Hai hai.. Anne datang lagi. Cerita baru yang mucul beberapa jam sebelum publish. Kilat! Terinspirasi dari berita di tv di Sabtu subuh tadi tentang anak yang dibuang di depan rumah orang, jadilah cerita ini berputar di kepala aku. Langsung deh aku ketik dan berharap kalian suka dengan ceritanya.
Dibaca chapter pertamanya dulu, ya!
Happy reading!
Pagi masih gelap. Matahari sama sekali belum mau keluar dari ufuk timur. Banyak rumah-rumah di kawasan London tertutup dengan rapat dan pastinya gelap. Sepi karena tak ada yang bangun. Salah satunya rumah keluarga Potter.
Dusss!
Suara berisik terdengar dari arah pintu masuk. "Seperti ada yang berapparate di depan rumah, sayang? Kau dengar?" tanya Ginny sedikit bangkit dari ranjangnya. Selimut di tubuhnya melekat erat karena tangan Harry masih melingkar di area perutnya.
Tak ada jawaban. Harry masih tidur dengan pulasnya. Pria 37 tahun itu benar-benar kelelahan akibat pekerjaannya sebagai Auror. Penyergapan besar-besaran kemarin membuatnya kehabis energi. Akibatnya, setelah makan malam ia langsung tertidur pulas. Untung Harry tidur langsung di kamar. Kalau tidak, ia bisa bekerja keras menggotong suaminya dengan putrinya Lily menuju ke kamar.
"Hemm.. paling suara angin. Ini masih jam 3 pagi, sayang. Mungkin mereka polisi jaga." jawab Harry seperti bergumam.
"Perasaanku nggak enak, sayang. Seperti tadi juga ada suara benda keras membentur pintu. Aku mau lihat!"
Tangan Harry sigap menahan tangan Ginny menyibak selimutnya. "Biar aku saja," pinta Harry dengan tampang lemas. Ia bangun dan mengambil kacamata bulatnya di meja samping ranjang. Tak lupa ia mengambil tongkatnya dan diselipkan ke balik lengan piamanya. Ginny tersenyum girang.
Ini benar-benar konyol. Masih pukul tiga pagi, tapi.. benar saja. saat Harry turun ke lantai bawah, ia mendengar suara terketuk-ketuk pelan dari pintu rumahnya. Temponya tak teratur. "Siapa sih yang iseng bertamu di pagi buta begini?" bisiknya masih dengan kewaspadaan. Pekerjaan sebagai Auror membuatnya makin terlatih menghadapi situasi yang serba abu-abu. Waspada kunci utamanya.
Harry menggenggam tongkatnya erat. Menunggu tepat di depan pintu sambil mendengar suara ketukan itu sekali lagi.
Duk.. duk.. duk duk.. duk!
Berhenti. Harry mengernyitkan dahinya bingung. Tepat saat bunyi 'duk!' selanjutnya, Harry dengan cepat memutar pegangan pintu dan membukanya.
Tidak ada apa-apa di depannya. Lebih tepatnya sejajar dengan matanya, bukan di depan kakinya.
"Sayang, kenapa lama sekali? Ada ap..,"
Rupanya Harry sedang duduk berjongkok di depan pintu rumah mereka yang terbuka. Ginny mendengar seperti ada suara mendesis yang diucapkan suaminya. Seperti menenengkan sesuatu. "Aku mohon kau jangan salah sangka dulu, Ginny."
Tubuh Harry berdiri lantas berbalik menghadap Ginny.
"Ada bayi ini di depan rumah kita," kata Harry lirih. Takut makhluk kecil di gendongannya terbangun.
Mata Ginny seolah ingin lompat. Rasa kantuk yang sebelumnya menyerang sempurna hilang dari matanya. "Kenapa dia mirip sekali dengan Al. Apa.. ini anakmu, Harry?! Jawab?!"
"Ginny, apa kau gila? Tidak mungkin! Apa kau pikir aku punya anak lain di luar sana?"
"Tapi dia sangat mi.."
Huwaaaa! Tangis bayi itu pecah mendengar suara adu mulut Harry dan Ginny. Dengan lembut Harry menimang bayi itu untuk kembali diam. Sudah lama ia tak menenangkan bayi lagi sejak Lily semain besar.
"Percayalah, Ginny. Aku sama sekali tak tahu tentang anak ini.. dia,"
"Harry, lihat itu," pekik Ginny saat melihat bayi itu membuka mata dan.. , "hijau!"
Ginny sontak menatap tajam Harry dengan penuh kemarahan. Tidak hanya wajah, bahkan matanya mirip Harry. "Beraninya kau Potter!"
Belum sampai Ginny marah besar kepadanya, Harry berusaha membuka selimut yang dipakai untuk membungkus bayi itu perlahan. Harry akhirnya tahu itu bayi laki-laki, dan di tangan bayi itu sedang menggenggam sebuah kalung.
"Aku mohon kau tenang dulu, Ginny. Kau mungkin salah sangka, karena anak ini bisa jadi datang dari masa yang berbeda." Tunjuk Harry pada kalung yang dibawa bayi itu.
Ginny mengambilnya dengan perlahan. Liontin berwarna merah. Dan ada pusara yang bergerak di dalamnya. "Kau benar, Harry. Lalu siapa dia?"
Tangisannya kembali pecah, Harry spontan menelungkupkan bayi itu ke pundak kiri dan menepuk-nepuk pelan punggung kecilnya. "Tenanglah, nak. Jangan memangis. Kau lapar, ya?" tanya Harry membalikkan badan sang bayi kembali. Ia duduk di sofa ruang tengah dan menelentangkan bayi itu di atas pahanya dengan bantuan kedua tangannya.
Harry mengingat bagaimana caranya dulu ia mengecek anak-anaknya yang masih bayi sedang lapar atau tidak. Telunjuknya ia arahkan ke mulut si bayi. Ada gerakan menyesap dan menjilat saat ujung telunjukknya menyentuh mulut kecil anak itu.
"Dia lapar, Ginny. Mungkin dia waktunya menyusu. Apa kau..?!"
"Aku tak bisa menyusuinya, sayang. ASIku tak keluar lagi. Sudah lama sekali sejak Lily TK. Kita butuh susu formula sekarang. Kalau tak mau anak ini mati kelaparan."
Harry menyerahkan bayi di gendongannya pada Ginny. Bersiap mengambil mantelnya dan bergegas pergi ke minimarket membeli susu. "Aku akan membeli susu bayi. Tapi.. aku harus beli susu untuk bayi usia berapa?"
Dari balik rengkuhannya, Ginny mengamati bayi yang sedang ia gendong dengan seksama. "Menurutku anak ini berusia sekitar 3 atau 4 bulan. Beli saja susu bayi untuk usia 0-6 bulan, Harry," pinta Ginny diikuti anggukan Harry. Suaminya itu lantas meraih kunci mobilnya dan bergegas keluar menuju minimarket di dekat perumahan.
"Tenang ya, sayang! Kau aman di sini," kata Ginny terus menimang bayi di gendongannya. Pandangannya beralih ke liontin merah yang ia letakkan di atas meja. "Siapa sebenarnya anak ini? Kenapa mirip sekali dengan Al?"
Ayam-ayam sudah berkukuruyuk ria. Aktifitas pagi itu dimulai. Beberapa pegantar koran, pengantar susu segar sudah berkeliaran di sepanjang jalan perumahan Muggle. Tampak beberapa orang lain berolahraga dengan lari-lari kecil di halaman atau bersepeda.
"Pagi, sayang! Cepat sarapan dan kita berangkat sekolah!"
"Selamat pa.. Dad? Siapa itu?" tanya Lily ke arah ibunya yang sedang menggendong bayi.
Harry mengalihkan pekerjaannya sejenak memeriksa dokumen menatap Lily. Putrinya terkejut melihat ada anggota baru di rumah mereka pagi itu.
"Hai, adik manis..," Lily sudah duduk di samping Ginny. Tangannya mengelus pipi gembul si bayi gemas. "Dia siapa Mom?"
Tak tahu menjawab apa, Ginny memandang Harry yang sama-sama tak tahu harus menjawab apa. "Aa.. dia, sementara akan tinggal bersama kita, sayang!" kata Harry.
"Wah.. ada bayi. Tapi dia anak siapa, Dad, Mom? Kapan dia kemari?"
"Pagi tadi saat masih gelap. Dadmu menemukan dia di depan rumah saat Mom mendengar ada suara berisik seperti orang ber-Apparate. Dan ternyata.. ada dia. Kamipun tak tahu siapa orang tuanya."
Lily terdiam. Tak percaya jika bayi di rumahnya sekarang adalah bayi yang ditemukan di depan rumah mereka. "Kasihan sekali dia, Mom! Tapi.. kalau aku lihat-lihat, dia mirip sekali dengan Al. Dad juga. Apa dia Al? Atau Dad? Yang datang dari masa lalu?"
Deg! Masa lalu. Ini dia.
"Masa lalu?" pekik Harry kini ikut mendekat ke arah sofa. "Bisa jadi dia..,"
"Apa Mom dan Dad mengingat sesuatu. Mungkin saat Al bayi, Al pernah hilang beberapa hari? Atau apalah," tanya Lily dengan menggabungkan pengandaian. Lily sangat cerdas jika sudah berurusan dengan teka-teki semacam ini.
Ginny tampak mengingat sesuatu, "kalau hilang tidak pernah,"
"Luna!" pekik Harry tiba-tiba. "Luna? Ada apa dengan Luna?" Ginny semakin penasaran.
"Ginny kau ingat tidak? Saat Al masih berusia 5 bulan. Ia di bawa Luna dan Rolf ke kediaman barunya. Dia menginap di sana beberapa hari. Rose dan James juga."
Saat Al bayi, Luna dan Rolf baru menikah dan memiliki rumah baru. Mereka menginginkan anak-anak sahabatnya untuk tinggal di sana. Tanpa didampingi orang tuanya. Ginny sempat menolak ide gila Luna dan suaminya itu. Luna mengatakan bahwa dirumah barunya sangat mirip arena bermain anak.
Jadi ia ingin sekali ada anak-anak kecil yang mencoba rumahnya terlebih dulu. Luna juga berpesan agar Ginny dan orang tua anak-anak lain, seperti Ron dan Hermione, agar tidak khawatir. Karena mereka memiliki pengasuh anak di rumahnya. Padahal mereka sendiri baru menikah dan belum memiliki anak.
"Dan aku tahu, Luna memiliki banyak benda-benda aneh yang.. berbahaya jika tersentuh anak-anak." Kata Ginny.
Satu persatu teka-teki terjawab. "Jadi dia..,"
"Kita harus hubungi Luna secepatnya!" kata Harry tegas.
- tbc -
Bagaimana? Cerita masih ngegantung. Tenang, karena masih ada chapter-chapter lain. Tunggu Anne ketik dan publish, ya. Aku tunggu review kalian, teman-teman!
Thanks,
Anne ^_^
