Ah, Jungkook tidak pernah ingin.

Minat, apalagi.

Untuk membuka dirinya; menyeburkan dunianya pada cawan hiruk-pikuk semesta.

Jungkook suka begini. Ia suka yang seperti ini. Memekarkan auranya pada bentangan intonasi menghanyutkan. Nada-nada yang ia hadirkan sendiri, secara manis berlebih-lebih. Toh jendela hatinya sudah terisi dengan keyakinan mutlak yang takkan mampu digoyahkan oleh keadaan jenis apapun.

Lihat. Ketika gurat-gurat rupawan itu tergelayut, kebahagiaannya meletup. Anggap saja sebongkah volkano, yang memuntahkan letusan piroklastik bersama tefra penuh warna.

Seperti confetti.


Mokuji

.

VAGUE

.

Kim Taehyung | Jeon Jungkook

.

"Asal kau tahu, hidupku terlalu berwarna untuk kau bilang abu-abu." – Jeon Jungkook

.

BGM: Jung Joonil – The First Snow

[첫 눈 – 도깨비 OST]


Seoul, musim dingin Januari 2017.


"Kau, sampai kapan mau begini,"

Yang seperti ini tentu bukan kali pertama. Dari Min Yoongi, untuk Jungkook tersayangnya. Ia yang berdiri, membawa segelas susu hangat, memandang punggung Jungkook yang tengah bersikap masa bodoh atas pertanyaannya yang lagi-lagi.

Tolong, siapapun yang mengaku sebagai Tuhan sekarang, Yoongi ingin kalian mengabulkan doanya. Mengenai harapannya agar Jungkook dapat kembali.

Dia pergi?

Tidak.

Dia ada. Jungkook memang ada, hadir dalam segala kecemasan dan kekhawatiran Yoongi yang kesumat. Lalu apa yang hilang? Apa yang harus kembali?

Yoongi ingin Jungkook kembali pada jalan yang sudah ia persiapkan. Bukan di jalan yang seperti ini. Jalan yang Jungkook bentangkan secara keparat. Kekeliruan ini telah Yoongi tetapkan sebagai penyakit mematikan yang sewaktu-waktu dapat membuat Jungkook mati sia-sia.

Sia-sia.

Bahkan, hina.

"Kook." Tatap Yoongi pada gelagat adik lelakinya yang tengah duduk tak bergeming menghadap meja belajarnya. Sibuk akan sesuatu. "Jeon Jungkook."

"Taruh saja di nakas. Akan kuminum nanti."

Lihat, ketika Yoongi berpaling dan meletakkan gelas itu dengan amburadul. Secara, sengaja. Mematahkan keheningan yang Jungkook ciptakan. Mata lelaki itu berpaling dari titik fokusnya, menatap Yoongi.

"Mama di surga pasti menangis karena melihat Min Yoongi tak mampu menyembuhkan Jungkook kesayangannya." Ketika Yoongi menyudahi kalimatnya, hatinya sakit sendiri.

Jungkook yang diam adalah kebodohan terbaik.

"Ah, sudahlah. Dia lebih bahagia bersama Taehyung-Taehyungnya atau apalah itu."

Pintu tertutup? Jungkook tersenyum. Memastikan bahwa tingkah dan umpatan-umpatan Yoongi kali ini tak boleh menjadi faktor pengganggu kebersamaannya dengan Kim Taehyung tercintanya.

Hm. Jungkook menyebutnya umpatan. Semua yang keluar dari mulut Yoongi tentangnya itu adalah umpatan.

"Benar, kan, Tuan Taehyung...?"

Dan Jungkook memainkan pensil warnanya kembali.


Sebagai cinta pertama.

Kim Taehyung merupakan citra terindah sepanjang usia semesta. Itu yang Jungkook yakini. Hiperbola itu bukan suatu yang layak ditertawakan, Jungkook pastikan bahwa siapapun yang mengacau kehidupannya bersama Taehyung, akan habis di tangannya sendiri.

Pengecualian, Min Yoongi.

Ck, pria berkulit pucat itu memang selalu berperan sebagai interupsi membosankan.

Dunia Jungkook penuh oleh Taehyung. Jungkook tidak ingin yang lain. Ruang besarnya hanya ia izinkan untuk diisi oleh Taehyung. Dalam sebuah nama, dalam sebuah rupa. Dalam berbagai cerita.

Seperti malam ini.

Jungkook yang tengah bergelung bersama cerita-cerita manisnya, akan Taehyung. Ia menyematkan diri pada secarik kaki langit yang bermandi kabut temaram. Dalam naungan bintang-bintang yang bersiul tenang, Jungkook merasakan ketenangan amat dalam. Ia tersenyum. Kala mendapati bahwa mengapa ia lahir sebagai manusia yang terlalu mudah bahagia.

Ia lupa bahwa di masa lalu ia terlalu mudah terluka.

"Ya, Kim Taehyung. Kau lihat langit malam ini? Mereka jahat, berusaha menandingi keindahanmu." Suara Jungkook, menguar dalam seutas sepi.

"Aku tahu. Mereka iri."

"Kan." Yang Jungkook lakukan adalah tersenyum pada Taehyungnya. "Mereka pikir mereka siapa."

"Jungkook. Kau harus kuat, sudah kubilang berkali-kali, kan." Bisikan itu menyiratkan irama. Mata temaram memandang langit, "Jangan pernah membuang janji dan angan yang sudah pernah kau buat."

Jelas, Jungkook mengangguk pasti.

"Kau ragu?" Jungkook merasakan sekali lagi desiran angin.

Yang terjawab?

"Tidak akan."

"Sumpah, aku mencintaimu, Kim."

Bila begini, dunia bisa apa.


"Min Yoongi, jangan mempermainkanku."

Cukup dikata celaka bila Jungkook telah meninggikan suaranya seperti demikian. Melihat Yoongi yang sepertinya tidak peka terhadap situasi. Si kakak tiri yang–pada suatu definisi yang Jungkook buat secara amatir–selalu menyusahkan itu baru saja menjebak Jungkook untuk keluar rumah. Dan berakhir di bar ini.

"Kook, ayolah," Yoongi seperti memohon. "Sampai kapan kau mengurung diri di kamar hanya dengan kertas-kertas dan imajinasimu?"

"Sekali lagi kau bilang imajinasi, kubunuh kau."

Pupil Yoongi berotasi.

"Kim Namjoon itu pria baik, kau pasti bisa bahagia." Yoongi meyakinkan; menggandeng tangan Jungkook dan menghampiri seseorang, di salah satu sudut, bersama segelas minuman mahalnya–entah apa namanya karena dua pemuda itu tak mampu mendeskripsikannya.

"Aku tak butuh Namjoon untuk bahagia, bung. Aku sudah memiliki seseorang, cinta pertamaku, dengarkan." Tepat saat keempat kaki itu berhenti di hadapan lelaki bernama Namjoon, mulut Jungkook bersuara.

Yoongi menepuk punggung Jungkook, mendengus.

"Hai, kau Jungkook...?"

Suara Namjoon yang rupawan. Normalnya Jungkook terkesima. Harusnya Jungkook terpesona. Namun semua tak terjadi sejak ada sosok Kim Taehyung yang menganeksasi seluruh relung hatinya.

"Bukan, aku bukan Jungkook. Dasar bodoh."


Jungkook ingin melupakan.

Atas nama segala keluhannya akan betapa cerewetnya keadaan terhadapnya. Min Yoongi dan semua bualannya itu.

"Kau memalukan, Kook."

Ini pagi. Dan Jungkook baru bangun, masih terjaga di balik selimut. Sementara suara Yoongi telah mencemari ruang dengarnya. Mengantar susu hangat lagi? Bukan. Ia datang untuk mengomel karena semalam.

Tampak rapi sekali, hendak pergi, sepertinya.

"Terserah, kau bangun atau tidak. Aku hanya ingin berpamitan." Yoongi memasang arlojinya.

'Kemana?'

"Mulai hari ini aku kembali ke Daegu. Sepertinya aku gagal membesarkanmu disini. Semoga papa tidak menghukumku sesampainya aku disana."

Ucapan itu terdengar putus asa. Jungkook mengerjap, mengolah ujaran Yoongi yang lumayan membuatnya terkejut. Dia pergi?

"Hiduplah bersama Taehyungmu, semaumu."

Yoongi keluar.

Mau diam begini?

Tidak, tunggu dulu. Jungkook beranjak, menyusul keberadaan Yoongi. Sampai mereka bertemu di kaki tangga.

"Sebentar," Jungkook meregam telapak tangan kanan Yoongi, membuat Min yang lebih tua terperanjat.

"Apa lagi."

"Bisakah kau percaya padaku bahwa semua ini nyata?"

"Maaf, Kook. Min Yoongi bukan bayi kemarin sore." Yoongi melepas sergahan Jungkook. Cukup, kasar. "Duniamu terlalu menjijikkan untuk bisa kuterima."

"Lalu kau mau aku harus apa?"

"BUANG SEMUA TAEHYUNGMU, BODOH!"

Hening.

"Kau, barusan, bilang apa...?" Desis Jungkook. Mengapa, emosinya terpantik. "Apa maksud–"

Plak.

Dinding perasaannya terguncang. Untuk kali pertama, Yoongi menamparnya. Cuma-cuma.

"Jeon Jungkook. Lekas bangun, jangan beri aku ucapan selamat tinggal yang seperti ini." Suara Yoongi yang bergetar. "Hidupmu terlalu abu-abu."

Saat itu Jungkook tak mendapatkan porsi waktu untuk mengintervensi, atau bahkan hanya sekedar membuang jawaban dan bantahan. Yoongi telah hilang, di balik pintu yang tertutup pelan. Salam sapa bahkan tak ada. Menghasilkan fragmen yang diisi oleh wajah bingung Jungkook.

Tunggu. Mengapa harus bingung. Seharusnya kau senang bila Yoongi-cerewet itu pergi, bukan?

"Ha, haha, haha." Ia terkekeh mengerikan. "Benar juga."

Dan Jungkook berlari. Kembali menemui ruang istimewanya. Meja kecil di sudut kamarnya, yang di atasnya penuh serakan kertas dan pensil warna. Melirik salah satu sisi dinding kamarnya yang penuh raut tampan dari si pujaan hati, Jungkook lalu menarik kedua ujung bibirnya. Senyumnya cantik.

Seraya memegang pensil dan memulai guratannya.

Pagi ini Jungkook ingin Taehyung yang lebih tampan.

"Asal kau tahu, hidupku terlalu berwarna untuk kau bilang abu-abu."


Kuluman sepi memenuhi malamnya.

Jungkook menenggak teh hangatnya, tegukan terakhir. Menghadap televisi yang entah menayangkan gelaran apa. Sesekali, pandangannya berlari kecil; melirik Taehyung yang sejak kepergian Yoongi, memenuhi seisi rumah.

Sudah sepuluh hari. Yoonginya pergi. Dan Jungkook kini berhasil berdiri bersama kerajaan megahnya yang nihil interupsi.

Aku bahagia seperti ini. Aku, amat sangat bahagia seperti ini. Terlalu bahagia.

"...benar, kan, Tuan Taehyung."

Tolong jabarkan. Mengapa dia tampak gila secara begitu rupawan. Mengapa sedemikian.

Jungkook sebenarnya lahir dengan segala kemewahan. Meski ibunya mati. Ia tumbuh bersama orang-orang hebat. Ayah tirinya, dan Min Yoongi. Tampannya tak berubah sejak pertama kali ia mampu menyaksikan dunia, bahkan senantiasa bertambah, berlipat ganda. Jika tapak kakinya menghiasi jalan ramai, orang-orang selalu berbisik seakan mengidola; wah, siapa dia, lelaki darimana dia, mengapa setampan demikian.

Sayangnya Jungkook tak tahu caranya mendengar.

Ia sudah terlalu mabuk dengan ketidakpercayaannya terhadap pergaulan. Ia benci orang ramai. Ia benci didekati wanita. Ia, semakin benci jika didekati pria. Jungkook semakin anti terhadap riuh-rendah keadaan. Mengakibatkannya menutup diri, dan menciptakan antariksanya sendiri.

Dengan begitu mengagumkan.

Taehyung adalah titik pusat utama dari antariksa tersebut. Yang Jungkook sayangi secara kesumat. Ia cintai, dan tak ingin ia lepas sampai ia mati untuk yang ke-seribu kali.

"Kook, berhenti memujiku,"

"Eh? Enak saja. Siapa yang memujimu. Dasar sombong." Dengus Jungkook, lalu tertawa.

"Anak nakal."


Taehyung itu hidup!

Berhenti menertawakan Jungkook!

Sekarang ia merasa tak tahan berkat cercaan dinding-dinding sombong itu. Mengejeknya membabi-buta, mencibirnya sebagai idiot gila, si tolol yang kelewat dungu.

Jungkook menangis.

Menenggelamkan dirinya di tengah kegelapan, selimut itu bahkan jengah karena tak tahan berperan terlalu lama sebagai barang kesayangannya.

"Tidak, kalian salah, Taehyung benar-benar ada. Taehyung menemaniku. Taehyung menyayangiku. Dia ada. Dia nyata, sungguh..."

Bilamana, semua berhenti.

Air mata itu seakan aroma keadaan yang menusuk sendi-sendi alam sadarnya.

Jungkook ingin meyakinkan.

Jungkook ingin menegaskan.

Bahwasanya, jalannya tidak salah.

Taehyung adalah cinta pertamanya.

Taehyung ada, untuk mencintainya.

"...kalian harus tahu,"


Hening itu, siapa yang suka.

Sepi demikian, siapa yang menanti.

Ruas-ruas penuh ketidakpercayaan ini akankah hadir selamanya.

Entahlah, mungkin, seutas keajaiban bisa mengganti.

Datang sebagai bukti nyata.

Hadir, sebagai kepastian hakiki.


Jungkook membuka mata.

Sinar matahari masih sama, meski di musim dingin yang berantakan seperti ini.

Beliau masih tetap hangat.

"Ng?"

Jika Jungkook lupa bagaimana caranya bernafas, apakah kalian ingin membantu untuk mengingatnya?

Dada itu sesak. Matanya terbelalak hebat. Beranjak? Sudah pasti. Jungkook membawa dirinya mendekat. Memastikan bahwa matanya tidak sedang teracuni oleh halusinasi picisan.

"K, kau...?"

Lidahnya tercekat.

Sumpah mati.

Sumpah mati.

Jungkook ingin berteriak.

Matanya tidak salah. Sama sekali. Punggung yang ia tatap itu bukan jelmaan kabut pagi yang berusaha menipu. Rambut hazel lembut itu bukan semburan embun dingin yang berusaha menusuk. Semuanya ada.

Serta nyata.

Saat Jungkook menapaki satu langkah, wujud yang ia saksikan itu menoleh.

Tersenyum begitu megah.

Serta mendekat, menggenggam kedua telapak tangan Jungkook.

"Selamat pagi, Jungkook."

Bukan, sama sekali bukan mimpi. Kulit halus itu bukan fiksi belaka. Jungkook merasakannya dalam ketidakberdayaan atas fragmen ini.

"Wah, Kim Taehyung, kau benar-benar membuatku gila."

Ya.

Benar katamu.

Dunia memang tak pernah waras.

.

.

.

END

.

.

.


A/N: Dalam rangka tagar #btsffnwpfirstloveweek. Bikin ga bikin yang penting jelek. Yang anget, yang anget. Ah, iya, dapat salam dari grup kami, kaum para pencetus tagar (haha). Fiction ini akan berlanjut jika ada event atau tagar yang diadakan berikutnya.

Bersambung...