Disclaimer:
Harvest Moon bukan punya saya
Tokoh-tokohnya bukan punya saya
Ceritanya punya saya
Warning:
Segala macam OOC, OOT, typo, alur kecepetan, bahasa gak baku, bahasa gak jelas, dan sebagainya
Cerita ini merupakan cerita lanjutan dari "Tiada Lagi Kesal di Matanya", "Spring's Confession", "Hadiah Musim Panas", "Menu Musim Gugur", dan "Di Tengah Dinginnya Musim Salju". Kalo charanya bisa banyak, saya bakal bikin satu cerita berchapter-chapter (?) dan bukan kaya gini =.=a yah, sudahlah~
Serial terakhir dari "Jack Patah Hati" X'D
Enjoy!
Tahun Baru Favorit
A JackxClaire story
by reynyah
Jack POV
Ah, aku lelah sekali pagi ini.
Hmm... mungkin bukan lelah. Lebih tepatnya, pagi ini aku merasa tidak bersemangat. Aku bangun pagi, sarapan, mandi, lalu bermain sebentar bersama anjingku. Setelah itu, aku mengambil madu dari pohon, menanami tanaman baru—musim salju sudah berakhir, jadi aku harus kembali beraktivitas—di ladangku, memberi makan hewan-hewan ternakku, dan sebagainya. Tak lupa, aku memandikan kudaku yang sudah dua minggu tidak kubersihkan lantaran aku sibuk menggali tambang.
Aku merasa lemas di pagi musim semi ini.
Aneh, ya? Memang aneh, sih. Harusnya aku bersemangat menyambutnya. Ini tahun baru!
Hmm... harusnya aku pergi ke bar hari ini.
Jujur saja, aku merasa malas dan lelah. Bahkan tadi malam saja aku tidak ikut menyaksikan terbenamnya matahari bersama teman-temanku yang lain. Aku benar-benar merasa tidak punya alasan lagi untuk hidup. Yah, sederhana saja. Satu-satunya alasan yang menjadikanku seperti ini adalah aku tidak bisa menikah.
Sedih mengakuinya, tetapi itu memang benar. Ann sudah menikah, Elli sudah menikah, Popuri sudah menikah, Karen sudah menikah, bahkan Mary juga sudah menikah. Lalu aku harus menikah dengan siapa? Aku tidak melihat ada gadis lagi di sini.
Yah, aku harus pasrah pada nasib.
Akhirnya, aku memutuskan untuk pergi ke Rose Square. Aku tidak mau pergi ke bar dengan risiko bertemu gadis-gadis itu. Lebih baik aku menghindari mereka dan menikmati kue nasi di Rose Square. Pada tahun baru seperti ini, Mineral Town memang mengadakan dua acara di dua tempat yang berbeda; bar dan Rose Square.
Maka aku melangkahkan kaki ke Rose Square.
Setibanya di Rose Square, aku melihat Anna, Basil, Sasha, Jeff, Lillia, dan banyak lagi orang-orang yang sudah berumur sedang mengobrol bersama sambil menikmati kue nasi yang disediakan Thomas sang walikota. Aku mengambil nasi yang sudah disediakan lalu mulai memakannya. Hmm... enak. Seperti tahun-tahun sebelumnya, pasti Gourmet yang memasak ini.
"Jack!"
Aku menoleh dan menemukan sosok Popuri dan Kai. Tunggu, Popuri dan Kai? Bukankah mereka hanya akan kembali saat musim panas? Kenapa di tahun baru yang jelas-jelas musim semi ini mereka sudah kembali?
Aku menghampiri mereka lalu menyapa, "Halo. Lama tidak bertemu, ya. Apa kabar?"
Popuri tersenyum kecil. "Kami baik-baik saja," jawabnya. "Oh ya, bagaimana dengan pengejaranmu?"
Aku mengerutkan dahi. "Pengejaran?"
Kai tertawa. "Maksud Popuri, apa kau sudah menikah sekarang?"
"Oh," balasku sambil tertawa. "Belum."
"Belum?" Popuri mengerutkan dahinya. "Lalu kau berencana untuk menikah dengan siapa? Karen atau Mary?"
Aku tertawa lagi. "Tidak keduanya."
"Kenapa?" tanya Kai yang sama herannya dengan istrinya.
"Mereka sudah menikah," jelasku.
"Karen dan Mary menikah?!" pekik Popuri.
Aku tertawa lagi, lagi, dan lagi. "Tentu saja bukan seperti itu," ujarku berusaha menjelaskan. "Karen menikah dengan Rick sedangkan Mary dengan Gray."
"Kakak menikah?!" pekik Popuri lagi. "Kenapa dia tidak bilang, ya?"
"Mungkin Rick tidak ingin mengganggu bulan madu kalian," ucapku dengan senyum.
"Mary dan Gray itu yang mana, ya?" tanya Kai. "Aku tidak hapal penduduk Mineral Town dengan baik."
"Mary itu temanku yang berkacamata, Kai," jelas Popuri. "Dia bekerja di perpustakaan, sedangkan Gray adalah cucu si pandai besi yang tinggal di depan peternakanku."
"Astaga, dua orang pendiam itu?" Kai terperanjat. "Ternyata mereka saling suka?"
Popuri dan aku tertawa kecil. "Jangan lihat seseorang dari luarnya saja, Kai," ucap Popuri geli.
"Lalu, ada apa tiba-tiba kalian kemari?" tanyaku pada mereka berdua. "Bukankah kalian sedang asyik berbulan madu?"
Popuri tertawa kecil. "Kami tidak akan melewatkan tahun baru di kota tercinta ini, tentunya," jawab Popuri. "Kami sudah tiba di sini sejak semalam kok, bahkan kami juga menghadiri acara malam tahun baru."
"Semua orang sudah tahu kami datang," lanjut Kai. "Kecuali kau, Jack. Tadinya kami pikir kau akan datang ke bar, nyatanya kami tidak melihatmu di sana. Akhirnya kami pergi ke sini."
Aku tersenyum. "Rupanya kalian sudah cukup mengenalku."
"Bagaimana bisa aku tidak mengenalmu?" tanya Popuri sambil berusaha menahan tawa. "Kai juga tahu itu."
Aku tersenyum. "Setelah ini, kalian mau ke mana?"
"Kami akan pergi ke air terjun Goddess," jawab Kai. "Mengenang tempat favorit Popuri."
Wajah Popuri memerah. "Yah, semacam itu."
Aku mengangguk. "Sampai nanti kalau begitu."
"Kau sendiri mau pergi ke mana?" tanya Kai.
"Aku? Mungkin ke pantai," jawabku. "Aku mau memancing."
"Bahkan saat libur pun kau bekerja?" tanya Popuri heran.
Aku mengangguk. "Aku kan, tidak punya siapa-siapa untuk diajak jalan-jalan seperti kalian."
"Oh..." Popuri menunduk malu.
Aku tertawa. "Ya sudah, aku pergi dulu, ya."
"Hati-hati," pesan Popuri dan Kai.
Claire POV
BRAK!
"AW!" seruku karena kaget dan kesakitan. Aku mengusap kepalaku yang sedikit pusing sebelum menyadari keberadaanku.
Tunggu.
Aku di mana, ya?
...
Ah ya, rumah Popuri dan Kai. Aku ada di kamar tamu mereka. Aku bangun terlalu siang. Aku baru tiba di sini tadi malam dan langsung tidur. Aku baru saja bangun.
Hmm... tampaknya mereka berdua sudah pergi untuk menikmati tahun baru di kota kelahiran mereka ini.
Lalu aku harus bagaimana?
Kusadari ada secarik kertas yang semalam tidak ada di atas meja sisi kasurku. Aku mengambil kertas itu lalu membaca isinya.
Aku dan Kai pergi ke bar untuk minum-minum bersama teman lama Popuri
Setelah itu kami akan pergi ke Rose Square untuk bertemu dengan teman lama
Kami tidak akan pulang sebelum gelap
Kalau kau ingin keluar, kami meninggalkan kunci cadangan di dekat pintu masuk
Kota ini punya pantai, gunung, air terjun, hutan, dan banyak lagi
Kalau kau mencari keramaian, kau hanya perlu keluar dari pantai
Jangan pergi jauh-jauh kalau tidak mau tersesat
Hati-hati, Claire
Aku menghela napas. Popuri memang selalu seenaknya. Yah, wajar saja sih, dia jarang mengurus sesuatu secara besar. Berbeda denganku yang seorang petani dan peternak. Sekalinya aku berbuat sesuka hati, peternakan dan pertanianku akan berantakan. Menyedihkan memang.
Akhirnya aku memutuskan untuk keluar dari rumah dan menghirup udara segar di pantai. Aku tidak akan keluar dari pantai, ah. Aku jarang-jarang berada di pantai. Lagi pula, aku tidak kenal dengan orang-orang yang ada di sini. Jadi, lebih baik memancing saja.
Aku keluar rumah lalu mengunci pintu. Setelah menyiapkan alat pancing serta kailnya, aku naik ke dermaga. Pantai begitu kosong hari ini. Yah, mungkin pantai bukan tempat favorit untuk penduduk Mineral Town pada tahun baru. Berbeda dengan penduduk di kota tempat tinggalku dulu yang menjadikan pantai sebagai tempat favorit untuk merayakan tahun baru. Aku tidak pernah ikut karena aku terlalu sibuk bekerja. Sekarang ini juga aku memutuskan untuk pergi dari sana karena biaya yang semakin mahal. Akhirnya, aku menjual semua hewan ternak serta tanah pertanianku dan memutuskan untuk pergi dari sana. Untungnya, aku bertemu dengan Kai—teman lamaku—yang hendak kembali ke kota kelahirannya demi merayakan tahun baru. Yah, aku sudah malas hidup di kota tempatku tinggal dulu sehingga aku memutuskan untuk pindah. Singkat cerita, aku ikut dengannya dan Popuri, istrinya.
Hmm... pantai di kota ini nyaman sekali, sungguh. Akhirnya, aku justru duduk di pinggir pantai sambil merendam kakiku. Yah, sekadar menghilangkan rasa jenuh.
Ketika aku hampir tidur karena terlalu asyik menikmati ombak yang menyentuh kakiku, seseorang menepuk pundakku. Spontan aku kaget dan menatap orang itu. Seorang laki-laki, bertopi, berpakaian mirip denganku? "Apa?" tanyaku.
"Sendirian?"
Aku mengerutkan dahi. "Kelihatannya bagaimana?"
"Sendirian."
Orang ini tidak bisa menyebutkan kata lain selain 'sendirian', ya? batinku sebal. "Ya, aku sendirian."
"Boleh aku duduk di sampingmu?"
Oke. Aku tahu pasti kalau aku tidak mengenal orang ini dan aku juga yakin seratus persen kalau dia tidak mengenalku. Lalu kenapa tiba-tiba dia sudah menepuk pundakku? Kadang, tidak, sering malah, aku tidak mengerti jalan pikiran laki-laki.
Akhirnya, aku hanya menjawab. "Silakan saja, pantai ini milik umum."
Laki-laki itu duduk di sampingku tanpa berkata apa-apa dulu. Ketika dia sudah duduk, tiba-tiba dia mengulurkan tangannya padaku lalu berkata, "Namaku Jack."
Aku menatapnya tanpa berkedip, bingung dengan kelakuannya yang aneh. Akhirnya, aku memutuskan untuk menjabat tangannya sambil berkata, "Aku Claire."
"Claire," gumamnya sambil mengangguk pelan. Dia melepas tanganku lalu sibuk mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Dia menggenggam satu barang yang entah apa itu. Kemudian, dia memberikan barang itu padaku. "Ini untukmu."
Aku menerimanya lalu menatapnya heran. "Apa itu?"
"Kue nasi," ucapnya sambil nyengir. "Selamat tahun baru."
Aku tertawa. "Ah, jadi sekarang benar-benar tahun baru?"
Dia mengangguk. "Makanlah."
Aku mengangguk lalu mulai menggigit kue itu. Hmm... "Enak," komentarku sambil mengunyah. "Kau yang membuatnya?"
Di luar dugaan, dia menggeleng. "Kue ini dibuat oleh Gourmet, ahli masak di kota ini. Tiap tahu baru, kue ini memang selalu menjadi santapan wajib."
Aku manggut-manggut. "Kau sudah lama tinggal di sini, ya?"
"Yah, sekitar empat atau lima tahun," jawabnya. "Cukup lama sebenarnya. Kau sendiri bagaimana? Memutuskan untuk tinggal di sini?"
Aku menatapnya heran. "Dari mana kau tahu asalku bukan dari sini?"
"Semua orang di kota ini saling kenal," jawabnya. "Aku tidak mengenalmu, jadi kau pasti orang baru di sini."
Aku manggut-manggut lagi. "Apa pekerjaanmu?"
"Petani dan peternak."
Aku mengangkat sebelah alisku. Menarik juga, dia punya pekerjaan yang sama denganku. "Wah," ucapku. "Sama denganku."
Dia menatapku. "Oh ya?"
Aku mengangguk. "Tapi itu dulu."
"Dulu?"
"Ya, aku menjual peternakan dan pertanianku," jelasku. "Semuanya kujual karena aku hendak pindah. Aku datang ke sini bersama Kai dan Popuri, jadi tidak mungkin aku membawa seluruh ternakku ke atas kapal mereka. Bisa-bisa kami kecelakaan di tengah perjalanan. Aku ini sudah cukup merepotkan mereka."
"Begitu rupanya," tanggap Jack. "Kalau kau rindu mengurus ternak dan menyirami tanaman, kau bisa datang ke rumahku hanya untuk bertani dan beternak."
Aku tertawa. "Aku bahkan tidak tahu rumahmu di mana."
"Ah, semua orang di sini tahu rumahku," jawabnya. "Mau kutunjukkan sekarang?"
Aku diam sejenak. "Boleh?"
"Tentu saja," ujarnya sambil mengangguk. "Saat ini, semua orang sedang minum-minum di bar. Rose Square sudah kosong. Tidak akan ada yang melihatmu, kalau itu yang kau khawatirkan."
Aku tersenyum. Rupanya dia mengerti maksudku. "Baiklah, aku ikut."
Jack tersenyum lalu berdiri. "Kalau begitu, ayo."
Aku ikut berdiri. "Hmm... bolehkah aku memintamu untuk menunjukkan tempat-tempat yang ada di kota ini?"
Jack mengangguk. "Kau mau mulai dari mana?"
"Dari pantai ini saja."
Jack mengangguk lalu menunjuk sebuah bangunan dari kayu. "Pondok itu adalah tempat tinggal Zack dan Won. Kalau kita hendak menjual sesuatu, kita bisa hubungi Zack."
"Bagaimana dengan Won?"
"Ah, dia menjual apel," bisiknya. "Tapi sebaiknya jangan beli apel darinya. Kau harus hati-hati sebab dia pintar menipu."
Aku tersenyum kecil. "Lalu apa lagi?"
"Di sebelah rumah Zack dan Won ada rumah Kai dan Popuri sekaligus restoran milik Kai," jelasnya. "Aku tidak perlu menjelaskan detail karena kau sudah tahu. Oke, sekarang kita pergi ke Rose Square!"
Aku mengangguk lalu mengikutinya. Kami keluar dari pantai lalu tiba di sebuah lapangan yang luas dan berbentuk persegi. "Ini Rose Square," jelas Jack. "Tempat ini biasa digunakan untuk festival-festival Mineral Town seperti festival memasak, balap kuda, ayam, sapi, dan lain-lain. Pokoknya, ini tempat umum. Kalau tidak ada festival, biasanya tempat ini akan kosong, seperti sekarang."
Aku mengangguk lagi. "Lalu selanjutnya ke mana? Kanan atau kiri?"
Jack menunjuk satu arah. "Ke arah sana saja. Aku akan menunjukkan isi kota lebih dulu padamu. Setelah itu, aku akan menunjukkan gunung, air terjun, dan gua tempat menambang."
Kedengarannya asyik. "Baiklah."
Kemudian kami berjalan.
Jack POV
Aku membawa Claire ke gereja, klinik, swalayan, perpustakaan, bar, penginapan, peternakan Yodel, peternakan Poultry, tempat si pandai besi, peternakanku, tempat si tukang kayu, air terjun Goddess, gua dekat air terjun, kolam spa, kolam besar tempat Kappa muncul serta gua musim salju, dan yang terakhir adalah Mother's Hill alias Gunung Ibu atau apalah namanya. Setelah selesai melihat semua itu, aku membawanya ke rumahku dan mengajaknya makan malam bersama.
"Apa tidak merepotkan?" tanya Claire ketika kami ada di depan pintu rumahku.
Aku menggeleng. "Sama sekali tidak."
"Tapi... aku sudah memintamu menunjukkan tempat-tempat yang ada di sini."
"Sudahlah," ucapku. "Aku tidak keberatan, kok. Sekarang, lebih baik kau masuk dan hangatkan diri. Kau kelihatan lelah dan kedinginan."
Claire mengangguk lalu mengikutiku masuk. Ketika kami masuk, kami disambut oleh anjingku—namanya Og—yang tampaknya merindukan majikannya ini. Aku memeluknya sejenak lalu berkata, "Temani dulu tamu kita, ya? Aku akan memasak."
Og melompat dan menghampiri Claire. Claire tersenyum lalu memeluk Og yang umurnya sudah empat tahun itu. "Anjingmu lucu sekali," pujinya. "Aku jadi ingat anjingku dulu... namanya Puff."
"Dulu?" balasku sambil menyiapkan tempura. "Memangnya apa yang terjadi?"
"Yah, dia mati," jawab Claire sambil bermain bola bersama Og. "Aku tidak ingat kejadian persisnya. Pokoknya, aku kehilangan dia saat sedang membawanya jalan-jalan. Begitu aku menemukannya, dia sudah mati."
"Aku turut sedih," ucapku. "Kalau kau memang merindukan Puff, kau boleh bermain dengan Og setiap hari."
Claire tersenyum. "Terima kasih banyak, Jack. Kau baik sekali."
Aku mengangguk mendengar kata-katanya. "Selesai!" seruku sambil mengangkat dua mangkuk tempura. "Saat ini aku hanya punya tempura, tidak apa-apa, kan?"
"Tidak apa-apa," ucap Claire sambil duduk di kursi meja makan. "Aku sudah banyak merepotkanmu, aku tidak mau membuatmu lebih repot lagi."
Aku tertawa. "Sudah kubilang aku sama sekali tidak keberatan," balasku sambil menaruh satu mangkuk tempura di hadapannya. Aku duduk lalu berkata, "Nah, mari makan!"
Kami mulai makan. Sesekali aku mengajaknya bicara soal peternakan dan dia menimpali dengan masalah cuaca serta keuangan. Dia juga bercerita soal kepindahannya ke Mineral Town. Rupanya, dia pergi dari tempat asalnya karena tidak sanggup membiayai peternakannya. Harga barang-barang di sana mahal dan dia tidak punya uang yang cukup banyak untuk itu.
Tanpa kami sadari, waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam.
"Astaga! Sudah malam!" Claire terperanjat lalu buru-buru berdiri. "Terima kasih untuk makan malamnya, Jack! Aku harus kembali ke rumah Kai dan Popuri!"
"Tunggu!"
Claire menghentikan langkahnya lalu menatapku bingung. "Ada apa?"
"Kalau kau tiba di sana semalam ini, mereka pasti sudah mengunci pintunya," jelasku. "Lagi pula, memangnya kau mau mengganggu mereka malam-malam begini?"
Claire terdiam sejenak. "Lalu saranmu apa? Aku menginap di sini? Tidak mau!"
"Tentu saja tidak," ucapku lalu tertawa. "Aku punya rumah kecil di pusat kota, dekat dengan rumah Saibara si pandai besi. Kalau kau mau, kau boleh menginap di sana malam ini."
"Menginap di rumah kecilmu?"
"Yah, di sana memang tidak ada makanan," lanjutku. "Jadi, besok pagi aku akan mengantar sarapan untukmu."
Mata Claire membulat lalu membesar. "Pertama, kau sudah membawaku berkeliling Mineral Town. Kedua, kau sudah mengajakku makan malam dan membuat makan malam untukku. Ketiga, aku menginap di rumah kecilmu. Keempat, kau mengantar sarapan untukku! Itu terlalu banyak untuk ukuran orang yang baru saling kenal, Jack!"
Aku tersenyum kecil. "Tidak apa-apa, kok," balasku. "Kau kan, tamu. Wajar saja kalau aku bersikap seperti itu pada tamu, bukan?"
Claire mendesah. "Apa benar-benar bukan masalah?"
"Sama sekali bukan," balasku. "Ayo, kita berangkat sekarang."
"Kau ikut?"
"Tentu saja," jawabku. "Mana mungkin aku membiarkan perempuan sepertimu berjalan sendirian malam hari begini? Ayo pergi!"
Bersambung...
AHA! Yah, kalian bisa kira-kira kelanjutannya bakal gimana, kan~
Rey sengaja gak bikin OS kali ini soalnya mau bikin kalian penasaran XD sekaligus cerita ini emang panjang juga, jadi agak sulit kalo dibikin OS...
Sampai jumpa di chapter berikutnya!
