WARNING! WARNING! WARNING!

Karakter yang berada dalam cerita ini adalah milik Masashi Kishimoto dalam manga Naruto. (Ide cerita terinspirasi dari drama Korea) School 2015: Who Are You dari KBS dengan sedikit banyak perubahan. Apabila tidak menyukai drama, jangan sekali-sekali membaca fic ini.

Rating: T

AU, OOC, Typos, dan segala kecacatan penulis newbie.

Selamat membaca!

WARNING! WARNING! WARNING!

DON'T LIKE DON'T READ DON'T BASH

NO FLAME!

Bagi yang tidak menyukai OOC silahkan pencet tombol BACK.

.

.

.

Terlihat seorang siswi manis dengan rona merah yang lembut menghiasi pipinya, ia tengah bermonolog di hadapan pembaca fic ini. Ia duduk manis dengan tatapan matanya yang polos tersenyum lembut hendak bercerita. Oh... salah... dia sedang menjawab pertanyaan.

Sekolah?

Sebenarnya aku tak ingin datang ke sekolah.

Tapi jika aku tak ke sekolah, aku khawatir.

Jika sama sekali tak ke sekolah, aku pasti merindukan sekolah.

Aneh kan?

Nama siswi itu muncul seperti headline berita di televisi.

Hyuuga Hinata [Siswa kelas 2 Youryuu Female Academy High School]

Pelajaran apa yang tak ku suka?

Jam istirahat.

Hinata terdiam beberapa saat seperti berpikir, raut mukanya sedikit masam. Mencari kata yang tepat untuk melanjutkan monolognya. Dia terlihat gugup dan sesekali meremas tangannya yang saling bertautan. Tiba-tiba ia tersenyum lagi dan mengambil sesuatu dari dalam laci. Seperti id-card. Ia menggenggam id-card itu dan dengan senyum lebar melanjutkan monolognya.

Aku punya tiga kerja paruh waktu.

Ummm... setelah lulus nanti, aku harus meninggalkan Love House.

Cita-citaku?

Aku ingin menjadi seorang guru.

Hinata tersenyum malu-malu dan sedikit menyembunyikan senyumnya dengan menunduk. Dia terlihat senang dengan pembicaraan ini.

Guru yang bisa memahami murid-muridnya.

Meskipun mereka bohong tentang suatu hal.

Hinata tersenyum uuntuk kesekiankalinya mengakhiri monolognya.

.

.

.

Hikari Itano humbly present...

Joshikousei 2015 : Anata wa dare?

.

.

.

Osaka

Lintang: N 34° 40' 48.00"

Bujur: E 135° 30' 0.00"

Di depan gerbang, terpampang jelas tulisan kanji yang bisa kita artikan 'Youryuu Female Academy High School'. Jam dinding besar yang ada di gedung sekolah itu sudah menunjukkan pukul 08.45, banyak sekali siswi yang mempercepat langkahnya memasuki lingkungan sekolah. Wajah ceria mereka mengawali pagi hari yang indah untuk menuju sekolah, dengan pikiran yang masih fresh dan mood yang baik. Bersiap untuk menuntut ilmu demi meraih cita-cita. Yosh... ganbatta minna-san!

"Happy birthday to you, happy birthday to you, happy birthday, happy birthday, happy birthday to you," Terlihat dua siswi menuntun seorang siswi dengan rambut merah yang matanya tertutup dan topi kerucut dikepalanya. Gadis berambut merah itu dituntun ke belakang gedung sekolah dengan kedua temannya yang menuntun masih menyanyikan lagu selamat ulang tahun dengan nada yang khas dan lirik yang khas. Entah lagu selamat ulang tahun itu diciptakan sejak kapan dan oleh siapa.

"Happy birthday, dear my friend. Happy birthday Karin!" Well, sekarang kita tahu siapa yang ber-ulang tahun di sini.

"Otanjoubi omedetou..." kedua teman Karin yang menuntunnya berhenti seraya melepas kain yang diikat untuk menutupi matanya.

"SURPRISE!" kedua teman Karin berteriak dan menunjukkan kejutan yang mereka siapkan.

Di hadapan Karin dan kedua temannya ini, sosok seorang gadis manis berambut lurus panjang dan perawakan anggun tengah berdiri dengan ekspresi bingung karena ditahan oleh dua teman Karin lainnya yang sepertinya memaksa gadis itu untuk ikut memberi 'kejutan' kepada Karin.

Karin tak menampakkan ekspresi, dia hanya menatap gadis di depannya yang sekarang memasang ekspresi bingung dan marah dengan pandangan yang sulit diartikan.

"Apa-apaan ini?" Gadis berambut lurus panjang itu mulai membuka suara, ia menatap tajam kepada teman-teman Karin.

"Kau menduganya? ." kedua teman Karin yang menuntunnya tadi berkata pada Karin sambil menunjuk gadis itu. Karin hanya melihat dan masih memandang dengan tatapan yang sulit diartikan.

Sekarang kedua teman Karin yang semula menuntunnya mendekati gadis yang sudah ditahan oleh kedua teman Karin yang lainnya. Kini masing-masing tangan gadis itu ditahan oleh dua orang teman Karin.

"Lepas!"

"Lepaskan aku!" Gadis itu melakukan perlawanan, tapi ia terlalu lemah, ia terlalu payah dalam urusan fisik.

Selanjutnya keempat teman Karin mendorong gadis itu sampai ia berlutut di hadapan Karin. Gadis itu terjerembab, menahan berat tubuhnya dengan kedua lutut dan telapak tangannya. Ia menatap tanah di depannya dengan tatapan nanar, air mata sudah berkumpul di pelupuk matanya, tapi air mata itu enggan meluncur bebas di pipinya.

Salah seorang teman Karin, yang berada di ujung sebelah kanan mulai angkat bicara. Tampak jelas kedua teman Karin yang semula menahan gadis itu kini menyiapkan sesuatu, sepertinya untuk memberi 'kejutan' pada Karin.

"Step one, pecahkan telur-telurnya!" Teman Karin yang berada di ujung paling kanan mengacungkan jari, menunjukkan angka satu. Dia mengambil telur dari tangan salah satu teman di sampingnya, lalu melemparkan telur itu ke kepala gadis malang yang tengah berlutut.

"Ugh..." Gadis malang itu mengeluarkan suara jeritan yang ia tahan karena rasa sakit yang ia alami saat telur dilempar dan mengenai kepalanya.

Telur itu mengeluarkan bunyi 'krak' dan selanjutnya isinya secepat kilat sudah mengenai kepala gadis itu. Acara melempar telur itu dilakukan beruntun hingga orang keempat yang berada di ujung sebelah kiri. Karin hanya mengamati dengan tatapan yang masih sulit dijelaskan. Karin hanya bisa berdiri terpaku.

"Step two, yang pasti... tuang tepung sebanyak-banyaknya!" Sekarang orang yang berdiri di ujung paling kiri merobek bungkus tepung dan menuangkan tepung itu pada gadis malang yang hanya menunduk dengan tatapan nanar.

Gadis malang itu geram, sekarang tepung berwarna putih dan telur sudah mengotori badannya. Diam-diam ia mengepalkan tangannya dan menggenggam tepung yang berserakan di tanah sekitar tangannya. Ingin sekali ia melempari semua orang-orang ini dengan tepung yang ada di genggamannya saat ini. Karin menampakkan ekspresi yang terkejut dengan kedua alis yang bertaut dan mulut sedikit terbuka.

"Step three, untuk langkah terakhir... tuangkan krim spesial di atasnya!" Kini dua orang yang semula menahan gadis itu menuang krim di kepalanya. Menemani tepung dan telur yang sudah lebih dulu di sana. Gadis itu hanya diam, ia kini tertunduk dengan rasa penuh amarah dan kebencian yang semakin membuncah. Rasanya seperti balon yang ditiup terus menerus semakin besar, besar, dan besaaaaar lagi, dan siap meletus kapan saja.

"Cake spesialmu sekarang selesaaaaaiii, tadaaaaaa Karin-chan!" teman Karin di ujung yang paling kanan berkata sambil memberi isyarat dengan kedua tangannya yang mempersembahkan 'cake spesial' yang dimaksud.

"Otanjoubi omedeto Karin-chan!" keempat teman Karin berkata lantang menyelamatinya tanpa mempedulikan gadis malang yang berlutut pasrah dengan napas yang tidak teratur. Terlihat di seragam gadis itu, sebuah name tag. Hyuuga Hinata.

Karin mulai membuka suaranya.

"Sayang sekali tak ada lilinnya." Karin berkata sembari melihat Hinata yang sudah dilumuri telur, tepung, dan krim di hadapannya. Ia masih menampilkan ekspresi terkejut. Lalu sedetik kemudian ia menampilkan senyum yang sangat lebar ke arah empat teman di hadapannya.

"Arigatou na, ureshi desu! Aku sangat terharu, aku sayang kalian teman-temaaan." Karin berkata dengan tawa renyah dan membuat bentuk hati dengan jari-jarinya dan memberi kecupan singkat di tangannya lalu meniupnya ke arah teman-temannya.

"Kami juga menyayangimu!"

Hinata mengatur nafasnya yang terengah-engah karena menahan amarah. Ia memandang Karin yang ada di hadapannya dari balik poni ratanya yang tebal dan sudah lepek karena telur. Ia hanya bisa menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya yang sekarang terasa kering.

Karin dan keempat temannya kini beranjak meninggalkan Hinata seorang diri. Mereka menuju ke ruang kelas, dan Hinata tenggelam dalam kebencian yang ia tahan. Hinata masih memandang tanah di hadapannya. Hinata berdiri lemah dengan kaki yang bergetar, dengan gerakan pelan ia membersihkan krim yang ada di kepalanya. Ia kemudian mengambil langkah yang berlawanan dengan Karin dan kroni-kroninya. Ia tak sanggup meneteskan air mata, apalagi menangis. Ia muak dan terlalu lelah mengeluarkan air mata karena mereka.

.

.

.

Ruang Belajar Kelas 2 Youryuu Female Academy High School.

"Jika benda dilempar membentuk sudut beberapa derajat, benda akan mengalami gerak parabola. Gerak parabola ini merupakan gerak dua arah, yaitu gerak pada sumbu Y dan gerak pada sumbu X." Bu guru tengah mengajar di podium depan kelas. Bu Guru membawa tongkat penunjuk untuk menjelaskan gambar garis dan titik yang berhubungan dengan gerak parabola.

"Pada sumbu Y, benda bergerak vertikal, tetapi tiap detik benda akan diperlambat oleh gaya gravitasi. Sedangkan pada sumbu X benda akan bergerak horisontal. Karena pengaruh gerak dua arah ini, lintasan benda akan berbentuk parabola."

Seluruh siswi memperhatikan penjelasan gurunya. Tapi tidak dengan Karin dan teman sebangkunya, mereka malah cekikikan sambil membicarakan Hinata dengan nada yang pelan karena takut menyaingi suara guru mereka yang menggelegar.

"Hei... krim apa yang kau tuang terakhir tadi?" Karin membuka mulutnya dan berbisik pada teman sebangkunya.

"Itu?hahh.." Teman sebangku Karin menghela nafas dan tersenyum licik.

"Itu adalah krim spesial yang kadaluwarsa," Teman sebangku Karin berkata sambil menahan tawanya. Karin juga menahan tawanya yang hampir meledak. Ia tak bisa membayangkan bagaimana nanti jadinya rambut Hinata setelah dikeramasi, pasti berminyak seperti orang yang seminggu sekali keramas, pasti sangat sangat menjijikkan. Karin tersenyum puas dengan perkataan terakhir teman sebangkunya.

Terdengar pintu belakang kelas bergeser. Semua mata lalu mengalihkan pandangan ke arah sana, melihat siapa yang memicu bunyi 'srek' itu. Hinata melenggangkan kakinya dengan seragam olahraga yang ia kenakan dan membungkuk sopan kepada seluruh penghuni kelas beserta guru yang mengajar di podium. Seketika setiap siswa yang dilewati Hinata menutupi hidung mereka setelah mencium bau yang sangat tidak sedap yang dicium dari Hinata, sangat berbeda dengan wangi lavender yang biasa menguar dari tubuhnya. Kali ini baunya amis, sengak, dan tak sedap.

"Kalian bisa membayangkan bahwa kecepatan yang dialami benda untuk bergerak vertikal setiap detiknya berkurang 10 m/s. Dan saat kecepatan ke atas benda habis, dia akan bergerak jatuh bebas dan kecepatannya setiap detik bertambah 10 m/s hingga sesaat sebelum ia jatuh ke tanah, benda itu akan memiliki kecepatan semula." Bu Guru masih menjelaskan pelajarannya, siswi yang semula melihat Hinata sekarang kembali fokus ke pelajaran.

Hinata sampai di bangkunya, ia tersenyum menyapa teman sebangkunya.

"Baunya nggak enak ya? Padahal aku sudah menyamponya berkali-kali, tapi baunya sama sekali..." Hinata tersenyum lesu ke teman sebangkunya. Lalu tiba-tiba teman sebangkunya itu memotong pembicaraannya.

"Bisakah kau menggeser mejamu?" Bukannya menjawab pertanyaan Hinata, ia malah memberi Hinata sebuah permintaan. Hinata hatinya mencelos diperlakukan seperti itu oleh teman sebangkunya, ya maklum... teman baru di kelas 2.

"Ohh... baiklah." Hinata kembali tersenyum sembari menggeser meja dan kursinya untuk menjaga jarak. Ia mencoba bersikap seperti tidak ada apa-apa yang terjadi.

Karin yang menyaksikan Hinata dan teman satu bangkunya tertunduk sambil menutup mulut untuk menahan tawanya yang pecah.

"Untuk Latihan, kerjakan sola pendalaman dan soal variasi." Bu Guru meletakkan bukunya dan melipat halaman yang terbuka, kemudian menutupnya lagi dan setelah itu jam istirahat berbunyi.

"Kriiiiiiiing"

"Baiklah, anak-anak pelajaran hari ini cukup sampai hari ini." Siswi yang berada di kelas tak menghiraukan gurunya yang berpamitan. Mereka malah berbondong-bondong menuju pintu dan keluar kelas.

"Hyuuga Hinata, datanglah ke kantor sensei." Bu Guru memandang Hinata dan selanjutnya berjalan pergi setelah selesai bicara.

Hinata hanya mengangguk mengiyakan.

.

.

.

Ruang Guru Lantai 2 Youryuu Female Academy High School

"Bukan hanya sekali-dua kali, kenapa kamu selalu pakai seragam olahraga di kelas?" Guru yang tadi mengajar di kelas Hinata duduk rapat dan menceramahi Hinata yang berdiri. Hinata hanya tersenyum kecut dan sesekali mengangguk.

"Sensei juga sudah memberimu peringatan terakhir,"

Hinata tidak berani memandang mata gurunya. Ia melirik ke samping dan kali ini dengan muka cemberut.

"Apa ada hal yang mengganggumu?" Guru Hinata mulai heran dan menautkan alisnya ketika mendapati Hinata memasang ekspresi seperti itu.

Hinata terdiam, ia nyaris mengatakan sesuatu. Tapi tenggorokannya tercekat dan ia menelan kembali apa yang ingin ia katakan tadi.

"Kamu harus jujur pada sensei supaya sensei bisa membantumu Hinata." Guru Hinata menatapnya dengan pandangan khawatir.

Hinata masih terdiam, lalu tiba-tiba ia menggelengkan kepalanya dan berkata "Tidak, tidak ada yang menggangguku sensei." Hinata mencoba tersenyum selebar mungkin untuk meyakinkan senseinya. Ia kemudian membungkuk sedikit untuk berpamitan dan beranjak dari hadapan senseinya itu.

Hinata menyusuri koridor kelas 2 yang masih ramai karena ini masih jam istirahat. Setiap Hinata melangkah, ia seperti dibuatkan jalan khusus yang lebar karena setiap siswi di dekatnya akan menjauh dan menutupi hidung mereka.

Saat ini, waktu terasa berjalan terlalu lama. Rasanya semuanya menjadi lambat di saat kau mengalami hal yang tidak menyenangkan.

.

.

.

Panti Asuhan Love House

Hinata dengan celemek berwarna pink tengah menyiapkan makan siang. Terlihat beberapa anak kecil sesusia sekolah dasar tengah antre membentuk garis lurus untuk mengambil jatah makan yang dimasak Hinata saat ini.

Konohamaru dan Boruto, anak yang berusia sekitar 5 tahun itu terlihat berebut mangkuk berisi sup. Hinata sedikit terkejut saat melihat kegaduhan adik-adik kecilnya berebut makanan.

"Hey... kalian... tenanglah sedikit! Konohamaru, Boruto, jangan berebut... ambil yang lain, masih banyak." Hinata berkata pada kedua anak di depannya sambil menunjuk keduanya dengan spatula yang masih ditangannya.

"Sup ini punyaaakuuuu..." Boruto menarik mangkuk yang juga ditarik Konohamaru.

"Ini punyakuuuu..." Konohamaru tak mau kalah, ia menambah kekuatan tangannya menarik mangkuk itu. Boruto juga melakukan hal yang sama.

Pada akhirnya pun sup itu jatuh dan isinya tumpah membasahi lantai dapur.

Hinata membuka mulutnya di saat melihat mangkuk itu berguling dan menimbulkan bunyi. Sup itu kini tak bisa lagi disebut makanan. Konohamaru dan Boruto bersamaan memasang ekspresi bersalah dan memandang Hinata yang masih melongo.

"Supnya banyak, kenapa kalian berebut!" Hinata bertanya kepada Konohamaru dan Boruto. Hinata sedikit menaikkan nadanya di kalimat terakhir, bermaksud memberi tanda peringatan seperti 'ini terakhir kalinya aku melihat kalian seperti ini, jangan ulangi lagi.'

"Sup tadi tidak banyak daun bawangnya dan tomat Hinata-nee." Himawari, anak yang berusia 7 tahun menjawab pertanyaan Hinata.

"Kalau kalian nggak makan sayurnya... awas kalian!" Himawari memberi nasihat kepada kedua adiknya.

"Huh... ini semua supaya kalian," Hinata belum menyelesaikan perkataannya, tetapi adik-adik yang dihadapannya sedang mengantri makan malam berteriak langtang bersamaan "TUMBUH KUAT!" Hinata tersenyum puas mendengar perkataan adik-adiknya di panti asuhan ini. Tak sia-sia dia mengajari mereka dengan baik.

"Tapi nee-chan, sekali ini saja ambil daun bawang dan tomatnya." Boruto merajuk dengan nada manja sambil menggembungkan pipinya dan menampakkan ekspresi memohon pada Hinata.

"Hmmm... kamu imut sekali ya..." Hinata menunjukkan ekspresi jual mahal pada Boruto.

"Kalau terus seperti ini..." Hinata menggantung kata-katanya dan anak-anak kecil lainnya tak sabar menunggu jawaban Hinata.

"Kalian pikir aku akan mengambilnya? Lupakan saja! Pokoknya jangan kalian sisakan sayurnya secuil pun, kalian harus menghabiskan sayurnya tanpa tersisa." Hinata tersenyum penuh kemenangan.

"Ahhh..." anak-anak kecil mengeluarkan nada kecewa.

"Sudah hentikan, diam semua..." Hinata kembali berkata.

"BAIK!" Hinata tersenyum puas mendengar kata terakhir yang diucapkan anak-anak kecil itu.

"Kalau selessai, taruh piring di bak cucian, lalu kalian gosok gigi. Kalian mengerti?"

"IYA!"

.

.

.

Hinata mengumpulkan baju-baju anak-anak yang sudah kering, ia memasukkannya ke keranjang plastik. Selanjutnya dia menuju ke kamar utama dan menyiapkan setrika di sana. Ia bersiap untuk menggosok pakaian kering itu dengan besi panas yang telah ia siapkan. Dia menyetrika satu per satu pakaian yang ada di keranjang dan melipatnya dengan rapi sebelum memasukkan pakaian-pakaian itu ke lemari. Sampai ia menemukan hal yang janggal di sana. Baju yang jahitannya robek dan bolong di bagian bawah. Bolong dari baju itu sangat kacau. Itu milik Himawari.

Hinata menyelesaikan kegiatannya merapikan baju. Ia lalu menghampiri Himawari yang tengah belajar mengerjakan PR-nya.

Tanpa tedeng aling-aling, Hinata menyingkap pinggang kanan Himawari di balik baju yang Himawari kenakan. Dan ia terkejut mendapati apa yang ia temukan di sana. Sebuah luka lebam yang berwarna biru keunguan. Cukup lebar. Pasti terasa sangat sakit.

"Ini kenapa?" Hinata bertanya dengan nada tenang.

"Aku terjatuh saat bermain Nee-chan." Himawari tidak berani memandang langsung ke mata Hinata. Ia melirik ke samping bawah, tanda bahwa ia tengah berbohong.

"Kenapa? Kok bisa jatuh?" Hinata berlutut dan memandang Himawari dengan tatapan tulus yang menyentuh hati.

"Lagi sial saja... saat aku main dengan yang lainnya." Himawari menjawab dengan nada pelan dan masih menunduk tak berani menatap mata Hinata.

Hinata menangkup kedua pipi Himawari. Ia memandang matanya lekat lekat dan tersenyum lembut.

"Kalau ngomong, tatap mata nee-chan. Tak apa," Hinata meyakinkan Himawari. Himawari pun mengikuti instruksi Hinata. Himawari dapat melihat pancaran ketulusan dari sorot mata Hinata. Himawari tak tahan lagi, dia menangis. Tangis yang sangat menyedihkan.

.

.

.

Hinata dan Himawari berdiri di hadapan rumah salah seorang teman Himawari. Terlihat mereka berdua tengah berhadapan dengan ibu dan seorang anak. Ibu dari anak laki-laki temannya Himawari memandang Hinata dengan tatapan tajam sambil melipat kedua sikunya.

"Hinata-san, Cuma permainan anak-anak kenapa kau besar-besarkan?!" Ibu itu berkata dengan ketus. Anaknya hanya diam di sampingnya sambil menatap Himawari dan Hinata ketakutan.

"Bu, maaf. Itu disebut main kalau kedua pihak sama-sama senang. Himawari sama sekali tidak senang! Lihat! Dia malah terluka!" Hinata menatap Ibu itu dengan nyalang. Sudah nyata anaknya salah, masih saja dibela.

"Terus apa!?" Ibu anak itu kembali membentak Hinata dan Himawari.

Hinata menghela nafas frustasi, ia kemudian memandang anak kecil seusia Himawari yang gendut itu.

"Akimichi-kun, aku ingin kau tulus meminta maaf pada Himawari dan berjanjilah hal seperti ini tidak akan terjadi lagi." Hinata berkata dengan nada dingin. Ia menatap bocah yang ia panggil Akimichi dengan tatapan kesal.

"Sampai kau meminta maaf, aku tidak akan beranjak dari tempat ini!" Hinata mengancam dan ia mulai mengambil posisi duduk di hadapan ibu dan anak itu. Himawari bermaksud mencegah aksi Hinata, tapi Hinata tidak menggubrisnya. Bagi Hinata, dia harus mencontohkan hal yang benar pada adik-adiknya di panti asuhan.

"Nee-chan,"

"Choji, cepat minta maaf!" Ibu itu mendorong anaknya ke dekat Hinata dan Himawari dengan kasar. Ia menatap Hinata dan Himawari dengan sinis.

Choji mendekat ke Himawari dan mengulurkan tangannya. Himawari melihat ke arah Hinata, Hinata mengangguk dan kemudian Himawari menyambut uluran tangan itu.

"Himawari, maafkan aku, aku tak akan mengulanginya lagi."

"Berjanjilah."

Himawari dan Choji pun menautkan kelingking dan menyentuhkan jempolnya. Ritual perjanjian.

"Hinata-san, kau puas!?" Ibu itu kembali bersuara setelah melihat Hinata beranjak dari duduknya.

Belum sempat Hinata berpamitan, ibu itu sudah terlebih dahulu menarik anaknya dan masuk. Tak lupa dengan membanting pintu hingga terdengar bunyi debaman yang cukup keras.

"Choji! Kenapa kau bermain dengan anak buangan seperti Himawari?! Kakaknya saja seperti berandal, pasti karena tak punya orang tua! Kenapa keu bermain dengannya! Mulai sekarang jauhi orang seperti dia!"

"Ahhh... kaa-san... ittai yo... ittai..."

Himawari dan Hinata mendengarnya, Himawari menunduk sedih, kemudian Hinata mengelus puncak kepalanya.

"Ayo pulang, kugendong?"

"Boleh, nee-chan?"

"Iya."

Hinata menggendong Himawari di punggungnya. Ia bisa merasakan Himawari yang berpegangan erat takut jatuh. Meraka melewati trotoar di bawah deretan pohon Sakura yang tengah bermekaran. Menyusuri malam diam dalam kesunyia langkah kakinya.

"Himawari... meskipun teman baik, seharusnya kamu bilang kalau itu sakit. Kalau kamu nggak bilang, kasih tahu saja dia kalau kamu nggak suka dibegitukan. Kalau ada yang nggak beres, bilang aja. Dengan begitu, nanti mereka tidak akan memperlakukanmu seenaknya. Mengerti?"

"Seperti yang Nee-chan tadi lakukan?"

"Hmm..."

Hinata menjawab pertanyaan Himawari dengan anggukan singkat. Himawari semakin mengeratkan pegangannya pada Hinata, sekarang Himawari menumpukan dagunya di lipatan leher Hinata.

"Arigatou... nee-chan. Nee-chan adalah kado terindah dari Tuhan yang diberikan padaku sebagai pengganti ibu."

Hinata tersenyum kepada Himawari. Senang rasanya bisa meringankan beban orang yang kau sayangi.

.

.

.

"Setiap hari hal-hal ajaib selalu terjadi pada Aurora, saat malam ketika dia kembali ke loteng, hal baru akan muncul. Dan kamar bobrok, diubah secara ajaib menjadi kamar yang cantik untuk seorang puteri." Tepat setelah kalimat terakhir, Himawari jatuh tertidur di pangkuan Hinata.

"Kelak, apa pun yang terjadi. Dia menyadari, ada seseorang di luar sana yang memikirkannya. Dia tak lagi kesepian ataupun sedih." Hinata tersenyum memandang Himawari yang tidur pulas. Hinata pun menutup buku cerita yang ia bacakan untuk Himawari, dengan hati-hati Hinata meletakkan kepala Himawari ke bantal dan tatami tepat di sebelah adik-adik kecil lainnya yang sudah terlebih dahulu memasuki dunia mimpi.

Lalu nenek Chiyo, pengurus panti asuhan Love House tiba-tiba memanggilnya.

"Hinata-chan? Bisa kau keluar sebentar?"

Nenek Chiyo lalu keluar dari kamar dan diikuti Hinata di belakangnya.

.

.

.

Nenek Chiyo menyodorkan sebuah kotak hadiah yang tertutup rapat kepada Hinata yang kini duduk di hadapannya.

"Kiriman ini tadi pagi datang dan aku lupa memberikannya padamu. Pengirimnya dari Tokyo, jadi pasti dari orang yang mengirimimu sepatu."

"Ah, iya sepertinya begitu." Hinata tersenyum dangan mata berbinar melihat kotak di hadapannya.

"Aku tak tahu siapa, tapi pasti dia orang yang suka memperhatikanmu. Orang ini selalu mengirimimu sesuatu." Nenek Chiyo tersenyum melihat Hinata yang senang.

Hinata membuka tutup kotak itu, dan ia menemukan secarik kertas di sana. Hinata lalu membacanya di hadapan nenek Chiyo.

"Aku ke departemen store membelikan baju untukk putriku. Aku kepikiran kamu, Hinata-chan. Jadi aku beli satu lagi. Uzumaki Kushina."

"Cobalah." Nenek Chiyo ikut senang melihat Hinata mengamati sebuah kaos lengan panjang berwarna putih dengan tulisan 'music is my live' yang tercetak dengan huruf kapital. Hinata pun menempelkan baju itu di badannya.

"Bagaimana nek?"

"Bagus sekali..."

"Sungguh luar biasa, sepatu yang sebelumnya juga sangat pas di kakiku. Dan kaos ini benar-benar style-ku nek!"

Hinata tak bisa menahan senyum yang terukir di wajahnya. Ia sangat senang.

.

.

.

Tokyo

Lintang: N 35° 40' 11.99''

Bujur: E 139° 46' 12.02''

"Hinami-chan, Uzumaki Hinami!"

Terlihat sebuah koper ukuran sedang terbuka di meja dengan beberapa baju yang mengisi koper itu. Di sisi lain meja, tergeletak banyak sekali barang-barang seperti peralatan kosmetik, obat, uang, pewangi, shampo, handbody, hair dryer, catok, kapas, dan beberapa produk kecantikan yang dikemas dalam botol yang cantik. Seorang gadis berperawakan cantik dengan rambut indigo panjang yang dimodel sedikit bergelombang menatap benda-benda di meja yang disiapkan ibunya, Uzumaki Kushina. Gadis cantik yang penampilannya sangat mirip Hinata (minus gaya rambut) itu adalah Uzumaki Hinami, putri tunggal Uzumaki Kushina.

"Heh? Kaa-chan apa-apaan? Ini bukan keliling dunia. Hanya 3 malam 4 hari aku di Osaka. Kami hanya akan naik bus dan berfoto di kuil Budha." Hinami berkata dengan nada ketus kepada ibunya yang sudah menyiapkan semua ini. Hinami melipat kedua tangannya dan sedikit melongo memandangi berbagai barang-barang di atas meja.

"Siapa yang bilang?" Kushina berkata sambil berkacak pinggang dan sedikit mengangkat dagunya ke arah putrinya berdiri.

"Kenapa juga aku butuh semua ini?" Hinami membalas dengan nada mengejek.

"Kubawakan semua ini, barang kali kau melupakan sesuatu." Kushina menunjuk barang-barang yang sudah ia siapkan di meja. "Pilih yang hanya kamu butuhkan untuk dibawa dari sini." Kushina tersenyum kepada Hinami. Hinami membalas senyum ibunya itu.

"Kaa-chan yakin?" Hinami dengan nada sedikit manja.

"Kamu nggak percaya sama kaa-chan mu?" Kushina menyeringai.

Hinami tersenyum dan hanya mengambil sejumlah uang di meja dan memasukkannya di seragam sekolahnya. Hinami lalu mengaitkan resleting kopernya dan berkata "Ini saja" Dengan nada dingin.

"Eh? Mana boleh! Bentar-bentar!" Kushina menahan Hinami menarik resleting kopernya, Kushina lalu memasukkan buku catatan Hinami ke dalam koper.

"Bawa ini, kamu nanti bisa membacanya. Kalau kamu terlalu banyak main, nanti kamu bosen, Hinami-chan." Kushina memasukkan buku itu dengan cepat sebelum Hinami mengambilnya dari kopernya.

"Keterlaluan banget." Hinami menghela nafas pasrah.

"Nah sudah," Perhatian Kushina tertuju pada sebuah kaos berlengan panjang berwarna putih yang bertuliskan MUSIC IS MY LIVE. "Aku belum pernah lihat ini sebelumnya." Kushina mengambil kaos itu dan memperhatikannya dengan seksama.

Hinami menyambar kaos itu dari tangan ibunya, seraya menjawab perkataan ibunya. "Kubeli dengan temanku."

"Ampuuun, kamu ini dingin banget? Apa bakal kotor kalau Kaa-chan sentuh?"

.

.

.

Lalu lintas di Tokyo berjalan lancar. Tanpa macet, tanpa pedagang kaki lima, tanpa polusi yang berarti, hanya saja sedikit terik. Tapi itulah yang dicari! Cuaca cerah untuk melakukan study tour!

Sebuah mobil mini cooper melintas dengan kecepatan 80km/jam di jalanan yang senggang. Sekarang sudah pukul 08.50 pagi di Tokyo. Kushina mengendarai mobil itu untuk mengantar putrinya-Hinami ke sekolah. Hinami adalah salah satu siswi kelas 2 di Tonan High School. Sekolah untuk para kaum elit.

Kushina berhenti tepat di depan gerbang. Di sana terlihat beberapa siswa berjalan menuju sekolah. Kushina membuka pintu mobilnya dan diikuti Hinami yang menenteng koper berukuran sedang.

"Ittekimasu Kaa-san," Hinami hendak beranjak sebelum merasakan tangannya ditahan Kushina.

"Chotto matte, Hinami-chan." Kushina melepas syal yang dia kenakan di leher. "Kalau malam dingin, pastikan kamu memakai ini." Kushina mengenakan syal itu ke leher Hinami. Hinami menuruti Kushina. "Kamu punya gangguan pernafasan, kamu mudah sakit."

Hinami tersenyum lembut. "Baiklah, aku berangkat ya Kaa-chan." Kushina memandang Hinami dari atas ke bawah. Rsanya masih sulit membiarkan putrinya pergi sendiri.

"Kaa-chan, dd-daijo,"

"Hmmm?"

"Nandemonai," Hinami tersenyum dan ibunya sedikit terheran, "Kaa-chan, saat aku pergi, berbaringlah dan istirahat."

"Baiklah," Kushina menangkup kedua pipi Hinami. "Bersenang-senanglah Hinami-chan."

"Kaa-chan, aku berangkaaat..." Hinami mulai melangkah dan melambaikan tangan ke Ibunya, Kushina pun membalas kepergian putrinya dengan lambaian tangan dan senyuman. Kushina melihat punggung putrinya berjalan menjauhinya sambil menarik koper miliknya.

.

.

.

Lapangan Sintetis Tonan High School

Beberapa bis telah terparkir rapi di seberang lapangan ini. Siswa-siswi kela 2 juga sudah mempersiapkan diri dengan berkumpul di lapangan. Hinami tengah berdiri di samping Haruno Sakura-temannya untuk menunggu temannya yang lain-Yamanaka Ino.

"Hei, Yamanaka Ino belum sampai di sini?" Hinami bertanya pada Sakura sambil melipat sikunya dengan gaya angkuh, judes, dan jutek, mirip seperti cewek yang lagi PMS (pra/pasca mens syndrome).

"Dia pasti dandan," Sakura menanggapi Hinami dengan nada santai. "Ehh... itu dia," Sakura menoleh ke kiri, diikuti Hinata. Sakura menunjuk orang yang dimaksud. Ino berjalan dengan sepatu wedgesnya dan kacamata hitam yang enutupi matanya. Ia berjalan sambil menenteng kopernya ke arah mereka.

"Sini!" Sakura melambaikan tangannya, di belakang Ino kini banyak perempuan dan laki-laki dengan mata berbinar melihat Yamanaka Ino yang berjalan seperti model di catwalk dalam peragaan busana. Lelaki melihat tubuh bagian bawah Ino Yamanaka. Roknya yang pendek memperlihatkan kaki jenjang yang sangat ideal. Lalu sebuah t-shirt ketat yang dikenakannya ikut menyumbang pemandangan seksi yang tersaji, dengan kancing kemeja dan blazer yang terbuka, Ino melepas kacamatanya untuk menyapa Sakura dan Hinami yang sudah menunggu.

"Menyebalkan sekali!" Ino bergumam kesal sembari membetulkan bajunya yang sedikit berantakan. "Mau pakai seragam ini bagaimana pun tetap saja terlihat tak pantas." Ino melihat penampilannya sendiri dengan menunduk.

"Bagus kok, lekuk tubuhmu kelihatan tuh," Hinami dengan tatapan cuek mengomentari penampilan gadis Yamanaka itu.

"Hmmm penglihatanmu cukup bagus Hina-chan," Ino tersenyum manja ke Hinami.

Sakura memperhatikan Ino dari atas ke bawah, memang penampilannya sedikit nyentrik, tapi tak mengurangi pesonanya yang cantik. Sampai dia menyadari sesuatu yang menempel pada kaki Ino dan Hinami.

"Wahh! Sepatu kalian keren, kok sama modelnya?" Ino dan Hinami yang mendengar komentar Sakura saling berpandangan dan tersenyum aneh. Sambil menunjukkan punggung mereka, ternyata mereka juga memakai tas yang modelnya sama. Secara serentak mereka berdua memamerkan barang couple yang berbentuk tas itu. "Tadaaaaa..."

"Apa-apaan ini? Memalukan sekali..." Sakura menutup mulutnya yang terbuka karena terkejut bahwa kedua sahabatnya ini seperti sepasang lesbian. "Kalian berdua pacaran?" Sakura tersenyum jahil, menggoda kedua sahabatnya.

"Menurutmu gitu? Hmmm bahkan pakaian dalam kita juga sama loh..." Ino menggigit bibirnya dengan eksotis sambil melirik Hinami di sampiingnya. Hinami cengo, ia heran kenapa sahabatnya yang satu ini sangat frontal.

"Iya." Hinami membenarkan perkataan Ino dengan sebuah kata yang singkat, padat, dan jelas.

"Hot pink, kau lupa kan?" Ino memandang Hinami dengan sedikit serius.

"Nggak, aku pake kok."

"Bohong. Wajahmu mendadak jadi serius kalo merasa bersalah Hina-chan." Ino pun berniat menyingkap rok seragam yang dikenakan Hinami. "Coba lihat."

"NANI?!" Hinami kaget dan sedikit menjerit, itu membuat lelaki di sekitar memperhatikan mereka, apalagi sekarang Hinami memegang roknya erat-erat dan Ino masih mencoba mengejar hinami yang berlari menyelamatkan reputasinya.

"Lihat apa?"

"Warnanya lah.."

"Ahh... jangan... hentikan Ino-chan!" Hinami masih berjalan menjauhi Ino yang semakin mendekatinya. Hinami berhenti saat ada Sai yang menahannya.

"Bentar.. bentar... bentar... warna apa sih? Aku lihat juga dong." Sai berkata dengan seringai dan senyum palsunya.

"Hentai." Hinami berkomentar dingin menanggapi kata-kata Sai. Kemudian Ino menggandeng Hinami dan mengajaknya pergi mmeninggalkan Sai yang masih berdiri dengan senyum tak jelas.

"Kasih lihat! Kasih lihat! Kasih lihat!" Sai bertepuk tangan setiap mengatakan keinginannya, Sai kemudian diikuti teman teman yang lainnya, seperti Shikamaru dan Kiba.

"SEMUANYA PERHATIAN!" suara Kakashi Hatake, wali kelas 2-2 sekaligus penanggung jawab study tour berterian lantang.

"Perhatian! Sekali lagi sensei ulangi. Yang paling penting dari perjalanan menyenangkan adalah... yang pertama, keselamatan. Yang kedua, keselamatan, dan yang ketiga, keselamatan. Kalau kalian mual atau merasa tak enak badan dalam perjalanan, segera lapor sensei supaya bisa dibawa ke rumah sakit secepatnya. Jangan pernah meninggalkan kelompok tanpa memberitahuku. Jangan makan makanan sembarangan."

Beberapa siswa di barisan belakang menirukan mulut Kakashi dan meledeki Kakashi secara diam-diam. Kiba yang berada di barisan paling belakang, tengah berdiri dengan kekasihnya, Shizune mulai berkomentar. "Dia benar-benar pecinta keselamatan."

Siswa yang lainnya secara serempak mengiyakan perkataan Kakashi-sensei. "Iya, sensei."

"Kaichou, apa ada yang belum hadir?" Kakashi bertanya kepada sang ketua kelas, Nara Shikamaru.

"Namikaze Naruto dan Uchiha Sasuke, mereka tidak hadir karena ada urusan pribadi. Semuanya di sini kecuali mereka berdua."

Hinami melihat jam di tangan kirinya. Selanjutnya ia tersenyum penuh arti. Jam 9 tepat. Seluruh siswa 2-2 yang akan mengikuti study tour segera menuju ke bis masing-masing.

.

.

.

Osaka National Sport Center

"Perlombaan renang 400 m gaya bebas putra antar SMU tingkat nasional. Para peserta saat ini tengah melakukan pemanasan. Hal unik yang bisa kita katakan dari lomba ini adalah semua wajah baru yang memasuki babak final!" Komentator renang bercakap mengomentari perlombaan final yang akan dilaksanakan hari ini.

"Iya benar!"

"Uchiha Sasuke dari Tonan di lintasa 3." Terlihat Uchiha Sasuke yang memakai celana renang dan penutup kepala serta kacamata renang yang dikalungkan di leher melambai ke arah pelatih dan rekan-rekan lainnya. Ia tersenyum dan memberi tatapan 'do'akan aku! Semuanya!' Puluhan suporter yang di bawa dari Tonan (sebagian besar fansgirl Sasuke) membawa spanduk dan meneriakkan nama Sasuke dengan lantang untuk menunjukkan dukungan 100% mereka pada Uchiha Sasuke. "Selanjutnya Darui dari Seisen di lintasan 4. Keduanya diprediksi akan merebut urutan pertama dalam final ini."

"Benar! Aku menunggu aksi mereka!"

"Perlombaan segera dimulai."

Kedua komentator renang itu semakin bersemangat melihat para finalis sudah berdiri di titik start dan menyiapkan ancang-ancang. Tinggal menunggu aba-apa dari sang wasit. Uchiha Sasuke sudah menempatkan kacamata renangnya di matanya, dia mengambil nafas dan merilekskan diri karena ini adalah ajang nasional yang pertama diikutinya. Bunyi bel start pun dilepas, semua finalis melompat ke kolam renang dan berenang secepat mungkin yang mereka bisa.

Sasuke melesat jauh, menggerakkan kakinya dan tangannya mendayung dengan cepat membawanya ke garis depan ujung kolam. Dengan lincah ia berbalik arah dan menggambil tolakan dari tembok kolam. Ia kembali berenang menuju ke titik start tadi. ia harus bolak-balik 8 kali dari ujung ke ujung untuk menyelesaikan perlombaan.

"Sasuke-kun! SEMANGAT!" teriakan suporter yang nyaris tak terdengar di telinga Sasuke menggema di indoor itu. Tentunya bercampur dengan teriakan para pendukung dari finalis lainnya.

"Sudah dimulai!" Komentator mulai bersuara lagi. "Seperti yang diperkirakan sebelumnya, keduanya berebut di posisi pertama, Uchiha Sasuke dan Darui. Hebat sekali mereka! Melesat seperti boat. Cepat sekali."

Sasuke sesekali memunculkan kepalanya dari dalam kolam, hanyauntuk menoleh ke kanan mengambil asupan oksigen sebagai tenaga pembakaran untuk sumber energinya menyelesaikan lomba ini.

.

.

.

Bis dalam Perjalanan Tokyo-Osaka

Hinami tengah mendengarkan siaran lansung melalui radio. Ia mengenakan earphone. Terlihat raut mukanya yang cemas. Ia berkonsentrasi penuh mendengarkan siaran itu.

"Sangat ketat!"

"Uchiha Sasuke di lintasan 3, dan Darui di lintasan 4! Mereka bersaing memperebutkan posisi pertama!"

"Sejauh ini waktu mereka sangat bagus!"

.

.

.

Osaka National Sport Center

"Sasuke! Darui! Sasuke! Darui!" Perlombaanyang sangat sengit! Sekarang posisi Sasuke dan Darui sama. Harus ada satu pemenang! Uchiha Fugaku yang duduk di salah satu tribun mengepalkan tangannya karena geregetan melihat darui yang terus menyusul Sasuke. "Semangat Sasuke!" Fugaku berteriak lantang menyemangati anaknya.

"Sasuke! Darui! Sasuke! Darui! Sasuke! Darui! Dan YAAAAAA SASUKE UCHIHA BERENANG SEMAKIN CEPAT! DARUI MENYUSUL"

"UCHIHA BERADA DI URUTAN PERTAMA! DAN YAAAAA UCHIHA SASUKE MEMENANGKAN URUTAN PERTAMA! SELAMAT UNTUK UCHIHA SASUKE DARI TONAN!"

"KYAAAAAAAA! SASUKE! SASUKE!"

Semuanya berteriak lantang melihat Sasuke menyelesaikan perlombaan di urutan pertama. Ia juga memecahkan rekor baru! Mendapat medali emas!

"WAW! Uchiha Sasuke baru saja mencetak sejarah renang gaya bebas antar SMU tingkat nasional!" Sasuke membuka kacamata renangnya dan meletakkannya di kepala. Ia mengepalkan tangannya dan bersorak "Yeah" dengan sangat lantang sambil memukulkan tangannya ke air.

.

.

.

Bis dalam Perjalanan Tokyo-Osaka

"Uchiha Sasuke di lintasan ke 3 mendapatkan medali emas!" Hinami membuka mulut hendak menyuarakan kegembiraan. Tapi ia kembali tenang dan menyembunyikan ekspresi senangnya.

"4 menit, 3 detik."

Hinami yang duduk di sebelah Ino sedikit kaget di saat Ino bertanya "Dengerin apa?"

"Rekor baru!"

Hinami menoleh ke Ino di samping kirinya. "Biasa..." ia menjawab pertanyaan Ino dengan senyuman.

"Kita dengarkan sama-sama." Ino melepas earphone di telinga kiri Hinami, berniat memasangnya di telinga kanannya tapi Hinami menginterupsi. "eh make up-mu berantakan." Ino seketika panik dan terkecoh, ia buru-buru mencari kaca di tas yang sedang ia pangku."Sebelah mana, Hina-chan?" Ino mulai membenarkan make up-nya, sedangkan Hinami tersenyum penuh arti melepas earphone dan mematikan radio yang semula ia dengarkan. Dia senang!

.

.

.

Osaka National Sport Center

"Ichi, nii, san! Cheese!" Uchiha Sasuke tengah bertumpu lutut memegang bahu dua anak kecil yang meminta foto dengannya.

"Arigatou gonzaimasu." Ibu kedua anak mengucapkan terimakasih kepada Sasuke. Sasuke tersenyum ramah kepada ibu dan anak itu.

"Ayo anak-anak kita pulang..." ajak sang ibu.

"Boleh kusentuh medali mu nii-san?" salah satu anak kecil memandang Sasuke yang sudah berdiri. Sasuke tersenyum simpul dan menunduk. "Tentu saja, ini." Sasuke mendekatkan medali emasnya yang ingin disentuh oleh anak kecil itu. Anak kecil itu pun menyentuh medali emas yang baru saja diperoleh Sasuke. Tiba-tiba saja, hal itu mengingatkan Sasuke tentang memori masa kecilnya bersama seorang gadis. Tepat saat Sasuke seumuran dengan anak kecil yang saat ini menyentuh medali emas Sasuke.

"Omedetou, Sasuke-kun!" Seorang anak perempuan yang seumuran dengannya tengah duduk disampingnya sambil mencelupkan kakinya ke kolam. "Kau pasti senang. Kau memenangkan banyak medali!" Di sana Sasuke kecil tengah mengenakan beberapa medali yang ia peroleh. "Oh iya... apa ini emas asli? Boleh minta satu?" anak kecil perempuan itu menyentih medali emas yang saat itu dikenakan Sasuke bersama medali perunggu, dan medali perak yang dikenakannya sekaligus.

"Dame da..."

"Gzzz... pelit." Gadis kecil itu membuang muka.

"Kalau kau sangat menginginkannya, kau harus menang!"

"Aku tak bisa renang sehebat kamu!" Gadis kecil itu menatap sebal ke arah Sasuke. "Lupakan Saja! Aku tak menginginkannya lagi!"

"Aku tak mau memberikan yang ini padamu... pokoknya nanti saat turnamen nasional, medali emas yang akan kumenangkan akan kuberikan padamu, oke?"

"Huh, gak percaya... medali yang gak penting kaya gini saja kamu tak mau berikan kok! Tapi kau malah mau beri dari turnamen besar?"

"Baka onna." Sasuke memaki gadis cilik yang tak mengerti pembicaraannya. "Aku tak kasih ke kamu bukan karena tak penting!" Gadis cilik itu tampak berpikir. "Sudahlah... aku heran, dengan otak seperti ini kenapa kau bisa pintar sekali di sekolah."

"Heh?! Barusan kau bilang apa?! Menyebalkan!" Selanjutnya gadis kecil itu mendorong Sasuke sampai ia tercebur ke kolam.

.

.

.

Sasuke terlihat sedang berkutat dengan ponsel layar sentuhnya. Ia sedang menulis pesan.

To: Hinami

"Dapat medali emas"

Sesaat kemudian langsung ada jawaban.

From: Hinami

"Gimana lagi ya..."

To: Hinami

"Hanya bilang,"

From: Hinami

"Bagus, kita lagi di rest area"

Sasuke terlihat tersenyum membalas pesan singkat di ponselnya.

To: Hinami

Aku bisa lebih cepat ke kuil dari sini.

From: Hinami

"Kamu ngomong apa sih,"

To: Hinami

Aku hanya bilang, aku bisa.

Keasyikan Sasuke memandangi layar ponselnya diinterupsi oleh sang Coach, Yakushi Kabuto. "Bagaimana perasaanmu?" Sasuke kembali mengantongi ponselnya, menjawab pertanyaan sang coach dengan senyum yang sangat lebar. "Pasti tak bisa diungkapkan dengan kata-kata kan?" Sasuke hanya terkekeh mendengar perkataan Kabuto. "Besok kau harus semangat di 100 m ya!"

"Baik sensei!" Sasuke masih enggan melepas senyum bahagianya saat ini. Kabuto berbalik dan berniat mengambil langkah untuk meninggalkan Sasuke di sana.

"Ahh... tunggu sensei,"

"Ya ada apa?"

Sasuke menggaruk kepalanya yang tidak gatal, ia terlihat berpikir.

"Ah... tidak apa-apa."

Kabuto melanjutkan langkahnya, dan sekarang Sasuke tertunduk sambil menggenggam medali emas yang ia peroleh.

"Matte yo, Hinami-chan!" Sasuke berkata, nyaris seperti gumaman kecil menyerupai bisikan.

.

.

.

AUTHOR NOTES! WARNING!

Di sini, Hikari kembali dengan cerita baru... yosh yosh yosh!

Hmmm baiklah, Hinami memang karakter karangan saya, tapi jangan keberatan dulu reader-san! Ceritanya di sini Hinami itu kembarannya Hinata!

Untuk imajinasi, silahkan bayangkan Hinata adalah Hinata yang ada di Naruto Shippuden, dan Hinami adalah Hinata yang ada di Naruto The Movie ROAD TO NINJA.

Fisiknya sama tapi beda karakter, yah ini dia nantinya yang bakal membumbui cerita Joshikousei 2015!

Oh iya... Naruto belum muncul dulu ya! Nanti juga muncul...

Tolong review dong, biar aku semangat nglanjutin fic ini

Arigatou reader-san

See in the next chap!