Hola minna~ Ini adalah fanfic SnK saya yang pertama.

Mohon bimbingannya ya (_ _)

.

Sukoshi Yukki present: "Until We Meet Again"

Disclaimer: Shingeki no Kyojin is not Mine~

Genre : General, Friendship, Drama, Hurt/Comfort, and -may be- a bit Fantasy

Warning : AU, OOC, typo, alur rush, dll.

Rate : T (untuk penggunaan bahasa)

.

Chapter 1

Suasana mencekam mengitari sosok yang sedang berjalan menyusuri hutan. Gelap. Ia sadar dengan penuh kondisi itu. Ia melangkahkan kakinya perlahan, menginjakkan tapak sepatunya di tanah tak stabil yang ditumbuhi rumputan. Pohon-pohon di sekitarnya seakan menambah kelam suasana di hutan itu, seakan-akan berpasang-pasang mata mengamatinya. Ia semakin mengeratkan pegangan cengkraman tangannya kepada senapan yang sudah bersiaga, kalau-kalau hal yang ia tak harapkan tiba-tiba muncul di hadapannya.

"Srrrrttt…" Telinganya menangkap bisikan daun-daunan yang saling bergesek. Menghentikan langkahnya, ia mempersiapkan kuda-kudanya, seakan tahu bahwa musuh telah menanti di balik kegelapan. Senapannya kini telah menyandar dengan mantap di punggungnya. Jari telunjuk siap menarik pelatuk senapan.

"Tch, keluarlah kalian. Aku tak suka menunggu." Ucapnya angkuh. Matanya menatap bosan, namun tetap awas, memperhatikan keadaan sekitarnya.

Tak ada suara balasan yang ia terima. Hanya suara angin dan daun-daun yang menarilah yang mengisi indra pendengaran pemuda itu. Ia tak bergerak dari posisi awalnya, masih menunggu.

"Dasar keras kepala." Ucapnya. Lalu, dengan sigap ia berpindah dari posisinya sekarang, menghindari serangan tiba-tiba dari belakangnya. Setelah itu, ia segera mengarahkan senapannya untuk menembaki objek melayang yang tadi menyerangnya. Suara senapan yang memekakan telinga memenuhi indra pendengaran siapapun yang berada di sana.

Objek itu, berusaha menghindari tembakan peluru dari pemuda di hadapannya. Ia melompat, berlari ke sana dan kemari. Peluru yang ditembakkan tak kunjung mengenai sasaran, membuat pemuda itu bedecak kesal.

"Hoi… jadi sasaran diem dikit napa? Engga kena-kena nih!" pemuda itu menghentikan tembakannya, kesal. Ia berkacak pinggang, menatap objek yang kini juga ikut berhenti bergerak karena peluru sudah tidak ditembakkan kepadanya lagi.

"CUT!" teriak seseorang dari sisi lain. "Levi, bukannya sudah ku bilang, fokus, FOKUS! Kalau kau tak bisa fokus, bagaimana kau dapat menembak dengan tepat?!" ia mengarahkan TOA kepada pemuda yang sedang memainkan senapan tersebut.

Pemuda itu, Levi, mengarahkan pandangan bosannya kepada orang yang meneriakinya tadi. "Jangan salahkan aku, Pak Sutradara. Aku sudah fokus, tapi kelinci itu yang tak mau diam. Kalau dia diam kan, lebih enak, nembaknya."

"Ugh, berapa kali aku harus bilang, Levi, aku. bukan. K-e-l-i-n-c-i." ucap 'sebuah' objek yang dari tadi seharusnya ditembak Levi, hampir mengeja. "Aku ini adalah makhluk yang melayang-layang yang belum diketahui jenisnya. Lagipula, bukan salahku kalau kau tak bisa menembak dengan benar. Kau saja yang memang payah dalam membidik." Belanya lagi.

"Terserah." Levi mengabaikan ucapan orang itu, berjalan melewati sutradara dan tumpukan kamera yang dari tadi menyorot aksinya. Ia menghentikan langkahnya ketika ia dan Sutradara berada dalam satu koordinat yang lurus, tanpa memandang Sutradara, Levi berkata, "hei Pak Sutradara, kita istirahat dulu. Aku lelah." Lalu, tanpa memperdulikan reaksi dari orang yang baru saja diajaknya berbicara itu, ia segera melenggang ke sebuah kursi tak jauh dari sana.

Tentu saja, Sutradara itu kesalnya bukan main, ia sudah mengambil ancang-ancang untuk membalas ucapan aktor itu, kalau saja tak ada kru yang menahannya.

"Sudahlah pak, kita memang sudah mengulang adegan ini berkali-kali. Biarkan saja para pemeran istirahat dulu. Lagi pula, sekarang sudah hampir pagi, apa sebaiknya kita lanjutkan besok saja?" ucap Armin, asisten sutradara, berusaha menenangkan sang sutradara.

"Tidak bisa, adegan itu harus selesai malam ini juga. Titik!"

Levi masih duduk santai di tempatnya. Di tangannya kini tergenggam segelas kopi hangat. Ia menyesapnya sedikit. "Oi, Pak Sutradara, kalau mau adegan ini cepat selesai, lalu mengapa tidak gunakan saja pemeran pengganti?" ujarnya santai, pandangannya masih fokus terhadap cangkir kopi yang isinya baru berkurang sedikit.

"Tidak Levi, kalau hanya untuk adegan ini saja kau membutuhkan pengganti, berati kau tak pantas untuk peran ini." Sutradara itu berujar keras.

Levi, bukanlah seorang aktor yang wajahnya sering terpampang di layar. Ia mendapat peran ini, hanya karena ia lulus audisi yang diikutinya karena rasa isengnya dulu, dan tentu saja banyak yang meragukan kemampuan beraktingnya. Sang sutradara sendiri yang memilih Levi untuk sebagai pemeran utama dalam film mereka, meskipun banyak pemeran lain yang lebih tenar dengan jam terbang tinggi ingin mengisi posisi itu.

Bukannya mudah untuk memberikan posisi pemeran utama kepada Levi, pihak produser awalnya tidak setuju dengan pilihan sang sutradara, ia juga ditentang banyak kru, mengingat kepribadian Levi yang kurang kooperatif dan suka seenaknya. Beruntung, sejumlah kecil kru mendukungnya, sehingga, dengan berat pihak produser akhirnya menyetujui pilihannya tersebut.

Sang sutradara menghela nafasnya, berat. Ia memandangi lokasi pengambilan gambar dihadapannya.

Armin mendekati sang sutradara, "maaf pak, boleh saya bertanya?" ucapnya ragu. Ia tak ingin menambah beban pikiran sang sutradara. Sang sutradara menatap asistennya, lalu ia mengangguk.

Armin melanjutkan, "aku masih memikirkan, memang Levi cukup bagus waktu casting dulu. Tapi, sikapnya itu sulit dimengerti. Mengapa anda mempertahankan Levi dengan susah payah? Saya lihat, masih banyak yang memiliki kemampuan yang sama dengannya."

Sang sutradara hanya menghela nafas lagi, ia kembali menatap lokasi pengambilan gambar untuk beberapa waktu. "Kau tahu, Armin, di satu sisi, kau memang benar. Levi itu memiliki kepribadian yang sulit. Tapi, kau tak boleh melihat kepribadian orang dari luarnya saja, nak." Sang sutradara menghetikan ucapannya sejenak, membiarkan apa yang dikatakannya barusan meresap di pikiran pemuda itu.

"Levi memiliki bakat yang tersembunyi, yang sebenarnya dapat ditunjukkannya jika ia mau. Tak hanya itu, meskipun ia tak mau mengakuinya, aku yakin sekali, Levi memiliki kecintaan yang mendalam dalam dunia seni peran. Yang ia butuhkan hanyalah lawan main yang sepadan untuknya. Hanya saja, tak ada lawan main yang cukup menantang baginya sehingga ia dapat menunjukkan bakatnya itu. Sayang sekali kita tak dapat menemukan seorang dengan bakat yang sama dengananya." Sebenarnya, kalimat yang terakhir itu lebih di tunjukkan untuk sang sutradara sendiri daripada untuk Armin. Sang sutradara hanya ingin membagikan sesuatu untuk pemuda yang sedang menjalani masa magang itu.

"Armin, kau memiliki bakat dalam menilai orang. Aku rasa, itulah yang membuatmu mendukungku agar Levi mendapat peran utama ini. Pertajam kemampuanmu itu." Ucap sang sutradara, sambil menepuk pelan bahu Armin. Sebelum Armin berkata apa-apa lagi, sutradara paruh baya itu telah meninggalkannya.

Sang sutradara menghampiri Levi yang masih beristirahat. Sang sutradara memang tak berniat beramah-tamah dengan sang permeran utama, maka itulah yang dilakukannya. "Jikalau kau sudah selesai, cepat ulangi lagi adegan itu." Levi tak butuh ramah-tamah, sang sutradara tahu itu.

"Ooh. Baiklah. Eren, kau siap?" tanyanya kepada pemeran objek yang berusaha untuk ditembaknya dari tadi, sambil meletakkan cangkir kopinya yang sudah kosong dan berdiri dari kursinya.

"Tentu saja!" ujar Eren bersemangat.

"Tch, pastikan kali ini kau tak banyak bergerak." Ujarnya datar, seraya berlalu dari tempat itu.

Siang itu panas mengundang godaan rasa malas dan kantuk yang sulit untuk di lawan. Levi menguap beberapa kali, ia mengantuk, sungguh. Beberapa hari ini, jam tidurnya sudah sangat dikurangi demi film itu, dan semalam, karena adegan yang tak kunjung benar, ia harus merelakan waktu tidurnya. Cih, menyebalkan, ditambah lagi ia masih harus berada di sekolah untuk beberapa jam kedepan. Tak diperhatikannya sama sekali, pelajaran yang disampaikan gurunya di depan. Toh ia sudah paham dengan pelajaran yang diterangkan sang guru.

Hingga bel istirahat berbunyi, Levi belum tertarik untuk bergerak. Sungguh, cuaca panas ini seakan-akan melumpuhkannya.

"Hei, Levi," panggil seseorang, Mike.

"Hn?" tanggap Levi, tak enggan.

"Mau main basket bersama kami?" tawar Mike, "kami kekurangan seseorang." Jelasnya.

"Tidak mood." Tanpa pertimbangan lagi, Levi segera menolak ajakan Mike. Alasan yang dilontarkan Levi memang terdengar kekanakan, tapi tidak sepenuhnya bohong. Walaupun alasan sebenarnya hanya karena ia tidak ingin terlalu dekat dengan mereka.

Mike hanya menjawab "ooh," hal ini sudah biasa. Levi tak pernah bermain basket bersama mereka kalau itu bukan saat pelajaran, tapi ia sendiri tidak pernah jera mengajak teman sekelasnya itu untuk bermain bersama. Pasalnya, Levi cukup berbakat dalam olahraga ini.

"Oho, Levi, numben sekali masih di kelas? Biasanya sudah berada di kantin." Ucap seseorang membuyarkan lamunan Levi. Itu Hanji, salah satu teman sekelasnya sekaligus seorang anggota OSIS. Gadis itu cukup pintar, buktinya, ia selalu masuk dalam peringkat 5 besar di kelasnya.

"Bukan urusanmu, Hanji." Jawab Levi, dingin. Namun Hanji tak begitu memperdulikan sosok gadis yang kini mengambil posisi untuk duduk di sebelahnya.

"Hei, Petra!" Levi memanggil seseorang yang hendak ke luar kelas. Merasa dipanggil, orang tersebut mengalihkan pandangannya seraya berjalan mendekat.

"Ada apa, Levi?" tanyanya disertai senyum ramah yang memang tak pernah lepas darinya.

"Kau mau ke kantin, kan?" Levi bertanya acuh tak acuh.

"Um, sebenarnya aku ingin ke perpustakaan, tapi, aku bisa ke kantin setelah itu. Ada apa?" Petra menimbang-nimbang rencananya.

Levi mengeluarkan selembar uang sepuluh ribu rupiah, disodorkannya uang tersebut pada gadis itu. "Belikan aku minuman yang dingin."

Petra hanya mengambil uang tersebut. "Baiklah, tunggu sebentar ya."

Sebelum Petra pergi, Hanji segera berkata dengan tidak senang, "Levi, mana ucapan terima kasih mu?"

"Tch, thanks." Enggan. Petra tahu hal itu diucapkan dengan terpaksa, namun itu cukup baginya.

"Sama-sama." Balas gadis itu sebelum pergi meninggalkan mereka.

Levi tidak mau menghabiskan waktunya hanya untuk menunggu minumannya datang. Ia mengambil naskah adegan yang harus diperankannya malam ini, mencoba untuk mengabaikan keberadaan Hanji.

"Kau diterima di audisi itu?" ucap Hanji, setengah berteriak. "Mengapa kau tak cerita?" tanyanya lagi, tanpa mengurangi volume suaranya. Tanpa izin Levi, ia segera mengambil naskah yang sedang dibaca oleh pemuda itu, mengabaikan tatapan terganggu oleh beberapa siswa yang masih berada di kelas.

"Tch." Levi bergumam, terganggu oleh aktivitas Hanji. "Jaga suaramu, Hanji. Kau ingin menyebarkannya ke satu sekolah? Lagipula, untuk apa aku cerita padamu? Kau bahkan bukan keluargaku." Hanji menghentikan kegiatannya membaca naskah itu sejenak. Memang, hampir tak ada yang kenal dekat dengan Levi, padahal ia sudah berada di sekolah itu sejak awal semester lalu, namun, teman kecil Hanji yang satu ini bukanlah tipe orang yang mau repot-repot untuk bersosialisasi ataupun beramah tamah, otomatis, orang yang cukup dekat dengannya hanyalah Hanji, seorang diri.

"Ahahaha… Maaf, maaf, kebiasaanku." Ucap gadis itu, tertawa hambar. Levi tidak berkata apa-apa. Ia hanya mengambil kembali naskahnya dan beranjak untuk meninggalkan gadis itu. Namun, sebelum sempat pemuda itu beranjak selangkah, Hanji telah menarik tangannya, memaksanya untuk kembali duduk.

"Apa?" Hanji dapat merasakan ketidak-sukaan pemuda itu perilakunya barusan, namun gadis itu berusaha untuk mengabaikannya.

"Levi," gadis itu menghela nafas sesaat, sebelum melanjutkan perkataannya dengan nada yang lebih rendah, "aku tahu kau tak suka untuk bersekolah di sini. Jelas sekali, kalau saja kau punya pilihan lain, kau tak akan bersekolah di sini. Tapi, sampai kapan kau akan terus berpikiran seperti itu?" Ia menatap lekat mata yang berada persis dihadapannya, berusaha mencari suatu fakta yang disembunyikan oleh sepasang mata yang selalu menatap bosan.

"Entahlah…" Jawab Levi singkat, ia tak ingin pembicaraan ini dilanjutkan. Namun Hanji tak menyerah begitu saja.

"Setidaknya, cobalah untuk berteman dengan yang lainnya, Levi. Kadang, aku khawatir dengan sikapmu ini. Ya?" Hanji tersenyum lemah untuk membujuknya. ' Tch. Senyum paksaan.'

Levi tidak langsung mengatakan apapun. Ia benci sikap Hanji yang terlalu memperhatikannya, seakan ia adalah anak kecil yang masih harus dituntun. Tch, ia berdecih. Namun, perasaannya melembut. Ia sadar sekali maksud dari perkataan lawan bicaranya itu.

"Aku bukan anak kecil, Hanji. Tak usah khawatir, aku tak butuh teman, kau tahu itu. Teman itu tidak nyata, mereka hanyalah sekumpulan orang yang dekat denganmu ketika butuh, lantas meninggalkanmu."

Tanpa menunggu lebih lama lagi, ia segera meninggalkan Hanji yang masih menatapnya tanpa bergerak. Gadis itu tak berkata apa-apa lagi, ataupun bertanya ke mana ia akan pergi. Ia tertegun mendengar perkataan Levi barusan.

"Serendah itukah definisi teman bagimu, Levi?" gumamnya.

Bel pulang sekolah baru saja berbunyi, namun telah banyak siswa yang telah berhamburan di luar kelas, siap untuk pulang. Levi bukan pengecualian. Teman-teman satu geng dari sekolah lamanya akan datang menjemputnya sebentar lagi. Ia telah bersiap untuk menunggu di depan gerbang sekolah kalau saja ia tidak bertemu dengan seorang yang sebenarnya sangat ingin ia hindari.

"Kau belum pulang?" tanyanya dingin, lebih dengan nada mengusir orang itu. Ia sungguh tak ingin bertemu orang itu di sekolah.

"Antisipasi. Kemungkinan kau kabur bersama mereka cukup besar." Ujar orang tadi, ia sedikit tersenyum mendengar kalimat tak ramah dari Levi. Dan yang ia maksud dengan mereka? Tentu saja teman segengnya.

"Berhenti mengikutiku, Hanji." Ucap Levi, risih. Levi tak berusaha sama sekali untuk menyembunyikan ketidak-sukaannya.

Gadis itu hanya mengangkat bahunya, tidak begitu perduli dengan ucapan Levi. "Ibumu yang menyuruhku. Bukankah kau sudah tahu?"

"Tentu saja aku tahu." Tandas Levi. Ia diam sejenak, melihat reaksi dari gadis dihadapannya itu, namun tak ada hal yang berati. "Hari ini, aku harus langsung ke lokasi pengambilan gambar, dan akan pulang malam lagi. Kemungkinan akan berlangsung sampai pagi. Bagaimana dengan sekolahmu?" Ucap Levi -lagi- membuat alasan, mencoba menghindar dari pengawasan orang itu. Ia benci kondisinya, ia benci fakta bahwa orang tuanya lebih percaya kepada orang itu daripada dirinya sendiri sehingga mereka membuatnya harus diawasi. Faktanya ia baru mulai akan melakukan pengambilan gambar nanti sore.

"Tak masalah. Toh, besok libur, ibuku sudah memberiku izin untuk pulang kapan saja, agar bisa terus mengawasimu." Jawab gadis itu, dengan nada yang mantap, yang kini malah membuatnya kian kehabisan ide untuk menghindar.

Kini, tinggal Levi yang merutuki dirinya. Bagaimana bisa ia sampai lupa bahwa besok adalah hari libur nasional? Tentu saja Hanji tak akan memiliki masalah untuk tidak pulang ke rumah hingga larut. Levi tahu, ia tak punya pilihan.

"Tunggu sebentar." Ucapnya, ia segera mengambil hpnya, mencari kontak seseorang dan segera membuat pesan singkat.

'Jangan jemput aku.' Hanya itu yang ia ketikkan untuk membatalkan janji dengan gengnya. Tak begitu lama kemudian, ada panggilan masuk, namun ia abaikan panggilan itu. Hanji menatapnya dengan heran.

"Mengapa kau abaikan?" tanyanya heran. Tak biasanya Levi itu mengabaikan sebuah panggilan telepon.

"Tak penting." Ujar Levi. Hanji tentu paham dengan maksudnya mengatakan itu panggilan tak penting. Levi menghela nafasnya, "Kita masih punya waktu sekitar empat jam setengah lagi, bagaimana kalau kita makan dulu?" tanpa menunggu persetujuan ataupun jawaban dari orang yang ia tanya, ia langsung pergi mengambil mobilnya di parkiran.

Gadis itu melebarkan matanya, sedikit terkejut. "Eh? Bukankah tadi kau bilang harus langsung ke lokasi syuting?" tanyanya heran.

Levi tertegun sejenak. Tentu ia ingat tadi ia bilang begitu. Tapi, tadi hanya alasan saja, bukan? "Aa, sepertinya tadi aku memang bilang begitu." Jawabnya tanpa rasa bersalah. "Ya sudahlah, sekarang baru jam setengah dua, syuting nanti jam 7 malam. Kau ikut atau tidak?" Ujarnya kepada sang 'pengawas' dengan santai.

"Ha?" Hanji masih mencerna kalimat yang diucapkan Levi barusan. Ia belum bergerak hingga ia sadar bahwa sang Levi sudah cukup jauh dari dirinya sekarang. "Hei, tunggu aku!" ujarnya sedikit panik. "Aku ikut!" teriaknya, seraya cepat-cepat mengejar langkah Levi yang sudah cukup jauh di depannya.

Nah, bagaimanakah kelanjutan kisahnya? Silahkan temukan jawabannya di chapter berikutnya! -dihajar massa-

.

Gomeeen... saya tahu kalau endingnya ngegantung dan seharusnya nggak pantes jadi penutup sebuah chapter _ tapi jujur saja, saya sudah kehabisan ide~

Chapter ini hanya sebagai pendahuluan -meskipun saya juga nggak janji chapter depan akan banyak berkembang-

Tapi, saya harap reader sekalian cukup terhibur ataupun puas dengan chapter 1 ini ^^

Saya mengharapkan respon dari reader sekalian dalam bentuk komentar, kritik, saran, dan lain-lain yang dapat dituangkan di kotak review. Semakin banyak review, akan membantu meningkatkan mood meter saya, yang berarti semakin cepat chapter berikutnya di upload XD

Dan, saya juga ingin mengucapkan Selamat Hari Natal kepada yang merayakan~ hohoho!

Sign,

Sukoshi Yukki

25.12.2013