Trauma.
Tentu kata itu sudah tidak asing lagi bagi para pembaca juga penulis.
Kata yang sangat sederhana, namun menyimpan rasa sakit dan takut akan kejadian yang sangat membekas di ingatan seseorang.
Kejadian yang tak bisa di lupakan.
Menghambat kehidupan seseorang yang mengalami trauma, apalagi jika sudah berhadapan dengan suatu hal yang berhubungan dengan kejadian menyakitkan itu.
Menyakitkan untuk mental atau psikis seseorang.
Tentu para pembaca 'mungkin' ada yang mengalami Trauma atau pernah mengalaminya.
Dan tentu saja Trauma sangat berbeda dengan Phobia.
Jadi, jangan pernah menyamakannya.
Penulis tidak akan menjelaskan secara rinci mengenai Trauma atau pun Phobia. Tapi, akan menceritakan sedikit kisah mengenai seseorang yang mengidap Trauma dan berusaha untuk menghilangkannnya dengan dibantu oleh orang terdekat.
Mengenai seseorang yang memiliki Phobia pun ada, tapi tak terlalu difokuskan.
Kisah ini pun tak luput dari kenyataan yang ada. Karna, penulis sendiri sempat mengalami Trauma yang tertuliskan di cerita ini.
Demikian pengantar dari penulis.
Selamat membaca kisah ini.
…
Trauma
.
Chara BoBoiBoy milik AniMonsta. Fanfic ini beserta alurnya, milik NaYu
.
Family – Hurt/Comfort
.
Dedicate For FIRST IMPRESSION Event
.
Warning : Elemental Siblings, Humor nyempil, Typo (maybe), OOC (maybe), No Pair, Implisit Scene Yaoi NOT BL, and etc.
.
Happy Reading!
Kalian tahu bukan, ketakutan akan suatu kejadian mengerikan yang kita lihat dengan jelas segala detailnya sangat mengganggu.
Bukan hanya mengganggu, tapi sangat mengesalkan, merepotkan, juga… menakutkan.
Dan jika sudah terjadi demikian, yang kita tanamkan di pikiran pasti, 'Lupakan hal itu!', 'Jangan sampai mengulangi kejadian yang sama!', 'Jauhi hal yang berhubungan dengan kejadian itu!', dan lainnya.
Banyak yang kita sugestikan pada pikiran kita sendiri, agar terhindar dari rasa takut. Selain berfikir seperti di atas, bisa juga kita bersikap layaknya tak takut pada apapun. Yah, contohnya saja kalian takut hantu, tapi kalian berkata tak takut sama sekali sampai memasang wajah 'lain' dengan nada bicara yang meyakinkan. Dengan begitu, orang tidak mencemoh hal yang kita takutkan.
Namun, semua itu butuh mental yang kuat. Bagi seorang yang mempunyai mental sekuat baja, istilahnya sih begitu, pasti akan sangat terbiasa mendapatkan perlakuan tak menyenangkan dari lingkungan, apalagi jika diejek mengenai hal yang ia takutkan.
Bagaimana bila yang memiliki mental lemah nan lembut?
Hahaha… pasti kalian tahu akan seperti apa jadinya. Atau tidak?
"Gempa, ayo kita berangkat bareng!"
Seruan Taufan yang riang itu, hanya dianggap angin lewat oleh Gempa. Kenapa begitu? Lihat saja wajah Gempa yang mendung. Sarapan buatan Taufan pun tak disentuhnya sedikit pun. Taufan hanya bisa tersenyum sendu melihatnya.
"Hey, kalau kau tidak makan bagaimana bisa mengerjakan UTS hari ini?" Taufan membujuk Gempa agar memakan makanannya. Namun seperti pepatah, masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Itu yang dilakukan Gempa.
"Cepat makan atau kau tak usah sekolah!"
Gempa tersentak saat mendengar desisan tajam Halilintar. Dan secepat kilat, piring yang sejak lima menit sebelumnya tak tersentuh, tandas hingga bersih.
"Alhamdulillah." Gumam Gempa setelah meminum air putih. "Kalau begitu, Gempa pergi duluan ya, kak Lintar, kak Taufan. Assalamu'alaikum!"
Gempa beranjak dari kursi dan melesat menuju pintu rumah, setelah mengambil tas yang ia sampirkan di punggung kursi.
Blam!
Pintu tertutup. Meninggalkan kesunyian di rumah tiga kembar ini. Halilintar dan taufan yang tidak sempat mencegah perginya Gempa pun masih terdiam kaku di kursi meja makan. Piring keduanya telah bersih dari sarapan pagi ini, sebelum Gempa menghabiskan sarapannya.
Namun, apa dikata. Niat ingin berangkat bareng sang adik seperti sebelumnya, mereka hanya akan berangkat berdua, lagi.
Ya, sudah lima hari Halilintar dan Taufan berangkat berdua saja dengan motor mereka masing-masing. Sedangkan Gempa, memilih berjalan kaki. Padahal sebelumnya, mereka selalu berangkat bersama. Entah Gempa ikut di motor Halilintar, atau pun di motor Taufan.
Sekolah mereka tidak terlalu jauh. Jika berjalan kaki, membutuhkan waktu 20 menit untuk sampai. Dan jika mengendarai motor atau menaiki kendaraan umum, sekitar kurang dari sepuluh menit pasti sampai.
Dan lagi, Halilintar dan Taufan memang memiliki motor mereka masing-masing. Kalau Gempa, memang tidak memiliki motor, karna saat itu belum pandai mengendarai juga belum mempunyai SIM. Dan saat sudah mempunyai SIM, Gempa tak ingin mengendarai motor bahkan menolak untuk dibelikan motor oleh kedua orang tuanya.
Dan hal ini membuat Halilintar dan Taufan seperti kehilangan sebagian jiwa mereka. Mereka tau apa yang menyebabkan sang adik bungsu bersikap seperti itu. Kejadian yang membuat wajah Gempa menjadi mendung dan membuat kedua kakaknya ini terus menegurnya hingga keduanya lelah sendiri.
Kejadian yang menjadikan sebuah trauma dalam kehidupan Gempa.
Flashback
"Nah! Kan Gempa sudah dapat SIM nih. Gempa bolehkan ngendarain motor kak Lintar atau kak Taufan?" Pinta Gempa yang saat ini baru keluar dari kantor polisi bersama Halilintar dan Taufan.
Mereka bukan ditangkap karna kena razia ataupun melakukan hal yang melanggar hukum. Tapi, karna Gempa baru saja selesai membuat SIM.
"Boleh saja!" Taufan tersenyum lebar dan langsung merangkul Gempa. "Ya kan, kak Hali?" Lanjut Taufan dengan wajah berbinar.
Halilintar hanya mengangguk, tanda menyetujui. Selanjutnya, Gempa menangkap kunci motor yang dilemparkan Halilintar. "Kau bawa saja Motorku. Aku akan pakai motor Taufan."
Setelah mengucapkan itu, Halilintar langsung mengambil kunci motor Taufan –yang memang dia pegang–, lalu memakai helm miliknya dan menstarter motor milik Taufan. "Ngapain kalian bengong? Cepatlah, aku lapar!"
Mendengar itu, Gempa langsung saja menaiki motor milik sang kakak tertua setelah mengenakan helm miliknya dan menstarter motor milik Halilintar. Sedangkan Taufan, makin mengembangkan senyumnya dan berjalan menuju Halilintar yang sedang menunggu kedua adiknya.
"Ngapain?" Tanya Halilintar saat Taufan hendak menaiki motor.
"Eh? Kan kan Hali naikin motorku. Berarti aku dibonceng sama kak Hali-lah." Jelas Taufan dengan wajah polosnya.
"Gak."
"Eh?"
"Kau jalan kaki."
JEDEEERRR
Serasa ada petir di siang bolong. Taufan merasa nyawanya melayang mendengar tiga kata yang keluar dari mulut sang kakak. Bener deh. Kakaknya tidak bohongkan? Tidak mungkin kakaknya membiarkan dirinya jalan kaki, kan? Dia yang sangat tampan se-Pulau Rintis ini tak mungkin disuruh jalan kaki, kan?
Memikirkan semua itu membuat Taufan terhuyung sendiri. Kepalanya pusing. Dirinya lemas tak berdaya. Nafasnya putus-putus. Tinggal matinya aja deh. #dilempar dalam angin topan
Melihat Taufan yang sudah seperti mayat hidup, Gempa pun mendekati Taufan juga Halilintar sembari membawa motor dengan berjalan. "Emm, kak Taufan bawa motor kak Lintar aja deh, nanti kakak bonceng Gempa."
"Tidak. Kan kau mau ngendarain motor sendiri. Jadi, bawa aja tuh motor. Biar si Taufan jalan kaki." Jelas Halilintar dengan cueknya.
"Tapi kan, kasian kak Taufan. Memangnya kenapa kak Lintar tidak mau bonceng kak Taufan?"
JEDEEERRR
Sekarang, giliran Halilintar yang merasa nyawanya melayang setelah mendengar pertanyaan polos Gempa. Bagaimana ini? Apa alasan yang harus ia katakan? Arrghh… Halilintar merinding seketika saat merasakan aura keisengan Taufan yang membara.
"Owh… masa kau lupa sih, Gempa~ kan kak Hali kita tersayang ini takut jika memboncengi orang lain selain dirimu, ibu, dan ayah~" Nada sing song yang Taufan keluarkan membuat Halilintar keringat dingin.
"Umm… iya juga ya, kok kak Lintar gak mau bonceng orang lain selain aku, ibu dan ayah?"
Lagi-lagi pertanyaan Gempa membuat Halilintar keringat dingin. Wajahnya semakin pucat. Dan tanpa sadar, Halilintar langsung ngebut ninggalin kedua adiknya yang terbengong-bengong melihat kepergian sang kakak.
"Jiahh… dia malah kabur! Aish, gagal deh godain dia! Sialan. Kampret." Taufan pun mulai mencak-mencak sambil mengacak-acak topinya.
Gempa hanya speechless melihat kelakuan kakak keduanya. 'Apa yang terjadi sebenarnya?' Batin Gempa bingung.
Perlu diketahui, Halilintar merupakan salah satu orang dari sekian banyak orang yang mempunyai phobia. Homophobia. Dan itulah yang menyebabkan dirinya tidak mau membonceng siapa pun, kecuali Gempa, Ibu dan Ayahnya.
Kenapa Taufan tidak termasuk? Karna Taufan terkadang iseng dengan kelemahan Halilintar yang satu itu. Dan sering menggoda Halilintar dengan suara manja para uke. Sehingga tak jarang Halilintar mengejeknya banci kalau Taufan sudah mulai menggodanya.
Dan Gempa sebenarnya tahu kalau Halilintar mengidap Homophobia. Tapi, terkadang Gempa seringkali lupa mengenai hal itu. Makanya, dia berkata dengan polosnya tadi.
.
"Oi, Gempa. Cepat sikitlah!"
"Ini sudah dalam batas kecepatan normal, kak. Gempa tak mau kena tilang."
"Grrhh… tapi, kalau kecepatannya segini, mana bisa ngejar kak Hali~"
Taufan menggeram frustasi. Setelah ia mencak-mencak tadi, Taufan langsung menyuruh Gempa ngejar Halilintar. Dan Gempa yang memang penurut, langsung saja mengendarai motor Halilintar untuk mengejar sang empunya motor. Namun sayangnya, Taufan lupa kalau Gempa ngendarain motor pasti mengikuti semua yang dianjurkan oleh polisi. Demi keamanan serta kenyamanan saat mengendarai, katanya.
"Kak Taufan yakin Gempa boleh ngebut?"
Taufan langsung tersenyum cerah saat mendengar pertanyaan izin dari sang adik. Dengan cepat ia langsung mengangguk dan berseru 'Ya', pada Gempa.
"Baiklah, harap kakak pegangan. Gempa akan menaikkan kecepatan."
Taufan tak mendengarkan perintah Gempa. Dia malah tertawa lebar saat Gempa menaikkan kecepatannya. Taufan terus tertawa hingga Gempa membawanya ke sebuah belokan jalan. Saat itu sedang lampu hijau, dan Gempa dengan mulusnya berbelok.
Namun, saat akan menemui belokan jalan selanjutnya, ada sebuah mobil sport yang melaju dengan kencangnya. Menerobos lampu merah dan menyerempet motor yang Gempa kendarain, hingga motor milik Halilintar itu berputar-putar dan berhenti saat menabrak tiang listrik.
Beruntung Taufan yang terlempar ke trotoar sebelum motor berputar-putar, tidak mengalami luka serius. Hanya lecet di siku dan lutut kanannya karna gesekan.
"GEMPAAA!"
Taufan panik seketika saat menyadari adiknya terlempar jauh dari motor. Tanpa memusingkan luka lecetnya yang perih, Taufan berlari dengan wajah khawatir juga mata yang mulai berair.
'Semoga Gempa selamat, ya Allah. Selamatkanlah, Gempa.' Itulah yang batinnya rapalkan selama ia berlari dengan tertatih-tatih.
"TAUFAN!" Seketika Taufan berhenti saat mendengar teriakan itu.
Suara itu…
…sangat ia kenali. Bahkan, rasanya ia tidak ingin bertemu dengan pemilik suara itu. Taufan pun sampai menundukkan kepalanya dalam, saat mendengar langkah kaki cepat yang menuju kearahnya.
"Hoi! Apa yang terjadi?!"
Taufan merasa tubuhnya digoncangkan dengan kuat. Merasa percuma mengabaikan orang di depannya, ia pun mengangkat kepalanya secara perlahan. Dapat Taufan lihat wajah sang kakak yang biasanya datar, memperlihatkan raut khawatir, cemas, dan tak sabar.
Perlahan, iris coklat Taufan yang tadinya sudah berkaca-kaca, menurunkan air matanya.
Deras. Sangat deras. Taufan pun terisak. Tubuhnya gemetaran. Halilintar sudah sangat ingin menghajar Taufan, jikalau tak ada yang menghalanginya.
"Maaf, apa kalian saudara dari anak yang di sana?"
Ya. Ada seorang pria yang menghampiri Halilintar dan Taufan sembari menunjuk tempat di mana Gempa berada.
Mengabaikan Taufan yang menangis dengan isakan kecil, Halilintar langsung berlari menuju tempat Gempa. Taufan yang melihat dari jauh pun perlahan melangkahkan kakinya dan kebali berlari, namun masih tertatih-tatih.
"Gempa! Hei! Kau tak apa-apa?"
Saat Taufan sampai, hanya kalimat itulah yang terus diulang kakak kembarnya. Dan dari tempatnya berdiri, Taufan dapat melihat tatapan kosong Gempa. Tatapan yang teramat kosong. Seperti tubuh tanpa jiwa.
Brugh
Tak sanggup berdiri dengan kakinya yang semakin sakit, Taufan pun terduduk. Halilintar menoleh ke belakang dan melihat Taufan jatuh terduduk dengan air mata yang semakin deras mengalir. Kali ini tanpa isakan.
"Kak… Lin… tar…" Lirihan Gempa, membuat Halilintar kembali menolehkan kepalanya. Dapat ia rasakan tubuh Gempa mulai bergetar, dengan tatapan yang masih kosong.
"Kak… Taufan. Mana… kak… Taufan…?" Lirihan Gempa semakin terdengar menyayat hati. Taufan yang berada di belakang Halilintar mulai mendekati sang kakak dan sang adik.
"Kakak… kakak di sini, Gempa. Kakak di sini." Ucap Taufan dengan tersendat.
"Kakak… kakak tak apa? Kakak tidak luka? Kakak baik-baik saja? Kok kakak nangis? Ada yang sakit ya? Yang mana yang sakit?"
Air mata Taufan semakin deras mengalir mendengar pertanyaan bertubi-tubi yang dilontarkan adiknya, dengan tatapan kosong. Semakin kencang. Tangisan Taufan semakin kencang sembari menggenggam tangan Gempa, yang sedari tadi terus meraba tubuhnya untuk mengecek ada yang luka atau tidak.
Halilintar yang melihat kedua adiknya menggeram marah. Marah pada dirinya sendiri yang tidak mengawasi. Marah pada dirinya yang kabur begitu saja saat digoda oleh adik pertamanya.
Dan karna itu pula, kejadian ini terjadi. Kejadian yang membuat Gempa shock dan Taufan mengalirkan air mata dengan deras. Juga membuat Halilintar mengeluarkan semua ekspresi yang jarang ia tampilkan.
Mengabaikan tatapan orang di sekitarnya, Halilintar tetap memperhatikan Taufan yang sekarang menangis sambil memeluk Gempa dengan erat. Bahkan Gempa pun sudah menangis dan membalas pelukan Taufan. Seakan-akan takut kehilangan salah satu dari mereka.
Flashback End
–Trauma–
Gempa terus berjalan dengan santai. Mengabaikan kendaraan yang berlalu lalang di jalan raya. Mengabaikan para siswa-siswi lainnya yang ikut berjalan di sekitarnya. Mengabaikan suara orang-orang yang saling bercanda, berbicara mengenai UTS, PR, bahkan pacar.
Ya, pemuda dengan topi yang dipasang terbalik ini hanya terus berjalan, mengabaikan hal yang menurutnya tak penting. Pandangannya lurus ke depan. Tapi, pikirannya melayang entah ke mana.
TIINNN! TIIIINNNNN!
Suara klakson motor membuatnya tersadar dan reflek menyingkir ke trotoar dengan satu loncatan, hingga punggungnya bertemu dengan tembok sebuah rumah makan.
"Hah.. hah… hah…" Nafasnya terengah-engah. Pandangannya menatap horror mobil yang melesat dengan kecepatan tinggi, setelah Gempa menyingkir sedetik sebelum tertabrak.
Ternyata, Gempa tak sadar jika ia jalan semakin menjurus ke jalan raya.
Sedari tadi, sudah banyak orang yang meneriakinya untuk jalan pada trotoar. Tapi, karna pendengarannya tertutup oleh pikiran yang melalang buana atau biasa kita sebut melamun, ia pun terus berjalan semakin ke samping hingga suara klakson motor itu menyadarkannya.
"Kau baik-baik saja nak?"
Gempa menolehkan kepalanya ke samping dengan gemetar. Iris coklatnya semula tampak kosong, perlahan bersinar penuh ketakutan. Tapi, ia berusaha untuk menyembunyikannya dalam sebuah senyuman tipis. Itu dikarenakan, di depannya terdapat seorang pria paruh baya dengan wajah khawatir. Mana tega dia membuah pria di depannya semakin khawatir pada dirinya yang sama sekali tak dikenal pria itu.
"Hehehe… Alhamdulillah saya baik-baik saja, Pak. Terima kasih telah mengkawatirkan saya." Ucapnya lembut namun jika didengarkan dengan baik, terdapat getaran di dalamnya.
"Alhamdulillah, makanya lain kali jangan melamun, nak." Nasehat pria itu sembari membantu Gempa untuk berdiri.
"Iya, Pak. Saya tadi, memikirkan UTS hari ini. Makanya sampai melamun. Terima kasih sekali lagi, dan maaf membuat bapak khawatir." Ujarnya dan langsung melesat kabur tanpa memperdulikan seruan sang pria tadi.
"Hah~ tampaknya musim ulangan membuat beberapa anak panik." Gumam pria itu setelah Gempa hilang dari pandangannya.
–Trauma–
Waktu adalah sebuah hal yang berjalan tanpa ada hambatan apa pun. Berjalan dengan lancar, tanpa terpengaruh oleh cuaca dan musim. Waktu pula yang membuat kita sadar, kalau setiap detik, menit, dan jam akan terjadi hal yang tidak dapat kita prediksi.
Waktu tidak bisa dihentikan. Tidak bisa dikembalikan.
Waktu kita lahir di dunia, waktu kita mulai mengucapkan sepatah dua kata, waktu kita mulai melangkah, waktu kita mulai berlari, tersenyum, dan sebagainya, tak akan bisa dikembalikan atau kita ambil kembali. Semua itu hanya bisa disimpan dalam memori ingatan. Bisa diabadikan juga dalam bentuk gambar dan video, asal tidak hilang, rusak, atau hancur.
Dan waktu pula yang bisa membuat seseorang melupakan hal yang tak terlalu penting untuk diingat.
Meski begitu, butuh waktu yang sangat lama bagi seseorang yang mengalami trauma untuk bisa melupakan hal tersebut. Sebenarnya, tergantung pada pribadinya. Seberapa kuat niatnya untuk menghilangkan hal yang disebut trauma.
Ada yang menghilangkannya dalam waktu singkat, entah berapa cepat. Ada pula dalam waktu yang tak bisa kita prediksikan.
"Kak Hali…" Lirihan Taufan, membuat Halilintar menatap heran sang adik yang duduk disampingnya. Ia diam saja, karena yakin sang adik akan melanjutkan perkataannya.
"Apa kita akan membiarkan Gempa seperti itu terus?" Desah Taufan sembari membaringkan tubuhnya pada sofa, lalu menutup wajahnya dengan topi miliknya. "Kalau dibiarkan, dia akan makin ternggelam dalam ketakutan, kak."
Halilintar yang mendengar perkataan sang adik tetap diam. Wajahnya perlahan menampakkan guratan lelah dan sedih. "Aku pun berpikir begitu."
Suasana ruang keluarga kembali hening. Padahal televisi menyala, tapi suara-suara yang keluar dari benda kotak itu, tidak mempengaruhi rasa sepi yang melingkupi kedua pemuda berwajah sama.
Halilintar langsung mematikan televisi begitu sadar kalau ia hanya membuang biaya listrik, jika menyalakan televisi tanpa menontonnya. Setelah itu, ia melihat jam yang telah menunjukkan pukul 3 lewat 20 menit.
"Fan, sebentar lagi ashar. Kau panggil Gempa di kamar, lalu kita shalat bersama."
Halilintar berdiri meninggalkan Taufan yang masih betah pada posisinya semula. Halilintar yakin, kalau adiknya itu mendengar apa yang ia perintahkan. Jadi, ia tidak mengulangnya lagi.
Seperginya Halilintar dari ruang keluarga. Taufan langsung bangkit dari rebahannya dan duduk di sofa dengan mata membelalak. Seperti tersadar akan sesuatu yang ia lupakan. Atau…
…mempunyai suatu ide?
.
"Jadi, apa maksudmu mengajakku ke kamar Gempa?"
Halilintar bertanya dengan nada suara kesal, setelah duduk di atas karpet yang tergelar di tengah kamar Gempa.
Gempa pun hanya memperhatikan kedua kakaknya yang tiba-tiba saja datang ke kamarnya, saat ia akan memulai membaca kembali pelajaran yang akan diulangankan besok.
"Kan sudah kubilang kalau aku punya ide." Jawab Taufan santai.
"Kalau begitu, cepat katakan idemu. Besok kita UTS, jika kau melupakan hal itu."
Taufan menghela nafas berat mendengar perkataan tajam kakaknya itu. Sedangkan Gempa, dia tetap memperhatikan dalam diam.
Taufan pun menatap Gempa dengan tatapan serius. Mau tidak mau, Gempa sedikit gugup karnanya. Melihat tatapan Taufan yang berubah, Halilintar pun berpikir mengenai ide yang akan Taufan katakan, berhubungan dengan trauma Gempa.
"A-ada apa, kak… Taufan?" Tanya Gempa gugup sembari sesekali menatap Taufan, lalu mengalihkan pandangannya.
Taufan berdiri. Ia mendekati Gempa dan duduk tepat di samping Gempa. Sangat dekat. Bahkan, tangan kanannya merangkul bahu Gempa.
Halilintar yang melihat hal itu berkeringat dingin. Alarm bahaya berbunyi jelas di kepalanya. Tanpa sadar, ia terus memundurkan tubuhnya. Mundur, dan terus mundur, hingga terhenti saat menyadari punggungnya bertemu dengan pintu kamar Gempa.
'Gawatgawatgawatgawat…' Batin Halilintar terus tanpa titik koma. Halilintar memejamkan matanya erat, hinggat ia tak dapat melihat apa yang dilakukan Taufan pada Gempa. Telinga Halilintar dapat mendengar suara bisikan yang… entah siapa yang melakukannya.
Keringat dingin semakin membanjiri Halilintar. Wajahnya makin pucat. Tubuhnya lemas. Jika saja dia punya kekuatan untuk sekedar berdiri dan kabur dari kamar adik bungsunya, mungkin akan ia lakukan sekarang juga.
Puk.
Halilintar spontan membuka matanya, saat merasakan tepukan keras di kedua bahunya.
"UWAAAAA!"
DUGH!
Dan sedetik kemudian, kepalanya ia benturkan pada kepala Taufan yang berada lima centimeter di depan wajahnya.
"Adudududuhhh… kepalakuu… sakiiitttt~~!" Taufan berguling-guling di atas karpet sambil memegang dahinya yang dibentur sang kakak.
Kalau dibentur saja sih, sudah biasa bagi Taufan. Tapi kali ini, ujung topi milik Halilintar menyabit dahinya. Tidak sampai terluka, hanya goresan merah yang tampak sakit jika disentuh.
"Kak Taufan gak apa-apa?" Tanya Gempa dengan nada khawatir. Namun, entah kenapa dimata Taufan, Gempa berusaha menahan tawanya.
"Gak apa-apa pala lu peang! Sakit nih! Kasih obat kek! Perban kek! Di cium kek supaya sembuh. Adududuhhh…"
Gempa cengo. Tak ia sangka kakaknya mengetahui gaya bahasa macam itu.
Halilintar yang mendengar kata 'cium' langsung tepar seketika. Kenapa? Karna tiba-tiba saja, bayangan Taufan yang mencoba untuk mencium Gempa berkelibat di kepalanya. Hingga membuat kepalanya berputar-putar dan perutnya mual. Yah, ujung-ujungnya pingsan.
"KAK LINTAR!"
Suara panik Gempa pun menggema keseluruh rumah.
.
"Makanya kak, kalau mau bicara, ya bicara. Jangan seperti tadi!"
"Iya, maaf."
"Harusnya kakak ngomong yang jelas. Kasian kan kak Lintar."
"Iyaa… maaf."
"Gempa sih setuju aja dengan niat baik kakak, tapi kalau gini jadinya? Yang repot siapa?"
"IYAA! KAKAK MINTA MAAF, GEMPA!"
Gempa terdiam.
Bibirnya yang sedari tadi mengoceh mengenai tindakan Taufan yang tiba-tiba tadi, terdiam saat Taufan berteriak dengan nada histeris.
"Kan aku sudah minta maaf. Jangan buat aku makin bersalah dong! Lagian, salahkan juga pikiran kak Hali yang mungkin saja berpikir aneh-aneh. Padahalkan, aku hanya merangkulmu seperti biasa. Salahnya di mana coba?!" Jelas Taufan sambil mengacak-acak kepalanya yang masih tertutupi topi biru putih miliknya.
"Salahnya, karena kakak tidak menjelaskan dari awal niat, maksud, tujuan kakak mengajak kak Lintar berkumpul di kamarku."
Dan masih panjang lagi perdebatan yang dilakukan Gempa dan Taufan.
Saat ini, mereka masih berada dikamar Gempa. Setelah Halilintar pingsan, Gempa langsung menggendong sang kakak dan membaringkannya di kasur. Gempa lekas mengambil minyak kayu putih dan minyak gosok di laci meja belajarnya. Ia mengoleskan minyak kayu putih di hidung Halilintar.
Sementara mengoleskan minyak kayu putih itu, Gempa mulai menceramahi Taufan atas apa yang ia perbuat. Taufan sendiri hanya mengoleskan minyak gosok yang diberikan Gempa, pada dahinya.
"WOOIII PANASSSS!"
Gempa dan Taufan tersentak saat Halilintar tiba-tiba bangun dan berteriak. Mereka berdua melihat tangan sang kakak sibuk mengipasi hidungnya. Karena, merasa tidak mempan, Halilintar berdiri dan berkeliling kamar Gempa, lalu mendekati kipas angin.
"Arrgghhh… SIAPA YANG MENGOLESI MINYAK KAYU PUTIH SEBANYAK INI DIHIDUNGKU!?"
Gempa langsung saja melihat botol minyak kayu putihnya yang berkurang seruas atau sepertiga jadi. 'Alamak! Aku tidak sadar kalau mengolesi sebanyak itu.'
Taufan langsung menunjuk Gempa. Sedangkan yang ditunjuk, hanya tersenyum kikuk sambil menunjukkan botol minyak kayu putih yang dipegangnya.
Wajah Halilintar memerah. Amarahnya berada di puncak. Jikalau ini anime, pasti sudah ada uap yang mengembul di atas kepalanya.
"GEMPAAA!"
Kembali seluruh rumah dihiasi teriakan yang membahana. Bedanya, kali ini Halilintar.
.
.
.
To Be Continue
Hohoho… Ini dia Fic untuk Event FI. Niatnya pingin buat One Shoot, tapi apa boleh buat. Kalau saya harus memisahkannya, karna bakal panjang. Kasian yang gak biasa baca fic yang perchapternya sampai 6K. Jadi, mungkin chap berikutnya adalah End.
Mohon kritik dan sarannya ya. Silahkan Review~ ^^v
