.

Mystic Messenger (c) Cheritz

.

"Apa ada yang bernama Kang Jaehee di sini?"

Perempuan berambut ikal panjang itu menoleh. Seketika desiran memori menyapu pandangannya ketika saling bertatapan dengan sang penyapa. Ia berkedip, meyakinkan diri sendiri kalau yang dilihatnya adalah orang yang dulu benar-benar dikenalnya.

Ia mengulas senyuman tulus. "Kau masih belum bisa mengenali siapa asistenmu, Tuan Han?"

.
.

"Kau tahu..." Jumin bergumam. Kedua tangannya ditangkupkan di hadapan sebuah gelas berisi wine. "... agak aneh melihatmu dengan rambut panjang seperti itu."

Jaehee menghela, kemudian berbicara. "Semua yang menemuiku juga berkata seperti itu."

Menit demi menit kemudian berlalu tanpa suara sedikitpun yang keluar dari mulut keduanya, namun semua enggan untuk berkata. Mereka tak bosan ataupun lelah berdiam diri untuk belasan menit lamanya. Sudah cukup bagi keduanya untuk saling bertegur sapa setelah sekian lama, tak perlu obrolan panjang ataupun makan malam berkelas seperti sediakala.

Mungkin memang tak ada hubungan romansa di antara sang pewaris dan mantan asistennya. Hanya saja, entah karena alasan apa, ada derit kecil di hati yang mengetuk keduanya untuk tak hanya diam atau bercengkrama. Baik Jumin maupun Jaehee merutuk diri sendiri untuk begitu saja melepas relasi yang telah dibangun dua tahun lamanya. Memang alasannya tidak sepele, tapi lihat. Hanya ada kecanggungan yang merelungi ruangan tempat mereka berada sekarang.

Jaehee ingin sekali lagi mendekap dokumen-dokumen yang menjadi penyebab kurang tidurnya ia tiap malam. Ia ingin kembali meminum kopi tiap pagi untuk hari-harinya yang melelahkan. Bahkan Jaehee rela melihat Elizabeth yang menebarkan bulu-bulunya di seluruh apartemen. Ia tak ingat kapan terakhir kali Jumin memencet bel apartemennya tengah malam hanya untuk kucing kecilnya. Jaehee rindu perasaan kesal yang ia rasakan saat memutar kenop pintu, entah terpaksa atau tidak mempersilakan bosnya masuk.

Sekali saja. Biarkan aku merasakan hal itu lagi.

Mungkin Jumin tak sadar seberapa kejamnya ia memperlakukan Jaehee; dengan menitipkan Elizabeth nyaris tiap hari, menyuruhnya mengurus ini-itu, atau mengganggu waktu tidurnya untuk perbincangan yang tak berguna. Jumin pantas menyebut dirinya beruntung untuk memiliki Jaehee yang setia berada di sisinya untuk dua tahun lebih, menghadapi keegoisan dirinya. Untuk melihat senyuman Jaehee yang menyapanya di kantor tiap pagi, atau wajah lelahnya setelah bekerja penuh hari itu, rasanya ia cukup menyesali perbuatannya.

Maafkan aku.

.

fin

.

salah satu yang busuq di antara ff-ff busuq'''((

—Maicchi—