Jealousy makes you perfect
By miss peanutbutters
Hai readers, mohon bimbingannya yaa untuk fic pertama ini :)
Disclaimer: hp bukan punya sayaa
Summary:
"Akan kuperjelas," kata Hermione, berusaha tenang, menatap Harry dan Draco Malfoy di hadapannya tajam. "Kau, Harry Potter, yang menghabiskan hidup Hogwartsmu mencaci-maki Draco Malfoy, ternyata sudah berpacaran dengannya sejak kelas satu?!"
Harry dan Draco ternyata bukan seperti yang orang-orang bayangkan, karena di balik setiap pertengkaran mereka, ada alasannya. Hermione dan Ron baru mengetahuinya setelah 7 tahun mengenal Harry.
Warning: slow burn! FemHarry/Draco!
-DH-
"Akan kuperjelas," kata Hermione Granger, berusaha tenang, menatap Harry dan Draco Malfoy di hadapannya tajam. "Kau, Harry Potter, yang menghabiskan hidup Hogwartsmu mencaci-maki Draco Malfoy, ternyata sudah berpacaran dengannya sejak kelas satu?!"
Suasana ruang tamu Bill dan Fleur Weasley di Shell cottage tak bisa lebih tegang dari itu. Ruang tamu itu kecil, bertembok biru, dengan jendela terbuka menghadap ke pantai. Angin semilir masuk meniup kelambu yang Fleur pasang sebagai gordin. Dua sofa kecil bertengger nyaman di ruangan itu.
Tapi tetap tak bisa mengurangi ketegangan wajah Ron Weasley dan Hermione, yang duduk di sofa di depan Harria Potter dan Draco Malfoy. Pintu ruangan itu tertutup rapat, dan mantra Muffliato telah di luncurkan. Privat.
Draco mendengus, kepalanya bersandar ke bagian belakang sofanya. Wajahnya tirus, lelah. "Berlebihan. Sejak akhir kelas 4 lebih tepatnya. Resminya," katanya ringan, seolah dia dan Harry berpacaran sama sekali bukan masalah.
Harry mendesah. "Ron, Mione, kurasa yang paling penting saat ini adalah kita menanyai Mr Olivander dan Griphook..."
"Tidak Harry," desis Ron, memelototi Draco. "Kau jelaskan semuanya sekarang juga. Ini lebih penting dari Horcrux manapun!"
Harry memutar bola matanya. "Ron..."
"Kalau kau pikir aku akan diam saja kau dipermainkan oleh pelahap maut..."
"Baik, baik," tukas Harry akhirnya, habis sabar. "Oke, akan kujelaskan semuanya. Tapi akan butuh waktu sangat lama, dan kita dikejar waktu..."
"Benar sekali, jadi sebaiknya segera kau mulai ceritamu kan?" Tandas Hermione, matanya juga menyipit menatap jari Draco yang hampir menyentuh jari Harry di sofa. Mereka tidak bersentuhan sejak duduk di sofa itu, Hermione memperhatikan. Hanya sesekali Malfoy menatap Harry, tapi selain itu, mereka sama sekali tidak seperti orang yang sudah lama berpacaran!
Pasti ini hanya lelucon Harry. Kalau sampai ini hanya lelucon, bukan Voldemort yang akan menghabisi Harry, tapi Hermione sendiri yang akan melakukannya!
"Dari mana kau ingin tahu?" Gerutu Harry.
"Sebaiknya kau ceritakan sejak Madam Malkin," kata Draco, nyengir pada Harry, yang wajahnya merona.
"Astaga, oke oke," desahnya. "Hm, kalian tahu kan kalau Hagrid yang menjemputku untuk belanja di Diagon Alley pertama kalinya?"
Ron dan Hermione mengangguk.
Dan Harry memulai ceritanya.
1. Kelas 1, part 1
Harry memasuki toko baju Madam Malkin dengan tas belanja yang membebaninya. Dia melambai pada Hagrid yang tak bisa masuk toko karena ukurannya yang... tidak biasa. Harry tersenyum pada dirinya sendiri, masih ragu apakah ini semua nyata, saat tatapannya jatuh pada anak laki-laki yang sedang di ukur bajunya.
"Ouch, hati-hati, itu tanganku," ketus anak itu. Rambutnya pirang putih dan dagunya lancip. Anak itu mungkin menyadari tatapan Harry dan mendongak. Harry merasakan wajahnya merona. Mata anak itu abu-abu, bagus sekali.
"Hei," kata anak itu, nadanya di lambat-lambatkan. "Kelas 1 kan?"
Harry mengangguk.
"Duduklah di situ nak, aku sudah selesai dengan yang ini," kata wanita yang mengukur anak itu ramah. Harry duduk di kursi tunggu.
"Aku Draco," kata anak itu, duduk di kursi di posisinya. "Draco Malfoy, kau pasti pernah mendengar namaku."
Harry sebenernya tak tahu siapa Draco Malfoy ini, tapi karena tak ingin nampak bodoh, dia mengangguk saja. Draco nyengir, puas Harry tahu namanya rupanya.
"Aku Harry," kata Harry kemudian, berharap Draco tak menanyai nama belakangnya.
"Harry? Seperti nama laki-laki saja," Draco tertawa terbahak. "Atau jangan-jangan kau laki-laki? Rambutmu panjang, kukira cewek..."
"Aku cewek," desis Harry, menggertakkan giginya, mulai kesal. "Harria namaku, orang-orang memanggilku Harry."
Draco mendengus. "Yah mungkin karena kau seperti laki-laki, nama Harria terlalu manis..."
Harry cemberut, merasakan wajahnya panas. Sialan cowok itu! Beraninya mengatai Harry laki-laki! Harry memang memakai kaus dan jins kebesaran milik Dudley, dan rambut panjangnya dia kuncir ekor kuda (dengan poni yang menutupi bekas lukanya), tapi dia tahu wajahnya lumayan manis. Setidaknya Edward dari kelas Matematikanya dulu bilang begitu padanya...
"Kalau kau pikir 'Draco' nama yang normal..." Ketus Harry.
Draco berhenti tertawa. "Namaku bagus tahu, dari konstelasi bintang-bintang... Dragon, naga," katanya bangga. Harry mendengus.
"Yeah, yeah, terserahlah," katanya cuek.
Draco cemberut. "Kau menyebalkan," tandasnya.
"Kau yang mulai duluan," ketus Harry balik. Saat itu untungnya madam malkin mendatangi Harry dan mulai mengukurnya. Draco memperhatikannya.
"Kau kelahiran Muggle ya?" Katanya akhirnya.
Harry mengangkat bahu. "Ayah dan ibuku penyihir," katanya singkat, tak ingin menceritakan kisah hidupnya yang tragis pada cowok macam Draco Malfoy.
Draco nyengir lebar. "Bagus," katanya riang. "Dan kau akan masuk asrama mana?"
"Maksudmu?" Kata Harry, meringis saat Madam Malkin menusuk pinggangnya dengan jarum.
"Kau akan masuk asrama mana?" Ulang Draco, memutar bola matanya. "Aku pasti di Slytherin. Turun temurun sejak generasi pertama Malfoy. Kau harus masuk Slytherin juga," katanya final. "Kau bisa jadi anak buahku."
Harry cemberut. Dia berharap apapun yang dimaksud Draco dengan asrama ini, dia jauh-jauh dari cowok itu. Harry membayangkan Draco adalah Dudley versi dunia sihir.
-HD-
Mereka bertemu lagi di kereta.
"Hei, kau tak bilang kalau kau Harry Potter!" Seru Draco saat membuka pintu kompartemennya. Tapi cengirannya hilang saat melihat Ron duduk di depan Harry, kepala keduanya mendekat karena sedang membaca kartu-kartu dari coklat kodok.
Harry mengangkat bahu. "Well, tak penting juga..."
Tapi Draco tak mendengarkan, tatapannya masih jatuh ke arah Ron, matanya menyipit tajam. "Jubah kusam, rambut merah, jelek... Kau pasti Weasley."
Wajah Ron merona sampai telinganya. "Kau pasti Malfoy, pucat dan seolah ada kotoran di bawah hidungmu..."
Harry mendengus, Ron nyengir padanya. Draco memelototi Ron.
"Jaga bicaramu, Weasley, kau tak tahu siapa yang berkuasa di sini..."
"Yang jelas bukan kau," tukas Ron, tapi matanya awas menatap kroni-kroni Draco yang siap menibannya dan menjadikannya kripik.
Draco mencibir, lalu pandangannya jatuh ke Harry lagi. "Ayo ikut aku Potter, jangan sampai kau terlihat bersosialisasi dengan macam Weasley..."
Harry memutar bola matanya. "Kurasa aku bisa memutuskan dengan siapa aku ingin bersosialisasi, Malfoy, terima kasih banyak."
Kini Ron yang terbahak. Wajah pucat Draco merona bak kepiting rebus. "Bagaimana rasanya ditolak cewek, Malfoy? Sakitnya seperti sakit gigi ya?" Ledek Ron, memegangi perutnya karena tawanya tak terkendali.
Draco memelototi Harry. "Beraninya kau..."
Harry nyengir. "Apa Malfoy? Mengancam cewek? Apa kau akan memukulku sekarang? Hm?"
Draco cemberut, tapi tak mengatakan apapun lagi dan berlalu pergi. Harry dan Ron masih tertawa tebahak-bahak.
-DH-
Shell cottage, kelas 7
"Jadi kau marah pada Ron secara berkepanjangan karena cemburu?" Kata Hermione tak percaya. "Kau cemburu pada Ron dan Harry? Bagaimana bisa?"
"Well, aku ingat itu," kata Ron, mau tak mau terbahak. "Tapi kau tak menjawab pertanyaanku saat itu Malfoy? Apakah lebih sakit ditolak cewek atau sakit gigi?"
Harry dan Hermione mendengus. Draco memelototi mereka.
"Aku tidak cemburu, Granger, tapi kalau kau melihat betapa dekatnya kepala mereka, kau juga akan berasumsi kan?" ketusnya.
"Dan aku tidak ditolak, Weasley, Harry hanya jual mahal saat itu. Itu permainannya agar aku terus tertarik padanya..."
Harry terkikik. "Hmm, aku yang 11 tahun sama sekali tak tertarik padamu, Malfoy, biar kuperjelas..."
"Jadi kau menyukai Harry sejak kelas 1?" Kata Hermione, setengah takjub, setengah tak percaya. "Wow."
Draco memutar bola matanya. "Aku tertarik pada Harry sejak di Madam Malkin. Aku suka mata hijaunya. Dan hidung kecilnya. Dan mungkin lesung pipinya juga. Dan..."
"Oke, oke stop," kata Harry, wajahnya merona. Draco nyengir padanya.
"Tapi aku masih 11 tahun kan?" Kata Draco lagi. "Tak ada desiran nafsu atau cinta. Hanya sekedar aku ingin berteman dengannya. Itu saja."
"Dan sekarang ada desiran nafsu dan cinta?" Goda Harry, nyengir menatapnya. Draco terkekeh.
"Hm, seperti itulah," katanya. Mereka bertukar pandang dan senyum sekilas, tapi langsung berbalik ke Ron dan Hermione lagi.
Hermione masih memperhatikan bahwa Harry dan Malfoy sama sekali tak mengumbar intimasi mereka. Hanya cengiran kecil, dan saling menggoda...
Hermione merasakan perutnya mulas.
"Lalu? Apa yang membuat kalian bisa dekat? Setelah penolakan Harry?" Tanya Ron heran.
Draco terkekeh. "Setelah itu, aku berusaha menjahili Harry sebisaku. Segala yang dia lakukan entah kenapa membuatku sebal..."
2. Kelas 1, part 2
"Ayo ambil sendiri kalau kau bisa, Potter," seringai Draco, melemparkan remembrall milik Neville sejauh mungkin. Dia tahu Harry tak pernah menaiki sapu sebelum ini, dan pasti tak akan berani melesat mengambil remembrall itu.
Tapi jelas dia meremehkan Gryffindor. Dengan melesat cepat Harry mengejar remembrall itu, menangkapnya, dan mendarat dengan mulus di tanah, di sambut tepuk tangan riuh anak-anak Gryffindor.
"Potter! Apa yang kau pikir kau lakukan!"
Seruan itu membuat seluruh anak berdiri kaku. Draco membelalak melihat Profesor McGonagall dengan wajah super merah dan bibir tipis mendatangi Harry yang ketakutan.
"Aku tak pernah melihat... Dalam hidupku..." Dia terbata-bata, rupanya menahan amarah yang membuncah, lalu menarik napas mengendalikan diri. "Ayo ikut aku, Potter!"
Dengan horor Draco melihat Harry berjalan menunduk mengikuti Profesor McGonagall.
Apa yang sudah Draco lakukan? Bagaimana kalau Harry di keluarkan? Siapa yang akan Draco ganggu lagi nanti?
Seharian itu berlalu cepat dengan Draco merasa sangat cemas. Akhirnya, saat makan siang, dia mencari Harry dan menemukan gadis itu berjalan dengan Ron Weasley.
"Potter," panggil Draco. Harry menoleh, matanya menyipit begitu melihat Draco. "Aku mau bicara sebentar."
Harry memutar bola matanya, bersedekap. "Apapun yang mau kau katakan, bisa kau katakan di depan Ron," tandasnya keras kepala.
Ron mendengus. "Paling dia hanya ingin mendengar ceritamu di keluarkan. Ha! Kalau kau mau tahu, Malfoy, Harry tidak di keluarkan, malah dia ditunjuk sebagai Seeker termuda dalam 100 tahun terakhir! "
Draco melongo. "Kau membual!"
Harry nyengir. "Yeah, ini semua berkatmu tentu saja, jadi terimakasih untukmu Malfoy," katanya, lalu dia dan Ron berlalu sambil tertawa-tawa.
Draco hanya bisa cemberut.
Malam itu, Draco menghadap Harry yang kembali dari lapangan Quidditch untuk berlatih dengan Wood.
"Potter," Draco menarik Harry, yang terlonjak kaget, masuk ke kelas kosong, bersedekap. "Bagaimana bisa kau menjadi seeker?!"
Harry memutar bola matanya, dan menceritakan soal McGonagall yang ternyata membawanya ke Oliver Wood siang itu, bukan ke kepala sekolah.
Draco mengernyit. "Bagaimana bisa? Aturannya anak kelas 1 tak boleh masuk tim tahu!"
Harry mengangkat bahu. "Yeah yeah, tak perlu iri, Malfoy..."
Draco mendengus. "Iri padamu? No way! Mereka memilihmu karena kau punya itu." Dia mengedik ke bekas lula Harry.
Harry cemberut. "Enak saja. Aku punya kemampuan terbang yang cepat dan tangkapan yang akurat kata Profesor McGonagall!"
Draco mengangkat bahu. "Yeah, yeah, kita lihat hasil pertandingan pertama."
Dan hasil pertandingan dimenangkan oleh Gryffindor, tapi bukan itu yang membuat Draco syok.
"Apa yang terjadi padamu tadi?" Tukas Draco, memojokkan Harry saat keluar dari kamar ganti. "Kau seperti kena kutukan."
Harry mendesah. "Entahlah," desahnya. "Aku terbang baik-baik saja, dan mendadak sapuku seperti kesurupan. Tapi sudahlah," dia nyengir lebar. "Yang penting Gryffindor menang! Yay!"
Draco masih tampak tak yakin, tapi tak memperpanjang lagi dan hanya memutar bola matanya. "Yeah yeah, selamat untukmu..."
"Thanks," Harry tersenyum lebar, matanya berkilau dan lesung pipinya nampak jelas.
Perut Draco mendadak seperti di timpa timah panas, wajahnya merona.
"Well," katanya akhirnya. "Untukmu." Dia menjejalkan sekotak biskuit dengan bungkus mewah. "Dari ibuku. Aku tak suka merk itu. Anggap saja amal dariku."
Harry menatap tak percaya kotak biskuit di tangannya. "Sungguh? Ini bukan racun kan? Aku tak akan mati memakan ini kan?" Tuduhnya curiga.
Draco cemberut. "Tadinya mau kuberikan padamu sebagai pelipur sedih kalau kau kalah... Tapi yah... Tak ada yang menyangka kau bisa menang kan?"
"Thanks atas kepercayaan dirimu padaku," tandas Harry sarkastis, matanya masih menatap biskuit ditangannya. "Boleh kumakan sekarang? Kita bisa makan berdua di stadion..."
Draco hanya mengangkat bahu. Stadion sudah kosong, hanya tinggal mereka berdua. Mereka duduk di baris tengah, dengan jarak 1 kursi di antara mereka.
Harry perlahan-lahan membuka pita biskuit itu, aroma lemon segar tercium, membuat perutnya yang keroncongan berbunyi memalukan. Draco terbahak.
"Kau sungguh seperti cowok tahu," godanya. Harry memelototinya.
Mereka makan biskuit dalam hening, dan sejak itu, entah bagaimana caranya, mereka telah berteman.
-DH-
"Nicholas Flamel?" Ulang Draco.
Saat itu mereka sedang mengerjakan pr berdua di sudut terpencil di perpustakaan.
"Em hm, kami menduga barang yang di sembunyikan adalah miliknya," kata Harry, bertopang dagu. "Tapi kami tak tahu apa itu. Dan aku masih yakin pernah membaca nama itu entah dimana..."
Saat itu salju mulai turun, suasana liburan natal sudah mulai terasa. Harry dan Draco sejak tadi hanya malas-malasan di meja mereka, mengobrol tak jelas arah, sampai Harry teringat soal Flamel.
"Aku masih menganggap bahwa itu bukan urusanmu, Potter," tandas Draco memutar bola matanya. "Kalian Gryffindor sungguh tak ada kerjaan ya?"
Harry cemberut. "Tapi Snape mau mencurinya, Draco, dan kita tak tahu apa motifnya..."
Draco mendesah. "Snape guru, Harry, dan dia oke..."
"Dia oke?" Tandas Harry tak percaya. "Apa kau tak melihat sikapnya padaku di kelas ramuan..."
Draco mengangkat bahu. "Bukan salahnya dia benci orang bodoh kan?"
Harry hanya tergagap. "Apa kau menyebutku bodoh?"
"Aku menyebutmu bodoh seminggu 3 kali Potter, kenapa kaget?"
Harry terdiam. "Benar juga," katanya akhirnya. Draco mendengus.
"Well, aku akan pulang natal ini. Kau akan kembali ke tempat paman dan bibimu?"
Wajah Harry horor. "No way! Selama ada alasan tak pulang ke Privet Drive, aku tak akan pulang!"
Draco mengangguk simpati. "Kau sendirian di menara Gryffindor?" Tanyanya dengan nada ringan, tapi Harry mendengar rasa cemas di sana, dan berusaha tak tersenyum karenanya.
"Tidak, Ron juga akan tinggal..."
"Weasley juga akan tinggal? Itukah yang membuatmu tak ingin pulang? Bersama Weasley lebih lama lagi?" Nada suara Draco sedingin es.
Harry melongo. "Apa? Tentu tidak, aku kan sudah bilang padamu kalau aku benci keluargaku..."
Tapi Draco seperti mendadak tuli. Dia membereskan buku-bukunya cepat.
"Mau kemana kau? Pr nya belum selesai..."
"Kerjakan saja dengan Weasley tercintamu itu," ketus Draco, dan menghentak pergi tanpa mengatakan apapun lagi.
Harry hanya bisa melongo syok, tak mengerti apa yang membuat Draco tiba-tiba semurka itu.
Draco dan Harry tak bicara lagi setelah itu. Mereka tak bertukar hadiah natal. Harry masih kesal karena Draco marah tanpa sebab, dan Draco tampaknya jelas bukan jenis orang yang mau minta maaf duluan.
Minggu berlalu, sampai Norbert datang.
Harry, Ron, dan Hermione sibuk membantu Hagrid merawat Norbert. Sampai tiba waktunya Norbert di jemput oleh Charlie malam itu.
Dan itulah saat ketika Draco melihat naga kecil itu dari jendela Hagrid.
Dan semua anak tahu kejadian selanjutnya, Draco melaporkan mereka pada McGonagall, dan masing-masing mereka mendapat pengurangan 50 poin dan detensi dengan Filch.
Harry di musuhi oleh seluruh anak asramanya sendiri, mambuatnya super murka pada Draco. Jadi dia melabrak Draco di spot mereka di perpus. Draco sedang mengerjakan pr ramuan dengan tenang.
Brak!
Draco mendongak, menatap Harry yang menggeram murka.
"Teganya kau mengadukanku!"
Draco mengatupkan rahangnya, bersedekap menatap Harry. "Yeah? Kenapa memangnya? Kau kan memang melakukan sesuatu yang ilegal..."
Harry melongo. "kau mau aku di keluarkan?"
Draco mendengus. "Aku tahu kau tak akan di keluarkan," ketusnya. "Aku sudah membaca peraturannya. Keluar di luar jam malam hanya akan dapat potongan poin asrama dan detensi..."
"Aku tak percaya kau tega padaku..."
Draco mengernyit menatapnya. "Sama sepertiku tak percaya melihatmu berpegangan tangan dengan Weasley," geramnya.
Harry melongo. "Hah? Aku tak pernah berpegangan tangan dengan Ron! Kau ngigo ya?"
Draco mendengus. "Jangan bohong Potter, aku melihatnya sendiri dari jendela Hagrid, kau memegang tangan Weasley..."
Harry menutup matanya meminta kesabaran. "Itu karena tangan Ron tergigit Norbert dan racunnya menyebar. Aku dan Ron tak pernah dan tak akan pernah berpegangan tangan Draco, aku tak tahu apa yang kau pikirkan..."
Draco hanya mentapnya datar. "Kau pikir aku percaya alasanmu?"
"Astaga! Kalau kau tak percaya, cek rumah sakit, sekarang dia sedang terbaring di sana!"
Draco bersedekap. "Akan kucek," tandasnya.
Harry menggeram, lalu menghentak pergi dengan kekesalan yang semakin menumpuk.
-DH-
Shell cottage, kelas 7
"Astaga," kata Ron takjub. "Jadi itu alasanmu melaporkan kami? Karena Harry mengecek luka gigitan Norbert di tanganku?!"
Draco meringis. "Tak terlihat seperti itu dari sudut pandangku saat itu..."
Harry mendengus. "Itu hanya setitik dari rangkaian kecemburuan tak ber alasan Draco..."
"Aku tak percaya kau betah berteman dengan model egois begitu," tandas Ron jijik.
Hermione mendesah, nyengir kecil. "Kurasa itu wajar Ron..."
Ron melongo menatap Hermione. "Hermione, itu tak wajar! Dia mengekang Harry seperti itu,,."
"Aku tidak mengekang Harry, harap kau tahu," ketus Draco. "Aku hanya tak suka dia beramah tamah dengan lelaki lain. Hanya itu."
"Dan itu bukan pengekangan," sindir Harry, tapi nadanya geli.
"Jadi," kata Hermione. "Apa yang terjadi selanjutnya?"
"Hm, kurasa kita baikan saat detensi dengan Hagrid yeah?" Tanya Draco mengingat-ingat. "Aku ingat aku berpasangan dengan Longbottom, tapi Hagrid menggantinya denganmu..."
"Em hm, dan kita bertemu Quirrell yang dirasuki kau-tahu-siapa," kata Harry, menyesap tehnya yang sudah dingin dan mengambil biskuit di toples di tangan Draco.
3. Kelas 1, part 3
"Kau sengaja menakuti Neville kan?" Ketus Harry, masih marah karena Draco mengadukannya.
Draco nyengir. "Dia sungguh mudah ditakuti, jadi bukan salahku kan?"
Harry mengenyit. "Kau sungguh menyebalkan tahu? Rasanya aku ingin mengutukmu ke ujung dunia!"
Cengiran Draco langsung hilang. "Hah, kayak kau bisa saja..."
"Aku akan belajar demi mengusirmu!"
"Dengan kemampuanmu yang sekarang? Kurasa butuh waktu 20 tahun lagi baru aku akan terusir ke ujung dunia..."
"Beraninya kau mengataiku bodoh..."
Kretak.
Mereka langsung terdiam.
"Suara apa itu?" Bisik Harry.
"Mereka bilang ada manusia serigala di sini," Draco berkata ngeri. Dan Mereka melihatnya, unicorn yang mereka cari tergeletak tak berdaya di tanah, dengan darah perak mengalir.
Lalu mereka melihatnya. Sosok berkerudung hitam, membungkuk, menghisap sesuatu, darah unicorn...
"AAARRRGGGGGGHHH!"
Draco menarik tangan Harry dan mereka berlari tunggang langgang, sejauh mungkin dari sosok itu...
Mereka menyihir sinar merah, dan Hagrid menemukan mereka terengah-engah dan wajah pucat.
Pembunuh unicorn.
Bisa saja sosok itu membunuh mereka jika mereka tidak segera bertemu Hagrid.
Dan kau tak bisa tidak mengalami peristiwa maut dan berbaikan kan?
-DH-
"Begitulah," kata Draco ringan. "Hampir mati kan? Kalau sampai aku mati dalam keadaan bertengkar dengan Harry..." Dia mengangkat bahu.
Harry menatapnya sayang, hanya sekilas yang bisa ditangkap mata Hermione. Tapi tatapan itu ada.
Dan sekali lagi perutnya mulas.
Apa sebenarnya arti hubungan Draco dan Harry, Hermione masih tak mengerti.
"Apakah Malfoy tahu semua soal batu bertuah?" Tanya Hermione.
"Yup," kata Harry. "Aku dan Draco tak pernah menyimpan rahasia soalnya. Iya kan?" Harry memastikan, menatap Draco curiga.
Draco memutar bola matanya. "Iyaa."
"Astaga Harry, bagaimana bisa? Itu informasi yang kita gali dengan rahasia. Bagaimana kalau dia mengadukan kita lagi?" Protes hermione.
Harry meringis. "Sori Mione, hanya tak dapat menahan diriku untuk tak menumpahkannya ke Draco..."
Hermione hanya cemberut, Ron mengernyit.
"Lalu? Apa yang terjadi selanjutnya?
-bersambung-
Bagaimana menurut kalian? Penasarankah? Baguskah? Layak dilanjutkah?
Please review :))
