Disclaimer: See You Again © Wiz Khalifa ft. Charlie Puth
Note: Ini bukan songfic.
When I See You Again
One Piece © Eiichiro Oda
Chapter I
It's been a long day without you, my friend
Lima tahun.
Lima tahun tanpa terasa sudah berlalu sejak hari di musim semi itu, hari upacara kelulusan Luffy, Nami, Usopp, dan Chopper dari SMU Seifu.
Hari yang sama dengan pembubaran geng Straw Hats.
Tak ada yang terkejut dengan keputusan itu, karena tanda-tandanya memang sudah jelas. Sejak Zoro, Sanji, Robin, dan Margaret mengundurkan diri setahun sebelumnya, Straw Hats seolah kehilangan rohnya. Mereka tidak seaktif dulu mengadakan kegiatan, berpetualang atau berlibur bersama. Hanya kumpul-kumpul tiap beberapa minggu, itu pun tak semua anggota bisa datang. Kondisi jadi semakin menyedihkan saat para murid kelas 3 menyibukkan diri dengan persiapan ujian kelulusan dan segala tetek-bengeknya.
Geng Straw Hats menjadi hanya sekedar nama, sebuah bayangan dari kebesaran geng itu sebelumnya.
Maka, Luffy membubarkan Straw Hats agar situasi itu tidak semakin memalukan para alumnus geng. Sebuah keputusan yang diterima semua anggotanya. Mereka pun berpisah dalam situasi damai.
Tapi, seperti halnya pengunduran diri Zoro dan kawan-kawan, Straw Hats hanya "bubar" dalam artian anggota-anggotanya tak lagi terbelenggu nama besar geng itu. Bisa dibilang, mereka hanya berganti wadah. Karena pertemuan fisik sudah sangat jarang, Straw Hats pun berpindah ke dunia maya – internet. Grup di berbagai media sosial pun dibuat untuk menggantikan grup fisik itu.
Grup-grup itu pun dimanfaatkan sebaik-baiknya. Tiap hari ada saja pembicaraan baru yang aneh namun mengasyikkan, kalau seorang tak bisa mengendalikan diri, dia akan terpaku di depan ponsel atau laptop mereka seharian. Mereka merasa kawan-kawan masih ada di dekat, jarak yang memisahkan mereka tak terasa jauh.
Namun itu pun tak bertahan lama.
Grup Straw Hats hanya aktif selama setahun. Setelah itu, para anggotanya menjadi semakin sibuk dan meninggalkannya, dalam artian mereka tidak aktif lagi.
Dan setengah tahun setelahnya tak ada lagi yang menggunakan grup-grup itu.
Pada akhirnya, kehidupan nyata-lah yang memisahkan mereka semua.
-xXxXx-
"Stasiun Raftel, Stasiun Raftel. Perhatikan barang bawaan anda..."
Kereta listrik yang membawanya kembali ke kota kelahirannya, perlahan berhenti di atas rel. setelah menanti sejenak keluarnya para penumpang lain, pria berambut hijau itu mengambil tas ranselnya dan melangkah keluar dengan santai.
Stasiun Raftel, sesuai namanya, adalah stasiun kereta api utama di kota itu. Sebagai kota dengan letak strategis di kawasan Jepang barat, kota itu menjadi tempat persinggahan banyak orang, dan tentunya stasiunnya amat sibuk tiap hari. Stasiun itu bernuansa serba biru kehijauan, perpaduan warna pegunungan yang menjadi lanskap khas wilayah utara Raftel dan lautan di wilayah selatannya. Nampak ratusan... atau bahkan ribuan orang berlalu-lalang di sekitar, keramaian yang membuat rindu.
"Hmmm..." pria itu menarik nafas panjang, nafas pertamanya setelah menjejakkan kaki di kota itu. Dia disambut aroma khas Raftel, aroma yang tak bisa dijelaskan, yang selalu dirindukannya selama 6 tahun ini. Padahal mungkin itu bau badan pak tua di depannya.
Dia terkekeh. Dulu dia tidak melankolis seperti ini, namun 5 tahun perpisahannya dengan kota itu membuatnya amat kangen sehingga bertingkah aneh.
"Stasiunnya nggak banyak berubah. Membosankan," komentar pria itu, akhirnya.
"Apa yang kamu harapkan?" tanya gadis di sampingnya.
"Entahlah, mungkin robot atau segala yang hi-tech seperti itu..."
"Terlalu banyak nonton anime dari murid-muridmu, Zoro?"
Roronoa Zoro mengusap rambut hijaunya – yang juga tak berubah sedikitpun sejak jaman SMU – dan mendesah, "Kehidupan di kampus membuatmu pintar tsukkomi, eh, Kuina?"
Kuina tertawa kecil. Gadis itu kini sudah pulih sepenuhnya, dan tampak sangat sehat (terlalu sehat kalau menurut Zoro). Rambutnya diikat dalam kuncir ekor kuda pendek yang menyegarkan.
Kuina menyusul Zoro ke kota seberang, Zou, segera setelah dia lulus SMU. Alasannya sih, ia ingin kuliah di Universitas Zou yang terkenal dengan Jurusan Kedokteran Olahraga-nya... tapi semua orang di Dojo Sasaki tahu kalau sebenarnya ia ingin dekat-dekat Zoro. Si marimo sendiri telah membuka dojo kecil-kecilan pada kuil Ryuudo di kota tua Zou, bermodalkan hasil tabungan berbagai kerja sambilannya. Kini, mereka berdua menjadi shishou di dojo yang dinamai Dojo Roronoa, yang tak akur sekaligus kompak.
Atau, kalau murid-murid mereka bilang, "Segeralah menikah, para shishou bodoh!"
Yang tentunya tak pernah ditanggapi serius kedua orang itu.
"Hmm, tapi mungkin saja pemandangan di luar akan berbeda," kata Zoro.
"Sama saja, nggak ada yang berubah. Percaya aku deh! Aku kan sering pulang ke Raftel," komentar Kuina.
"Jangan merusak ekspektasi orang dong!"
"Eh, sekarang kamu bisa kosakata sulit juga ya? Apa diajari murid? Padahal shishou-nya kan kamu. Kenapa sepertinya kamu jadi yang lebih banyak belajar!"
Dahi Zoro berkedut, kesal. "Argh... tahu begini, aku nggak mengajakmu."
Dia pun berjalan meninggalkan Kuina, tapi...
"Oi, Zoro!"
Gadis itu berteriak, yang bisa didengar Zoro di tengah keramaian seperti ini. Dia memang memfilter suara-suara asing untuk memfokuskan diri pada Kuina, sebuah aplikasi Kenbunshoku haki yang simpel. Setelah kecelakaan waktu SMP, Zoro bertekad takkan meninggalkan Kuina lagi.
Meskipun begitu, bukan berarti dia harus memasang wajah ramah terus. Dia menolehi teman masa kecilnya itu dengan wajah malas, "Apa lagi?"
"Itu ke arah toilet cewek..."
Si marimo menghentikan langkahnya, dan bergumam, "Kupikir kau mau ke toilet, jadi kuantar."
Zoro memang tak banyak berubah. Walaupun itu kota Raftel yang ditinggalinya selama 17 tahun, tapi tetap saja, yang kita bicarakan itu si raja nyasar! Makanya, daripada nyasar dan semakin menyulitkan, Kuina menggaet lengan Zoro dan menyeretnya mengikuti. Si marimo tak bisa (atau sebenarnya tak mau) mengelak.
Begitu keluar dari Stasiun Raftel, pemandangan kota di sore hari menyambut mereka. Deretan toserba yang menyala warna-warni, kedai makanan dipenuhi warga yang kelaparan setelah seharian bekerja atau bersekolah, orang-orang berlalu-lalang, dan yang terpenting... cahaya mentari sore lembut menyinari mereka semua.
Kota Raftel ini menyambut warganya yang pulang dengan ramah.
"Benar, nggak ada yang berubah," komentar Zoro. Walaupun terdengar kecewa, entah kenapa ada senyuman lebar di wajahnya. Suasana itu membuatnya merasa kembali menjadi anak SMA, yang nongkrong bersama teman-temannya di toko-toko dekat stasiun sepulang sekolah.
"Sebenarnya banyak kok," komentar Kuina.
"Tadi katamu nggak ada?!"
Kuina tak mendengarkan, dan menjelaskan, "Sebagai contoh, harga ramen di toko Kanna sekarang 500 yen. Menu barunya, ramen kare, terlalu lezat sampai-sampai mereka selalu kehabisan jam 7 malam. Lalu toserba 'Omegamart' di pojok sana, menggantikan toko kelontong Jijii... ah, dan nona pemilik bar Londinium sudah menikah, katanya dengan orang Inggris. Rupanya takdir memiliki rasa humor yang buruk, menikahkan seseorang dengan orang dari negara yang dia gunakan untuk menamai tokonya."
"Mana aku peduli soal itu!" Zoro membalasnya. "Dan aku nggak ngerti soal yang terakhir!"
Benar-benar deh, dia menyesal mengajak Kuina ke Raftel. Spoiler di mana-mana! Padahal, dia ingin dikejutkan oleh perubahan kota setelah 5 tahun meninggalkannya... tapi sial, rencananya ke sana sendirian dibocorkan murid-murid dojonya yang lancang. Atau, sebenarnya Kuina sudah bekerjasama dengan anak-anak keparat itu.
Apapun itu, di sinilah mereka sekarang berada. Di depan stasiun kota Raftel, diterpa matahari sore yang sama yang mereka rasakan selama tinggal di sana. Zoro mendesah, "Daripada itu, sebaiknya kau traktir aku makan. Aku kan nggak tahu harga-harga terbaru."
Kuina menatapnya sejenak, dan menepuk dahi, "Ah! Aku terjebak omongan sendiri!"
"Rasain. Siapa suruh memberiku spoiler. Coba kau diam saja, akan kutraktir makan dan aku akan terkejut karena harga-harga baru sampai merogoh saku lebih dalam. Kau suka melihatku sengsara, kan?"
"Eh, nggak juga," Kuina berjalan beberapa langkah ke depan Zoro, lalu membalikkan tubuhnya. Kuncir kudanya berkibar ditiup angin, dan ia berkata, "Aku hanya suka melihatmu kebingungan. Hehehe."
Yang dilihat Zoro adalah teman masa kecilnya yang tersenyum amat manis.
Pemandangan yang pasti meluluhkan hati pria manapun. Sayangnya, Zoro bukan pria biasa. Dia tak tertipu, "Nggak usah banyak gaya. Kau juga pasti lapar kan? Tadi di kereta kau menghabiskan 2 kantung keripik."
Wajah Kuina memerah. "A-apa maksudmu? Keripik kentang apaan?"
"Aku nggak bilang keripik kentang. Dan jangan kira aku bisa tidur dengan suara kraus-kraus sekencang itu di sampingku," Zoro menyeringai puas, akhirnya bisa menyerang titik lemah Kuina. Sejak sembuh total, nafsu makannya memuncak, tak seperti gadis seumurnya yang peduli penampilan. Untungnya ia sering bergerak di klub kendo kampus dan dojo Roronoa... kalau tidak, ia bisa meledak!
Bukannya Zoro pilih-pilih sih, dia lebih suka gadis dengan proporsi normal.
...
Entah apa yang membuat Usopp melangkahkan kaki ke stasiun Raftel hari itu.
Dia dapat izin pulang lebih cepat dari atasannya (dengan kompensasi lembur 2 hari setelah ini), karena ada acara penting jam 7 malam nanti. Tapi dia malah berjalan-jalan dulu, padahal kegiatan itu akan membuat naluri fotografernya bangkit dan dia akan terus berburu foto tanpa ingat waktu! Menjelajahi kota Raftel ini memang seolah tak ada bosannya; tiap hari ada saja objek foto menarik yang dia temukan. Mulai dari lanskap, pemandangan, orang-orangnya, atau yang sepele, seperti cuaca hari ini.
"Yah, kalaupun aku terlambat, tinggal buat alasan aja, 'maaf aku sedikit lembur'! Gampang," gumamnya sambil mengelus kamera DSLR yang terkalung nyaman di dadanya. Itu kamera keduanya, yang pertama milik kantor harian kota News Coo, tersimpan rapi di tas sampirnya.
Dia berjalan tak tentu arah, mempercayai naluri fotografernya mengarahkan pada obyek-obyek menarik untuk difoto, memulai perburuan sore itu. Dan benar saja, tak lama, dia melihat sesuatu yang menarik.
Sepasang sejoli yang cukup kontras. Pria besar berotot layaknya atlit dan gadis ramping di depannya, mereka berkelahi amat seru di depan orang-orang yang keluar-masuk stasiun, tanpa mempedulikan pandangan mereka.
"Wah, wah. Dunia benar-benar milik berdua, ya? Lagian, mereka berkelahi, tapi sepertinya kok asyik banget," pikir Usopp, sambil mengambil kamera dan membuka penutup lensanya. Bukannya dia suka atas kesusahan orang lain sih, tapi sebagai fotografer, dia hidup untuk mengabadikan momen-momen seperti ini! "Mereka pun pasti akan mengingat ini dengan penuh rasa nostalgia di masa depan, misalnya mereka menikah. Tapi, kalau putus, ini akan jadi foto yang membuat suasana hati suram."
Usopp terkekeh, dan mulai membidik. Dengan gerakan yang terlatih dari ribuan kali melakukan gerakan yang sama, pria itu mengatur setting kamera dan...
Dia melihat rambut hijau yang kontras dengan jingga sore hari.
Hanya ada satu orang berambut hijau yang dia kenal selama hidupnya... eh, dua sih, tapi Monet itu anggota geng lain... dan ia perempuan. Jadi, tak salah lagi!
Mengabaikan naluri fotografer-nya yang berteriak agar dia mengabadikan momen itu sebelum menyapa, Usopp berjalan seperti melompat-lompat menuju ke tempat dua org itu, dan memanggil dengan penuh rasa rindu.
"Zoro?! Ya ampun, ZORO!"
Teriakan itu membuat dua orang itu menoleh, diikuti orang-orang di sekitar mereka, tapi Usopp tak peduli dengan pandangan orang lain. Teman lamanya ada di sini, sialan!
"Usopp?! Whoah! Lihat dirimu!"
Pria berambut hijau itu langsung mengenalinya. Jelas saja, tak ada org lain yang memiliki hidung seperti itu! Ah, ada sih, rekannya di Zou, Kaku... tapi hidungnya kan persegi (seaneh apapun itu).
"Hehehe," Usopp menyeringai sambil memamerkan lengannya yang cukup kekar. Hilang sudah perawakan ceking Usopp, berganti dengan perawakan kekar berisi. Rambutnya kini sebahu, tetap kriting seperti dulu. Dia bahkan menumbuhkan jenggot! Yang juga kriting, tentunya.
Zoro menepuk-nepuk lengan atas Usopp, menimbulkan bunyi berdebam yang mantap. "Wah wah. Diet protein?"
"Nggak dong, ini alami! Hasil lari ke sana kemari bawa-bawa peralatan buat liputan," Usopp menggosok dasar hidungnya. "Ngomong-ngomong, kau nggak berubah ya, Zoro. Mengecewakan."
"Enak saja! Kau nggak lihat ini?!" Zoro mengambil pose, dan otot lengannya mengencang, menampakkan badannya yang semakin berisi dibandingkan masa SMA dulu.
Usopp menghela napas kecewa, "Tambah tinggi 2 cm? Hanya itu?"
"Oi oi, kau dulunya penembak jitu, tapi sekarang matamu jadi rabun, huh?" Zoro menangkap kawannya itu dan menjitaki kepalanya sampai mengeluarkan uap.
"Gyahahah! Ampun, ampun! Pusat dataku yang berisi kebobrokan sistem negeri ini bisa rusak! Awawawaw!"
"Dan kau ngomong seperti reporter TV aja!"
"Aku ini fotografer!" dengan gerakan cekatan, Usopp melepaskan diri, membuat Zoro bersiul kagum. Si hidung tengu menunjukkan badge burung camar di dadanya, logo harian kota News Coo. "Senang bertemu anda."
"Harian kota itu?!" Zoro tak suka membaca, tapi bahkan orang bebal sepertinya tahu nama News Coo. "Luar biasa, respekku padamu bertambah!"
"Jadi dulu kau nggak pernah respek padaku?! Aku sebut ini kesenjangan senioritas! Bully!"
Mereka tertawa lepas bersama setelahnya, sementara Kuina yang dianggap tak ada di tengah omongan pria itu hanya bisa toleh kanan-kiri. Itu terlalu jantan, ia susah menyela! Tapi sudah cukup.
"HEI! Jangan abaikan aku!" teriaknya.
Mereka berdua langsung berhenti, dan akhirnya Usopp menyadari keberadan gadis berambut hitam itu. Dia melongo kaget, "WOAH! Aku sampai tak melihatmu... Kuina-san?!"
"Yup! Pangling ya, Usopp-kun?" tanya Kuina. Awalnya dia juga terkejut seperti Zoro waktu melihat penampilan baru Usopp yang dulu dikenalnya penakut dan selalu sembunyi di balik Zoro begitu kena masalah. "Ya ampun, makan apa saja kamu sampai segede ini hanya dalam 5 tahun? Zoro saja butuh 10 tahun buat sepertimu loh!"
"Oi, kenapa bawa-bawa namaku?"
"Habis, kamu mengabaikanku. Dan omongan kalian terlalu macho!" Kuina menjulurkan lidahnya.
Usopp merasa lega melihatnya. Kuina yang itu masih bisa bertingkah manis, rupanya. "Senang melihatmu juga, Kuina-san. Sekarang masih kuliah?"
Gadis itu baru mau membuka mulut, tapi Zoro menyela, "Dia terlalu pintar. Tujuh semester dan sudah siap lulus? Buru-buru banget."
"Biarin! Bosan di kampus! Klub kendonya lemah dan tak punya semangat! Mending melatih anak-anak di dojo."
"Salahmu masuk Zou. Padahal di Wano kan klub kendo-nya selalu menembus tingkat nasional."
"Itu di prefektur lain, tahu! Enam jam dari Raftel, kejauhan!"
Melihat tingkah mereka yang terlalu dekat, dan mengingat obyek fotonya yang tadi, Usopp akhirnya tak sabar lagi. Dia pun menanyakan apa yang selalu dipikirkannya sejak melihat mereka berdua saling menyerang seperti itu.
"Kalian pacaran?"
Pertanyaan telak itu membuat mereka berhenti berdebat, saling memandang, lalu tertawa kencang bersamaan. Semua dalam waktu 5 detik.
Puas tertawa, Zoro mengangkat bahunya, "Sungguh, pertanyaan abad ini."
"Usopp, sebaiknya lupakan. Anak-anak dojo selalu menanyakan ini, dan jawaban kita tetap: nggak."
Jawaban yang mengecewakan hati jurnalisnya. Tapi, hati kecilnya entah kenapa merasa sedikit lega. Soalnya, yang dia ingat semasa SMU, Zoro menyukai orang itu kan? Apa yang terjadi dengannya?
Tapi, tunggu, "Kau sudah punya dojo, Zoro? Dan Kuina-san mengajar bersamamu?" Pertanyaan itu dijawab Zoro dengan anggukan. Usopp pun berteriak dalam hati, "Seperti suami-istri saja! Hubungan kalian apa, sih?!"
Seolah mendengar apa yang dipikirkan Usopp, ekspresi wajah Zoro berubah. "Eh, sudah cukup tentang itu," ini 'wajah wakil ketua' yang tak pernah lagi dilihat Usopp sejak mundurnya Zoro dari SH pada 6 tahun lalu. "Usopp, kau akan ke reuni kan?"
"Tentu saja. Tapi, tujuanku sebenarnya 'itu'," jawab si tengu, tegas.
"Aku juga, lebih penasaran soal 'itu' daripada bertemu wajah-wajah menyebalkan itu. Heh, aku yakin semuanya pasti datang, kalau mereka masih menganggap diri sebagai teman kita."
"Bahkan aku, yang bisa dianggap orang luar, setuju soal ini," Kuina mengangguk khidmat.
"Diam, kau yang membuka pesan itu pertama kali dan memberiku spoiler kan?!" protes Zoro.
"Habis, kukira itu nomor cewek kampusku yang menerormu. Tapi aku dapat pesan yang lebih gawat! Tentu saja aku panik!" balas Kuina.
Melihat itu, Usopp jadi semakin curiga. "... mereka pacaran nggak sih?" pikirnya. "Saling membuka pesan di ponsel masing-masing, itu terlalu personal, kan."
...
Setelah itu, Kuina memilih untuk pulang ke Dojo Sasaki karena ia merasa tidak berhak ikut di acara kelompoknya Zoro (padahal Zoro dan Usopp memaksanya ikut). Gadis itu akhirnya hanya titip salam ke mantan anggota SH yang lain.
Tempat reuni kali ini adalah restoran keluarga favorit anak-anak SH dulu, Copenhagen. Sekitar setengah jam berjalan kaki dari stasiun, terletak di kawasan pertokoan dekat SMU Seifu. Restoran itu tetap ramai seperti yang diingat Zoro dan Usopp. Kebanyakan pengunjungnya adalah anak-anak dari sekolah di sekitar sana, dan beberapa pekerja kantoran yang menggunakan tempat itu untuk rapat atau hanya sekedar makan.
Pandangan Zoro dan Usopp langsung tertuju ke sekelompok gadis SMU. Bukan, mereka bukan mencari mangsa, tapi mereka terlarut dalam rasa nostalgia melihat seragam mereka. Rompi krem dengan kemeja putih lengan pendek, juga rok hijau gelap. Itu seragam musim semi SMU Seifu. Jadi, merekalah penerus legenda geng SH dan yang lain?
"... gimana, mau mampir Seifu sebentar setelah ini?" tanya Zoro.
"Ngapain? Mau mengecek tujuh keajaiban sekolah yang baru?" balas Usopp.
Mereka terkekeh. Di jam segini sih, sudah tak ada penghuni di sekolah itu! Walaupun mungkin saja mereka akan bertemu Pak Jyabura, sang satpam. Tapi enak saja melihat wajah menyebalkan orang itu setelah sekian lama!
"Ngomong-ngomong, di mana anak-anak itu? Jangan bilang kalau kita yang pertama datang," komentar Zoro sambil menoleh kanan-kiri, mencari wujud teman-teman lamanya di tengah keramaian restoran.
"Ngapain susah-susah, pakai Kenbunshoku haki lah," kata Usopp sambil menyeringai.
"Sok banget kau!"
Usopp memejamkan mata, dan memilah-milah aura orang-orang di dalam restoran itu. Kebanyakan auranya tak dia kenal, dan berarti itu dari orang asing. Namun, dia merasakan aura 7 orang yang amat dikenalnya, di lantai 2 restoran...
Si hidung pinokio mengangguk puas, "Yap, di atas."
"Ruangan non-AC untuk perokok?" Zoro menyeringai. Di kelompok SH yang dulu, hanya ada dua orang perokok: Brook, dan Sanji. Karena Brook dipastikan datang (mengingat dia guru SMU Seifu), berarti... "Heh, apa yang kau tahu, si bajingan itu akhirnya mau menunjukkan wajahnya juga."
Zoro menggeretakkan jari-jarinya, wajahnya tampak dipenuhi dendam kesumat.
"Sayang aku nggak bawa Shuusui, jadi terpaksa menggunakan tanganku. Cih, apa boleh buat, sepertinya reuni hari ini akan berlumuran darah."
"... aku meragukan itu," gumam Usopp.
Mereka pun melangkah ke lantai 2, di mana suasananya lebih sepi karena ruangan itu diperuntukkan buat orang-orang yang merokok. Hanya ada 3 meja yang terisi di sana, dan karena itu, kumpulan orang aneh yang sepertinya tak ada hubungan satu sama lain di pojok sana begitu menonjol. Pria berwajah babyface dengan jas panjang berwarna putih khas dokter, pak tua berambut kribo yang tinggi dan kurus, pria berwajah garang dengan jambul bokong ayam dan tindikan, om-om berbadan besar yang hanya mengenakan kemeja yang tak dikancing di atas celana pendeknya, pak tua gemuk dengan tato di tangan kanannya, dan satu-satunya di antara kerumunan serigala itu, gadis manis berambut oranye panjang.
Zoro terkekeh, "Mereka juga nggak banyak berubah."
Meninggalkan kawannya yang masih terlena dalam nostalgia, Usopp berlari penuh semangat, dan menyapa orang-orang aneh itu.
"Yooo! Lama nggak ketemuuu!"
Serentak mereka yang disapa menolehinya, dan wajah-wajah gembira pun nampak.
"Usopp!"
"Usopp-senpai!"
Usopp menyeringai dan memberikan tos kepada mereka bergantian. Setelah itu, dia segera duduk di samping Nami. Sembari mencomot kentang goreng, dia melambaikan tangannya ke belakang mereka, "Zoro! Apa yang kau tunggu?"
Kontan mereka menoleh lagi, dan langsung bangkit dengan kompak dari meja begitu melihat Zoro melambai dengan senyuman terlebar yang mungkin pernah dia sunggingkan.
"YA AMPUN, ZORO?!"
"ASTAGA, MIMPI APA AKU SEMALAM?!"
Mereka pun berebut memeluknya, mengabaikan pandangan heran pengunjung lain di lantai itu. Peduli amat, ini kawan yang tak pernah mereka temui selama 6 tahun!
"Whoah, hahaha. Senang melihat kalian bertingkah seperti biasanya," kata Zoro. "Eh, tunggu-"
Bruak!
Zoro, dengan ditumpuki Chopper, Barto, Brook, dan Franky, akhirnya roboh dengan bunyi berdebam mengerikan, yang membuat para pengunjung lain khawatir kalau-kalau lantainya akan roboh tertimpa beban seberat itu. Nami, di sisi lain, tentunya menjaga imej dan tak mau ikut memeluk Zoro. Kalau tak ada orang lain, mungkin ia akan melakukannya juga sih. Kini, mata berkaca-kaca sudah cukup buatnya.
Mereka tampak amat gembira, seolah melupakan para mantan anggota yang tidak hadir.
...
"Sudah lama mulainya?" tanya Zoro setelah mereka kembali ke meja pesanan. Dia duduk di samping Usopp.
"Lumayan," jawab pria muda dengan jaket putih itu, Chopper. Dia kini menjadi dokter di klinik Sakura-nya Dr. Hiluluk, yang kini terkenal karena biaya periksa dan obatnya murah. Tawaran-tawaran menggiurkan dari rumah sakit swasta di kota, dia abaikan.
"Usopp-kun, beraninya kamu. Mana ada wartawan yang telat sejam ke acara penting?" komentar Jinbe, yang mewakili Shirahoshi, anggota terakhir SH yang direkrut Luffy di penghujung eranya. Guru SMU Ryuugu itu akhirnya membaur dengan mantan anggota SH lainnya, dan sering datang ke acara-acara seperti ini. Maka dia pun dianggap sebagai anggota kehormatan.
"Oi, justru aku kemari setelah memanfaatkan lubang di birokrasi kantorku, tahu. Alias kabur, hehehe," Usopp berkilah. Melihat seorang waitress menghampiri meja mereka, dia mengangkat tangannya. Sang waitress segera mengeluarkan memonya, "Aku pesan kari ekstra pedas dan cafe latte dingin. Plus coffee jelly sebagai penutup."
"Aku... donburi dan teh hijau saja. Jangan terlalu manis," lanjut Zoro.
Tentu saja mereka hapal menu restoran ini, karena sudah berlangganan sejak SMU.
"Usopp, serba kafein?" tanya Chopper.
"Setelah ini aku kembali ke kantor untuk mengedit berita," jawab Usopp. "Plus, dua hari ke depan sepertinya aku nggak akan bisa pulang."
"Senpai, kelihatannya kau sangat menikmati pekerjaanmu?" tanya Barto. Wajah bengisnya masih tetap seperti yang diingat Zoro, dengan tindik, tato, dan rambut bokong ayam. Pria itu kini bekerja di warnetnya Franky sebagai manajer, sembari terus mengejar mimpinya menjadi pro gamer (pemain game profesional). Walaupun scene pro gamer di Jepang cukup suram, tapi dia tak menyerah.
"Bukan menikmati, hanya terbiasa, sepertinya," komentar Franky. Bengkel Franky Family dan usaha dekorasinya kini sukses besar, sehingga dia bisa menitipkan warnetnya ke Barto. Sekarang Franky Family berkantor di Tokyo. "Dia dulu kan sering banget begadang di warnetku, jadi dia betah bekerja malam-malam."
"Yohohoho. Memang enak bekerja di bidang yang jadi passion-mu," komentar Brook. Dia masih nyaman sebagai guru di Seifu, menyaksikan murid-murid datang dan lulus silih berganti. Hobi bermusiknya masih dia jalankan, dengan merilis video-video cover lagu yang cukup sukses.
"Makanya jangan meremehkan profesi kami sebagai guru. Karena ini adalah passion kami," Jinbe berkomentar dengan bijak.
"Kok, jadi serius gini?" komentar Barto.
"Mengedit berita? Paling berita mistis nggak jelas lagi..." komentar Nami. Dia masih bekerja di toko buah Cocoyashi, menemani ibu dan kakaknya, sembari berusaha mencari kesempatan bekerja di lembaga meteorologi.
Mendengar komentar itu, Usopp dan Nami mengkerutkan dahi.
"Berita mistis... entah kenapa aku merasa deja vu."
"Iya, dan mestinya kau masih mahasiswa kalau aku jadi jurnalis. Kita bekerja di agensi detektif yang mengerjakan kasus-kasus mistis..."
Anak-anak lain merasakan ada dinding imajiner pecah.
"Tuan, pesanan anda sekalian..." waitress itu datang dengan pesanan Usopp dan Zoro di atas nampan kecilnya, memecahkan suasana canggung itu. Kare dan caffe latte untuk Usopp, sedangkan donburi dan teh hijau untuk Zoro. "Silakan menikmati."
Zoro membuka sumpit dan langsung menyantap pesanannya, dia kelaparan setelah perjalanan cukup jauh dari Zou tadi. Sementara Usopp memilih menyeruput latte untuk menyegarkan pikirannya dengan asupan kafein.
"Ngomong-ngomong, Brook," komentar si hidung panjang kemudian. "Ini bukan sembarang reuni, kan. Bulan lalu kita sudah kumpul dan wisata bareng."
"Ah... benar."
Dari semua orang di sana, hanya Nami, Chopper, Brook, Barto, dan Jinbe; 6 orang ini masih tinggal di kota Raftel. Walaupun mereka masih sekota, kesibukan masing-masing membuat mereka sangat jarang bertemu. Sementara itu, mantan anggota lain berpencar lebih jauh.
Brook menyalakan rokoknya, dan mendesah, "Maaf suasananya jadi begini serius, Zoro-kun. Tapi reuni ini hanyalah sampingan jika dibandingkan dengan tujuan asli kita."
"Aku tahu," kata Zoro, "Karena itulah aku membatalkan semua urusan dalam beberapa hari ke depan, lalu kembali ke Raftel untuk menghadiri ini. Kalian sendiri juga kan?"
Dia meletakkan mangkuknya, dan merogoh saku. Semua orang di meja itu juga melakukan hal yang sama, dan mereka menarik keluar smartphone mereka bersamaan. Mereka membuka akun media sosial mereka masing-masing, dan membukanya.
Sesuatu yang mempertemukan mereka kembali setelah sekian lama.
Sebuah foto topi jerami yang diletakkan di atas suatu batu, dengan tumpukan salju di atasnya. Di bawahnya ada sebuah pesan singkat:
"Di mana kalian?"
Zoro dan yang lain saling mengamati layar ponsel masing-masing. Facebook, LINE, WA, Instagram, Blogger; semua media sosial milik mereka. Seperti sudah diduga, mereka semua menerima pesan yang sama, di tanggal yang sama. Hanya waktunya saja berbeda beberapa menit.
"Ini yang membawa kita kembali berkumpul," kata Zoro kemudian, yang disambut anggukan kompak.
Suasana menjadi sangat hening, bahkan para pengunjung lain seolah menahan napas. Keramaian jalanan kota dan lantai bawah seolah lenyap untuk memberikan kesempatan Zoro dan yang lain berpikir.
Tapi, tak ada apapun yang terlintas di benak mereka. Pesan itu begitu sederhana, dan karena itu, seperti tak ada apa-apanya yang bisa diselidiki dari sana.
"Ehem," akhirnya Chopper memecahkan keheningan itu, membuat seluruh mata tertuju kepadanya. Dia meregangkan kemejanya dengan gugup, lalu berkata perlahan, "Ini... topi kesayangannya Luffy kan?"
Dan dia mengatakan hal yang dipikirkan mereka semua.
Zoro memijat dahinya, "Sangat membantu, Chopper..."
"Sekarang bukan saatnya untuk sarkasme," komentar Jinbe. "Pesan... ini, banyak artinya. Kita semua tidak berusaha memikirkan yang buruk."
"Lagian, apa pengirimnya sungguh Luffy-senpai?" tanya Barto. "Maksudku, ini bukan nomornya senpai. Aku tahu, karena aku hapal luar kepala."
Sesuai yang diharapkan dari fanboy terbesar Luffy.
"Tapi, topinya sungguh topi Luffy. Aku tahu karena aku sering menjahit bagian yang rusak setelah dia berkelahi," balas Nami.
"Yup, aku bahkan sepertinya bisa mencium aroma topi buluk itu dari sini," sambung Usopp.
"Tapi, nggak ada yang tahu akun grup SH kita selain Luffy, ya kan?"
"Semua mantan anggota SH tahu itu. Kita tentu saja tahu," sambung Franky. Dia mengelus dagu belah duanya, "Hmm. Selain kita, Bon Kurei dan Margaret... lalu Sanji dan Nico Robin."
Dia menyebutkan nama-nama orang yang tidak hadir.
"Oh benar, ke mana mereka berempat? Ada yang tahu kabarnya?"
"Bon Kurei, dia mengundurkan diri dari Seifu karena dapat job di cabang bar dan kasino Newkama Land... itu di Hong Kong," jawab Brook. Kontan teriakan "jauh" terlontar dari mulut mereka.
"Kalau Margaret-chan, masih sering ngobrol denganku," kata Nami. "Dia di kota Mifune, mengajar di SMU Wanita Reien."
"Whoa, SMU swasta super ekslusif itu? Yang isinya hanya ojou-sama! Hebaaaat!" mata Barto berbinar. "Kapan-kapan aku ingin main ke sana!"
"Buat dilaporin polisi?" komentar Usopp, sebulir keringat dingin mengaliri pipinya. Dia lalu menolehi Zoro, "Oh ya, gimana dengan Robin?"
Semua mata tertuju ke arah pria yang dimaksud itu, membuatnya menaikkan sebelah alis.
"Jangan tanya aku. Aku saja hilang kontak dengannya sejak 3 tahun lalu."
"Heeeh?!" Barto bangkit dari kursinya. "Lalu, gimana dengan hubungan kalian?"
"Hubungan apa?" balas Zoro.
Kontan semua orang di meja itu menggeleng tak percaya. Siapapun tahu tentang pernyataan perasaan Zoro waktu kelulusan Robin... tapi kabar tentang mereka berdua sangat jarang. Bahkan saat mereka berdua bertemu waktu kelulusan Zoro, tak ada yang terjadi. Dasar duo sok rahasia!
"Terakhir aku dengar kabar darinya waktu wisuda, katanya tak sabar lagi menjalani pekerjaan sebagai arkeolog dan berkeliling situs-situs sejarah dunia," Zoro mengangkat bahu. "Setelahnya, dia benar-benar hilang."
"Sesibuk itu kah..."
"Lalu, Sanji?"
Nami tersentak mendengar nama itu. Ini menarik perhatian anggota lain, tapi sebelum mereka sempat bertanya, Zoro membuka mulutnya lagi.
"Anggap saja dia tak pernah ada."
-xXxXx-
Pada akhirnya, reuni hari itu tak menghasilkan apapun untuk menyelidiki pesan aneh itu. Yang ada hanya rasa bingung, khawatir, dan ketakutan. Mereka tetap di Copenhagen selama sekitar 2 jam setelahnya, dan kini sudah saatnya pulang.
Usopp pergi duluan. Dia ditelpon atasannya untuk meliput suatu kejadian di wilayah selatan kota, dan dia pergi sambil berjanji akan menyelidiki pesan tadi dengan bantuan kenalannya di dunia pers. Franky dan Barto yang selanjutnya pergi, mereka ingin segera mencari informasi di internet. Chopper kembali ke klinik karena ada pasien darurat.
Kini, hanya tinggal Zoro, Nami, Brook, dan Jinbe saja.
Ekspresi mereka semua tampak serius, selayaknya baru menandatangani perjanjian kerjasama amat penting dalam rapat di restoran keluarga tadi.
"Tadi itu sungguh menegangkan, aku yakin umurku berkurang, yohohoho!" komentar Brook, mencoba mencairkan suasana.
"Jadi, apa rencana kalian setelah ini?" tanya Jinbe.
Zoro menguap lebar, dan menjawab, "Hmm, aku akan tinggal selama 3 hari di Raftel. Kuina ada banyak urusan di sini... yah, sekalian berlibur."
"Kamu kemari dengan Kuina-chan?"
Zoro mengangguk, lalu menolehi satu-satunya wanita di sana, yang dari tadi diam saja tak seperti biasanya, "Ah... aku di Dojo Sasaki, kalau kalian memerlukan. Oi Nami, rumahmu tetap kan? Kutemani jalan."
"Oh?" Nami tersadar dari lamunannya. "Ah, terimakasih. Kalau begitu, sampai malam, Brook dan Jinbe."
Ia membungkuk, lalu membalikkan tubuhnya dengan diikuti Zoro. Setelah itu, ia tak memalingkan wajah lagi dari jalanan di depannya. Zoro mengikutinya perlahan, kira-kira 2 meter di belakangnya. Perjalanan ke kompleks apartemen Cocoyashi mereka lalui sembari diam.
Padahal hari masih sore, tapi kesunyian melingkupi mereka berdua.
"Terima kasih untuk yang tadi, Zoro," kata Nami tiba-tiba. "Soal Sanji."
"Hm? Ah, ya," jawab Zoro singkat.
"Tapi, kebencian yang kamu tunjukkan tadi, menurutku agak berlebihan."
"Apa maksudmu? Nggak ada kebencian untuk orang yang nggak pernah ada."
Mendengar itu, Nami berbalik. Matanya terlihat sedikit basah.
"Itu maksudku. Kamu... kalian boleh membenci Sanji-kun karena masalahnya denganku, tapi tolong, jangan anggap dia tak pernah ada," katanya dengan suara serak. "Karena bagaimanapun, dia-"
Zoro mendengus kesal, "Nami, kenapa kau masih terus membelanya? Setelah sekian tahun lewat?"
"Karena aku masih percaya padanya!"
"Walaupun dia sudah mengingkari janjinya?"
Nami tersentak lagi, lalu menundukkan kepalanya.
Janji. Benar... seingatnya, hal itu pernah dia dengar dari mulut pria berambut pirang itu, entah kapan.
"Aku akan menunggumu. Kuberi waktu setahun... dan aku akan menjemputmu di atas kuda putih."
Mungkin itu kata-kata Sanji waktu itu, di sore hari perpisahan yang menyedihkan, setelah dia mengungkapkan perasannya pada Nami. Gadis itu tak terlalu ingat, sudah lama sekali sepertinya itu terjadi. Ya... sudah lima tahun berselang.
Dan Sanji tak pernah kembali padanya.
Padahal, setahun yang diberikannya kepada Nami untuk menarik perhatian Luffy adalah setahun yang hampa. Luffy memang cowok bebal, walaupun Nami mengabaikan sifat tsundere-nya dan mendekatinya terang-terangan, dia hanya berpikir kalau Nami ingin menjalankan tugas sebagai wakil ketua SH menggantikan Zoro. Itu, dan Luffy sendiri yang terlalu banyak menarik perhatian gadis lain. "Korban" terakhirnya adalah Shirahoshi dari SMU Ryuugu, yang malah dia rekrut sendiri ke SH.
Nami yang tak ingin merusak keharmonisan SH karena keegoisannya mengejar Luffy, akhirnya melepaskan cowok itu. Dia tak merasa kehilangan, karena masih memegang janji dari Sanji.
Namun, sampai sekarang tak ada tanda-tanda darinya.
Zoro, dan mantan anggota SH lain yang mengetahui itu, amat marah. Itu sudah sewajarnya. Dia sudah menyakiti hati kawan dan gadis yang dicintainya, sekaligus! Waktu itu bahkan Zoro membuat pasukan yang terdiri darinya, Usopp, Franky, dan Barto untuk memburu Sanji ke Perancis.
Tapi dia menghilang... dan Nami dibiarkan menunggu sampai seperti ini.
"Dengar, Nami," Zoro meraih pundak gadis itu, dan merasakan tubuhnya gemetar. Padahal, saat itu masih musim semi, cuaca masih hangat. Dia mendesah, "Aku nggak memintamu untuk melupakannya, aku nggak berhak untuk itu. Waktu terus berjalan, dan yang hilang nggak akan kembali. Janji yang diucapkan juga mungkin nggak akan terwujud."
Nami menatap tangan Zoro di pundaknya, bibirnya bergetar.
"Kau pintar Nami, jauh lebih pintar dariku. Masa depanmu cerah. Kota ini nggak cukup besar buatmu, kau harus mengejar masa depanmu," kata Zoro. "Maaf kalau aku terdengar seperti menggurui, tapi aku memang guru. Paling nggak di dojo-ku.
"Tinggalkan kota ini, tinggalkan janji kosong orang itu. Kamu pantas mendapat itu."
Nami mengangkat wajahnya, di mana dua aliran sungai kecil sudah mengalir. Ia melihat wajah Zoro yang nampak kesepian, dan teringat percakapan mereka beberapa tahun lalu.
"Dia lebih mementingkan masa depannya."
Hubungan jarak jauh Zoro dan Robin kandas setelah Robin lulus dari universitas, karena wanita itu lebih mencintai orang-orang masa lalu dibandingkan orang-orang di masa sekarang. Tak banyak yang mengetahui ini. Zoro sepertinya tak terlalu terpengaruh, tapi Nami tahu bahwa dia sungguh kehilangan.
Tapi, yang namanya lelaki, luka hatinya lebih cepat sembuh daripada wanita. Zoro sudah melupakan Robin dengan kesibukannya di dojo, tapi Nami tidak pernah... tidak akan bisa melupakan Sanji.
Maka, ia berdiam di kota ini, tiap hari mendambakan pangeran berkuda putihnya. Ia berpikir, suatu hari, kapan saja Sanji akan kembali dan menjemputnya. Karena itulah ia tak kunjung mendapat pekerjaan yang pantas. Ia takut, jika ia pergi dari Raftel, Sanji takkan bisa menemukannya...
Dan takut kalau ia sendiri mengingkari janjinya untuk terus menunggu.
Nami akhirnya tak bisa lagi menahan diri, dan memeluk Zoro sekencang-kencangnya. Bahkan pria itu merasa sesak; ini sebuah pelukan keputusasaan.
"Se-setelah Sanji-kun, lalu Luffy... ap-apa yang harus kulakukan?" isaknya.
"Luffy. Benar. Luffy takkan meninggalkanmu. Takkan meninggalkan kita. Aku terus mempercayainya selama ini," Zoro mengusap puncak kepala Nami. "Aku... bukan, kita akan menemukannya."
Nami mengangguk, dan saat itu dunia sudah terasa lebih baik.
- to be continued -
Next Chapter – 2 of 5
And I'll tell you all about it when I see you again
