini. Mungkin kali ini ia bisa menyelesaikan perjalanannya dengan tenang tanpa harus menghunus pedang atau panah. Yah, ia berharap monster-monster dan hewan buas di hutan ini memilih untuk tidur dan santai-santai saja di hari yang sebegini cerah.
Pemuda itu menghentikan langkahnya tiba-tiba. Ia mendengar sesuatu. Dipejamkan kedua matanya dan ia mencoba mendengarkan suara itu dengan lebih baik. Suara itu ... nyanyian?
Ia segera beranjak ke arah suara tersebut dengan terburu-buru. Apa yang dilakukan seorang perempuan di tengah hutan liar seperti ini dan menyanyi? Itu seperti melakukan piknik dan menyalakan api unggun di goa beruang!
Karena terlalu terburu-buru, lelaki tersebut tidak menyadari kalau orang yang dicarinya ternyata sudah berada tepat di depannya. Mata laki-laki itu membulat dan berusaha menghentikan kecepatannya namun terlambat. Terdengar suara yang agak keras saat kedua orang itu bertubrukan. Sang pemuda dengan sigap mencengkram kedua lengan si gadis dan memutar tubuhnya agar saat mereka berdua mencapai tanah, ia tidak akan menimpa sang gadis dan menimbulkan cedera yang tidak diinginkan. Keduanya berguling untuk beberapa saat sebelum akhirnya mereka berhenti dengan sang gadis mengerang di atas sang pemuda.
"Tadi itu ... cukup menyakitkan," gumam laki-laki itu sambil mengerjap beberapa kali.
Tudung jubah gadis itu tersingkap, memperlihatkan surai merah mudanya yang indah kini disinggahi oleh beberapa rumput dan daun. Ia menggelengkan kepalanya beberapa kali sambil mengerang sebelum akhirnya membuka mata dan menemukan seorang pemuda bermata emerald telentang di bawahnya. Ia mengeluarkan pekik tertahan sebelum berdiri dengan cepat dan mengambil jarak aman. "Kau siapa?" tanyanya cepat.
Pemuda itu mengangkat dirinya dengan lebih pelan dan menepuk-nepuk mantel serta jubah kelabunya sekadarnya. "Hanya seorang pengembara," jawabnya tenang. Ia mengangkat kepalanya dan menarik napas panjang. Matanya sedikit membulat saat ia benar-benar melihat sosok sang penyanyi. Tubuhnya yang ramping tapi tidak terlalu kurus itu terbilang cukup tinggi untuk ukuran perempuan. Jubah cokelat tua menutupi gaun sederhana berwarna biru muda yang menjuntai sampai menutupi sebagian punggung kaki putihnya yang dilapisi ... boots?
Laki-laki itu memicingkan matanya dengan kepala sedikit terjulur, berusaha memastikan. Ya, benar. Tidak salah lagi sepatu kulit warna cokelat gelap itu adalah boots. Perempuan mana yang memasangkan boots dengan gaun panjang? Ia menaikkan pandangannya sedikit dan melihat sabuk dengan sebilah pisau yang melingkar di pinggangnya. Matanya kembali mendaki. Kini ia juga melihat quiver dan busur tersampir di punggung gadis itu. Sebuah tas kulit kecil melingkar melewati bahu kanannya. Pemuda itu bersiul. "Apakah gadis di depanku ini juga pengembara?" yang bergaun, tambahnya dalam hati.
Jemari gadis itu menggapai puncak gagang pisaunya dalam diam. Tetap waspada, bagus, gumam sang pengembara—tak luput melihat tindakan kecil tersebut. "Aku hanyalah seorang songstress, Tuan Pengembara. Aku hanya tidak menyangka akan mendapat 'serangan tiba-tiba' dari ...," ia mengangguk ke arah pemuda itu, "darimu."
"Aah." Sang pengembara tahu benar gadis itu menanti penjelasan. Akhirnya ia memutuskan untuk mendekat. Belum genap dua langkah, pemuda itu berhenti saat ia melihat sang penyanyi menggenggam gagang pisau di pinggangnya erat-erat. Pemuda itu menghela napas dan mengangkat kedua tangannya. "Tenanglah. Aku tidak memiliki maksud buruk apa pun terhadapmu."
"Begitu juga yang dikatakan para bandit saat mengincar seorang gadis yang tidak berdaya," sergah pemilik mata biru muda di depannya dengan tenang.
Pemuda itu mengangkat kedua alisnya. Masuk akal. "Mereka juga akan menyuruh gadis itu menyerahkan dirinya sambil mengakatan 'akan melakukan sesuatu yang menyenangkan' dengan seringai menjijikkan—apa aku terlihat seperti itu di matamu?" tanyanya lagi.
Gadis itu terdiam beberapa lama sambil memerhatikan sosok pengembara berbaju kumal di depannya dengan seksama. Akhirnya gadis itu hanya menghela napas dan melepaskan tangannya dari gagang pisau. "Maaf atas tindakanku yang tidak ramah, tapi bisa tolong jelaskan kenapa kau tiba-tiba muncul entah dari mana dan menubrukku? Apa ada yang mengejarmu?" tanyanya sedikit khawatir.
Pengembara itu terkekeh. "Aku minta maaf soal itu—dan tidak, aku tidak sedang dikejar. Aku hanya mencoba bergegas untuk menghentikan seorang songstress," ia menekankan dua kata terakhirnya, "untuk melakukan hal berbahaya seperti menyanyi di tengah hutan liar. Sebagai informasi seandainya kau tidak tahu, Nona Songstress, tindakanmu itu bisa menarik perhatian monster atau hewan buas."
Lagi-lagi gadis itu menghela napas panjang dan ekspresinya berubah sedih. "Maaf, kau benar. Kupikir burung-burung, pepohonan, dan beberapa hewan kecil yang damai di hutan ini akan menyukainya. Aku lupa nyanyianku juga bisa memberi tahu monster atau pun hewan buas akan keberadaanku," sang gadis tersenyum kecil, "terima kasih sudah mengingatkan, Tuan Pengembara."
Pemilik surai biru tua itu menurunkan tangannya. Roda di kepalanya mulai berputar. Meski gadis berambut merah muda di depannya ini memiliki pisau dan panah yang terlihat siap digunakan kapan saja, sepertinya gadis itu tidak terlalu berpengalaman dalam perjalanan di alam liar. Belum lagi gaun itu. Gaun itu terlalu bersih untuk seorang songstress yang sedang melakukan perjalanan seorang diri. Memang, beberapa songstress sering berpindah antara satu kota ke kota lain untuk mencari pekerjaan di mana kemampuan mereka dibutuhkan. Nyanyian seorang songstress terkenal bisa menguatkan semangat dan menghibur hati para kesatria yang sedang berperang atau bertugas. Meski begitu, biasanya mereka tidak melakukan perjalanan seorang diri dan—kembali—penampilannya terlalu bersih.
"Kemarilah, Nona," ujar pemuda itu dengan seulas senyum tipis—berusaha ramah.
Tangan gadis itu dengan sigap kembali menggenggam pisau. Tatapannya tajam meski raut wajahnya tetap tenang. "Sekarang kau benar-benar mengatakan hal yang sama seperti para bandit yang mengincar perempuan."
Pengembara itu terdiam sejenak sebelum tertawa terbahak-bahak. Gadis itu menaikkan satu alisnya dengan kedua tangan terlipat di depan dada. "Dan sekarang kau juga menarik perhatian semua penghuni hutan ini—termasuk yang tidak diinginkan."
Sang pemuda berusaha mengendalikan tawanya dengan satu dehaman keras. Ia kembali mengangkat kepalanya dan menemukan tatapan aneh yang diberikan sang gadis untuknya—meski baginya hal itu justru terlihat menarik. "Maaf—sungguh—aku tidak bermaksud macam-macam. Oh, ya, di mana sopan santunku?" ia menunduk singkat dengan lengan kanan berada di atas dada kirinya, "namaku Athrun, pengembara dari Julius."
Gadis itu melakukan hal yang sama. "Lacus, songstress dari Copernicus."
Athrun memutuskan untuk mendekati Lacus karena ia yakin gadis itu akan benar-benar menarik pisaunya jika ia menyuruh sang songstress untuk menghampirinya lagi. Melihat tidak ada reaksi penolakan dari Lacus—hanya sikap siaga yang terus ia pasang—Athrun meneruskan langkahnya. "Apa yang dilakukan seorang songstress dari Copernicus sendirian di tengah hutan milik Julius ini?" tanyanya sopan.
Gadis itu melihat ke arah langit sejenak lalu tersenyum. "Sebaiknya kita lakukan sambil berjalan jika kau masih mau mengobrol, Tuan Pengembara." Lacus menarik tudungnya lagi dan mulai berjalan melewati Athrun. "Aku sedang dalam perjalanan menuju Julius karena ada suatu pekerjaan yang harus kulakukan sendirian. Bagaimana denganmu, Athrun?"
"Ah, kebetulan aku juga sedang menuju Julilus," jawabnya pelan. Ia mulai membayangkan kota kecil yang indah di balik bukit dengan air terjun yang mengalir di antara dua karang, membuat embun dan pelangi yang selalu bisa dinikmati saat hari cerah. Rumah-rumah bercat putih tersusun rapi dan bertingkat-tingkat dengan sebuah kastil megah berwarna putih di bagian belakang kota. Gambaran damai kota itu masih jelas di ingatannya meski ia sudah tidak pernah kembali sejak lima tahun yang lalu.
Lacus menangkap ekspresi menerawang itu di mata sang pemuda. "Pulang ke rumah, ya? Apa ada sesuatu?" tanyanya lembut.
Athrun menimbang-nimbang jawabannya. Memang, sebenarnya ia pulang karena ia mendapat suatu kabar tidak mengenakkan dari ayahnya, lebih tepatnya sebuah perintah. Yang membuat langkahnya berat untuk pulang adalah perintah itu yang akan membuat hidupnya tidak akan lagi sama. Sebuah tanggung jawab dan komitmen besar yang dipaksakan sang Ayah. Athrun harus menikah dengan putri Raja Copernicus yang akan datang tujuh hari lagi sejak kabar itu sampai padanya—dua hari lagi kalau melihat tanggal sekarang.
Tanpa sadar, kedua tangan Athrun sudah terkepal. Pengembara mana yang terikat dengan pernikahan, hah!? Padahal ia sudah sengaja memilih jalan sebagai pengembara agar bisa menghindar dari tanggung jawab sebagai pewaris takhta raja—sebut dia lari dari tanggung jawab, ia tidak peduli.
Oh, ya, ayah Athrun adalah seorang Raja Kerajaan Julius, Patrick Zala. Meski kerajaan tersebut adalah kota kecil, namun termasuk sebuah kerajaan besar karena andilnya dalam perdagangan dan terkenal akan kekuatan militernya. Pemanah-pemanah dan ksatria berkuda terbaik berasal dari sana dan tak jarang sering dikirim oleh sang raja untuk membantu kerajaan aliansi. Athrun menghela napas. Kalau membayangkan hari-hari muda sampai tuanya dihabiskan di kursi takhta sambil memberi perintah dan memikirkan jalan keluar dari setumpuk masalah yang diwakilkan oleh tumpukan perkamen laporan setiap harinya, hal itu membuatnya merinding. Namun apalah daya, ayahnya dengan jelas mengatakan jika ia memang tidak menyetujui perjanjian persaudaraan antarkerajaan ini, ia sendiri yang harus mengatakannya di depan mata Raja Copernicus. Sang ayah benar-benar lepas tangan.
Tiba-tiba sebuah pemikiran terlintas di kepalanya. Ia menarik tangan Lacus dan menatap gadis yang terkejut itu lekat-lekat. Lacus—yang tentu saja bingung dengan tindakan tiba-tiba rekan seperjalanan barunya ini—hanya diam dan balas menatap mata Athrun tanpa berpaling sedikit pun.
Tidak ada mahkota atau tiara di atas kepala gadis ini. Rambutnya yang terurai itu pun dibiarkan begitu saja dengan berantakan. Wajah putihnya polos tanpa sentuhan riasan dengan sedikit debu yang menempel. Kini matanya beralih pada tangan sang gadis. Tangan itu sedikit kasar dan kuku-kukunya pendek dengan sedikit tanah di sela-selanya. Ia melepaskan tangannya dan menghela napas lega. Ya, tidak mungkin gadis ini adalah seorang putri. Pakaiannya terlalu sederhana dan 'kurang layak' bila dibandingkan dengan baju kebangsawanan yang sering ia lihat di istana. Seorang putri juga tidak mungkin mengenakan sepatu boots yang dipadukan dengan gaun. Ia juga tidak mungkin memilki kuku, tangan yang kasar, dan rambut yang kotor karena seorang putri harus selalu menjaga penampilannya di depan rakyat dan memiliki banyak pelayan yang selalu menyiapkan kebutuhannya dan pengawal yang siaga melindunginya. Lalu yang paling penting, seorang putri tidak akan membawa senjata seperti ini—apalagi panah—dan berjalan-jalan di hutan liar tanpa pengawal seorang pun. Lagi pula ayahnya sudah bilang kalau rombongan Putri Copernicus baru akan tiba dua hari lagi sedangkan ia dan Lacus hanya harus melewati satu hari ini agar bisa sampai di tempat tujuan.
"Athrun?" panggil Lacus lagi, mulai khawatir karena sejak tadi pemuda di sampingnya ini hanya diam.
"Ah, maaf," pemuda itu kembali menatap sang pemanggil, "ya, ada masalah yang harus kuurus. Ngomong-ngomong, raja kalian orang yang seperti apa?"
Lacus terlihat terkejut dengan pertanyaannya yang tiba-tiba. "Kenapa? Apa kau membuat masalah dengan raja kami?" tanyanya cemas.
"Tidak—maksudku ... belum."
Langkahnya terhenti dan kali ini giliran Lacus yang menatap Athrun lekat-lekat. "Masalah apa yang akan kau buat dengan raja kami, Tuan Pengembara?" tanyanya sengit sambil berkacak pinggang.
Athrun balas menatap dengan pandangan sama. "Kenapa kau begitu peduli, Nona Songstress?"
"Kenapa? Tentu saja karena yang sedang kita bahas di sini adalah raja kami, pemimpin kami."
"Kalau begitu aku balik bertanya, pekerjaan sepenting apa yang harus kau lakukan di kerajaan kami sampai kau harus melakukannya seorang diri," balasnya tenang.
Gadis itu membuka tutup mulutnya dengan mata membulat. Setelah sekian lama, ia menggigit bibir bawahnya sebelum menghela napas berat—lagi. "Ada sesuatu yang harus kuperiksa karena menyangkut masa depanku—meski apa pun hasilnya, aku tetap tidak akan bisa melakukan apa pun." Lacus mengambil napas panjang sebelum kembali berjalan. "Kau benar. Maafkan aku karena sudah menekanmu. Itu urusanmu dan tidak pantas bagiku ikut campur."
Athrun menaikkan kedua alisnya, tidak menyangka Lacus akan melepaskannya semudah ini. Akhirnya ia hanya tersenyum dan menyusul langkah sang gadis. "Hei, santai saja. Jangan terlalu dipikirkan. Aku bisa berjanji padamu kalau aku tidak akan melukai apalagi mengancam nyawa rajamu—ayahku akan membunuhku terlebih dulu."
Lacus tertawa kecil mendengar jawaban itu. "Oh, tentu saja, Athrun. Seandainya ayahmu tidak membunuhmu terlebih dulu, aku yang akan menyelesaikan pekerjaannya—bersama rakyat Copernicus lainnya."
Athrun ikut tertawa. "Aku bahkan tidak mau membayangkannya."
Mereka berdua terus berjalan tanpa ada yang bicara. Namun kesenyunyian itu tidak lagi canggung. Masing-masing menikmati ketenangan alam yang ditawarkan Hutan Julius. Beberapa kali Athrun menangkap Lacus menggumamkan sebuah lagu dengan merdunya dan sang penyanyi sendiri sepertinya tidak sadar akan hal itu. Kali ini Athrun tidak begitu mempersoalkannya. Selain karena volume suara yang dikeluarkan Lacus tidak begitu besar, jujur, ia juga menikmatinya. Dadanya terasa hangat dan pikirannya segar. Semangatnya meningkat seolah seandainya ia harus melawan segerombolan orc sekarang juga, ia yakin ia bisa melakukannya tanpa masalah. Ia tersenyum kecil. Akhirnya ia bisa merasakan sendiri kekuatan suara songstress yang selama ini hanya pernah ia dengar dari beberapa kesatria yang ia temui di sebagian besar kota yang sudah ia datangi.
Rasa penasaran pemuda itu kembali muncul saat melihat quiver penuh berisi anak panah dan busur di punggung Lacus. Akhirnya ia bertanya, "Kenapa kau membawa busur, Lacus? Pisau aku masih mengerti, tapi busur?" ia mengangguk singkat, "senjata itu untuk laki-laki, Lacus—semua senjata. Tidak hanya busur."
Gadis itu menoleh sedikit dan mengeluarkan seringai meledek. "Seperti memasak itu untuk perempuan?" ia mengangguk ke arah panci yang tergantung di ransel sang pengembara.
Athrun tertawa. "Hei! Ini peralatan untuk bertahan hidup!"
"Dan menjahit juga untuk perempuan?" gadis itu kini mengangguk ke arah Athrun sendiri.
Pemuda gondrong itu mengangkat lengannya sebentar dan memerhatikan mantel cokelat lusuh di badannya yang tertutupi jubah. Beberapa jahitan dari yang rapi sampai berantakan sudah menjarah sebagian permukaan mantel tua itu. Athrun mengerang. "Baiklah, baiklah. Kau menang."
Tawa merdu Lacus kembali terdengar. "Kami tidak terlalu berbeda dengan kalian, Athrun. Kami memegang senjata untuk bertahan hidup, itu saja. Seorang wanita tidak boleh selalu bergantung pada laki-laki, kan? Ada saatnya laki-laki tidak ada untuk melindungi kami."
Athrun terdiam mendengar perubahan nada bicara Lacus. Gadis itu menundukkan pandangannya dan matanya sedikit berair. Athrun yakin ada sesuatu di balik kata-kata itu—mungkin kenangan tidak menyenangkan yang dialaminya. Namun Athrun memilih untuk diam. Ia tidak akan memaksanya. Lagi pula mereka berdua belum genap satu hari bertemu. Gadis itu akan menceritakannya jika ia memang merasa perlu.
Pemuda itu mengambil tangan kanan Lacus dengan tangan kirinya dan meremasnya pelan. "Kau gadis yang kuat." Seulas senyum hangat terkembang di wajahnya.
Lacus membalas dengan senyum tipis di bibir merahnya dan mengangguk. "Terima kasih."
Kesunyian yang menenangkan kembali menemani perjalanan dua orang manusia itu. Hanya suara nyanyian hutan dan penghuninya yang sibuk bermain yang terdengar.
.
Lacus mendongakkan kepalanya dengan khawatir. Matanya menangkap langit yang mulai menggelap dengan awan-awan kelabu yang bergerak cepat. "Sepertinya akan hujan," gumamnya cukup keras untuk bisa di dengar Athrun.
Pemuda itu menoleh ke arahnya sejenak sebelum mengalihkan pandangannya ke arah yang sama. "Kau benar, tapi tidak perlu khawatir." Lacus menatap Athrun yang kini tersenyum padanya. "Kita akan sampai tengah malam nanti jika kita terus berjalan—dan tidak ada insiden yang menimpa kita."
Lacus mengangguk. Ia mengerti benar maksud insiden yang dikatakan Athrun apa. Mereka berdua tidak pernah tahu kapan orc, goblin, atau serigala dan kucing hutan datang menyerang mereka. Gadis bermata biru itu kembali melihat langit. Hari sudah sore. Ia hanya bisa berdoa semoga beberapa jam lagi menuju tengah malam akan berjalan dengan tenang.
Sang songstress mengangkat tangan kanannya sedikit dengan dahi sedikit berkerut. Tangannya masih gemetar. Ia masih ingat jelas segerombolan kucing hutan yang mengepung mereka tadi siang tidak lama setelah mereka beristirahat. Athrun terus menempelkan punggunggnya pada Lacus dengan tangan kiri terentang secara protektif sedangkan tangan kanan menggenggam busur. Lacus tidak ragu sama sekali dengan kemampuan bertarung pemuda ini. Ia yakin laki-laki yang mengembara seorang diri dengan busur dan quiver di punggung, belati di pinggang kiri, dan sebilah pedang di sisi kanan tahu jelas bagaimana menggunakan benda-benda berbahaya tersebut. Meskipun begitu ia tetap merasa takut.
"Jangan menembak," bisik Lacus sambil menahan tangan kanan Athrun. Geraman dan raungan kucing-kucing sebesar harimau dengan taring panjang yang keluar dari gusi atas makhluk itu sama sekali tidak memperbaiki keadaan.
"Aku tidak akan menembak jika mereka tidak menyerang kita—aku ragu untuk yang satu itu," balas Athrun tegas dengan mata yang terus bergerak dengan siaga. "Kau punya rencana, Nona?"
Gadis itu merasa ragu, tapi ia benar-benar tidak tega melihat hewan-hewan liar ini dibunuh begitu saja hanya karena mengikuti insting alami mereka mencari makanan—terdengar sangat bodoh dan naif, memang. Tapi, sungguh, saat ini mereka berdualah pendatang di wilayah kucing-kucing ini, bukan sebaliknya. Karena itu, dengan satu tarikan napas panjang, Lacus mulai bernyanyi. Gadis itu bisa merasakan tubuh Athrun yang menegang di tangannya. Laki-laki itu menoleh cepat dengan tatapan tidak percaya akan tindakan bodoh yang ia lakukan. Gadis itu tidak peduli dan terus bernyanyi. Ia ingin menyampaikan pada kucing-kucing hutan ini bahwa mereka tidak bermaksud buruk di 'rumah mereka' dan tidak akan menyakiti mereka. Yang lebih penting, gadis itu berusaha memberitahu kalau dirinya dan Athrun adalah 'teman'.
Athrun menghentikan niatnya untuk menarik anak panah dari quiver saat melihat kucing-kucing itu berhenti menggeram dan mundur beberapa langkah. Pemuda itu cukup pintar untuk menurunkan senjatanya saat hewan-hewan penghuni hutan itu menundukkan kepala mereka sejenak sebelum pergi ke sisi lain hutan.
Athrun berbalik cepat dan menatap Lacus dengan mata membulat. "Bagaimana kau melakukannya?"
Lacus hanya tertawa melihat ekspresi takjub Athrun. Rasa takutnya seketika sirna. Ia melemparkan seulas senyum lebar dan mengangkat kedua bahu. "Kelembutan? Aku sudah bilang, Athrun. Hutan dan sebagian besar penghuninya menyukainya."
Athrun hanya melipat kedua lengannya di depan dada dengan alis bertaut. Harga diri pemuda itu sedikit terusik karena 'rencana-rencana berdarah' yang sudah ia susun atas pengalamannya selama ini menangani hewan buas tersebut digagalkan hanya dengan sebuah nyanyian. Yap. Harga dirinya sebagai laki-laki terusik. Akhirnya pemuda itu menyampirkan busurnya lagi dan membalikkan badan. Ia mulai mengambil langkah besar-besar sambil bergumam pelan seperti anak kecil. "Songstress."
"Pengembara," balas Lacus santai. Ia merasa geli melihat tingkah laki-laki setengah dewasa di depannya ini.
"Lacus?" Panggilan Athrun berhasil membuyarkan lamunannya.
Gadis itu mengangkat wajah dan agak terkejut melihat Athrun yang sudah berjarak agak jauh. Lacus berlari kecil menyusul saat sang pengembara mengulurkan tangan kirinya dengan wajah yang mengeras. Sang gadis mempercepat larinya, tahu benar maksud di balik ekspresi itu. Begitu sudah dekat, Athrun dengan cepat menarik tangan Lacus dan mempercepat langkah mereka berdua.
"Serigala?" tanya Lacus hati-hati.
"Orc."
.
TBC
Quiver: Tempat menyimpan anak panah yang biasa dibawa pemanah di punggungnya.
.
Baiklah! Sebenarnya fic ini dibuat dengan maksud pengen buat dalam bentuk one shot aja, tapi sepertinya bakal terlalu panjang. Jadi saya pisah menjadi beberapa chapter lagi. Multichapter pendek kok~ #narihula.
Muuut/Sadakooo/Dakochaaan~ ini ya tiket request-mu yang minta AthrunLacus~ Maaf kalo gak buat yang fluff padahal dirimu mintanya yang fluff. Mohon dimaafkan, aku lagi keranjingan Lord of The Ring, sih, jadi setting-nya kebawa juga. #bow #ditendangsadako. Mungkin suatu saat (suatu saat = entah kapan) aku akan buat AthrunLacus yang fluff, tapi aku gak janji apa-apa, ya! #tawaantagonis.
Tanjoubi omedetou, Pearl Jeevas! #tiupconvetti #mampet #dihajar
Ini kado untuk dirimu~ Aku gak tau umur dirimu berapa sekarang meski kalau diliat dari tingkat sekolah kita cuma beda 1-2 tahunan. Ahahaha. Pokoknya semoga kamu dimudahkan dalam memilih jurusan dan selalu diberi kemudahan dalam hal baik lainnya juga. Aamiin.
Untuk readers, terima kasih udah bersedia mampir dan nyempetin baca. Kritik dan saran yang membangun sangat diterima kok~
Have a nice day!
