Author : Yuta Uke
Chapter : Kakashi's Feeling
Genre : Romance, Angst
Disclaimer : All character belongs to Masashi Kishimoto
Pairing : Just read it
Warning : Unbetaed fic, Semi-Canon, ending mungkin tak sesuai harapan.
douzo...
Aku adalah seorang yang lemah dan aku akan selalu menjadi lemah.
Aku adalah seorang yang selalu berjalan dalam waktu yang telah lama berhenti, terus berputar dalam masa lalu dan mati.
Aku adalah seorang yang selalu direngkuh dan merengkuh kegelapan pekat. tak akan pernah tertembus sekalipun oleh tirai tirai keemasan mentari yang begitu menyengat.
Karena yang menyentuhnya telah mati, telah berjalan menjauh dan meninggalkan ku.
Ayahku, Obito, Rin, Minato-sensei, semuanya telah hilang, tenggelam bersama keabadian yang mengikat. Tak akan pernah kembali dan tertidur abadi.
Dan kini…
Kelopak yang selalu jatuh berguguran di dekatku turut terbang pergi, menjauh dariku.
Pagi biasanya akan menjadi sesuatu yang dinanti-nantikan. Senyum manis terkembang menghiasi ranum bibir-bibir para insan yang telah tak sabar menyambut hari baru. Pun dengan kokok ayam maupun dendang lembut burung-burung kecil—bahkan mereka lebih riang menyambutnya.
Bagiku pagi bukanlah sesuatu yang spesial. Mereka hanyalah sebuah perjalanan mimpi buruk ku.
Ya.
Malam adalah mimpi buruk dan pagi adalah perjalanan menuju mimpi tersebut. Seperti itulah siklus yang ku jalani dan tak akan ada yang berubah. Aku tahu itu.
Seperti biasanya aku selalu menghabiskan waktu pagiku dengan keheningan di antara rerumputan, batu dingin dan penyesalan. Terseret, tenggelam, terhempas, tercekik oleh seluruh kesakitan yang selalu memeluk tubuhku.
Hening yang dikatakan memuakkan tersebut nyatanya telah menjadi santapan sehari-hariku dan aku tak pernah memersalahkannya. Menurutku itulah yang pantas ku dapatkan dan aku rela menghabiskan waktu untuk menyesapinya.
Sayangnya aku tak dapat menyambut keheningan tersebut dengan waktu-waktu yang ku punya hari ini. Bagaimanapun kini aku harus menjadi seseorang yang memenuhi seluruh kewajibanku; datang tepat waktu dan tersenyum kepada seluruh tamu.
Ini adalah hari istimewa bagi seseorang yang telah lama mengekoriku…dulu. Hari dimana merah muda yang terlihat begitu berkilau tersebut bertukar janji suci dengan pemuda pilihannya.
"Sensei, mengapa kau berdiri jauh disitu?"
Nada manis miliknya menggelitik indra pendengaranku. Aku menoleh dan segera terhanyut dengan pemandangan indah di hadapanku—sosok indah yang terlihat semakin istimewa dengan balutan busana putih bertabur kilauan merah muda di beberapa sisi. Tanpa ku inginkan, kakiku telah melangkah kecil untuk sekedar mendekat, membuat sosok manis di depanku tersenyum semakin lebar.
Ia terlihat menggemaskan dengan seluruh merah muda yang memeluk dirinya. Make up tipis yang senada dengan surai cantiknya, beberapa hiasan merah muda yang senada dengan kuku-kukunya, membuatnya terlihat begitu anggun bahkan kau dapat melupakan fakta mengenai tingkah laku serta tenaganya yang sama sekali tak manis.
Aku terkekeh kecil dan menepuk-tepuk pucuk kepalanya. Ingatan ku saat dirinya masih belia dulu, membuatku sangat sulit memercayai bahwa orang ini adalah gadis berisik itu. Segalanya telah berubah dan yang merubahnya adalah sesuatu bernama pertumbuhan.
Detik selanjutnya wajah manis tersebut terlihat sedikit masam akibat mengerucutnya bibir ranum disana. Ia menunjukkan wajah kesalnya. Maka segeralah ku angkat tanganku yang masih bertengger manis di kepalanya—tak rela untuk melepas.
"Aku sudah bukan anak kecil, Sensei."
Jelasnya dengan nada kesal yang dibuat-buat dan hal tersebut sukses membuatku gemas. Aku pun hanya melemparkan senyum tipis padanya yang kini telah berbalik menghadap sahabat pirangnya.
Menyandarkan tubuhku yang telah terbalut busana formal pada tiang penyangga, aku mulai melekatkan pandanganku pada sosok ramping tadi dalam-dalam. Binar tawanya begitu cerah, wajahnya berseri-seri membuatnya semakin indah. Luka dan pahit yang biasanya selalu terpancar disana telah sirna sepenuhnya, terganti dengan ribuan kupu-kupu kebahagiaan yang berkepak, menaburkan debu peri.
Kedua tanganku yang terlipat di depan dada meremas kedua sisi lenganku. Ia terlihat begitu cantik dan aku sulit untuk bernafas. Kebahagiaan yang menguar dari raganya sangat menyesakkan diriku yang selalu terbalut oleh kegelapan masa lalu.
Tampaknya kebahagiaan tak cocok untuk ku cicipi hingga dada ini terasa begitu perih saat merasakannya.
Sekali lagi ku lekatkan pandanganku pada sosok merah muda disana. Ia terlihat begitu anggun dengan balutan busana sucinya, begitu menawan hingga membuat murid oranyeku menitikkan air mata bahagianya—juga murid kesayangan rivalku yang telah lebih dulu meraung karena patah hati.
Kulihat permata hijau miliknya sedikit berkilau karena ia tengah bersusah payah menahan kristal bahagianya agar tak jatuh—melunturkan maha karya Yamanaka Ino. Ujung hidungnya memerah karena tangis yang ia tahan sekuat tenaga. Sekalipun wajah menangisnya selalu ku lihat, selalu tersaji di hadapanku, wajah tangis pilu tersebut tak nampak saat ini. Wajahnya yang semakin memerah lembut tak sedikitpun memancarkan kesedihan disana.
Cengkraman pada kedua lenganku semakin erat kala ku tahu bahwa kebahagiaan semakin menekan jiwa. Kebahagiaan pada sekeliling tampaknya tak mampu menembus pertahananku dengan ramah, maka yang ku dapatkan adalah kesengsaraan. Begitu cepat menikam seolah dapat membunuhku dalam sekali hentakkan.
"Kakashi!"
Aku tersentak saat suara milik seorang pria yang sangat ku kenali menyeruak masuk ke dalam telingaku. Aku mengerjapkan mata beberapa kali saat mendapati si surai mangkuk telah berada tepat dihadapanku…sembari menangis?
"Gai..."
"Kakashi! Aku turut berbahagia. Tak ku sangka akhirnya akan indah seperti ini!"
Pria konyol ini mengatakan hal tersebut sembari memasang raut wajah menggelikan—penuh air mata dan cairan hidung. Aku tak mengatakan apapun melainkan hanya melemparkan senyuman tipis sebagai jawaban.
Gai bahagia, Naruto bahagia, seluruh tamu berbahagia, sang merah muda pun sama…
"Sensei! Ayo berfoto!"
Manis suara sang musim semi sekali lagi menggelitikku. Aku melihat dirinya tengah melambaikan tangan, mengisyaratkan agar diriku segera beranjak menuju tempat yang ia tunjuk. Sebelum sempat aku melangkah, Gai telah menarikku dan mendorong punggungku seenaknya. Inginnya aku meluncurkan protes, namun, pose Gai yang terlihat begitu bersinar—melebihi biasanya—membuat lidahku kelu. Maka aku hanya mendesah dan melangkah menuju tempat dimana murid merah muda dan oranyeku berada.
"Di hari bahagia ini mengapa wajahmu tetap malas, Sensei?"
"Sudahlah, Naruto. Sejak dulu wajah Kakashi-sensei kan memang tak bersemangat."
Dan aku yang telah berdiri di dekat mereka hanya dapat tersenyum masam. Wibawaku benar-benar sudah hilang?
"Ooi, Sasuke!"
"Ah, Sasuke-kun, ayo berfoto!"
Aku merasakan tubuhku sedikit bereaksi saat mendengar nama seorang pemuda dingin meluncur bebas dari sela-sela katupan bibir kedua shinobi hebat Konoha. Sasuke. Dalam diam, kedua kelabuku mengikuti pergerakan sang pemuda Uchiha yang bergerak begitu lambat.
Sorot wajahnya tetap dingin seperti biasa, tetap tak berekspresi selayaknya Uchiha Sasuke yang selalu dikenal khalayak banyak. Namun, sorot matanya terlihat berbeda. Lebih lembut seperti tengah memancarkan kebahagiaan saat ia bertemu pandang dengan sang merah muda.
"Kakashi-sensei?"
Aku kembali tersadar dari lamunanku dan mendapati 3 pasang mata tengah menatapku dengan penuh tanda tanya—satu pasang tidak.
Aku berdehem kecil dan segera memasang senyum palsu—bukan senyum pasrah saat pertama kali berfoto dengan ketiganya. Musim semi disana kembali memamerkan senyum manisnya—membalas senyumanku—dan berbalik sembari mengamit lengan kedua pemuda yang berdiri di tiap sisinya.
Perasaan aneh mulai datang merasuk, membuatku seolah terlempar jauh menuju masa lalu. Posisi berdiri yang sama ini terlihat begitu mirip namun berbeda. Kedua pemuda disana tak lagi saling memandang dingin kepada salah satunya, kedua telapak tanganku tak menyentuh puncak kepala murid hebatku, perempuan manis disana tak membiarkan tangannya kosong belaka.
Dadaku berdenyut pedih; pedih yang begitu lembut. Masa lalu telah berubah begitu jauh. Dan kami berfoto dengan begitu damai dan berkilau.
Setelah mataku kembali menyesuaikan diri—sedikit tak nyaman karena cahaya terang kamera—kelabuku bersirobok dengan hijau teduh disana. Begitu berkilau dan indah.
"Sensei…terima kasih." Aku mengerutkan dahi. Untuk apa? "Atas segala kekuatan dan perlindungan yang kau berikan. Kau selalu menyelamatkanku, memberiku harapan atas kedamaian tim 7, kau guru yang hebat."
Nafasku seolah tercekat. Perempuan ini, perempuan yang ku anggap sangat lembut dan manis tengah mengatakan untaian kata indah untukku. Murid terpintar dan terhebat yang kumiliki. Sosoknya yang dulu rapuh telah terlihat begitu kokoh saat ini, seakan meyakinkanku jika ia telah berkembang menjadi bunga cantik yang akan terus bermekaran.
Aku kembali tersenyum hangat dan menepuk kepala merah muda itu kembali…untuk yang terakhir kalinya. Dan hal tersebut membuat sang perempuan memandang lekat kelabuku dalam-dalam; begitu lurus dan serius.
"Kakashi-sensei…aku—"
"Sakura! Astaga, kau ceroboh sekali! Lihat, hiasan rambutmu hampir terjatuh!"
"Ah!"
Perkataan perempuan itu terputus ketika suara nyaring kekasih Shimura Sai menggema. Aku melirik singkat Ino yang tengah berlari kecil sebelum akhirnya melepaskan tepukanku pada kepala sang medic nin merah muda. Dengan panik sosok berbahagia di depanku meraih bagian belakang kepalanya—tersadar jika yang dikatakan Ino tadi benar.
Kedua perempuan yang telah bersahabat sejak kecil ini terlihat begitu heboh dan berisik—membuat beberapa tamu tertawa kecil. Aku sekali lagi menghela nafas panjang. Sorot mata milik murid perempuanku tadi begitu berbeda, seperti ada yang ingin di sampaikannya.
Detik selanjutnya aku melihat Ino telah menjauh dari tempat kami berpijak, maka tinggalah aku dan muridku kembali. Kami terdiam beberapa menit dan dapat ku lihat Gai memandangiku dengan tatapan bahagia. Aku hanya mengulum senyum masam.
Aku memejamkan mataku sejenak. Menyesapi kenyamanan yang terus menerus menorehkan luka di sekujur tubuhku. Kepedihan yang lembut.
"Selamat, Sakura."
Lirihku kecil setelah beberapa kali meneguk ludah—membasahi tenggorokan yang terasa kering. Surai merah mudanya berguncang kecil tanda ia bereaksi atas kalimatku. Sekali lagi hatiku tersayat saat melihat wajahnya yang terlihat sekali tengah menahan tangis. Permatanya berkilau, bibir merah mudanya tertarik karena ia mengigitnya.
Yang aneh adalah…kilaunya tak bahagia. Kilaunya meredup.
Aku berusaha untuk tak memerdulikannya sekalipun kini ia tengah menunduk dan mengusap genangan air matanya.
Kemudian sekali lagi ia memandangiku dengan lurus, membuatku terhanyut dalam teduh mutiaranya. Kelabuku membulat saat merasakan tangan miliknya meraih tanganku, menggenggamnya dengan erat seolah ia tak ingin melepaskannya.
"Terima kasih, Kakashi-sensei."
Ucapnya begitu pelan dengan nada serak. Namun, yang menggangguku bukan itu. Ada yang berbeda dalam pancaran kedua bola kacanya. Ada suatu kilau yang menikam hatiku. Indah permatanya seolah berusaha mengatakan sesuatu pada kelabuku, seakan meminta kelabuku untuk menyadari sinar tersebut.
Senyumannya begitu indah, begitu berkilau, begitu berbeda seperti yang telah ku lihat hari ini. Sangat tulus dengan beberapa kepedihan yang menguar, seperti tengah menahan seluruh pilu saat akan melepas cinta.
Cinta?
Genggaman tangan yang mengendur kembali menyadarkanku. Ia masih mengulum senyum sebelum akhirnya berbalik untuk pergi meninggalkanku. Pergi menuju pemuda yang telah memiliki dirinya seutuhnya, pemuda yang selalu ia tunggu kehadirannya, pemuda yang begitu berharga baginya dan murid oranyeku.
Gerakannya begitu lambat, seakan mengundangku untuk menahan pergelangan tangannya yang ramping, membuatnya tetap terdiam disisiku. Namun tentu saja aku tak akan melakukannya.
Ia semakin berjalan jauh, meninggalkanku sendiri yang masih terpaku pada tempatku berpijak; meninggalkanku di dalam lautan kebahagiaan yang memuakkan. Ia pergi, pergi meninggalkanku begitu saja.
Aku memejamkan mata, merasakan raga ini kian tersayat dalam.
Dan hal terakhir yang ku lihat adalah kilau di pipinya.
Aku mencintaimu…
Dan aku menyadari bahwa aku terlambat…
END
A/N : Uwaaaaaaah apaaaa ini? XDDD
Mendadak saya ingin membuat fic mengenai perasaan Kakashi sensei saat dia menghadiri pesta pernikahan Sakura. Yah, gimanapun saya berpikir kalau sebenarnya mereka berdua punya perasaan yang sama. (Setidaknya biarkan pikiran ini ada sebelum novel mengenai perasaan Sakura yang sebenarnya keluar)
Saya ingin meyakinkan diri kalau Sakura itu memang memiliki perasaan pada sensei dan begitupula sebaliknya. Pokoknya, hidup KakaSaku!
Sayang, ending yang ideal adalah dimana Sakura mendapatkan Sasuke. Dan aku menyukai ketika sensei digambarkan bujang selalu. :'D
Seperti menyatakan bahwa Kakashi hanya dan akan selalu menjadi milik dirinya sendiri :v
Semoga sensei tetap bujang :'o (jahatnya saya)
Keinginan dan ide fic ini muncul ketika saya membaca komik dan menonton ulang animenya. Entah mengapa kebersamaan mereka benar-benar pas sekali! XD
Lalu semakin kuat ketika saya melihat pict yang jadi cover image fic ini. :D
Okai! Sekian cuap-cuapnya. Jangan lupa meninggalkan review ya~ (Kalau berkenan, silahkan mampir dan review juga fic saya yang lain.)
Sampai ketemu di chap 2! :DDD
