Hyung
Jeon Wonwoo
Jeon Jungkook
V-stigma
Prologue
"Hyung" Wonwoo masih bergeming.
"Hyung, tolong katakan sesuatu." Tak ada perubahan dari raut wajah Jeon Wonwoo. Tak ada niatan bagianya untuk menjawab panggilan untuknya.
"Hyung ini sudah satu tahun semenjak kecelakaan itu, kumohon, katakan sesuatu. Apa aku benar-benar tidak bisa di maafkan? Maafkan aku Hyung. Kumohon." Wonwoo langsung berlalu meninggalkan adiknya yang mematung berdiri di depan tv setelah mencegatnya. Wonwoo sudah tak tahan dengan suara adiknya apalagi jika harus mengatakan kecelakaan itu. Kepergian Wonwoo membuat diri seorang Jeon Jongkook membeku. Tak menyangka jika kakaknya akan terus seperti ini.
"Hyung, kita melakukan upacara peringatan kematian bersama saja ya Hyung. Ini tahun ketiga, apa kita harus melakukannya terpisah lagi?" ingin rasanya Jungkook menggennggam tangan kakaknya. Jungkook ingin menyalurkan rasa rindunya, dia ingin di saat menghadap makam orang tuanya, mereka datang bersama-sama, bukan sendiri-sendiri bagaikan orang asing.
"Diamlah, lakukan kewajibanmu sendiri." Wonwoo kembali melangkah masuk ke mobil pribadinya, meninggalkan Jungkook yang sudah berlinangan air mata. Tak hanya Jungkook, dirinya pun sakit, setiap melihat Jungkook , Wonwoo selalu mengingat kejadian itu. Kejadian dimana hari kelamnya di mulai.
"Eomma, aku ingin beli sepatu baru di daerah Hongdae itu, waktu kita kesana aku sudah mengincarnya, karena aku sudah beli dua sepatu waktu itu, aku mengurungkan niatku. Eomma, ini sudah sebulan , belikan aku sepatu itu ya ya ya." Rengek anak berusia sebelas tahun, Jeon Jungkook. Anak bungsu keluarga Jeon yang sangat di manja oleh kedua orang tuanya dan kakak tersayangnya.
"Kookie, bukankah yang kemaren masih bagus?"
"Tapi Eomma, aku ingin sepatu itu huwwwee." Jungkook tambah merengek.
"Jangan di turuti Eomma, nanti kamar Jungkook isinya cuma sepatu. Nanti jadinya Kookie tidurnya di atas sepatu." Ledek Wonwoo yang sedang mengunyah ciki favoritnya.
"Huaa Eomma, aku tetap mau sepatu itu." Jurus andalan Jeon Jungkook di keluarkan, puppy eyes nya dan gigi kelinci yang menggemaskan membuat ibunya berdecak, kalau begini caranya mana bisa ia menolak keinginan anak bungsunya.
"Arraseo. Eomma akan meminta Appa untuk mengantar kita kesana. Tapi cium Eomma dulu." Jungkook menyengir lebar dan segera berhambur mencium pipi Eommanya, tak hanya sekali tapi berkali-kali.
"Besok saja Eomma, bukankah Eomma berjanji akan mengajariku memasak hari ini? Aku sudah berjanji pada Jihoon akan membuatkannya makanan." Wonwoo mengerucutkan bibirnya. Kesal, Eommanya lupa akan janjinya.
"Oh iya, duh bagaimana dong Kookie, Eomma sudah berjanji pada Hyungmu." Wajah Eomma-nya menampakkan raut memelas.
"Huaa Eomma jahat. Aku ingin sepatu." Air mata sukses mengalir di pipi chubby Jeon Jungkook.
"Iya, iya kita pergi sayang.""Appaaa" mendengar suara Appanya, Jungkook lalu berlari menghampiri Appanya masih dengan air mata yang terus mengalir. Tuan Jeon langsung menggendong manja anak bungsunya dan membersihkan air mata serta ingus Jungkook.
"Kita akan beli sepatu sekalian beli peralatan untuk memasak Wonwoo, bagaimana?" Tanya sang Appa.
"Tapi Appa, ini sudah siang, lagian bahan-bahannya sudah ada." Wonwoo tak mau kalah.
"Kita turuti dulu adikmu dulu. Eomma pasti akan membantumu belajar memasak. Ayo siap-siap."
"Aku gamau ikut." Wonwoo mengerucutkan kembali bibirnya dan menyilangkan tangannya di dadanya..
"Eii beneran?"
"Gatau." Wonwoo berlari menuju kamarnya.
"Wonie, ayo ikut sayang." Bujuk Eomma-nya kepada Wonwoo yang sedang tengkurap di kasur ironman nya, mode ngambek. Tangan halus Eomma-nya mengelus pelan surai putra sulungnya.
"Gamau, Wonie mau tidur aja." Jawab Wonwoo agak ketus.
"Beneran? Appa ada yang akan di beli jadi mengiyakan Jungkook. Setelah ini Eomma akan mengajarkanmu memasak. Ayo ikut sayang."
"Tidak Eomma, aku menunggu di rumah saja." Wonwoo memutar tubuhnya menjadi posisi terlentang.
"Benarkah? Baiklah akan Eomma belikan banyak jajan untukmu." Ucap sang Eomma lalu mencium kening anaknya dan beranjak dari kasur ironman tersebut.
"Perasaan Wonie tak enak."
"Appa ayo cepat pulang. Kasian Wonwoo di rumah." Istri Tuan Jeon menarik lengan baju suaminya, perasaannya tak enak meninggalkan anak sulungnya sendirian di rumah.
"Ayo, Kookie ayo cepat ke mobil."
"Ne Appa." Jungkook berlari menyusul kedua orang tuanya setelah melihat miniature rumah yang membuatnya agak tertarik.
Di perjalanan pulang, suasana mobil di isi dengan celotehan baru si bungsu. Jungkook menceritakan apa saja yang ia lihat dan memberikan list barang yang akan ia beli lagi jika kesana. Appa Eomma hanya tertawa mendengar penuturan anaknya, banyak sekali maunya.
"Eomma, apa Hyung akan suka dengan sepatu pilihanku?"
"Tentu suka. Jadi Kookie merengek minta itu karena ingin punya sepatu kembar dengan Hyung?" Tanya Eommanya sambil memutar tubuhnya melihat anaknya yang duduk di kursi belakang.
"Ne Eomma, sepatu ini sangat lucu. Aku akan mengajak Hyung jalan-jalan dengan sepatu ini."
Saat kembali menghadap ke depan, Ny. Jeon menganga melihat truk yang oleng di depannya.
"Appa minggir." Teriak Ny. Jeon.
"Kalian awas, Jungkook berlindung d balik kursi." Teriak Tn. Jeon. Jungkook di belakang sudah gemetaran memeluk dua pasang sepatu yang baru di belinya.
Tak bisa di hindari, saat hendak banting setir ke pinggir, mobil di sampingnya menyalip, tabrakan tak bisa di hindari.
"Hyung." Teriak Jungkook ketakutan sedetik sebelum ia tak sadarkan diri. Jalan menjadi kacau, tabrakan beruntun terjadi. Orang berlalu lalang mendekat ke lokasi tabrakan, ada yang menelpon ambulans, ada yang beberapa mencoba mengeluarkan korban dari dalam mobil.
"Tuan muda, bangun tuan." Supir pribadi keluarga Jeon mengguncang agak kasar tubuh Jeon Wonwoo yang masih terlelap dalam tidurnya.
"Tuan bangun."
"Eung, ada apa Ahn Ahjushi?" Wonwoo menggeliat lalu mencoba mendudukkan dirinya.
"Tuan." Suara nya melemah.
"Kenapa Ahjushi?" Wonwoo mengucek-ngucek matanya.
"Mari ke rumah sakit." Ahn Ahjushi memberanikan diri untuk menatap manik Wonwoo.
"Hah? Kenapa?" Masih mencoba mengumpulkan nyawa, Wonwoo juga terbingung mendnegar penuturuan supir pirbadinya.
"Tuan Besar dan Nyonya Besar serta Kokiee kecelakaan." Kali ini Ahn Ahjushi kembali menunduk tak sanggup melihat mata mungil memancarkan kesedihan.
"Apa ahjushi? Aku mungkin masih mimpi." Debaran di jantung Wonwoo menggebu-gebu, terasa sakit. Namun ia coba menyangkal, berharap ini bagian dari mimpi siangnya.
"Mari ikut Tuan." Ahn Ahjushi meletakkan tangannya di bahu Wonwoo. Kini ia merasakan goncangan di bahu kecil itu. Ledakan tangisan Wonwoo menggema. Ketegaran Ahn Ahjushi runtuh, ia mencoba sekuat tenaga tegar di hadapan makhluk kecil mungil yang sudah ia layani dari kecil namun semua sia-sia, air matanya ikut lolos. Sungguh sakit melihat penderitaan makhluk kecil kesayangannya.
"Eomma, hiks Appa." Jeritan Wonwoo mengisi seluruh ruangan rumah itu. Dengan di gendong Ahn Ahjushi , Wonwoo masuk ke mobil menuju rumah sakit.
"Wonie kau sudah sampai sayang?" adik dari Appanya berlari menghampiri Wonwoo dengan keadaan tak kalah kacaunya dengan Wonwoo.
"Imo, imo, hiks, bagaimana orang tuaku?" Wonwoo mencengkram erat baju Imo nya.
"Maafkan Imo." Tangis Imo-nya pecah, perasaan sakit menjalar di dada Wonwoo. Kenapa Imo-nya harus minta maaf?
"Imo dimana Kookie?" Wonwoo mencoba lebih tenang.
"Kookie,dia baik-baik saja, sedang di rawat, tulang tangan kanannya patah." Imo-nya melepas pelukannya, namun tak berani menatap keponakan kesayangannya.
"Lalu dimana Eomma Appa?"
"Maafkan Imo" hanya itu yang bias ia ucapkan, lidahnya kelu untuk mengucapkan lebih dari itu.
"Kenapa Imo meminta maaf terus?"
"Eom-ma dan A-Appa Wonie." Sulit. Wonwoo masih diam meunggu lanjutan dari Imo-nya.
"M-me-mereka, mereka, meninggal." Sang Imo mencoba menatap manic kecil di hadapannya. Mendengar itu Wonwoo tegang, tubuhnya serasa membeku. Bukan ini yang ia harapkan. Air mata lolos kembali dengan perlahan, namun tak ada teriakan, mulutnya pun masih tertutup rapat.
Imo mengajak Wonwoo menemui Jungkook. Kondisi Jungkook cukup memprihatinkan, kepalanya di balut terban, tangannya pun di perban, mukanya, banyak goresan di mukanya. Wonwoo berdiri di samping ranjang Jungkook, hanya berdiri, dengan ekspresi datarnya, tak ada niatan untuk menyentuh adik tersayangnya. Jungkook sedang terlelap, namun bukan ekspresi ketenangan yang ia tampilkan seperti orang tidur pada umumnya. Ekspresi begitu kesakitan yang di lihat Wonwoo. Apa ini sangat sakit Kookie? Sakitan mana denganku? Aku kehilangan mereka karena Kookie. Ji-ka,jika saja mereka tak mengikuti keinginanmu, mereka masih ada di rumah , Eomma pasti sedang mengajariku memasak, dan aku bisa membawakan Jihoon makanan buatanku. Sekarang kau senang Kookie? Keinginanmu terturuti. Jika mereka mendengarkanku, mereka tak akan pergi. Karena sepatu sialanmu itu, aku kehilangan mereka. Apa yang bisa kau lakukan Kookie? Ak-u, aku sangat membencimu. Batin Wonwoo. Wonwoo berlari keluar setelah menatap lekat adiknya , Imo hanya kaget melihat Wonwoo pergi keluar tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Mungkin Wonwoo butuh sendiri.
Setelah melaukan upacara pemakaman, Wonwoo langsung mengunci diri di kamar, dia tidak menerima hak asuh dari Imo-nya. Ia ingin terus tinggal di rumah itu, dia sangat membenci orang tuanya, kenapa harus memilih Kookie, kenapa bukan dirinya, jika mereka memilih dirinya, mereka akan terus selamat. Pemikiran ini terus membuat dada Wonwoo bergemuruh. Lelaki berusia tiga belas tahun itu mulai menutup diri, bahkan dari adiknya. Rasa benci begitu besar, hingga ia lupa Jungkook adalah adik kandungnya.
"Hyung maafkan Kookie." Suara gemetar Jungkook terdengar di balik pintu kamar Wonwoo. Wonwoo yang sedang menyender di pintu dengan sangat jelas mendengar suara gemetar adiknya.
"Hyung, Hh-yung, maaf." Dengan perban masih membalut beberapa bagian tubuhnya, Jungkook berdiri di depan kamar kakanya, tubuhnya bergetar hebat. Bukan bukan ini yang ia harapkan. Harapannya pulang ke rumah memberikan kejutan untuk Hyungnya dengan sepatu kembar yang untuknya dan Hyungnya, lalu membantu Hyungnya memasak dan pergi jalan-jalan dengan sepatu baru menjelajahi seluruh komplek perumahannya. Memamerkan ke teman-temannya sepatu barunya yang sama persis dengan Hyungnya. Karena tanpa seharipun Jungkook tidak menceritakan sosok Hyung kebanggannya kepada teman-temannya. Temannya pun sudah hapal bagaimana Jungkook begitu mencintai Hyungnya. Tapi kenapa kejutan untuk Hyungnya berlebihan seperti ini. Ia hanya ingin memberikan sepatu, tetapi kenapa harus di tambah berita duka yang membuat dirinya dan Hyungnya hancur?
Sudah lima tahun semenjak kecelakaan itu terjadi. Sifat Wonwoo pun berubah drastis, dari anak berumur tigabelas tahun yang periang dan sering memberikan lelucon untuk adik kesayangannya, kini berubah menjadi sosok sedingin es dan raut wajah begitu datar , jangan lupakan mata tajamnya yang dapat menggores siapapun yang di tatapnya. Hal itu berlaku untuk Jeon Jungkook. Lima tahun bersama kakanya, berada dalam atap yang sama, memakan makanan yang sama, namun ia berasa hidup dalam kegelapan tanpa seorangpun menemaninya. Jungkook sadar, ini salahnya, kakaknya pantas membencinya, tapi bolehkah Jungkook egois? Ia ingin kakaknya, ia ingin kembali ke pelukan hangat kakaknya, ia rindu tatapan lembut kakaknya, kini tatapan itu begitu menyeramkan bagi Jungkook, tak jarang Jungkook menunduk jika berhadapan dengan kakaknya. Hanya Wonwoo yang ia miliki saat ini, pengganti orang tuanya. Jungkook telah lama mengikhlaskan kepergian orang tuanya, bahkan tak lama setelah kematian orang tuanya, ia kembali menjadi bocah berusia sebelas tahun, periang dan hangat, ia kembali ke sifat periangnya demi Hyungnya, demi mengembalikkan Hyungnya yang dulu, demi memberi semangat Hyungnya untuk hidup, namun hanya di balas oleh sikap dingin Hyungnya yang seperti berharap Jungkook enyah dari hidupnya.
Jungkook POV
"Pagi Hyung." Aku mendudukan diri di meja makan berhadapan dengan Hyungku yang masih mengunyah roti pangganggnya. Wonwoo Hyung sama sekali tak menjawab sapaanku, ini sudah biasa bagiku. Lima tahun berlalu tanpa kalimat dari Wonwoo Hyung sudah menjadi makanan sehari-hari bagiku. Aku ingat terakhir kata untuk darinya adalah dua tahun lalu saat aku mengajak Hyung melakukan upacara bersama, setelah itu, tak ada kalimat lagi, hanya gumaman dan dengusan yang keluar dari kakak tercintaku. Menyakitkan memang, tapi aku akan terus bertahan, percaya Hyungku akan menerima kembali dan suatu saat akan menemui makam Eomma Appa bersama, iya datang bersama dengan membawa bunga Lily kesukaan Eommanya dan menggandeng tangan Hyung.
"Ahjumma, aku berangkat." Roti panganggangnya bahkan masih setengah, kenapa Hyung sudah mau pergi? Padahal aku ingin menunjukkan seragam baruku padanya. Ya, aku berhasil masuk Pledis Highschool, sekolah yang sama dengan Hyungku. Ah, diapun tak tahu nilai kelulusanku yang hampir sempurna. Tak ada bunga dari di hari kelulusanku dari Wonwoo Hyung, hanya dari Imo dan sahabat dekatku. Aku terus mengingat kalimat Wonwoo Hyung waktu aku kelas lima sekolah dasar, Kookie, kalo sekolah harus di sekolahan sama dengan Hyung yah. Biar kita sama-sama terus, Hyung akan masuk sekolah favorit. Arasseo Kookie-ah?
Aku ingin menunjukkan padanya, aku dapat sekolah di Pledis, sekolah khusus orang-orang cerdas, sekolah dimana kakaku juga mencari ilmu. Tapi pagi ini ia pun tak melirikku. Aku cepat menghabiskan rotiku berlari menuju mobil pribadiku, Wonwoo Hyung tak ingin semobil denganku semenjak lima tahun lalu, jadi kami memiliki dua supir masing-masing. Perusahaan Appa-ku di jalankan Imo-ku, dan akan di berikan kepada Wonwoo Hyung jika Wonwoo Hyung sudah lulus, jadi setahun lagi Wonwoo Hyung akan mengurus perusahaan Appa.
"Ahjushi, ayo berangkat." Aku memanggil supir yang sudah menemaniku lima tahun ini yang sedang mengelap kaca jendela mobilku.
"Ne Tuan,"
Aku melangkahkan kakiku menuju kelasku, tak ada yang spesial di hari pertamaku. Aku hanya ingin mendapat lirikan di seragam baruku dari Hyungku tapi itupun tidak terwujud.
"Yoo Kookie, kau sudah datang." Lengan besar bertengger di pundakku, hanya dengan melihat ukuran lengan dan warna kulit tan nya aku sudah tau siapa.
"Minggir Mingyu, kau berat." Aku menyingkirkan tangan kekarnya.
"Wah, ini hari pertamamu, kau lesu sekali. Padahal kita sekelas."
"Aku tak ada mood Gyu, minggir sana."
Aku terus berjalan menaiki tangga, kelasku berada di lantai tiga, Mingyu masih setia berjalan di sampingku kini dia fokus dengan smartphone nya. Syukurlah aku sedang tidak ingin di ganggu, saat aku baru sampai di lantai dua, mataku membulat melihat Hyungku sedang berjalan dengan dua temannya,aku melihat ia juga membulatkan matanya saat melihatku, dia pasti kaget. Moodku kini membaik, seulas senyum aku tunjukkan ke Wonwoo Hyung, dia hanya melirikku lalu berlalu berlawanan arah. Aku hanya melongo melihat ia tak membalasku. Aku ingin orang-orang tau di Hyungku, ya, dia Hyung KESAYANGANKU, dari dulu, hingga saat ini. Saat Wonwoo Hyung melewatiku aku mendengar salah satu temannya bertanya "Siapa Wonwoo? Kau kenal?" aku mendadak berhenti, jantungku berdebar menunggu jawaban kakaku. "Tidak, aku tidak mengenalnya." Jawabnya sambil terus berjalan. Srrt, sakit, dadaku benar-benar sakit. Aku memutar badanku menoleh melihat Hyungku yang terus berjalan dan menuruni tangga. Dia tidak mengenalku? Jadi dia tidak menganggapku? Jadi aku tak bisa membanggakan dia di teman-teman baruku nanti? Mataku serasa panas, tahan, aku tak ingin terlihat begitu menyedihkan di hari pertamaku.
"Kook, gwenchana?"
"Kook?" Aku merasa tubuhku di guncang.
"Ah ya, gwenchana." Aku menunduk tak berani menatap Mingyu, aku tak ingin ia melihat mataku yang berkaca-kaca. Aku segera membalikkan badanku dan berjalan menuju tangga dengan cepat.
"Kookie, hey, kau kenapa? Kau kenal kaka kelas yang tadi? Ada yang manis ya?"
"Tidak." Jawabku agak keras. Tanpa aku Tanya siapa, aku tahu siapa maksud Mingyu, pasti Wonwoo Hyung, karena dari ketiga orang tadi, Hyungku lah yang paling manis. Ah, aku mungkin akan membanggakan kemanisan Hyungku nanti jika sudah waktunya.
Wonwoo POV
Ini hari pertamaku masuk sekolah setelah libur lama, hari pertamaku menjadi siswa kelas tiga, aku tak ingin merusak moodku yang sudah aku bangun dengan baik hari ini. Namun perusak moodku hadir dengan sapaan paginya yang tak lelah ia ucapkan selama lima tahun tanpa ku balas sapa.
"Pagi Hyung." Aku hanya fokus ke rotiku, lebih baik segera pergi, aku tak ingin moodku tambah buruk.
"Ahjumma, aku berangkat" rotiku masih setengah namun aku lebih memilih berdiri menuju mobilku menemui Ahn Ahjusji untuk segera mengantarku. Aku sama sekali tak melirik Jungkook. Aku tau, ini hari pertamanya. Aku tak peduli ia mendaftar dimana. Akupun tak hadir di upacara kelulusannya, meski sebenarnya aku ingin, ah tidak, aku tak ingin hadir. Aku tak mengetahui nilainya, tapi Ahn Ahjushi berkata nilai Jungkook sempurna, aku hanya mengangguk mendengarnya, tak ada ekspresi apapun. Kekanakan memang masih membenci adiku sendiri. Tapi apa yang Jungkook lakukan pada hidupku begitu menyakitkan. Hingga detik ini aku masih membencinya. Sifatnya yang riang seperti tak ada sesuatu yang terjadi membuatku muak, disaat aku kesakitan dan hancur, dia masih bisa tersenyum riang. Dia pernah bilang memberiku semangat? Cih, dia hanya memberiku duri yang menusuk tepat di jantungku, memberiku ruang gelap yang akupun terkekang di dalamnya. Jungkooklah penyebab semuanya.
"Wonwoo? Kau sudah berangkat? Yeokshi, semangat kelas tiga hah?" teriak Soonyoung sahabatku semenjak smp, namja dengan energy berlebih itu selalu dapat membuat moodku lebih baik ya terkadang juga dia menyebabkan moodku buruk. Tapi ia sahabat yang selalu ada untukku.
"Hanya ingin. Duduklah yang benar Kwon." Aku mendorong tubuh Soonyoung yang terduduk di mejaku.
"Dimana Jihoon?" Tanyanya sambil mendudukan diri di sampingku.
"Mana ku tahu." Jawabku acuh.
"Mencariku Kwon?" Sosok mungil yang di cari Soonyoung hadir di belakangku, yang membuat Soonyoung menunjukkan cengirannya.
"Pagi Jihoonie Baby." Sapa Soonyoung yang terdengar menggelikan olehku. Aku berteman dengan sepasang kekasih, dan ini membuatku terkadang jengah dengan tingkah mesra mereka, sebenarnya sih hanya Soonyoung yang terlihat menggelikkan, Jihoon terlihat cuek, tapi semburat merah yang sering ia tunjukkan juga membuatku jengah. Tsundere memang.
Oh iya, Jihoon adalah teman sejak sekolah dasar. Dia sosok yang selalu ada , dialah teman yang aku janjikan akan ku buatkan makanan, tetapi hingga saat ini aku tak bisa menepati janjiku.
"Menyingkirlah Kwon." Aku terkikik mendengar jawaban Jihoon. Pasti muka Soonyoung sudah lesu mendengar jawaban kekasihnya.
"Ish Jihoon ya Tuhan. Kajja, temani aku menemui adik kelas." Tanganku ditarik oleh Soonyoung, juga tangan Jihoon ditarik olehnya.
"Adik kelas mana?" Tanya Jihoon.
"Tetanggaku ada yang berhasil masuk ini, tadi dia berangkat sangat pagi, Eommanya menitipkan uang sakunya yang ketinggalan. Daasar bocah terlalu semangat menjadi siswa baru."
"Jadi kita harus naik ke lantai tiga? Aissh, shireo." Aku melepas tangan yang sedari tadi di genggam Soonyoung.
"Oh ayolah Won, itung-itung ketemu dedek gemes." Aku hanya memutar bola mata mendengar nada dari Soonyoung.
"Oh jadi ada niatan terselubungmu Kwon?" Jihoon juga melepas genggamannya, wajahnya kini garang. Rasanya aku ingin tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi Soonyoumg. Wajahnya cengo kelagapan , senjata makan tuan.
"A-ani, an-I, maksudku untuk Wonwoo. Kan aku sudah ada Jihoon."
Cih, menggelikan. Tapi kita tetap menuju lantai tiga.
"Kelas berapa emang?" Tanya Jihoon sambil mengedarkan pandangannya melihat suasana baru di lantai ini ,wajah-wajah baru yang masih imut.
"Hehe entah." Jawab Soonyoung enteng. Aku hanya membulatkan mata mendengar jawaban Soonyoung.
"Kwon" Suara Jihoon meninggi.
"Tenanglah Baby, kita coba 1-A." Nihil katanya. Lalu kita mencoba memasuki kelas sampingnya, nihil juga. Kini kita mencoba memasuki kelas 1-C, berharap tetangga Sooonyoung di kelas ini. Aku dan Jihoon sudah malu masuk ke kelas yang salah.
"Heh Kuda, kau disini." Akhirnya…
"Hoshi Hyung?"
"Hoshi?" jangan-jangan salah orang.
"Eh itu, panggilan kerenku hahaha."
"Ada apa Hyung? Anak itu menghampiri Soonyoung yang berada di depanku.
"Nih , Ahjumma menitipkan ini untukmu. Kau lupa uang sakumu. Cih semangat anak baru oh?" Ujar Soonyoung sambil merogoh saku dan memberikan uang ke anak itu.
"Gomawo Hyung. Kau bersama siapa Hyung?"
"Oh kenalkan, ini Wonwoo ini Jihoon."
"Anyeonghaseyo, Wonwoo sunbaenim , Jihoon sunbaenim, Soekmin imnida. Oh, camkamman, Jihoon Sunbae pacarnya Hoshi Hyung?" wajah Jihoon bersemu merah.
"Wah benar, Hoshi Hyung sering cerita tentang Jihoon sunbae, dia sering cerita bagaimana imutnya pacarnya, sampai aku penasaran, jadi ternyata benarr, pacarnya Hoshi Hyung sangat imut." Wajah Jihoon bertambah merah, aku hanya tersenyum melihat reaksinya, jika biasanya dia akan ngamuk jika dikatakan imut, tapi kali ini dia bersemu men, haha lucunya.
"Sudah, sudah, nanti kau di cincang Jihoon. Aku balik dulu Kuda." Akupun cepat-cepat berbalik, rasanya malu sedari tadi anak kelas satu melihat kea rah aku Jihoon dan Soonyoung terus.
Sepanjang jalan kita hanya mengobrol ringan aku aku menangkap sesosok yang begitu familiar, Jungkook? Apa yang dia lakukan disini? Ah dia sekolah disini? Hebatnya, dia bisa mengikuti. Aku hanya memandangnya kaget, jujur aku kaget, aku tak pernah berpikiran dia akan mendaftar ke sini. Aku terus berjalan melewatinya, aku tau dia terus melihatku, tapi aku lebih memilih memalingkan wajahku.
"Siapa Wonwoo? Kau kenal?" siapa dia? Tentu aku mengenalnya, dia adiku Kwon, adik yang telah memisahkanku dengan orang tuaku.
"Tidak, aku tidak mengenalnya." Tapi kata itu yang terucap. Ntahlah, aku hanya , mungkin karena aku terlalu sakit jika mengingat dia , adikku sendiri. Aku terus berjalan, mengabaikan rasa sedikit nyeri yang tiba-tiba di dadaku.
.
.
.
"Aku pulang" Teriak Jungkook saat membuka pintu rumahnya. Tak ada yang menyahut, mungkin pelayannya sedang membuat makan malam. Jungkook pulang tepat pukul setengah delapan, ini pertama kalinya ia pulang sekolah selarut ini. Sebenarnya sekolahnya memulangkan muridnya lebih awal karena hari ini hari pertama masuk sekolah, hanya ada pembagian jadwal, pengenalan guru dan murid dan hari ini di lewati Jungkook dengan sangat berat. Moodnya benar-benar buruk. Jadi ia memilih pergi bermain sepulang sekolah memaksa Mingyu dan teman barunya, Soekmin dan Minghao untuk menemaninya. Mereka hanya menemaninya sampai jam lima sore, selebihnya, ia habiskan waktunya berdiam diri di pinggir sungai Han.
"Tuan, makan malam dulu." Pelayannya menghampiri Jungkook yang hendak menaiki tangga.
"Aku sudah makan Ahjumma." Jungkook terus menaiki tangga tanpa menoleh.
"Baiklah Tuan Muda." Sang pelayan undur diri. Malam ini makanan buatannya sia-sia, sebelum menemui Jungkook ia menemui Wonwoo terlebih dahulu, sama seperti Jungkook, ia meolak makan malamnya. Sebenarnya hal ini sering terjadi, makanan yang sia-sia tanpa ada yang menyentuh, dan terkadang hanya salah satu dari Jeon bersaudara yang mau makan. Seluruh pelayan setia rumah keluarga Jeon rindu bagaimana kakak beradik ini bermain riang, mengagetkan para pelayan dengan candaannya, kini semua itu hilang tana sisa hanya menjadi kenangan yang mereka harap suatu saat akan terjadi lagi.
Jungkook membuang tasnya sembarangan dan melempar sepatunya ke segala arah, menjatuhkan dirinya di kasur kesayangannya tanpa melepas seragamnya. Rasanya ia benar-benar lelah, lelah dengan hidupnya, lelah dengan segalanya. Jungkook mulai memejamkan matanya, mencoba tertidur, namun yang terjadi adalah air matanya tiba-tiba lolos tak terbendung. Ia lalu tertawa menyadari dirinya menangis.
"Yak kau keluar tanpa seizinku oh." Jungkook mengusap kasar sudut matanya masih dengan mata terpejam. Kini ia mencoba menyampingkan badannya, badannya bergetar hebat, spreinya ia genggam erat seperti mencoba menyalurkan perih di hatinya.
"Hyung." Lirihnya, bahunya bergetar lebih kencang dari sebelumnya.
"Hyung." Genggamannya ia keratkan, menangspun rasanya tak cukup untuk menghilangkan sakitnya. Perih mendengar kakaknya tak mengenal ia di depan teman-temannya. Perih rasanya tak di anggap oleh kakak tersayangnya. Sakit rasanya kini ia benar-benar sendirian. Rasanya ia ingin menyusul orang tuanya, atau boleh ia ingin bertukar tempat dengan orang tuanya, mungkin jika Jungkook yang mati, Hyungnya masih bisa tersenyum, tertawa bahkan mungkin sekarang Hyungnya sedang memeluk manja sang Eomma. Andai bisa, Jungkook ingin itu terjadi, ia ingin mengembalikkan senyum Hyungnya. Tapi , jelas itu tak mungkin terjadi.
Hampir sejam ia terus menangis, hingga ia lelah dan mulai memasuki alam mimpinya, "Hyung." Ucapan pengiring sebelum ia benar-benar memasuki alam mimpinya.
Tbc
Cerita dengan alur biasa, hanya untuk iseng-iseng belaka :D
