NOT ALONE

Part 1

By : Ichizuki Takumi

Pairing : Kaihun, others

Disclaimer: EXO milik Tuhan, orang tua, dan agensinya. Saya hanya meminjamnya sebagai karakter tokoh saja.

Rated : T

Genre : Romance, Drama

WARNING: YAOI, UKE!SEHUN

Happy reading~

.

.

.

Sehun, anak kelas enam sekolah dasar dari desa kecil di Busan. Bajunya lusuh, warnanya sudah memudar. Yang seharusnya berwarna hitam putih, malah terlihat seperti hitam keabu-abuan. Kulitnya yang putih terlihat begitu kontras dengan pakaian gelap yang dia gunakan.

Ia membenarkan tas selempang tuanya agar tidak melorot dari pundak. Sepatu bututnya mengais debu jalanan yang membuat celananya semakin kotor.

Hanya rambut hitam sepundaknya yang masih terlihat indah berkilau diterpa matahari. Meski selalu berjalan dibawah terik sang surya, kulitnya tetap putih pucat. Tubuhnya kecil dan tingginya tidak mencapai seratus enam puluh senti.

Mata sipitnya yang tertutupi poni terus menatap jalan berdebu yang ia lewati. Keringat mengalir disisi wajahnya. Dia terus berjalan sampai berhenti tak jauh dari pertigaan di ujung jalan ketika kepalanya mendongak.

Seorang pria paruh baya berdiri di dekat tiang listrik di ujung jalan, seperti menunggu seseorang. Dia menoleh kearah kanan saat merasakan seseorang berdiri tak jauh darinya. Dia tersenyum, lebih tepatnya menyeringai, ketika mendapati orang yang dinantikannya sejak tadi. Dia membuang rokok yang dihisapnya dan menginjak putung itu hingga benar-benar mati. Seringaian tak lepas dari wajahnya. Tangannya melambai kearah Sehun kemudian mengarah ke celananya dan menarik keluar kejantanannya.

Sehun yang melihat itu terbelalak. Dia terlihat bingung dan takut. Jalanan di desa itu memang sepi, temboknya juga tinggi. Ditambah, saat siang hari seperti ini orang-orang sedang bekerja di ladang.

Lelaki di ujung jalan itu mulai melangkah. Sehun tambah bergetar karenanya. Kakinya sulit digerakkan, suaranya tercekat. Meski hampir tiap hari mengalaminya, tapi dia tetap merasa takut. Perasaan itu tidak bisa hilang meski dia sudah mencoba.

"Aaaaaaargh!"

Teriaknya sekeras mungkin saat mendapat kontrol akan tubuhnya. Dia berlari kencang, yang ada dalam pikirannya hanya segera menjauh dari tempat itu.

Terpaksa dia harus mengambil jalan memutar, yang artinya dia harus melewati hutan dan jaraknya tiga kali jalan biasanya.

.

Bukan pelecehan semacam ini saja yang dialaminya. Tiap mandi disumur belakang rumahnya, dia selalu diintip. Dia tidak punya kamar mandi di dalam rumah. Hanya sebuah sumur dengan dinding sebatas dada tanpa atap yang digunakannya untuk mandi dan lainnya. Dia selalu mendapi seorang remaja, yang mungkin beberapa tahun diatasnya, memelototinya dari jendela rumah yang ada di tanah yang lebih tinggi. Sehun berani bertaruh kalau pemuda itu sudah melihat miliknya, tapi pemuda itu tak berhenti melihat seolah acara mandi adalah opera sabun.

Dan yang lebih parah, lubang yang ada di dinding kayu bagian luar kamarnya pernah dijadikan nafsu lelaki, yang Sehun tidak tahu siapa. Yang saat itu dia lakukan hanya sembunyi dibawah selimut sambil menutup erat telinganya ketika terdengar desahan serta kejantanan yang keluar masuk dari lubang dindingnya. Itu adalah hal paling menjijikkan yang pernah ia dialami. Dan ucapan penutup 'Saranghae, Oh Sehun,' membuat tubuhnya semakin merinding dan tak bisa lagi menahan air mata.

.

Tidak, dia tidak boleh menangis. Dia harus kuat. Ini demi kakeknya, keluarga satu-satunya yang dia miliki. Dia harus bisa menjalani semua ini agar kakeknya tidak khawatir.

.

XOXO

.

Sehun menyambut kakeknya yang baru pulang dari ladang. Dia selalu menyukai senyuman itu, senyuman bulan sabit yang selalu ditujukan padanya. Meski badan itu tak sekuat dulu, terlihat lemah dan renta, tapi Sehun tetap menganggap kakeknyalah yang terhebat. Bahkan super hero manapun tak bisa menandinginya.

"Kakek, aku membuatkanmu teh hijau dari kebun."

Kakek tua itu mencoba duduk disamping cucu kesayangannya, sedikit menahan sakit dipinggang yang akhir-akhir ini bertambah parah.

"Wah, cucu kakek pintar ternyata. Coba kakek minum."

Sehun memperhatikan kakeknya dengan antusias. Menunggu reaksi apa yang akan diberikan oleh kakeknya.

"Rasanya lumayan, hanya saja..."

Sang kakek terlihat berpikir. Hal itu malah membuat Sehun was-was. Takut-takut, tehnya tidak enak dan kakeknya tidak suka.

"... sepertinya aku terlalu tua untuk menikmati teh seenak ini."

"Kakek bicara apa, kakek itu tidak tua," meski mengomel, tapi dia tetap tersenyum mendengar pujian kakeknya. "Kakek tidak akan meninggalkan Thehun, sampai Thehun besar nanti."

"Kalau ingin dewasa, yang pertama harus kau lakukan adalah membenarkan huruf 's'-mu itu."

"Kakek!" Sehun cemberut mendengar ejekan kakeknya.

"Hahahahaa..." mengerjai cucunya merupakan suatu kepuasan sendiri bagi kakek Oh. "Sehun, dengar baik-baik."

Sehun mengalihkan perhatiannya saat ia merasa kakeknya mulai bicara serius.

"Kau harus menjadi pria yang kuat. Kau tidak boleh takut kalau kau benar. Tumbuhlah dewasa dan jangan kecewakan kakek."

"Emm," Sehun mengangguk mantap. Kakeknya adalah panutan hidupnya. Dia ingin seperti kakeknya saat dewasa nanti.

Kakek Oh tersenyum melihat cucunya yang polos dan mempunyai kemauan besar. Tangannya menepuk kepala cucunya pelan, dalam hati berdo'a agar Tuhan selalu melindunginya.

.

XOXO

.

"Kakek, hiks..."

Sehun mengingat dengan jelas pesan terakhir kakeknya 'Namja tidak boleh menangis,' tapi dia tetap tidak bisa menahan tangisannya.

Kakek Oh, keluarga satu-satunya yang dia miliki kini tiada karena kecelakaan yang merenggut nyawanya. Dia terperosok dalam jurang. Saat ditemukan warga, dia masih bernapas hanya karena tekadnya untuk menemui cucu kesayangannya. Pada kalimat terakhir yang terucap darinya, akhirnya dia menghembuskan napas dengan damai. Meninggalkan anak malang sebatang kara bernama Oh Sehun.

.

XOXO

.

Angin dingin menerpa. Seorang anak laki-laki tanpa pakaian tergeletak tak berdaya di dekat tong-tong sampah di gang yang sepi. Tubuhnya seolah mati rasa. Matanya terbuka, namun pandangannya kosong menatap langit gelap berawan.

Ingatannya kembali ke beberapa menit yang lalu. Dimana tubuhnya dijadikan pelampiasan nafsu seolah hanya barang dagangan. Punggung tangan kanannya menutup matanya pedih. Air mata tak lagi mengalir karena kering. Tenggorokannya sakit karena habis berteriak.

Terdengar langkah kaki di ujung gang itu. Tubuhnya menegang, seketika dia bergerak duduk sambil memeluk kedua kakinya. Menghiraukan rasa sakit yang mendera bagian bawahnya.

"Kau tak apa?"

Tubuhnya bergetar saat mendengar suara pemuda yang kini berdiri tak jauh darinya. Dia takut, sangat takut. Kepalanya menunduk tak berani menatap. Air mata yang semula kering, kini berkumpul di pelupuk, siap menciptakan linangan bening di pipi. Tangannya mengerat memeluk lutut, tubuhnya semakin merapat pada tembok dan tong sampah, berharap dapat menyembunyikan tubuh tak berdayanya.

"Maaf, sepertinya aku terlambat menolongmu."

Sehun mendongak kaget mendengar perkataan itu. Wajahnya berantakan dengan air mata dan ingus yang mengalir. Rambutnya juga acak-acakan. Dia menatap tak percaya pemuda yang ada dihadapannya.

Benarkah pemuda itu akan menyelatkannya? Benarkah itu? Atau itu hanya omong kosongnya saja?

Saat rasa tidak percaya menghadiri pikirannya, sebuah mantel tebal mendarat di tubuhnya. Menutupi tubuh pucat kurus itu. Perasaan hangat tiba-tiba mengalir di dadanya.

"Jangan takut, aku bukan orang jahat."

Pemuda itu berjongkok, menyamakan tingginya dengan Sehun. Dengan pelan, dia menggapai kepala Sehun dan mengelusnya. Mencoba tidak membuat takut pemuda yang lebih muda darinya.

"Kau masih kecil, tapi sudah mengalami hal seperti ini. Hidupmu pasti berat. Maaf aku tidak bisa berbuat apa-apa."

Entah kenapa, tapi Sehun merasa nyaman berada di dekat pemuda yang kini duduk di dekatnya. Dia mengeratkan mantel yang tersampir di tubuhnya. Matanya menatap tanah di hadapannya, seolah itu adalah hal menarik untuk dilihat.

"Dimana orang tuamu?"

Sehun menggeleng.

"Keluargamu?"

Dia menggeleng lagi.

Pemuda itu terdiam, mengamati gerak-gerik Sehun. Dia tidak menyangka akan bertemu anak dengan dengan nasib tragis seperti itu. Dunia memang terlalu kejam untuk anak polos sepertinya.

.

Sehun terbangun dari tidurnya saat sinar matahari masuk melalui celah kecil rumahnya. Tubuhnya kaku, bagian bawahnya masih perih. Semalam dia digendong oleh pemuda tak dikenal sampai rumahnya. Dia menyesal tidak menanyakan siapa nama pemuda baik hati itu.

Dia memeluk mantel yang ditinggalkan pemuda itu untuknya. Tangannya merasa ada sesuatu dalam saku mantel. Dia mengambil benda hitam yang sepertinya adalah dompet pemuda itu.

Apa pemuda itu memberikan mantelnya tanpa mengecek isinya?

Sehun merasa senang karena merasa diperhatikan. Dia merasa pemuda itu menolongnya tanpa berpikir panjang. Diusapnya mantel itu ke pipi dengan sayang. Dia tidak menyangka ada orang baik di dunia ini selain kakeknya.

"Jongin. Kim Jongin."

Ucapnya pelan saat membaca kartu nama yang diambilnya dari dompet.

"Jongin, Jongin, Jongin..."

Dia terus mengucapkannya bagai mantra. Seperti candu, nama itu telah tertanam dalam hatinya. Berharap bisa bertemu Kim Jongin, sang penyelamat hidupnya.

.

.

.

TBC/END

Hey, I come back... Do you remember me?

Sebenarnya ini hanya selingan, sekedar untuk pemanasan.

Cerita ini sebagian kuambil dari pengalaman temanku, tapi tidak sampai bernasib tragis seperti Sehun. Untuk selebihnya adalah imajinasi liarku yang berharap adanya Kaihun moment.

Aku hanya berharap semoga Kaihun balikan dan membuat imajinasiku semakin liar #plak

Thanks to reading my story.

Mind to review? -^^-