Balik ke fandom Naruto –saya yakin ngga ada yang kenal saya. XD Silahkan dibaca.

.

.

Disclaimer: Masashi Kishimoto

Summary: Aku, Uchiha Sasuke, pemuda SMA yang jenius dalam akademik maupun seni. Rasanya dunia milikku sendiri. Ya, sendiri. RnR...

.

.

.

"Sasuke!" panggil seseorang di halaman sekolah, membuatku memutar kepala.

"Suigetsu, tumben datang pagi," komentarku.

"Seharusnya aku yang berkata begitu. Biasanya kau begadang, ya," kata Suigetsu. Aku membalik badan. Berjalan ke kelas dengan Suigetsu yang mengekoriku.

"Ngga ada alasan begadang. PR ngga ada. Film untuk ditonton, kehabisan," jawabku.

"Sasuke, ada lukisan terbaru ngga?" tanya si rambut putih yang selanjutnya kita juluki saja Sui -disingkat.

"Ngga tuh. Ngga ada inspirasi," jawabku.

"Aku ngga begitu ngerti sih lukisan abstrakmu. Hahaha," tawa Sui.

"Hei, aku bisa melukis abstrak dengan menggambarkan wajahmu loh," kataku.

"Yang bener? Aku pingin liat."

"Nanti kuhadiahkan untukmu saat ulang tahunmu."

.

"Sasuke-san!" panggil seseoran. Dari suaranya, aku tahu.

"Ada apa, Naruto?" tanyaku. Dia Naruto, anak kelas XI IPS 1. Walau sebenarnya aku benci anak IPS, tapi dia lumayan asik -untuk dijahili dan ditindas.

"Ajari aku Akuntansi, ya," pintanya.

Aku melotot. "Hei, kau salah makan?"

"Tidak."

"Masa anak IPS minta diajarin Akuntansi sama anak IPA? Aku ngga dapat pelajaran itu."

"Tak aneh kalo kau itu anak XI IPA 1, kan. Kamu kan jenius. Ayolah, aku ketinggalan pelajaran waktu ngga masuk," kata Naruto.

"Minta anak IPS lain, ato gurunya," suruhku.

"Ngga ada yang mau. Gurunya sok sibuk. Lagi pula, kamu kan pinter ngajarin orang," kata Naruto.

"Sasuke! Jaketmu, apa kau mau membuangnya?" kata Sui menghampiriku. Menyodorkan jaketku.

"Oh, maaf," aku mengambilnya.

"Ada apa, Naruto?" tanya Sui.

"Nah, dia juga orang jenius di kelas XI IPA 1," aku menyodorkan Suigetsu. "Dia pasti mau."

"Apaan sih, Sasuke?" tanya Sui bingung. Aku menjelaskannya. Dia membisikanku sesuatu. Aku tersenyum.

"Aku tak memikirkan itu," kataku.

"Hei," teriak Naruto, merasa dicuekin.

"Aku akan mengajarimu. Dengan satu syarat," kataku.

"Apa?" tanya Naruto. Aku bisa melihat matanya yang bersinar. Aku merangkulnya. Menunjukkannya pada seorang gadis yang duduk di bangku halaman. Seorang perempuan berambut senada dengan Naruto.

"Tembak dia," suruhku.

"Apa? Bagaimana kalo aku dipenjara?" tanyanya bodoh. Aku mendorong sisi kiri kepalanya.

"Goblok. Maksudku, pacarin dia. Mau ditolak atau diterima, i don't care," kataku.

"Tapi..."

"Do it or leave it?"

"O...oke." Naruto menjawab. Aku dan Sui tersenyum iblis. Naruto berjalan mendekati gadis yang namanya Ino, kelas X. Hahaha, ya, kelas X.

"Hei, Ino. Kayaknya kamu dicariin tuh," kata teman Ino yang bersamanya dari tadi.

"Ino," panggil Naruto.

"Oh, Naruto-san. Ada apa?" tanyanya. Naruto berlutut. Ino bingung. Aku menahan tawa. Temannya apa lagi.

"Maukah kau...jadi pacarku?" tanya Naruto. To the point. Aku melihat tembok yang tak terlalu tinggi di belakang kursi taman itu -hampir sejajar dengan tinggi sandaran kursi taman.

Di atas tembok itu, aku melihat tempat minum plastik yang masih tersisa minuman -kerjaan orang tak bertanggung jawab. Aku memikirkan sesuatu.

"Jika aku Ino, akan kuambil sampah minuman yang ada di belakangnya itu, dan kusiramkan pada Naruto," kata Sui.

"Kita sepikiran," kataku. Dan benar saja, Ino menyiram Naruto.

"Maaf, Senior. Siapa pun kau, dengan kata seperti itu, kau lebih gila dari guru Matematikaku," kata Ino.

"Maaf," kata Naruto berdiri, berjalan menuju aku dan Sui.

"Sudah kulakukan," kata Naruto.

"Bagus sekali," aku tak bisa menyembunyikan tawa -Sui juga.

"Ajari aku sekarang."

"Sekarang? Aku mau main golf dengan Suigetsu dan Shino. Aku akan mengajarimu besok," janjiku.

"Eh, tapi kau sudah berjanji. Besok aku ada ulangan Akuntansi," katanya.

"Aku ngga janji hari ini, kan."

"Tapi. Tolonglah. Akan kulakukan apa pun."

"Ngga usah." Aku dan Sui berlalu. Merasa bersalah juga. Tapi, peduli amat.

.

Di rumahku yang seperti istana ini. Kosong melompong. Hanya dua pembantu yang membukakan pintu. Kadang kupikir, buat pesta saja supaya rame. Tapi jika kedua orang tuaku -orang yang sudah terlalu tua- itu datang, ceritanya langsung the end. Tapi muncul keributan dari belakangku saat aku menapakkan kaki di dapur. Di area ruang makan. Yah, ruang makan dan dapur hanya dibatasi tembok setinggi satu meter dan ada celah yang menghubungkannya.

"Kenapa kau berjalan dengan pemilik perusahaan Hyuuga itu, Mikoto?" tanya, ayahku. Agak keras.

"Memangnya kenapa? Cuma teman lama," kata ibuku.

"Kau tahu aku tak mau hubungan aliansi kita berakhir hanya karena masalah kecil ini, kan!"

"Tapi tak ada kaitannya dengan masalah bisnis!" Astaga. Aku lupa membawa handycam. Ini patut diabadikan -walau sudah terjadi ribuan kali. Aku mengambil gelas dan menuangkan air putih ke dalamnya. Berusaha meminumnya.

"Lagi pula kita kan akan menjodohkan anak mereka dengan Sasuke! Tak perlu cemburu begitu," kata ibuku.

BRUSSSHH!

Aku menyemprotkan air -kaget. Ayah dan ibuku menoleh ke arahku.

"Sasuke, sejak kapan kau di situ?" tanya ayah.

"Sialan. Aku sudah ada di sini sebelum kalian!" kesalku. Memangnya aku invisible? Ibuku hanya memandang ayahku, lalu pergi keluar.

"Mikoto!" teriak ayah. Dia menatapku. Lalu pergi. Apa sih? Aku merasa main sinetron. Tapi cuma aku yang waras. Hahaha. Kau juga gila, Sasuke. Aku merasa hp-ku bergetar.

"Halo, Sui. Ada apa?" tanyaku.

"Jadi ngga nih?" tanya Sui di seberang. "Aku sama Shino udah di sini."

"Sorry, aku ada inspirasi buat lukisan. Judulnya Iblis dan Setan," kataku.

.

Di ruang seniku. Melukis dengan tenang. Tak ada angin yang mengganggu konsentrasiku. Atau apa pun. Semua inderaku terkunci. Hanya mata dan tanganku yang bekerja. Konsentrasi.

Aku melukisnya. Kali ini bukan lukisan abstrak. Aku bukan jenius yang bisa memikirkan lukisan abstrak dalam waktu sehari.

"Oh, sial. Aku kehabisan cemilan!" kesalku. Walau konsentrasi, aku perlu mengunyah sesuatu. Aku pernah mengunyah kuasku sendiri! Rasanya ngga enak.

Aku membuka pintu ruangku yang kira-kira tingginya tiga kali lipat dari tinggiku. Aku melihat sosok yang berdiri di depanku. Reflek aku mundur. Kaget setengah mati. Apa lagi aku sedang menggambar Devil and Demon.

"Kenapa Anda kaget begitu?" tanyanya.

"Kabuto! Jangan muncul tiba-tiba begitu!" teriakku. Kau hampir menghancurkan namaku!

"Maaf, Tuan."

"Jangan panggil aku tuan lagi. Ada apa kau kemari?"

"Saya hanya ingin main ke rumah tuan." Dia masuk. Dia ini Yakushi Kabuto. Mantan kepala pembantu di rumah ini. Dia dipecat gara-gara hal kecil -melindungiku yang merobek kertas sampah di ruang ayah. Padahal dia pengasuhku dari kecil.

"Lukisan abstrak yang bagus," katanya, melihat koleksi lukisanku di dinding. Aku ngga menanggapinya.

"Sasuke! Keluarga Hyuuga akan datang! Bersiaplah! Kamu di mana?" teriak mamaku dari luar.

"Masa ada yang berkunjung siang hari?"

"Wah, kalau begitu saya permisi dulu ya," kata Kabuto.

"Cepat sekali main-mainnya."

"Anda masih kangen?" tanyanya. Aku merinding.

"Lagi pula saya masih ada kerjaan," lanjutnya. Ia berjalan mendekati pintu.

"Oh, iya. Kabuto..." aku memanggilnya, sebelum ia membuka pintu. Ia menoleh. "Apa kerjaanmu sekarang?" tanyaku. Kabuto tersenyum, lalu membuka pintu, dan keluar. Menutup pintu kembali.

"Kurasa itu bukan jawaban. Apa pertanyaanku menyakitkannya?" gumamku.

"Sasuke! Di mana kamu? Jawab dong," teriak ibuku membuatku keluar ruangan dan ingin berkata, "Ini bukan hutan, Mom!"

.

"Kau harus bersikap sopan pada mereka ya. Ini pertama kali kau bertemu keluarga Hyuuga, kan," kata mama.

"Ya, ya, ya," kataku dengan nada malas.

"Fugaku! Apa mereka sudah..."

"Mereka sudah datang! Itu suara mobil mereka," kata ayah. Mama menarikku menuju ruang tamu untuk menyambut kedatangan mereka.

"Selamat datang, Hiashi-san," sambut ayahku. Memeluknya.

"Wow. Rumah yang besar ya," kata orang yang namanya Hiashi. Ia menyerahkan tailcoat dan topinya pada para pelayan. Ia bersama istri dan seorang putri.

"Ayo masuk ke ruang makan," ajak ayahku.

Ruang makan yang agak -sangat- luas. Kau bisa menjadikannya kebun bunga -jika kuizinkan. Mereka mengambil tempat duduk masing-masing. Ayah di tempat duduk utama. Aku di sebelah kanan ibuku, berhadapan dengan gadis remaja berambut panjang.

"Kenalkan, Hiashi-san. Ini istriku, Mikoto Uchiha. Yang itu anakku, Sasuke Uchiha," ucap ayahku. Hiashi menatapku dalam-dalam. Membuatku ngga nyaman.

"Apa kita pernah ketemu? Wajahmu familiar sekali," katanya.

"Aku tak tahu. Sepertinya aku juga merasa begitu."

"Apa kau sering main golf?" tanyanya.

"Tak terlalu."

"Oh, come on. Anakku ini memang memiliki wajah pasaran," kata ayahku. Kau terlalu jujur!

"Ngga mungkin. Aku merasa familiar dengan wajahnya." katanya. Aku berpikir.

"Astaga!" aku kaget.

"Ada apa?" tanya mereka kompak.

"Ng...nggak ada apa-apa," aku berkata. Senyam-senyum sendiri. Aku baru ingat, Hiashi itu orang yang membeli lukisanku dengan harga mahal di pameran lukisan. Aku kadang muncul di publik dengan penampilan serba tertutup dan nama julukan 'Rainsword'. Supaya orang tuaku ngga tahu kalau aku jadi pelukis. Aneh kan. Orang tuaku ngga tau aku pelukis, padahal aku punya dua ruangan khusus untuk melukis. Betapa hebat dirimu, Sasuke. Apa mereka tau kamarku di mana?

"Ayo, mari makan," kata ayahku.

.

Sehabis makan, ayah mengajak Hiashi berkeliling. Ibuku dan istrinya Hiashi ngobrol di ruang tamu.

"Sasuke, ajak Hinata ke taman ya," kata ayah.

"Eh, apa? Ngga mau!" aku menolak.

"Biar mereka ikut kita aja. Aku penasaran, siapa Sasuke," kata Hiashi. Gawat!

.

Setelah melihat ruang baca yang besar itu, mereka sampai di depan ruang. Ruanganku! Hiashi tertarik pada pintu yang besar dengan ukir-ukiran yang menurutku keren.

"Ini ruang apa?" tanya Hiashi.

"Ruang ini kuberikan pada Sasuke. Aku tak tahu dia menggunakannya untuk apa," kata ayah.

"Ah, cuma gudang. Dulu aku gunakan untuk panggung opera untuk latihan drama sekolah," kataku. Kalau aku ngga bilang untuk panggung opera, dia pasti nanya kok besar banget gudangnya?

"Bolehkah aku melihatnya?"

"Ta...tapi."

"Tentu saja," potong ayahku.

"Cuma gudang kok," aku berusaha. Tapi ayah memberikanku tatapan maut. Terpaksa.

Aku merogoh saku. "Astaga. Aku sedang menduplikatnya. Aku tak membawa kuncinya." aku berbohong

"Yah, sudahlah," aku mendengar nada kecewa dari kata-katanya. Satu ruang selamat! Kami pergi.

CREEKK!

Semua melihat ke arah suara. Kunci ruangku jatuh. Kunci pengkhianat!

"Kunci apa itu?" tanya Hiashi.

"Yah, kunci pagar, kunci ruang tamu, dapur, perpus, ruang keluarga, kamar tidur, dll."

"Apa ada kunci gudang di sana?" tanyanya.

"Tentu tidak!" aku berkeringat.

"Masa sih?" ia mengambil kunci itu dan mencoba semuanya di pintu ruangku. Sialan.

"Sasuke. Apa kau menyembunyikan narkoba di dalam?" tanya ayah.

"Tentu tidak!" Enak saja. Sudah ah main-mainnya.

CKLEEKK!

Pintu terbuka. Hiashi mendorong dua sisi pintu.

"Wow!" cewe bermata lavender itu berkata. Kupikir dia bisu. Ayah, Hiashi, dan anaknya Hiashi masuk ke dalam. Melirik sepanjang tembok yang berhiaskan lukisan.

"Itu lukisan duplikat Leonardo da Vinci. Ada juga Van Gogh. Dan beberapa lagi. Lukisan Rainsword juga ada," kataku.

"Kau belajar melukis?" tanya Hiashi melihat kanvasku, lukisan Iblis dan Setan yang belum jadi.

"Begitulah." Semoga dia ngga ingat.

"Aku ingat," dia berjalan ke arahku. Ayah yang sedang menggenggam sebuah lukisan, memandang Hiashi.

"Kau Rainsword!" dia mengguncangkan tubuhku. Yah, ketahuan deh.

To Be Continued

Saya tunggu review-nya. Ayo di-reviewwww. +sujud2+. Sampai jumpa di chapter depan.