Hedone.

Tidak ada yang lebih buruk dari hari ini.

Myungsoo membenarkan letak tali selempang dari tasnya yang kelebihan muatan, ponselnya lagi-lagi bergetar untuk yang kesekian kali dikarenakan e-mail yang tidak kunjung henti Ia terima. Ia seharusnya sudah berada di depan toko buku miliknya saat ini, professor dan calon kliennya pasti sudah ada disana saat ini. Moodnya sedang baik hari ini, benar-benar baik. Tidak ada yang lebih menyenangkan dari terjaga semalaman untuk menyelesaikan pekerjaan dan bangun dengan sakit kepala yang sangat hebat. Tidak terbayang olehnya jika pekerjaan satu file lagi – satu lagi – sedikit lagi akan terus berlanjut sampai ke e-mail lainnya dan e-mail yang lainnya lagi. Pada akhirya ia terjaga semalaman dan baru menutup mata selama 3 jam, beberapa menit setelah matahari terbit.

Myungsoo sempat yakin hari ini tidak akan jadi lebih buruk. Jika saja kedai kopi langganannya tidak tutup karena bangkrut dan ia terpaksa memutar jalan untuk mencari kedai kopi lain. Ia tidak sempat membaca papan nama kedai kopi tersebut dan langsung menuju antrian yang secara mengejutkan lumayan panjang. Myungsoo meraih ponsel yang ia letakkan jauh di dalam saku celananya dengan kerepotan, ranselnya yang berat menarik bagian bahu sweaternya turun dan kacamatanya melorot hampir jatuh dari batang hidungnya. Ia memeriksa dan membalas beberapa e-mail penting dari teman dan koleganya, entah sejak kapan ia sudah berada di depan counter.

"Ada yang bisa-"

"Kopi, satu saja." Myungsoo memotong perkataan barista atau baristo penjaga counter itu, ia memesan tanpa menengadahkan kepalanya, konsentrasinya secara penuh tertuju pada ponsel yang digenggamnya.

"Kopi yang bagaimana?" laki-laki di balik counter itu bertanya lagi.

"Hanya kopi biasa, hitam, yang cepat."

"Baiklah, hanya kopi biasa, hitam, yang cepat, satu saja." Laki-laki itu menyahut, Myungsoo dapat merasakan ia mencoba menahan tawa, sesuatu yang dilakukan atau yang dikatakannya jelas sekali membuat orang itu terhibur. Ia dapat mendengar logat aneh yang jelas sekali bukan berasal dari daerah lokal Korea, kata-kata yang keluar dari lidahnya kaku tapi lancar. Seperti orang yang sudah lama berada di luar negeri dan terus bicara bahasa asing. Ia mendongak, cukup terkejut karena yang dilihatnya bukan remaja berjerawat yang sedang sedang mati-matian kerja sambilan untuk tambahan uang kuliah. Yang ia lihat adalah seorang laki-laki, tinggi dengan rambut yang disisir rapih ke belakang, dapat dilihat dari senyum bisnisnya yang terlatih ia adalah orang yang terdidik. Tidak lebih tua dari dirinya sendiri, mungkin usianya tidak lebih dari 30 tahun. Laki-laki itu mengangkat satu alis yang menimbulkan gelombang seperti seorang bangsawan, senyum bisnis masih terlukis sempurna diwajahnya. Secara keseluruhan ia terlihat sombong dan menyebalkan.

Myungsoo, tanpa mau tahu lebih jauh, memutuskan ia membenci orang ini.

"Akan segera kubuatkan." Ia berkata.

Myungsoo mengedarkan pandangannya pada tempat itu, dekorasinya memancarkan kesan seperti musim gugur. Furniturenya dipilih secara baik, seluruhnya berwarna gelap tetapi ada banyak dekorasi dengan warna cerah di dinding dan meja. Perpaduannya seperti musim semi yang perlahan-lahan menjadi layu. Ada tulisan 'No Laptop at breakfast hour' berwarna merah terang di salah satu dinding. Myungsoo baru saja akan mengatakan take out saat melihat si baristo mengambil gelas berwarna hijau tua yang kelihatan seperti hitam, ia mengisinya dengan kopi hitam dan menyalakan mesin foam.

"Kami tidak menyediakan layanan take out dan delivery."

"Bahkan tidak untuk orang yang sedang terburu-buru?"

"Kopi yang enak selalu pantas mendapatkan waktu untuk dinikmati." Si barista berkata, dan Myungsoo sekali lagi memeriksa ponselnya setelah mengecek jam tangannya. Ia menggigit bibir bawahnya dengan keras sampai merasakan sakit. Ia tidak yakin punya nyali yang cukup untuk membuat professor dan kliennya menunggu 15 menit lagi.

"Bagimana jika kau duduk dan aku akan mengantarkannya ke mejamu? Antriannya sudah mulai panjang lagi."

"Hmfh."

Myungsoo mendengus. Ia melihat daftar harga dan sedikit terkejut tapi kemudian meletakkan uang yang jumlahnya cukup untuk membayar segelas kopi yang harganya terlalu mahal dan sedikit tips. Memilih satu meja kotak dengan satu kursi yang berada di dekat jendela, Ia meletakkan ranselnya di meja kemudian mulai berkutat dengan ponselnya lagi.

Myungsoo menggigit bibirnya lagi, kali ini ia bisa merasakan rasa asin dan amis dari darah. Ia mengecapnya, tidak berusaha mengelapnya dengan tisu yang jelas-jelas tersedia di meja. Sebagai seorang penerjemah ia selalu bekerja di bawah tekanan. Seharusnya ia mengerjakannya dengan giat di tanggal-tanggal awal jauh sebelum deadline. Tapi Myungsoo sering tidak sadar akan waktu, ia adalah seorang yang selalu menunda-nunda pekerjaan. Bersantai di depan dan kelelahan di akhir. Buku yang dikerjakannya kali ini adalah sebuah buku kedokteran berbahasa Jerman. Ia menguasainya tapi tidak menyukainya. Jerman adalah bahasa paling sulit yang ia pelajari. Ia tidak ingat lagi alasan mengapa ia memilih jurusan Sastra Jerman saat kuliah.

Setelah beberapa saat si baristo menyebalkan datang dan membawakan sebuah kopi dan sebuah pastry yang asapnya masih mengepul. Barista itu meletakkan gelas hijau tua dan piring pastry itu dimeja. Myungsoo memandang pastry itu, disiram saus keju dan ditaburi daun basil, dapat dilihat jika didalamnya terdapat daging ham dan mustard. Ia mendongak melihat si barista.

"Aku tidak pesan ini." Ia berkata.

"Selalu ada pastry dan cake gratis di hari Rabu." Barista itu menunjuk papan tulis di dekat pintu masuk, tertulis jelas disana, dengan kapur berwarna pink.

"Uhm, baiklah." Ia menggenggam mug hijau itu dengan kedua tangan dan menyesapnya secara perlahan sambil berharap baristo itu segera pergi.

Myungsoo merasakannya sedikit, kemudian melihat permukaan kopi itu. Foam dengan bentuk cream yang aneh, hampir seperti daun tapi itu jelas-jelas sesuatu yang lain. Myungsoo dapat merasakan cinnamon, susu dan rasa pahit akar tumbuhan yang pernah ia rasakan sebelumnya. Perpaduannya sempurna, rasanya manis dengan sentuhan pahit tipis di akhir yang tidak mau menghilang dari mulutnya. Secara keseluruhan sangat enak. Tapi barista itu menyebalkan dan Myungsoo tidak ingin memberinya kepuasan dengan mengakui jika ia lumayan menyukai kopi itu.

"Aku juga tidak memesan ini." Ia berkata, nadanya datar tapi mempovokasi.

"Yah, secangkir kopi enak dapat membuat hari buruk jadi lebih baik." Barista itu masih tersenyum, jelas sekali ia terlihat bangga dengan kopi buatannya. Tapi Myungsoo tidak terkesan, ia kesal.

"Aku tidak minta yang ada susunya."

Senyum si barista tetap bertahan, tapi alisnya sedikit turun. Myungsoo diam-diam bangga pada dirinya sendiri karena berhasil membuat si barista kesal.

"Susu dapat membuatmu tenang." Ia berkata sambil mengambil tas kertas coklat untuk tempat pastry. Tulisan dengan bahasa latin menjadi hiasan yang mewah di tempat pembungkus itu.

"Bagaimana jika aku ingin kopi hitam untuk membuatku terjaga?"

"Kafein yang membuatmu terjaga, bukan warna kopinya."

"Oh." Myungsoo menggenggam cangkir kopinya lagi, menyesap dengan perlahan. Masih berharap barista itu segera pergi. Ia melirik seragamnya, kemeja coklat susu tanpa dasi dan lengan yang digulung asal-asalan sampai siku. Apron hitamnya diikat rendah dan kendor di pinggul. Myungsoo tidak bisa mengelak bahwa barista itu terlihat tampan. Ia langsung tahu jika ia mungkin manager.

"Aku tidak tahu cinnamon dapat dipadukan dengan kopi."

"Ah, jadi kau bisa merasakan kopi mu?"

Myungsoo mencoba tidak menanggapi rasa kagum dari barista yang samar-samar ia rasakan. Memang biasanya ia hanya meminum kopi pesanannya tanpa benar-benar mengecap rasanya. Tidak ada hal lain yang lebih berharga baginya daripada pekerjaan, pekerjaannya memerlukan banyak waktu, minum kopi secara perlahan membuang-buang waktu. Lagipula, yang ia butuhkan hanya kafein.

"Bukankah kau seharusnya menerima pesanan pelanggan?"

"Aku selalu butuh masukan dari para klien ku, terutama yang baru pertama kali datang. Pendekatan secara personal itu penting dalam bisnis." Ia berkata dengan ringan, seolah-olah Myungsoo tidak baru saja mengejek kopi buatannya.

"Klien? Memangnya kau seorang dokter? Pengacara?"

Myungsoo berharap setelah ini ia dapat menyelinap pergi tanpa ketahuan, ia mulai merasa menyesal telah bersikap kasar pada barista sementara si barista tidak melakukan apa-apa kecuali melakukan pekerjaannya secara sopan. Tentunya ia bukan satu-satunya pelanggan kasar yang belum sepenuhnya bangun kan? Banyak orang yang begadang dan jadi kasar dipagi hari.

"Ahli bedah dan seorang psikiater saat sibuk."

"Hm, lebih sedikit darah dan air mata saat menjadi barista." Myungsoo telah menghabiskan setengah kopinya, ia punya 10 menit lagi untuk menyelesaikan kopi itu kemudian pergi.

"Dan lebih banyak ucapan terimakasih."

Barista itu tersenyum.

Myungsoo merasa tersindir. Wajahnya memerah karena marah dan juga rasa dipermalukan. Ia menyelesaikan kopinya dan mengambil pastry dan ranselnya dari meja.

"Terima kasih." Ia berkata sambil bergegas pergi dari kedai kopi dan barista aneh itu.

"Kembalilah kapan saja, dan aku akan membuatkan sesuatu yang menbuatmu terkesan."

.

.

.

.

.

Sungyeol selalu berusaha mengerjakan segala hal dengan passion, seberapapun ia benci dengan hal itu. Contohnya saja kedai kopi ini, buka pukul 07:30 pagi sampai jam 10:00 malam di hari biasa dan tutup pukul 5 sore di hari Jum'at. Berawal dari hobi memasak dan travellingnya ia berhasil mengembangkan kedai kopi tersembunyi di pinggir jalan menjadi salah satu kedai kopi paling high-end yang terkenal. Butuh waktu memang, tapi Sungyeol adalah seorang pria yang sabar. Ia percaya semakin lama menunggu maka akan semakin manis hasilnya. Ia selalu berusaha membuat kejutan setiap hari, hal itu menjadi salah satu daya tarik café miliknya. Hari Senin pagi cake dan mousse dengan cita rasa pahit yang sulit dilupakan di hidangkan dengan warna-warna dan bentuk cerah yang manis, membuat orang merasa takjub sekaligus tertipu dengan penampilannya. Hari Selasa pagi sandwich disajikan dengan daging asap dan potongan-potongan sayuran yang sempurna, Sungyeol juga menyediakan frappe dan juice. Beberapa orang sulit menerima kopi di pagi hari sebagai teman sarapannya. Sebelum jam makan siang di hari Rabu, Sungyeol memutuskan memanjakan 'klien' atau kostumernya dengan pastry dan cake gratis. Tidak ada yang spesial dengan kedua dish ini, hanya saja mereka gratis, dan Sungyeol membuatnya dari bahan murah tapi menghasilkan rasa yang tidak kalah enaknya dengan dish buatannya yang lain. Hari kamis malam adalah harinya coklat, Sungyeol yang sering berada di luar negeri untuk praktek selalu menyempatkan untuk berkeliling mencari coklat dengan rasa unik sekaligus mencari bahan campuran yang pas untuk kopinya. Cupcake dan muffin coklat adalah bintang utama di hari ini. Mereka mudah dibuat dan dapat disimpan di lemari es sampai hari Jum'at pagi. Melihat etalase kue nya kosong jauh sebelum cafe tutup memberikan kepuasan sendiri baginya.

Sungyeol sendiri juga sering mendapat kejutan dari kostumernya, dan hari ini kejutan itu didapatkan dari seorang laki-laki dengan sweater dan ransel yang kelihatannya sama beratnya dengan saat terakhir bertemu. Sudah dua hari ia tidak melihatnya, saat pertama kali bertatap muka di café dua hari yang lalu Sungyeol merasa ada sesuatu yang menariknya kedalam gravitasi milik laki-laki itu. Dia begitu terfokus dengan dunianya, tidak menyadari ada sepasang mata yang terus tertarik kearahnya. Sungyeol sudah terbiasa melihat orang yang buru-buru di pagi hari, normalnya mereka akan minum kopi dan sarapan dengan tergesa. Melahap segala yang ada di hadapan mereka tanpa mengecap rasanya. Ia hanya tidak terbiasa melihat orang yang buru-buru di siang hari. Saat itu laki-laki dengan kacamata itu terlihat berantakan. Tasnya tidak di tutup dengan benar, Sungyeol dapat melihat beberapa buku dan laptop hampir jatuh saat ia mencoba mengambil posel miliknya. Kacamatnya melorot sampai ke ujung batang hidung, dan rambutnya terlihat seperti tidak di sisir selama satu bulan, Sungyeol bahkan yakin dia tidak pernah menyisir rambutnya. Jika dilihat, dia jelas sekali bukan seorang karyawan, seorang pekerja formal tidak mungkin berangkat kerja dengan sweater, skinny jeans, dan converse hitam kotor yang warnanya hampir pudar. Laki-laki itu menuju ke counter sementara Sungyeol berusaha memasang senyum bisnisnya kembali. Dia selalu berusaha menjadi orang yang tenang dan terkendali di setiap kesempatan.

"Uhm, hi." Dia tidak langsung memesan, fakta itu yang pertama kali muncul di pikiran Sungyeol saat Myungsoo membuka mulutnya. Akan ada percakapan menarik hari ini, Sungyeol membatin.

"Selamat siang, aku percaya kau kesini untuk memesan 'kopi biasa' lagi, benar?"

"Aku, iya, bisa kau lakukan itu? Hanya kopi biasa?"

Sungyeol menggulung lengan kemejanya, hari ini ia memakai warna biru pucat yang kelihatan hampir seperti putih, dua kancing teratasnya dibiarkan terbuka. Ia mengambil salah satu mug dan mengelapnya hanya untuk atraksi belaka, Sungyeol tahu beberapa orang menganggapnya seksi dan sensual saat melakukan itu. Ia sejujurnya tidak mengerti bagaimana mengelap gelas dapat membuat seorang pria terlihat seksi, tapi yang jelas ia menyukai perhatian.

Myungsoo menelan ludah dan menggigit bibir bawahnya sesaat, kebiasaan buruk yang entah bagaimana ia adaptasi dari mantan pacarnya. Myungsoo tidak bisa memungkiri, si barista mempunyai wajah yang tampannya tidak manusiawi, tubuhnya tinggi dengan bahu lebar dan otot yang kentara tapi tidak berlebihan. Sejak bicara padanya dua hari yang lalu Myungsoo mendapati fakta bahwa si barista bicara dengan cara yang terlatih dan hati-hati, logat bicaranya yang aneh entah bagaimana beriringan dengan suaranya, membuat si barista menjadi lebih menarik. Hampir tidak ada kekurangan. Jika saja mereka dulu satu sekolah Myungsoo pasti sudah membencinya.

"Dan, uhm, sesuatu untuk sarapan mungkin? Aku biasanya membuat makananku sendiri, tapi hari ini rasanya aku ingin mentraktir diriku sendiri."

"Sarapan?" Sungyeol bertanya, ia mengira-ngira apa menu makanan yang cukup ringan namun cocok dijadikan menu sarapan pada pukul 11:30 siang.

"Aku tahu ini waktu yang terlambat untuk sarapan, buatkan saja sesuatu yang mudah. Aku- aku akan makan apapun yang kau hidangkan."

Sungyeol menimbang-nimbang, mungkin pasta adalah pilihan yang tepat. Ringan tapi cukup untuk membuat puas. Tuna pasta sauce with linguine dan untuk pendampingnya Sungyeol berfikir untuk membuatkan kopi spesial yang bahkan belum ia tambahkan dalam menu.

"Apa kau mau kopimu dihidangkan sesudah makan?"

"Uh, tidak."

"Baiklah, silahkan pilih meja dan aku akan mengantarkannya untukmu."

Myungsoo mengangguk, ia memilih meja di pojok ruangan dengan dua kursi dan meja bulat yang sekiranya muat untuk sebuah piring saji dan laptop jika ia cukup hati-hati. Kliennya kali ini khusus membayarnya tiga kali lipat untuk mencari buku Moby-dick, Moby-dick edisi pertama yang hanya tersisa 6 buah di dunia, ditambah biaya pencarian dan 10% tambahan lagi jika ia berhasil mendapatkannya dengan kondisi yang masih mulus. Myungsoo tergiur dengan jumlah uangnya, tapi itu artinya ia akan berakhir dengan dua pekerjaan dan lebih sedikit waktu tidur. Masih ada buku kedokteran lain yang harus ia terjemahkan dan ugh Bahasa Jerman.

Ia mengeluarkan laptop dan mulai mengecek e-mail, beberapa menit setelah e-mail ke 23 Sengyeol berjalan menuju kearahnya dengan piring dan mug, dibawakan dengan nampan dan dengan keseimbangan yang Myungsoo tidak akan mungkin bisa menguasainya. Sungyeol meletakkan mug dan sepiring pasta dan juga sebuah muffin yang lagi-lagi Myungsoo tidak pernah memesannya.

"Cobalah kopinya dulu, kujamin akan serasih dengan pasta itu."

"Terima kasih." Myungsoo berkata dengan sopan. Lagi-lagi berharap agar Sungyeol segera pergi. Myungsoo menyesal ia jarang ke gereja, sekarang si barista itu malah duduk di kursi di hadapannya masih dengan senyum aneh di wajahnya.

"Uh, bukankah pendekatan personal pada objek-objek lain juga penting?" Ia berkata, mencoba meletakkan sebanyak mungkin petunjuk bahwa kehadiran Sungyeol sedang tidak diterima saat ini.

"Memang, tapi hari Jum'at antara pukul 10 sampai kami tutup adalah hari yang benar-benar lenggang."

Myungsoo mengedarkan pandangannya, dan memang benar café itu terlihat lebih sepi daripada saat ia terakhir kesini. Ia menggenggam mug merah bata dihadapannya dengan kedua tangan, mengangkatnya hingga ke ujung bibir dan meniupnya pelan, takut akan membakar rongga mulutnya sendiri jika ia tergesa-gesa meminumnya.

"Tidak ada panggilan darurat dari rumah sakit?"

"Aku sedang mengambil cuti. Minumlah, coba rasakan."

Myungsoo menurutinya, ia menyesap perlahan setelah memperhatikan warna kopi itu. Coklat seperti lumpur. Tapi aromanya benar-benar kaya. Ia menebak pasti Sungyeol menambahkan susu dan cream lagi seperti yang waktu itu. Tegukkan pertama, ia membiarkan cairan kopi memenuhi rongga mulutnya dan menenggelamkan lidahnya. Aromanya pahit namun rasanya manis seperti dari gula yang terbakar dan teksturnya sedikit kental namun mudah ditelan. Myungsoo tidak dapat menjelaskan dengan kalimat yang tepat mengenai tekstur kopi itu, yang jelas dia tidak menggunakan susu. Sungyeol tidak menambahkan susu ataupun cream. Saat ia menelannya ada sedikit rasa pedas yang tertinggal di mulutnya, hanya sedikit, langsung menghilang dengan sapuhan singkat dari ludahnya. Ia tidak pernah minum kopi dengan cita rasa pedas seperti ini. ia tidak bisa menahan desahan yang keluar saat cairan kopi itu telah menghilang dari rongga mulutnya. Menyadari apa yang baru saja ia lakukan, Myungsoo berpura-pura tidak merasa malu dan mencoba mamakai topeng percaya diri yang ia tahu tidak ia miliki.

"Uhm, wow." Myungsoo berkata takjub sambil memandang Sungyeol di hadapannya. Si barista sendiri hanya tersenyum nakal sambil menaikkan satu alis. Menunggu Myungsoo menyebutkan kata lainnya.

"Aku tidak merasakan susu dan ada rasa pedas, aku tidak pernah menemukan kopi yang meninggalkan rasa pedas sebelumnya. Siapa yang tahu, ternyata aku membutuhkan ini."

"Telur." Sungyeol berkata singkat.

"Telur?"

"Putih telur." Baiklah, Myungsoo membatin, bukan milky coffee tapi eggy coffee.

"Aku ingat kau berkata tidak suka susu, dan putih telur merupakan alternatif untuk penggantinya. Butuh perebusan yang cukup lama untuk menghilangkan amis dari putih telur. Rasa pedas yang kau rasakan aku dapat dari bubuk jahe, sangat sedikit. Aku menggunakannya untuk menambahkan cita rasa dan menstabilkan rasanya. Bisa kau tebak dari mana rasa manisnya?"

Myungsoo menyesap lagi kopinya, mencoba mengecap dan mencari tahu rasanya.

"Vanilla?"

"Tepat sekali," Sungyeol menghadiahkan Myungsoo sebuah senyuman tampan yang membuat pipinya memerah seketika. "vanilla yang terlebih dahulu disangrai bersama gula sehingga menjadi karamel dengan aroma pahit."

"Tidak ada mesin kopi yang bisa melakukan hal itu."

"Aku meraciknya sendiri, mulai dari biji kopi sampai karamel, menggunakan kompor."

"Bukankah kau punya staff untuk melakukan semua itu?" Myungsoo bertanya, sesekali menyesap kopi dihadapannya.

"Ada kepuasan tersendiri saat kau berhasil menyelesaikan satu-persatu proses dengan tanganmu sendiri."

"Hmf, kau seorang perfeksionis ya? Aku pernah membaca sebuah sastra Inggris yang pengarangnya sangat perfeksionis. Maksudku, dia menghabiskan 4 halaman hanya untuk mendiskripsikan kondisi fisik dari karakter utama perempuan, gadis remaja berambut coklat dan bermata hazel. Itu buku yang cukup menyenangkan untuk dibaca, tidak meninggalkan kesan apapun tapi cukup menyenangkan. Tapi siapa yang mau- uhm, maaf, aku sering tidak sadar jika sudah bicara yang tidak-tidak. "

Sungyeol menyunggingkan senyum lembut, membuat Myungsoo ingin menenggelamkan kepalanya didalam mug eggy coffee-nya. Sebaliknya, ia malah menggigit-gigit bibir bawahnya lagi. Luka di ujung bibirnya belum sepenuhnya sembuh, luka yang ia dapat ketika dia menggigitnya dengan keras saat terakhir ia berada disini.

"Tidak masalah, aku senang menghabiskan waktu dengan orang yang menyukai pekerjaannya. Kau sepertinya menghabiskan banyak waktu dengan buku."

"Aku bekerja bersama mereka."

"Ah, seorang pengarang."

"Bukan, uhm kau harap, suatu saat nanti. Tapi bukan, aku seorang penerjemah dan collector buku klasik. Juga seorang hunter disaat tertentu."

"Terdengar seperti pekerjaan yang ringan."

"Huh, tidak juga." Myungsoo tidak meneruskan penjelasannya, ia menarik piring pasta mendekat kearahnya. Ia akan memakannya sekarang, merasa satu-satunya hal yang membuat si barista ini pergi adalah dengan tidak banyak bicara dan segera menghabiskan makanannya.

Sungyeol melihatnya menggulung sedikit pasta di ujung garpu dan perlahan-lahan mendekatkannya ke mulutnya. Kliennya yang satu ini, menurut Sungyeol, merupakan orang yang sangat menarik. Dia terlihat manis secara natural tanpa harus mencobanya. Dan saat mendengarnya mendesah karena kopi, Sungyeol merasa benar-benar harus membawa klien ini ke tempat tidurnya. Sesegera mungkin.

"Bagaimana?" Sungyeol bertanya sebelum ia benar-benar kehilangan kontrol dirinya.

"Enak," Myungsoo menjawab "walaupun tidak seistimewa pastrynya." Ia menambahkan.

"Begitu? Aku memang lebih spesialis di dessert dan pastry."

"Uh.. kau membuatnya sendiri?"

"Aku punya jurnal resep masakanku sendiri, jadi ya. Dan tolong jangan tertawa."

"Huh. Menyelamatkan nyawa dan membuatkan makanan untuk mereka."

Sungyeol tertawa ringan mendengarnya.

"Jadi, bagaimana kau bisa sampai membangun tempat ini?" Myungsoo bertanya, tidak dapat mengelak pada fakta bahwa ia menemukan kehadiran barista ini membuatnya merasa ingin terus bersamanya.

"Sangat kebetulan, berawal dari kebiasaanku yang selalu membuatkan makanan untuk teman-teman saat kuliah dulu. Kau tahu, menghafalkan setiap urat syaraf dan aliran darah tidak menyenangkan dan sangat menguras tenaga. Aku selalu mencari bahan-bahan baru untuk campuran kopi dan kue, kemudian sebelum menyadarinya aku sudah memiliki dua jurnal berisi resep."

Myungsoo mendengarkannya dengan seksama, ia baru menyadari jika selama ini mereka belum mengetahui nama satu sama lain.

"Kurasa aku berhutang nama pada sang chef."

"Begitukah? Mungkin kau harus memuji sang chef terlebih dulu dengan memberitahu namamu."

"Myungsoo. Kim Myungsoo." Myungsoo berkata, ia bertanya-tanya bagaimana suaranya terdengar melalui lidah kaku milik si barista.

"Lee Sungyeol. Senang bertemu denganmu Myungsoo." Myungsoo berusaha agar penisnya tidak tegang saat Sungyeol memberinya satu lagi senyuman penuh dosa. Dan namanya, Myungsoo tidak pernah menyangka bagaimana pengucapan sebuah nama dapat membuatnya tegang.

"Jadi," Sungyeol memulai lagi "apa kau benar-benar menyukai pastry ku? Atau itu hanya sebuah pujian karena kau memang tipe orang yang suka menyenangkan orang lain?"

"Tidak. Maksudku, iya itu sebuah pujian. Murni karena aku menyukainya."

"Aku juga punya sentuhan tersendiri saat mengolah daging," Sungyeol mencondongkan badannya ke arah Myungsoo. Wajah mereka hanya dipisahkan udara tipis, hembusan nafas hangat Sungyeol menerpa matanya dan membuatnya secara refleks mengedipkannya secara cepat. "Aku merasa kau juga harus merasakannya."

"Uhm, aku, uh, aku tidak tahu."

"Apa ada hal penting di hari Sabtu?"

"Besok? Kurasa tidak."

"Bagaimana dengan jam 7 malam?"

"Jam 7 bagus, sangat tepat."

"Baiklah." Sungyeol mengangkat laptop Myungsoo yang sedari tadi hanya membuka dokumen word kosong. Ia mengambil buku catatan kulit berwarna hitam di bawahnya dan mulai menulis nomor telepon dan alamat.

"Aku lebih suka makan malam formal, dan tolong jangan bawa apapun. Aku senang jika tamuku bisa benar-benar menikmati makanannya tanpa khawatir."

Sungyeol melongos pergi. Myungsoo tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Jadi Ia memilih melakukan sesuatu yang tidak akan membuatnya malu. Kabur. Ia segera memasukkan buku catatan dan laptopnya ke dalam ransel tanpa mematikannya terlebih dulu. Ia bisa merasakan jantungnya berdebar dan pipinya memanas. Lee Sungyeo, pemilik kedai kopi tampan yang baru ia temui beberapa hari ini, mengajaknya makan malam.

.

.

.

.

.

Sungyeol berjalan kembali menuju meja kasir. Ekspresi wajahnya netral meskipun di dalam hati ia merasa baru saja mendapat tiket emas untuk kepuasan. Ia memperhatikan gerakan kikuk Myungsoo dari ekor matanya, jika hanya dengan godaan seperti itu Sungyeol dapat membuat wajahnya memerah sampai ke telinga dan membuatnya menggigit bibir sampai seperti itu ia bertanya-tanya reaksi apa yang akan ia dapatkan saat membuat Myungsoo merengek dan terisak dengan air mata penuh ekstasi.

Jika Myungsoo memutuskan untuk tidak datang hari Sabtu ini, Sungyeol akan mengunjunginya di toko buku tempatnya bekerja. Seminggu lagi, dengan membawa tumblr berisi kopi dan kemungkinan sebuah cake dengan banyak cream cheese. Sungyeol sering melihatnya lewat di siang dan malam hari saat café akan tutup. Dan mungkin, ia sedikit mengikutinya. Tidak sulit menemukan tempat tinggal dan tempatnya bekerja. Sungyeol bisa saja langsung menemuinya di toko buku itu. Tapi jika begitu maka ia akan terlihat terlalu putus asa. Sungyeol lebih memilih jika Myungsoo yang datang sendiri kehadapannya, akan lebih baik lagi dalam keadaan putus ada dan sangat jatuh cinta. Akan memakan waktu lama, tapi Sungyeol adalah orang yang sabar. Ia tidak akan membiarkan mangsa semenarik ini lari karena ketakutan. Ia akan benar-benar akan mengantisipasi saat dimana Myungsoo duduk di meja makannya.