a/n.
ini bukan proyek besar ko, paling cuma three shot aja. ga mau bikin utang banyak-banyak soalnya. alesan kenapa ini dibuat tuh untuk lunasin janji dedek yang mau coba bikin rate m(muehehe), ini percobaan doang loh ya, jadi ga pasti bakal se-oke penulis lain =w= (karena dedek masih amatiran). muehehe. btw, mungkin bakal dipost minggu depan atau depannya lagi(maybe), soalnya kumasih gemeteran(?) ngeluapin pikiran kotor ke tulisan :v muehehe. rasanya sampe pengen berkata halus =3= kzl.
PROHIBITED COPAS, DON'T BE PLAGIAT, DON'T BE SILENT!
BTS FF! DLDR! RnR!
[ ]
.
.
.
.
.
.
main role.
VKookMin.
sub!Kook
.
other.
YoonNamJin.
dom!Nam.
broken!NamYoon.
.
Hoseok Jung.
beta!Hope.
.
.
.
.
.
.
.
.
Di usia sepuluh. Jungkook berteriak pada orang tuanya, membanting prabot dan mengurung diri nyaris tiga hari; melupakan makan, mengacuhkan dunia, terisak sendirian.
Di usia sepuluh. Jungkook mengabaikan ketukan halus di pintu kamarnya, vokal lembut ibunya dan nada pengertian ayahnya; cuma mengenal tangis, menjerit kacau, menjadi terlalu frustasi.
Di usia sepuluh. Jungkook memaki kakak tirinya yang meratap di luar, berusaha menenangkan dan berharap adik kesayangannya bisa mengerti; akal sehatnya sudah berhenti, terlampau kosong, merasakan kematian.
Saat orang tuanya kehabisan cara untuk membawanya kembali, Park Jimin membenturkan kepala di pintu, terus berada di sana dan memohon agar dirinya keluar.
Di usia sepuluh.
Jungkook memiliki sudut pandang lain dalam caranya menatap dunia, tidak lagi mengerti bagaimana kasih sayang Tuhan bekerja, maka dipenghujung rasio ia hanya menyesali takdirnya.
Pada dasarnya Jungkook anak yang kuat, tangguh dan pandai berkelahi. Dari taman kanak-kanak tidak sekalipun Jungkook mendapati gangguan dari bocah lain, selalu bangga untuk melindungi kakanya dengan telaten, karena semenjak ia dilahirkan dirinya memiliki kenyataan hidup sebagai petarung.
Semua orang bilang—teman-teman ayahnya, para guru, bahkan seluruh saudara di keluarga besarnya—semuanya, memiliki satu asumsi bahwa Jungkook akan besar menjadi Alpha yang kuat.
Tapi di usia sepuluh.
Jungkook sama sekali tidak mengerti apa yang dokter itu katakan. Yang ia ingat terakhir kali adalah dirinya yang bermain tic-tac-toe dengan hyungnya, kepalanya pusing seperti kena hantaman gudam, kemudian pandangannya memburam dan semuanya gelap. Saat terbangun, ia sadarkan diri di kasur klinik, Jimin menangis di sebelah ranjang dan ibunya bicara empat mata dengan dokter di meja tak jauh dari sana.
Ia bertanya pada kakaknya, mempertanyakan apa yang terjadi.
Sambil sesenggukan Jimin hanya menggeleng, berkata tidak tau karena Jungkook tiba-tiba pingsan.
Tapi setelah dokter itu bangkit, membuat hyungnya mundur beberapa langkah lalu menyisir poninya hati-hati.
Ketika ibunya hanya mampu terdiam dan memaksakan senyum untuk menguatkannya, ia mengerti segalanya.
Saat Jimin hanya menatap orang-orang dewasa itu bingung lantas kembali menatap dirinya, ia mengerti segalanya.
Tatkala sang dokter berujar menenangkan, Jungkook sungguh mengerti segalanya. Karena di usia sepuluh, ia mengetahui kodrat lahirnya adalah sebagai Omega.
.
.
;:;:;:;
.
.
.
.
.
.
.
Bubble Bomb
— a beloved awoo —
.
.
I / III
; take one : Baytana.
.
©Jo Liyeol
2017!fic || ABO!AU || Soulmate!AU
nonsense || rate m || taekookmin!
a stories of triangle love.
fantasy || romantica-drama || family
deadly typo!so dangerous.
...
Jam tujuh lewat empat puluh lima, Jungkook memakai almetnya asal-asalan di sebelah pundak, melangkah terburu menuruni tangga sambil menjinjing ransel.
Mendekati meja makan, ia hanya mengambil sepotong roti dari piring abangnya, tanpa minat duduk dan langsung berbalik cepat.
"Hei! Makan yang benar, sobat!" Jimin mendongak, melingikuti gerak si adik yang menuju sebrang meja, mencium ibu dan ayahnya. Melihat bagaimana adiknya menggeleng untuk ucapan 'makan dulu' sang ibu, dan cuma tertawa buat jitakan kesal si ayah. Maka Jimin masih memperhatikan ketika Jungkook menjauh ke ruang tengah.
"Tidak ada waktu, Hyung. Sebaiknya kau juga cepat!"
Kakak tirinya mendecak, "Masih ada lima belas menit, Jungkook," Jimin bermonolog halus, bangkit dari tempat saat Jungkook mulai memakai sepatu di depan teve. Ia mendekat, berdiri di sebelah Jungkook untuk mengusap sayang puncak kepala adiknya, "Mama bilang masa heatmu bakal membakar banyak energi, ingat?" ucapnya hati-hati, kemudian Jimin menyelingak menatap ibunya, "Iya 'kan, Ma?!"
Ibunya hanya terkekeh kecil sebelum menanggapi, "Itu kata dokter Kang, sayang. Mama sudah lupa sakitnya heat pertama."
Jimin kembali menatap adiknya, "Dengar?" jemarinya kembali menyisiri helaian kelam Jungkook, "Teman-temanku juga bilang itu sakit, sobat, kau butuh banyak energi ...," jeda, Jimin mendudukan diri di sofa yang sama, jemarinya mengamit dagu Jungkook dan membelai wajah adiknya penuh kasih, "... makan—yeah? Antisipasi, Jungkook, jangan membuat heat pertamamu jadi neraka."
Jimin tidak tau.
Sungguhan tidak tau kalau perlakuannya hanya menjadikan Jungkook berdebar.
Remaja itu mengepal jemarinya, memejamkan mata menikmati sentuhan sang kakak, sebelum rasionya menyatu dan cepat-cepat menepis jemari abangnya.
Tidak. Tidak. Ini salah.
"Hyung, jangan memperlakukanku seperti Omega cengeng yang haus kasih sayang—jangan. Ingat?" geramnya marah. Maka Jungkook melilit tali terakhir sepatunya dan bangkit, "Ayo, nanti telat," dengusnya ringan sambil mengambil potongan roti tadi di permukaan sofa.
Ia melangkah, mendahului Jimin untuk keluar dari rumah. Mengepal tangan kuat-kuat dan tenggelam dalam angkaranya untuk dentuman sialan yang tak kunjung berakhir.
Omega.
Omega dalam dirinya menginginkan Jimin.
Menginginkan kakak tirinya.
.
.
"Siapa?" Yoongi menyelingak, penasaran menatap isi chat di ponsel adik kelasnya ketika Jungkook tak berhenti tersenyum bodoh.
Jungkook menengadah menatap balik abang kelasnya, menjawab dengan binar mata yang tak tertutupi, "Jimin-hyung," senyumnya semakin merekah, "Pulang nanti dia mengajaku ke kafe Gook."
"Ada acara apa?" Seokjin yang menyahut.
"Tidak tau," Jungkook menggedik sekali, "Merasa bersalah mungkin?" ucapnya tidak yakin, "Pagi ini kami terlibat cekcok di jalan karena aku meninggalkannya."
Yoongi menatapnya tak percaya, "Kau yang meninggalkan; dia yang menyesal?"
Maka Jungkook hanya menampakan cengir kelincinya yang manis.
Tapi kemudian, ketika si Jeon kembali mengarmadakan fokus pada layar ponsel suara halus Seokjin yang terdengar prihatin menjadikannya terguncang, "Kau sungguhan menyukai kakak tirimu?"
Yoongi mendelik. Sial, pembahasan ini lagi. Walaupun ia tidak tau siapa dan sama sekali tidak tertarik perihal Park Jimin, abang tiri; adik kelas tingkat satunya. Dari omongan Seokjin, ia paham betul kalau Jungkook memiliki perasaan yang salah di hubungan persaudaraan mereka.
Jungkook pernah cerita, kalau Jimin adalah anak dari sahabat ibunya yang meninggal ketika Jungkook kecil berusia lima. Janda malang kesepian yang tewas sebab tabrak lari. Di usia ke tujuh keluarga Jeon mengangkat Jimin sebagai anak dan kakak bagi Jungkook, mengasuh Jimin tanpa mengganti marganya (karena ibunya sangat menghargai sahabatnya).
Kemudian segalanya terjadi begitu saja.
Di usia ke sepuluh, Jungkook berada dalam keterpurukan hebat dalam hidup.
Tapi Jimin selalu di sana—tak lelah mengetuk pintu kamarnya, berusaha menenangkannya, dan menggantikannya menangis saat Jungkook kehabisan air mata. Sosok yang selalu menemaninya di saat orang tuanya sibuk mencari psikiater dan dokter untuk mengobati kondisi mentalnya, figur yang bahkan tidak pernah menyerah berusaha agar adik kesayangannya kembali tertawa, dan Alpha yang selalu bersabar memperlakukan Jungkook hati-hati tanpa membuatnya merasa sebagai Omega.
Yoongi paham, ia paham kalau Jungkook mulai menatap Jimin lebih dari seorang kakak mulai saat itu.
Omega dalam diri Jungkook masih terlalu labil, dan bocah ini belum menemui takdirnya. Maka walaupun Yoongi tidak mengerti, ia cukup memahami perasaan Jungkook yang sulit dikendalikan.
"Aku mencintainya."
Maka hening setelah itu.
Siapapun tau kalau Jeon Jungkook mungkin sudah tidak waras ketika mengatakannya. Tapi untuk apapun, Yoongi dan Seokjin bahkan bisa melihat ketulusan yang menyertai bocah itu.
"Jungkook, kau tau ini salah 'kan?" Seokjin menegur hati-hati.
Jungkook menunduk, "Iya, aku tau," tanpa sadar ia mengigigit bagian dalam bibir bawah, "Dia kakak tiriku ... dan bukan Soulmateku," matanya berpendar redup, menelisik jemari di ponsel, "Omegaku tidak pernah mencintainya walau menginginkannya sebagai Alpha—ya, hanya karena Jimin-hyung Alpha," Jungkook terdiam sejenak, "Tapi bagaimanapun jantungku terus berdebar untuknya, perasaanku yang jatuh padanya," ada jeda kembali, "... Omegaku tidak membutuhkannya."
Maka Yoongi dan Seokjin diam, meneliti kepedihan adik kelas mereka. Sama-sama bungkam karena tidak ingin menjadikan Jungkook semakin tertekan.
Mungkin bagi Yoongi, hanya Seokjin yang memahami perasaan Jungkook karena takdir dari Kim Namjoon itu mengetahui siapa Park Jimin, adik kelas mereka di tingkat dua YaGook.
Tapi bagi Seokjin, justru Yoongi lah yang lebih mengetahui bagaimana perasaan Jungkook, sebab ketua klub basket YaGook itu pernah merasakannya ketika mereka sama-sama masih kelas satu.
Min Yoongi yang menyukai Kim Namjoon.
Dan mereka berpacaran.
Namjoon yang hanya milik Yoongi, dan Yoongi yang dimiliki Namjoon. Adalah fakta yang nyaris satu sekolah tau. Tapi segalanya remuk. Seokjin tidak tau bagaimana perasaan sakit yang waktu itu Yoongi terima saat mengetahui sahabatnya sendirilah Soulmate dari kekasihnya; manusia terdekatnya yang menjadikan hubungannya hancur dalam satu malam. Mungkin, rasanya seperti Jungkook saat ini. Maka Seokjin sama sekali tidak mau mengungkit hal itu sebelum Yoongi menyinggungnya duluan.
"Sunbae, bagaimana rasa heat pertama?" Yoongi dan Seokjin responsif, nyaris tersedak makanan masing-masing sebab pertanyaan adik kelasnya. Apa yang tiba-tiba Jungkook pikirkan sampai mengganti topik pembicaraan segini jauh?
Apa lagi mereka di kantin.
Baru menikmati jam istirahat makan siang.
Dan ini bukan topik bagus untuk melanjutkan pembicaraan.
Seokjin mengusap tengkuknya yang terasa meremang, kemudian menggedik bahu, "Entahlah, yang kuingat cuma sakit—tapi entahlah, aku sudah bertemu Soulmateku, Jungkook," lalu menaikan kedua alis ragu-garu sambil mengangkat tangan kanannya. Menunjukan tatto yang membantuk hati sempurna, "Kau tau konsekuensi bahwa semua bakal terbayar kalau Alphamu sudah mengklaim?" pipinya merona atas ucapannya sendiri, "... yeah, mengerti maksudku 'kan?"
Di sebelahnya Yoongi mendengus, acuh tak acuh ia menyesap susu pisang, "Jangan mengajarkan hal ambigu ke bocah baru tumbuh, sialan. Dia cuma tanya soal heat pertama."
Seokjin meliriknya sebal sebab itu, "Ei, cari-cari asalan. Bilang saja kau sensi lagi karena aku bahas klaim-mengklaim, dasar jomblo."
Maka Seokjin mendapat semburan anarkis dari Yoongi, "Aku tidak bakal jomblo andai kata seseorang tidak merebut pacarku," sebelum Seokjin sempat membalas, Yoongi langsung mengusap mulutnya sok inosen sambil fokus menatap Jungkook, "Sakit," ungkapnya awal, "Aku tidak mau menutup-nutupi atau berusaha menakutimu, cuma mengatakan pengalaman yang kurasa sampai sekarang, karena kau bertanya," ia mengambil jeda sebentar, "Heat pertama itu ... rasanya seperti sekarat. Penghujung hidup dan mati. Sakaratul maut."
Vokal rendah Yoongi menjadikan Jungkook menegang di tempat. Pompa jantungnya berdebar abstrak tak karuan, sementara respirasinya berat dan buntu.
Tapi bahkan Yoongi belum cukup menyudahi kalimatnya, "Panas, sesak, mual, nyeri, hangus—semua tercampur jadi satu. Pening yang keterlaluan dan rasa perih seperti ada yang menguliti hidup-hidup, seluruhnya nyata tanpa alih-alih. Kuat atau tidak menjalaninya—itu bukan pilihan, karena ini determinasi sebagai Omega," Jungkook menelan liur susah payah, sedangkan Seokjin hanya menatap kosong; berusaha mengingat lagi heat pertamanya yang terlupakan. Yoongi menghela napas, menenggak susu pisangnya sampai habis, "Persetan klaim Alpha, kalau kau beruntung bisa lebih awal menemukan takdirmu, seperti dia—" dagunya menunjuk Seokjin, "Kau bakal cepat-cepat melupakan kematianmu di heat pertama. Dan menikmatinya. Yah, kalau kau beruntung. Tapi kalau tidak, kau harus menunggu lebih lama dan menanggung setengah mati letupan gairah di heat-heat selanjutnya—sepertiku."
Jungkook diam.
Merasakan hening yang melahap habis seluruh tubuhnya. Kaki-kakinya membeku, sementara akalnya buntu di tempat.
Namun Yoongi kembali bersuara seperti tidak tau situasi, "Kalau sudah melewati heat pertama buat heat seterusnya kau bisa mengatasi sakitnya pakai obat, dan buat mematikan gairah Omegamu—" Yoongi menggedik bahu sekali, "—kau bisa coba mastrubasi."
Yang langsung mendapat pukulan telak Seokjin di belakang kepalanya.
.
.
"... hm, iya, hati-hati. Dah," Jimin menutup sambungan, mengantongi ponselnya ke saku almet dan menenggak vanilla latte-nya sampai separuh gelas. Sekembar obsidiannya berpaling, menatap lurus memperhatikan kawannya yang sibuk dengan smartphone.
"Adikmu lama," Taehyung bersuara sambil meletakan ponselnya ke meja. Lelah meladeni Omega-Omega centil yang terus menghubunginya.
Jimin terkekeh halus, menjadikan mata sipitnya menghilang jenaka, "Sabar, man, klub taekwondo baru bubar."
Membuat Taehyung mengernyit, keningnya berkerut heran, "Adikmu Omega 'kan?"
Si Park cuma mengangguk.
"Tidak salah dia ikut bela diri? Keluargamu membiarkannya mati pelan-pelan, hah?"
Jimin memberenggut, "Sembarangan," decaknya kesal, "Pikirmu semua Omega lemah?"
Taehyung berpikir sejenak, kemudian menggedik bahu asal, "Semua Omega sama saja. Haus kasih sayang, mengharap afeksi lebih dari para Alpha, selalu memohon untuk dicintai. Takdir mereka hanya untuk mengandung dan melahirkan 'kan?"
"Astaga, man, kau bakal kena tendang Jungkook kalau dia dengar kata-katamu," sambil menahan senyum Jimin menggeleng tidak habis pikir.
"Siapa Jungkook?"
"Adikku, sialan," Jimin mencemooh, "Dua tahun sahabatan kau masih tidak tau siapa dia? Hebat sekali."
Taehyung mencebik asal, "Itu kenapa kau membawaku ke mari, Chim," sulutnya sebal, "Kalau kita sahabatan, memang harus ya aku mengenal seluruh keluargamu?"
Atas ucapannya, Taehyung mendapat bogem mentah di puncak kepala.
"Bukan masalah itu, brengsek," Jimin kembali membenarkan posisi duduk, "Minggu lalu aku menanyakan ini ke dokter Kang, katanya sebentar lagi Jungkook bakal memasuki periode heat pertamanya," Taehyung bisa lihat cara tatapan kawannya berubah redup, "Kau dengar cerita Jeonghan-hyung 'kan? Dulu-dulu juga Namjoon-hyung pernah cerita kalau mantan pacarnya tidak berhenti menjerit di masa heat pertama. Padahal dia Omega yang kuat."
Taehyung memangku dagu, mendengarkan kawannya baik-baik, "Mantan Namjoon-hyung? Siapa?"
Jimin menggedik bahu, "Tidak tau," ia diam sebentar, memainkan jemari di atas meja, "Aku hanya takut kalau tidak bisa mengatasi ini sendirian. Daripada menguatkannya, mungkin aku yang bakal menangis paling depan kalau Jungkook mulai kenapa-napa," ia menarik napas dalam, lantas menatap hazel kawannya terlalu intens, "Jadi aku memberitaumu, untuk antisipasi, Tae. Karena cuma kau yang bisa kupercaya."
Taehyung sebenarnya tidak minat. Benar-benar tidak minat. Berurusan dengan Omega selain menjadikan mereka mainan sekali pakai sungguhan bukan ide bagus. Tapi kalau Jimin yang meminta tidak mungkin ia tega menolaknya, apalagi ini adik sahabatnya; tidak mungkin ia menyakitinya.
"Chim—"
"Iya aku tau kau tidak suka," Jimin menyela cepat, "... tapi ayolah," ucapnya memelas, "Please, Tae, kumohon. Hanya untuk periode heat pertamanya."
Maka Taehyung diam, menghela napas susah payah. Benar pemikirannya, ia bahkan tidak sampai hati membuat Jimin kecewa, "Segitu sayangnya kau pada adik tirimu?"
Senyum merekah di wajah Jimin, ia mengangguk berkali-kali, kemudian memangku dagu persis seperti yang Taehyung lakukan. Tatapannya perlahan terlihat mengangan-angan, "Kau tidak akan pernah tau, man," jeda, Jimin tersenyum sarat maksud, "Semenjak menjadi kakaknya ... terlalu sulit memandangnya hanya sebagai adik."
Taehyung mengedip. Keningnya berkerut lagi. Merasa aneh dari kata-kata dan tutur wajah si Park, "Maksudmu?"
Tapi Jimin menggeleng sambil tersenyum, berkilah, "Dia terlalu kuat untuk ukuran Omega yang haus kasih sayang, mengharap afeksi Alpha, dan mengemis untuk dicintai—Jungkook bisa menjadikan keadaanya berbalik, Tae. Dia Omega yang berbahaya."
Pernyataanya justru menjadikan Taehyung tergelak di tempat, menyemburkan tawa keras sekali, "Persetan. Omong kosong apa yang kau katakan, hah?" ia mendecak sarkastik, "Semua Omega sama, paham? Aku sudah bilang jutaan kali. Apapun dan bagaimanapun jenisnya, tidak peduli dia anak raja atau adikmu sekalipun. Mereka rentan sekarat kalau menanggung beban terlalu berat—yeah? Itu faktanya."
Jimin mendengus jengkel, "Dan kau pernah lihat ada Omega yang mati hanya karena angkat beban?"
Lagi-lagi Taehyung menggedik bahu, "Entah," ia tergelak setelahnya, "Belum mungkin," ada jeda sebentar, "Dasar abstrak, apa urusannya menanggung beban dan angkat beban?"
Maka Jimin ikut tertawa bersama sahabatnya, "Peduli setan, suka-suka dong," ia mendecak meledek, "Pakai dulu otakmu kalau mau berkomunikasi sama manusia, dasar alien."
"Tidak nyambung bantet. Pikirmu—"
Kata-kata Taehyung mengembun bersama gelak tawanya yang lenyap seketika. Ia bisa dengar denting bel di pintu masuk kafe bersama pelayan yang menyambut kedatangan pelanggan, membawa gelinyar aneh yang menyelimuti tubuhnya tanpa ampun.
Manis.
Paduan gulali dan permen apel.
Harum peach, segar mawar, resi lelehan stoberi.
Taehyung bungkam, mengendus aroma yang semakin menggamang. Membelenggu reaksi tubuhnya menjadi final.
Feromon mutlak yang menjadikan Alpha dalam dirinya menggeram buas.
Ia menunduk, reflek melihat tatto di pergelangannya yang membentuk hati utuh.
Sial!
Taehyung tergugu. Lidahnya kelu.
Soulmate—Soulmatenya.
Omega yang ditakdirkan untuknya.
Ada di sini?
...
Jungkook baru memasuki kafe Gook.
Entah, hanya kerana ia terlalu memikirkan kata-kata para sunbaenya waktu jam istirahat atau kenataan berkata dirinya memang baru merasakan sebuah ganjil.
Ada yang salah.
Jungkook melihat Jimin duduk di pojok sana, berhadapan dengan seseorang. Tapi bahkan ia tidak bisa mengendalikan diri untuk terus melangkah ke abangnya ketika gelinyar ini mengikatnya terlalu kuat.
Afeksi gila yang menjadikannya mati rasa. Membuatnya hilang akal. Dan membangkitkan Omega dalam dirinya mengerang dan meraung kacau.
Jungkook berusaha. Mengapal tangan kuat-kuat di sisi tubuh.
Berupaya melangkahkan kakinya lagi untuk mencapai Jimin.
Membiarkan langkahnya yang berat menuntun dirinya pelan-pelan.
Embun. Samudra. Matahari pagi.
Coklat cair. Vanila. Bubuk kopi.
Jungkook memejam mata, Omeganya semakin memberontak menginginkan pemilik dari aroma ini saat penciumannya mencerna kian matang dan jelas.
Saus waffle, butiran chip, linting nikotin.
Semakin menjadikannya sesak dan mendamba.
Dan Jungkook membatu, merasakan kaki-kakinya berhenti di sisi meja abangnya.
Tak sanggup berkata saat mendapati sosok di depan Jimin menatapnya dengan keterkejutan sama, mengacuhkan teguran riang abangnya dan tetap bungkam saat Jimin memperkenalkan siapa sosok di hadapannya.
Namanya Kim Taehyung.
Dan demi putra-putri Zeus. Jungkook bakal mengingatnya seumur hidup—mengingat sosok yang menjadikan tatto di pergelangannya menjadi bentuk hati penuh, mengingat siapa pemilik aroma yang begitu diinginkan Omega dalam dirinya, mengingat figur dari Alphanya.
Karena sekembar obsidian yang saling bersibobrok itu menjadi saksi nyata keduanya memahami. Bahwa gelinyar aneh menuntun mereka menemukan sang takdir.
.
.
"Jungkook!" Jimin melajukan kaki cukup jauh, meninggalkan kawannya yang masih termangu di kafe. Hanya untuk mengejar adiknya yang tiba-tiba berlari ke luar.
Jimin meraihnya, menarik pergelangan Jungkook menjadikan sosok itu berhenti. Terengah ketika mencengkram bahu adiknya di kedua tangan, berusaha menjadikan mereka bersitatap.
"Kenapa, hm? Kau kenapa?" vokal dari nada suaranya selalu terdengar lembut.
Menjadikan Jungkook berdebar dan kepalang kacau. Tapi bising lalu lintas juga senyap trotoar menjadikannya tetap diam.
Isi kepalanya mendidih, matanya panas, dan ia menggeleng lirih, "Tidak," bisiknya pelan. Jimin bungkam mendengarkan, namun yang ia dapati selanjutnya adalah air mata adiknya menetes perlahan, "Aku tidak mau," vokalnya terdengar frustasi, "Aku tidak menginkan dia—atau siapapun. Aku tidak mau, Hyung! Aku tidak mau!"
Jimin manatapnya, hatinya ikut merasakan lara mendapati adiknya yang begini. Bersama persendiannya yang terasa mati jemarinya terangkat menangkup wajah Jungkook, mengusap lelehan air mata adiknya pakai ibu jari, "Kenapa? Ada apa? Hm? " ia memaksakan senyum, "Cerita padaku."
Dan detak jantung Jimin berhenti.
Mati untuk beberapa sekon ketika Jungkook menjawab sambil sesenggukan.
"Dia ... orang itu—yang bersamamu tadi—dia, uh, dia ta—takdirku. Dia takdirku, Hyung," Jungkook mengangkat pergelangan kanan, menunjukan pada Jimin tattonya yang telah sempurna, "Dia Soulmateku. Alphaku—"
Lalu tangisannya semakin kencang ketika Jimin bahkan tidak sanggup menahan hatinya yang tarasa diremat kuat-kuat, menarik adiknyanya dalam pelukan erat dan menjadikan Jungkook tenggelam.
Jungkook menggeleng kacau, membalas lebih erat pelukan abangnya, sesenggukannya terasa ribut ketika suaranya terdengar lagi, "Cuma kau, Hyung. Kau tau 'kan? Aku cuma mau kau. Aku tidak peduli, uh—aku ... hanya menginginkanmu."
.
.
Besoknya, pagi di koridor.
Taehyung menguap lelah, tak menggubris grombolan Omega genit yang berusaha menggandeng lengannya.
Dia tidak tidur semalaman.
Memikirkan adik tiri sahabatnya dan ketetapan atas Soulmatenya.
Sial.
Ya, sial memang. Kenapa pula Tuhan sebegini cepat mempertemukan mereka?
Tapi Taehyung bukan Alpha jahat, ia menjaga jarak dari Omega bukan berarti karena membenci mereka. Ia tidak suka berurusan lama-lama dengan Omega, tapi jikala Soulmate yang ditakdirkan untuknya telah muncul, Taehyung tidak akan mencari alasan untuk membuangnya. Maka kalau memang adik Jimin yang ditakdirkan untuknya, Taehyung tidak keberatan.
Ia akan menghargainya.
Lantas seketika obsidiannya membola mendapati Jimin di sana dengan adiknya yang mengekor di belakang, Taehyung menarik napas dalam-dalam, berpikir sejenak sebelum melangkah yakin mendekati keduanya.
"Oh? Tae!" Jimin menyapanya lebih dulu. Menjadikan adiknya menyelingak menatap siapa yang dipanggil sang kakak.
Kemudian Taehyung bisa liat sosok itu termangu saat mendapatinya.
Diam dari gerak kakinya melangkah.
"Man! Tugas kimia dasar sudah?" Taehyung berbasa-basi awal.
Jimin menggedik bahu, "Kau tanya aku, aku tanya siapa?" balasnya santai, "Nyontek di Kwangmin saja nanti."
Taehyung mengangguk membenarkan. Kemudian ia melirik ke arah Jungkook, entah kenapa memberi sugesti pada kawannya untuk pergi.
Maka Jimin bergeming. Merasakan setrum membakar raganya.
Memahami isyarat Taehyung hanya membuatnya menerima kecambuk batin. Sesungguhnya kalau boleh memilih, ia tidak mau meninggalkan Jungkook, membiarkan mereka berdua dan menyerahkannya pada kawannya.
Tapi apapun itu.
Jimin memahami bahwa semua egonya salah.
Terlebih jika benar Taehyung adalah Alpha dari adiknya. Maka Jimin tidak mau menjadi masalah, berat hati ia menarik napas dalam-dalam, berusaha mempertahankan senyum lalu mengangguk snobis.
"Trims," Jimin bisa rasa tepukan Taehyung di bahunya, terakhir sebelum ia menoleh pada Jungkook. Berkata akan masuk duluan dan meninggalkan mereka begitu saja.
Membiarkan Jungkook dan Taehyung di sana. Membiarkan kaki-kakinya bergegas tak rela. Membiarkan debar jantungnya yang berdentum perih.
Karena Jimin memahami. Dari awal menjadi kakak dari Jeon Jungkook telah menjadikannya jatuh cinta pada adik tirinya.
Perasaan yang ia tau betul adalah salah.
...
Jungkook mendecih. Mengepal tangan di sisi tubuh. Sekuat tenaga menahan afeksi dari aroma feromon Taehyung untuk jiwa Omeganya.
Ia mendengus sekali, nyaris berbalik dan meninggalkan sosok itu kalau saja sentuhan di pergelangannya tidak membuatnya menggeram.
Sial!
Jungkook menepis, menatap Taehyung dengan onyxnya yang membawa emosi, "Siapa yang mengizinkanmu menyentuhku, hah?!"
Taehyung mengernyit, bola matanya menelisik figur di depannya. Kemudian, tanpa sadar terkekeh ringkas, "Wow, Chimchim benar, kau kuat."
Jungkook diam, hanya hitungan sekon sebelum mendengus, "Persetan," geramnya marah.
Lantas benar-benar berbalik. Melangkah dan nyaris meninggalkan Taehyung andai sang Alpha tidak menariknya lagi, mendorongnya ke tembok dan mengungkungnya solid.
Obsidian itu bersibobrok.
Cara Taehyung menatap, aromanya, dan Omega dalam diri Jungkook hanya menjadikan si Jeon membatu. Ia berusaha memberontak, namun Taehyung terlalu kuat menahannya.
Menjadikannya tak berkutik dan perlahan melemah.
Segalanya. Segala yang ada di diri Taehyung berhasil membuat Omega dalam dirinya meraung dan butuh.
Sedangkan Taehyung menggeram. Berat, jantan, rendah. Ia menggemelatakan grahamnya susah payah.
Brengsek, harusnya ia tidak melakukan ini.
Melakukannya pada Omega lain dan adik Jimin benar-benar memiliki imbas yang berbeda. Lantas sekedar mengalihkan hasratnya, ia berdeham, berusaha mengendalikan Alphanya yang mengaum buas.
" ... Jungkook," ia berbisik, tercekat, "Namamu Jungkook 'kan?"
Dan Jungkook termangu. Merasakan akalnya irasional mendengar bagaimana namanya begitu pas tersuara dari celah bibir Taehyung. Maka emosinya buyar; entah ke mana amarah yang dari semalam melilitnya bagai simpul mati. Kini, yang menyelimutinya hanya kebutuhan yang besar akan sosok di depannya.
Taehyung diam. Tersenyum saat Jungkook memejam mata, mengangguk cepat untuk menanggapi pertanyaannya. Menggemaskan, pikirnya. Membuatnya tidak bisa menahan hasrat untuk mengakui, "Aku Alphamu, Jungkook," berbisik tepat di depan bibir si Jeon. Menjadikan ujung hidung mereka bersentuhan.
Jungkook terbatu, merasakan dirinya panas memiliki jarak segini dekat dengan Alphanya. Lantas, lagi-lagi ia mengangguk, capat dan pasti, "Iya, aku tau."
Maka detik itu, ia mulai mempertanyakan perasaannya pada sang kakak.
.
.
"Tidak!" Jungkook menggebrak meja kantin frustasi, "Aku tidak menyukainya! Tidak!"
"Apanya? Tidak menyukai siapa?"
Jungkook mendongak, mendapati Seokjin membawa nampan kantin di sisi meja.
Ia diam sebentar, lalu menggelang apatis, "Bukan apa-apa."
Maka Seokjin mengangguk acuh, lantas mendudukan diri di hadapannya.
"Oh, Sunbae. Yoongi-sunbae mana?"
"Kumpul klub," Seokjin menjawab santai sambil mengaduk sup ikan.
Jungkook mengangguk, sedikit meringis membayangi hal itu, "Sampai sore pasti."
Abang kelas di hadapannya mengangguk menyetujui.
Tak sampai tiga menit mereka fokus menyantap makan siang, Seokjin sudah mendongak, berteriak sambil melambai pada dua siswa yang kehabisan tempat duduk.
Jungkook tidak menoleh, hanya berusaha acuh tak acuh, tapi ketika Seokjin memajukan kepalanya; berbisik iseng di depan wajahnya. Jungkook langsung menegang.
"Kookies, kakak tirimu."
Sial!
Dia tidak mau bertemu Jimin sekarang! Tidak di jam sekolah! Karena lintah itu pasti menempel di sebelah abangnya.
"Oh? Seokjin-hyung, kau kenal Jungkook?"
Ah, tepat sekali.
Jungkook memejam mata. Dalam hati tidak percaya kalau nyatanya Taehyung juga kenal Seokjin.
"Dia junior Namjoon di klub."
Taehyung dan Jimin mengangguk, sementara Jungkook mendelik pada Seokjin yang menatapnya, "Bagaimana bisa kau mengenalnya, Sunbae?" ia berbisik rendah.
Tapi Taehyung yang justru menjawab, "Dia Omega dari abangku," jeda, "Kau tau? Keluarga kami memiliki silsilah mudah dalam menemukan Soulmate," lalu ia tergelak yang sama sekali tidak lucu menurut Jungkook.
Kemudian, ketika Taehyung juga Jimin menempatkan diri di meja yang sama. Seokjin hanya memperhatikan, memindai bagaimana cara Jungkook menatap Jimin di sampingnya. Lantas, atensinya terganti pada Taehyung yang duduk di sebelahnya ketika tidak sengaja ia mendapati sesuatu. Reflek, membuatnya menarik pergelangan tangan Taehyung, memindainya tidak percaya, "Tae, tandanya—" fokusnya terganti memperhatikan wajah Taehyung, "K-kau—kau sudah menemukan Omegamu?"
Sepi.
Hening melingkupi sunyi yang mendebarkan.
Jimin dan Jungkook di sebrang mereka otomatis mendongak. Mendapati Taehyung yang terdiam.
Kemudian, yang mereka dapati adalah senyum siratan Taehyung yang penuh implikasi, "Menurutmu?"
Lalu, ia hanya melirik Jungkook yang membatu di tempat.
Tanpa tau bahwa Jimin mengepal jemarinya kuat-kuat di bawah meja.
.
.
Bubble Bomb
; real soul mate explosion.
Matahari tenggelam di awal November. Saat orang tua mereka berkata tidak akan pulang malam itu, Jungkook membanting pintu kamar Jimin.
Tidak lagi kuat berkompromi baik-baik dengan Omeganya yang terus memimpikan heat dengan Taehyung.
Ia melangkah, mendekati abangnya yang berhenti membaca manhwa, justru menatapnya heran dari ranjang, "Ada apa, Kook? Mimpi buruk?"
Jungkook tidak bersuara. Rautnya apatis.
Tetap berjalan—melangkah teratur hingga berdiri di sisi ranjang.
Dan Jimin tidak tau apa yang salah ketika tiba-tiba Jungkook naik ke tengah kasur dan menduduki perutnya. Yang Jimin lihat hanya bagaimana napas adiknya terlihat riuh dan tak beraturan, wajah panas Jungkook yang luar biasa kaku, juga bagaimana tatapan bocah itu menjeratnya dalam simpul mati.
"J-Jungkook—sobat, kau kena—" Jimin tersentak, rasionya mati saat Jungkook tiba-tiba menyesap bibirnya. Lantas, ketika adiknya mulai melumat, Jimin membuang komik di tangannya sekedar mencengkram bahu Jungkook dan mendorong adiknya lumayan kasar, "Dammit, Kook! Kau kenapa?!" teriaknya nyaris tak percaya.
Satu sekon.
Jungkook hanya diam.
Sebelum Jimin mendapati adiknya kembali mempertemukan paksa bibir mereka. Kali ini mengecapnya kuat dan tak segan-segan menahan pergerakan Jimin yang berusaha kembali menyingkirkannya, "Kook—" Jimin tersedak, berusaha menyadarkan adiknya namun lidah Jungkook justru menyelusup masuk ke rongga mulutnya. Jimin mendorong, mengenyahkan dominasi Jungkook dari mulutnya. Tapi adiknya berkelit dan terus menjilati isi mulutnya, menghisap lidahnya dan mengigiti belah bibirnya bergantian.
Serampangan, kacau, belepotan.
Jungkook menjajah sedalam mungkin rongga mulut Jimin yang ia bisa.
Tidak. Jangan begini.
Jimin jelas-jelas bisa merasakan Alpha dalam dirinya mulai mengambil gairah. Membuatnya pening dan perlahan menjadi buas.
—tapi tidak!
Dia tidak boleh begini.
Mereka bukan Soulmate, Jungkook telah menemukan takdirnya dan mereka bersaudara. Apapun perasaan yang Jimin punya sekarang, cara begini jelas salah meski ia selalu mendambakan Jungkook.
Jimin menghirup napas banyak-banyak, merasakan udara ketika Jungkook melepas pangutan. Tapi tak banyak waktu sebelum dirinya menggeram, menggemelatakkan graham saat Jungkook menjamah lehernya. Menyesapnya kasar dan menyeret lidahnya ke bagian sensitif Jimin. Mengigitinya asal dan terus mencoba meninggalkan jejak yang kentara.
Jimin mendesis, mencengkram pergelangan Jungkook yang mencoba masuk ke bawah kaosnya, "Kook, uh, jangan—jangan begini," respirasinya tercekat, menahan Alphanya yang membuas ketika Jungkook habis akal. Sengaja memundurkan duduknya hingga menyentuh vital Jimin, "Jungkook! Aahh ... Ini aku, sobat—hei! Sadar! Jangan begini! Ahn—Kook," Jimin mengerang, susah payah tetap pada rasionalitas ketika Jungkook menggesekan posisi duduk.
Maka Jimin tidak memiliki pilihan lain.
Opsi terakhir di penghujung akal logisnya sebelum Alphanya yang mengambil alih.
Adalah membanting Jungkook. Membalik keadaan menjadikan adiknya terkungkung di bawah, mencengkram tangan-tangan Jungkook dengan satu tangan, mengunci gerak kaki Jungkook agar berhenti memberontak dan lengannya yang lain menahan bobot tubuhnya.
Jimin mengembuskan napas, berat dan riuh. Namun helaan leganya terembus ketika memahami Jungkook tak lagi bisa memiliki perlawanan.
Maka yang Jimin dapati seterusnya adalah onyx Jungkook berkaca-kaca, menahan tangis dari ekspresinya yang merengut lara. Mengalihkan tatap ke jendela kamar, tak berani menatap Jimin langsung di mata.
Lantas si Park yang merasa jadi penjahatnya.
Jika Jungkook berduka maka ia yang akan menangis, kepedihan Jungkook berarti penyesalan abadi untuknya, maka tangisan Jungkook merupakan kegagalan hidupnya. Dari dulu, selalu begitu.
Jimin menyayangi Jungkook. Lebih dari seorang adik.
Mencintainya. Tapi tidak sebagai kekasih.
Menginginkannya. Bukan menjadi miliknya.
Mendambanya. Tidak untuk mengungkungnya.
Karena yang Jimin tau dirinya begitu menyayangi Jungkook dengan perasaan yang lebih dan lebih. Dari dulu, selalu begitu. Dan ia sendiri tidak tau bagaimana bentuk asli dari perasaannya buat sang adik. Namun ketika jemarinya mengusap tangisan Jungkook yang menetes dari ujung mata, menyaksikan bagaimana Jungkook menatapnya dengan wajah yang merah, retina berembun, bibir lembab penuh liur—berantakan. Dan melihat cara Jungkook terus meminta ditengah sesenggukan.
Jimin merasakan dirinya benar-benar gagal menjadi seorang kakak.
"Hyung, jangan lepas aku, Hyung. Jangan. Aku, uh, tidak mau—tidak mau, dengan si-siapapun, uh, apapun, a-aku tidak mau. Hyung, kumohon. Jangan. Aku mencintaimu, Hyung. Aku selalu mencintaimu. Dari dulu, ng, k-kau tau 'kan? Aku mencintaimu, Hyung."
Maka Jimin kalah.
Tak lagi sanggup menahan Alphanya yang memberontak karena penyesalannya terlalu dalam.
Hingga malam di awal November saat orang tua mereka berkata tidak pulang. Park Jimin menjadikan adik tirinya sebagai subyek dari percobaan klaim pertama di kehidupannya sebagai Alpha.
...
Siang itu, Taehyung mencium Mamanya yang memasak di dapur. Keluar rumah setelah mengisengi ayahnya yang menyisiri bulu Soonshim. Bergegas ke sekolah, menuju lapangan indoor memenuhi titah ketua klubnya.
Yoongi menunggu di sana, meracau macam-macam dan berkata kalau Taehyung bergerak terlalu lama.
Min Yoongi sialan yang memupuskan akhir pekan surgawinya karena berjanji akan membelikan seluruh tim pizza seusai latihan. Tapi Taehyung bahkan tidak tau kalau Omega setan itu menahan anak-anak klubnya sampai malam.
Hingga sekitar pukul sembilan usai latihan individu, Taehyung baru merebahkan diri di pinggir lapangan, dan di sebelah abangnya—yang dipaksa ketua klub basket untuk hadir buat mengangkat barang-barang berat (Taehyung tidak tau bagaimana sistem perasaan di antara mereka; kenapa Namjoon selalu menuruti perkataan Yoongi dan mengapa Yoongi terus bergantung pada Namjoon. Ia hanya paham kalau abangnya telah fokus mencintai Kim Seokjin, tidak peduli Yoongi masih mencintainya atau tidak), ia menceritakannya—bercerita perihal tattonya, Omeganya, dan Jungkooknya.
Segala yang menyangkut Soulmatenya.
Namjoon menanggapi cukup ekspresif, antusias dan tertawa gemas saat melihat semu di pipi adiknya. Tapi tak lama kemudian, Namjoon tersentak. Lantas mendudukan diri ketika darah mengucur dari lubang hidung adiknya. Ia buru-buru mengambil tisu dari tas ransel yang dibawanya, membersihkan darah yang mengotori wajah dan tangan saudaranya, panik saat mendapati Taehyung tiba-tiba histeris merasakan kepalanya yang menerima pening akut.
Namun dikala histeria melingkupinya
Namjoon menoleh, terheran-heran melihat kerumunan anggota klub.
Saat menyadari situasi, ia terdiam, mengamati bagaimana salah satu anak basket menahan tubuh Yoongi bersandar padanya, sementara yang lain berusaha menyadarkan ketua klub mereka.
Dan Namjoon tidak cukup bodoh untuk menyadari ada yang tidak beres di sini.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
—tbc.
Jo Liyeol's Curhat Timing!
Sebenernya udah selesai fanfiknya gaes. Ku kalo lagi dipaksain belajar malah langsung punya ide yaw? =w= muehehe (gak tau dedek juga pusying). Tadinya pengen kujadiin oneshot; tapi karena wordsnya ada 10k+ hampir 15k+ kupikir-pikir lagi (dikeadaan begini) mending dibuat chaptered aja biar akunku ga mati/bener-bener dianggep hiatus =w= waks.
dan terkutuklah miper yang bikin kutergila-gila sama lagu cocol manjah :v kalian wahai rakyat khwangan, menggila lah bersamakoh =w= wkwkwk
dan kumimisan gaes! hampir modar ngeliat gimana erelelenya taetae di MIC Drop remixnya Steve Aoki =w= oeee mama nyaho aing teh.
Ah, syudahlah. Sekian.
.
PS(1): semua typo yang ada adalah kekhilafan.
PS(2): kucinta kaliaaaan ft. titik dua bintang. (tebar sempak dan kecup basah) =3= mumumu
PS(3): thanks for: follows, favorite, and reviews.
PS(4): see you on next chapter.
— 26.11.2017
