Haikyuu! © Furudate Haruichi

.

Warning : OOC, typo(s), serta yang lain.

.

Happy reading!

.

BAM!

Bola voli yang dipukulnya keras berdebam memenuhi ruangan gym voli SMA Aoba Johsai. Kyotani tersenyum puas.

Kindaichi Yuutaro, adik kelas yang baru ia kenal dalam hitungan hari karena absennya ia di gedung itu terkapar di lantai kayu dengan dahi merah padam. Bola voli baru saja menghantam kepalanya. Dia korban kedua setelah Kunimi, yang bahkan sekarang sudah pingsan dengan keadaan tidak jauh lebih baik daripada Kindaichi.

Yahaba yang duduk bersimpuh di seberang net menatap samping kirinya gemetaran. Laki-laki yang tampak lembut tapi bisa sangat kasar dan frontal itu bergetar seperti seorang gadis yang ingin menangis. Ada buncahan kebahagiaan yang Kyotani rasakan saat ia melihatnya.

"Kyo-kyotani... Bukankah ini sudah keterlaluan?" Bibir Yahaba bergetar takut saat bertanya.

Di pihak sebaliknya Kyotani menyeringai hebat. "Tidak. Itu ganjaran yang pas. Untukmu Yahaba, aku akan berikan lebih banyak kekuatan saat memukul bolanya."

Yahaba tidak bisa membalas. Ia sudah diujung tanduk untuk mengalami hal yang sama dengan dua murid kelas satu mereka.

"Kyoken-chan! Hentikan semua ini, kau benar-benar keterlaluan!"

Oikawa di paling ujung kanan lapangan berteriak geram. Wajahnya tidak main-main. Ia sangat marah. Kalau saja kaki dan tangannya tidak diikat dan ia bisa berdiri bebas serta menggerakkan tangan sesuka hati, Oikawa sudah jadi orang pertama yang menjitak kepala si Anjing Galak, tanpa harus menyuruh Iwaizumi untuk melakukannya.

"Kau akan jadi terakhir yang dapat giliran," jawab Kyotani tanpa harus peduli protes dari Oikawa.

Pemuda berpenampilan preman itu melempar bolanya tinggi, ia melompat dengan lekuk yang disukai Oikawa, tapi mungkin tidak untuk situasi mereka saat ini, di mana seluruh anggota reguler tim bola voli Aoba Johsai menjadi mangsa sempurna bagi si pemburu—Kyotani Kentaro. Telapak tangannya dipenuhi energi dan ia memukul bola biru berseling kuning itu tepat ke wajah Yahaba yang dipaksa menunggu di seberang net.

Tepat sasaran seperti dua sebelumnya.

Kyotani merasa puas mendengar jerit kesakitan Yahaba sebelum pemuda yang sebenarnya manis itu tumbang. Ia korban ketiga dalam lima menit yang berlangsung lambat itu.

"Ini latihan serve yang bagus. Aku bisa mengincar titik lapangan dengan sangat baik. Terima kasih sudah membantu latihanku, senpai-tachi."

Kyotani melempar bola ke atas lagi. Ia menikmati setiap detik yang berlalu sampai bola itu menyentuh tangannya dan mendarat di sisi lapangan lain bersamaan dengan satu tubuh yang ambruk ke lantai dengan bunyi gedebum tidak kalah keras dari pukulannya. Hanamaki terhempas.

"Oi, oi! Apa aku yang selanjutnya? Kau serius melakukan ini? Di mana sopan santunmu, dasar bocah tengik!"

"Kau tahu aku tidak pernah menghormati anak kelas tiga," Kyotani menjawab Matsukawa. "Sebut ini sebagai salam tadaima-ku."

BAM!

Matsukawa jatuh tersungkur tidak jauh dari Hanamaki yang tadi tidak sempat melancarkan protes—atau mungkin enggan karena pasrah menerima takdirnya yang akan dieksekusi? Entah. Matsukawa disela kesadarannya yang hampir menghilang mengeluhkan keberuntungan yang dialami Watari, kakak kelas dengan rambut hitam ikal itu berharap kakinyalah yang terklir dan terbaring di rumah saat ini, menggantikan takdir Watari.

"Lakukan kalau berani," tantang Iwaizumi datar, tapi tidak gentar.

"Aku menunggu hari di mana bisa mengalahkanmu dengan mudah."

"Coba saja. Aku tidak bisa menghindar, tapi juga tidak akan pingsan hanya karena pukulanmu. Tidak sampai aku melihat wajah menyedihkan merah padam milik Oikawa."

"Iwa-chan!" Oikawa di sampingnya memekik protes.

"Bersiaplah."

Kyotani, untuk ke berapa kalinya tidak kehilangan postur indahnya di udara. Kekuatannya juga tidak berkurang. Ia masih cukup kuat membuat Iwaizumi jatuh menghadap ke arah Oikawa yang memandangnya horor penuh takut.

"Sekarang giliranmu, Oikawa. Jujur saja aku menunggu ini, meski tidak suka juga dengan kondisiku."

"Iwa-chan, kau jahat! Harusnya kau membujuk Kyoken-chan untuk mengampuniku kalau kau masih punya kesadaran."

"Aku akan memulai giliranmu, sebaiknya kau perhatian aku saja, senpai." Kyotani menekankan kata terakhirnya.

"Aku janji tidak akan memanggilmu Kyoken-chan lagi."

"Aku tidak menginginkan hal itu."

"Aku tidak akan menjahili, menggoda atau mengejekmu lagi. Aku janji!"

Kyotani mundur beberapa langkah mengambil ancang-ancang. Tapi Oikawa masih tidak menyerah, ia mencoba membujuk lagi.

"Aku akan memanggilmu dengan sebutan –sama. Jadi jangan memukulku, oke?"

Itu penawaran terakhir Oikawa dengan mengorbankan harga dirinya.

"Sebaiknya kau berikan pada orang lain."

Kyotani menyeringai senang. Target terakhirnya menatapnya tidak percaya, wajah itu sangat disukainya. Wajah ketakutan Oikawa Toru, sang konduktor yang ingin mengaturnya.

BAM!

Pukulan terakhir dan Oikawa jatuh. Kyotani tersenyum senang. Ini seperti mimpi baginya.

BRUKH!

Kyotani terjatuh. Ia mengerang kesal di samping kasurnya.

Ah, ternyata memang mimpi.

.

.

.

Kyotani memasuki gedung olahraga yang tidak terlalu ia sukai orang-orangnya—tapi tidak dengan kegiatan di dalamnya, dengan senyum miring yang sangat khas dengannya. Tidak perlu salam, ia hanya butuh membuka pintu dengan keras untuk menarik semua atensi berarah padanya.

Tidak lama mengenal bukan berarti tidak bisa memahami. Mereka semua yang ada di gym tahu, senyum itu bukan seringai biasa, melainkan sesuatu yang menandakan kesenangan si pemilik. Kyotani sedang merasa senang hari itu.

Mungkin ini adalah pertama kalinya Kyotani Kentaro datang dengan senyum bahagia ke gedung olahraga yang masih banyak anak kelas tiga yang dibencinya.

"Lihat siapa yang datang, Kyoken-chan. Hari ini kau kelihatan sangat senang, apa sudah tidak sabar berlatih dengan Oikawa-senpai?"

"Hm."

Aku tidak sabar menantikan mimpiku terwujud hari ini.

.

Finished.

.