Chocolate Love
Bleach is Tite Kubo's
Warning
AU, Garing-ness, Abal-ness, OOC-ness, GaJe-ness, sedikit bloody
o.O.o.O.o
Malam yang dingin di Seireitei. Hawa dingin yang terbawa guyuran hujan deras membuat orang enggan keluar rumah. Toko-toko tutup lebih awal. Jalanan pun lengang, nyaris tak ada mobil yang ramai berkeliaran seperti biasa. Kota jantung kehidupan Soul Society ini bagaikan kota mati. Tak berpenghuni. Sepi.
Jauh di sudut kota, seorang gadis berjalan tertatih-tatih dalam guyuran hujan. Kaos yang dipakainya nampak sobek di beberapa bagian, mengekspos kulit putihnya yang terkoyak dan mengeluarkan cairan berwarna merah pekat. Tubuhnya tak kuat lagi untuk berlari. Matanya yang mulai redup, seolah berkilau untuk sesaat ketika dilihatnya sebuah plakat berbunyi POLICE STATION di pinggir jalan.
Sebelum tubuh mungilnya ambruk ke tanah, bibirnya menggumamkan sesuatu yang membuat polisi penjaga pos itu bergegas menghubungi markas pusatnya.
Tak berapa lama suara sirine memecah keheningan malam itu. Mobil ambulance dan polisi seakan berlomba dalam guyuran hujan. Keduanya berhenti di depan sebuah rumah bernuansa Jepang tradisional yang tampak berantakan.
~O.o.O~
"Kau temukan sesuatu,Gin?" tanya seorang lelaki tegap bermata hazel yang sedang membaca secarik kertas. Sesaat kemudian, keningnya berkerut. Pandangannya beralih pada lelaki kurus di sampingnya.
Lelaki kurus berwajah rubah di sampingnya, terkekeh pelan. "Sejujurnya belum. Tapi aku sudah menemukan titik terang kasus ini, Aizen Taichou". Ia lalu menyerahkan berkas lain pada Aizen. "Pelaku kasus ini mempunyai modus yang sama seperti pada kasus pembunuhan hakim di Rukongai, juga penculikan disertai pembunuhan di Inuzuri".
"Hm," gumam Aizen sambil menyesap kopinya. Di mejanya terlihat empat gelas kopi yang isinya sudah tandas. Sebentar lagi jumlah gelas kosong itu akan segera bertambah.
"Korban pertama, Hinamori Naoya 41 tahun, pegawai di sebuah kantor pemerintahan. Korban kedua, Hinamori Akeno 39 tahun, ibu rumah tangga. Mereka tewas dibunuh perampok yang menyatroni rumahnya. Gin, apa yang membuat kasus ini serupa dengan kasus Inuzuri dan Rukongai?"
"Di mayat keduanya ditemukan bros kupu-kupu hitam," sahut seorang lelaki berkulit gelap dan berkaca mata yang baru saja datang.
Aizen melirik pendatang itu sekilas, kemudian menghela nafas,"Black Butterfly lagi? Hm, organisasi yang benar-benar merepotkan."
"Ngomong-ngomong, kau darimana Kaname?"
Lelaki itu menoleh sebentar. "Rumah Sakit. Anak dari kedua korban itu masih hidup. Karena dia satu-satunya saksi dalam kasus ini, jadi kupikir lebih cepat minta keterangan darinya maka kasus ini akan segera tuntas. Ternyata dia sama sekali belum sadar sejak semalam. Hah..Sia-sia aku kesana," sungut lelaki yang dipanggil Kaname itu sambil melepas mantel abu-abunya.
"Gadis yang melapor semalam ya? Kasihan gadis itu. Dia masih sangat muda," ujar Gin sambil geleng-geleng kepala, untuk sesaat senyum rubahnya menghilang digantikan senyum getir yang sangat jarang terlihat di wajah tirusnya.
"Hidup memang tidak selalu indah,Gin. Tidak semua orang bisa bahagia dalam hidupnya. Yah, semoga kita bisa segera meringkus orang-orang biadab itu," sahut Kaname sambil mengangguk pada Hanataro yang baru saja membawakan kopi untuknya.
"Gin, nanti kau temani aku ke Rumah Sakit ya. Saat dia sadar nanti, aku ingin sedikit ngobrol dengannya," kata Aizen. Seulas senyum penuh arti terpasang di bibirnya.
Kaname dan Gin hanya saling pandang lalu menggelengkan kepala. Taichounya itu memang tidak bisa dihentikan kalau sudah penasaran. Padahal mereka tahu, semalam Aizen baru datang dari Karakura dan pasti terserang ngantuk berat. Lihat saja 5 gelas kopi kosong yang teronggok di meja.
"Ya~. Baiklah, Aizen Taichou. Tidak baik kan mengekang anak kecil yang penasaran?" sahut Gin sambil menenteng laptopnya keluar ruangan.
"Aku bukan anak kecil,Gin. Setidaknya aku tidak pernah merengek-rengek meminjam mobil untuk menjemput Rangiku di kafe," kata Aizen santai.
Beruntung Gin sudah terlalu jauh untuk bisa mendengar atasannya, kalau tidak pasti wajah rubah jenius itu akan sewarna dengan saus tomat.
~O.o.O~
Momo terlelap dalam ketakutan luar biasa, tubuhnya terasa berat dan dingin. Membuatnya ingin terjaga, membuka mata dan kembali pulang ke dunia nyata. Tapi bagaimana pun kerasnya ia mencoba, seperti ada kekuatan yang menariknya untuk tetap di alam mimpi. Kekuatan yang membuatnya tetap membuka mata pada adegan berdarah di depannya.
Ayahnya terhuyung berlumuran darah. Dada dan punggungnya menganga lebar. Tapi ayahnya masih berusaha berdiri dan menghalangi dua lelaki bertopeng untuk masuk lebih jauh ke dalam rumah.
"Akeno! Cepat bawa Momo lari dari sini!" teriak ayahnya sambil menahan ayunan samurai lelaki bertopeng. Tetapi sebelum ayahnya sempat berkata-kata lagi, lelaki bertopeng lain telah menghunjamkan samurai ke jantung ayahnya. Seketika itu juga, ayahnya roboh bersimbah darah. Tidak berhenti sampai di situ, lelaki bertopeng itu mengayunkan samurainya ke leher korbannya yang telah jatuh. Leher itu nyaris putus tertebas samurai, tulang lehernya yang putih menyembul keluar.
Ibunya kalap melihat belahan jiwanya roboh bermandikan darah. Lupa akan pesan suaminya, wanita itu berlari menyongsong tubuh tak bernyawa suaminya. "Tidak! Ayah! Bangun, Yah!" isaknya di atas jasad bersimbah darah suaminya.
"Pembunuh! Keparat kalian!" wanita itu melemparkan vas bunga di dekatnya ke arah salah satu lelaki bertopeng. Lelaki bertopeng itu tidak berniat menghindar. Ia membiarkan vas bunga itu menghantam kepalanya dan pecah berkeping-keping, meninggalkan luka yang cukup panjang di wajah sebelah kirinya. Bagaikan mempunyai tenaga monster dan ambang rasa sakit di atas manusia normal, laki-laki itu tetap bisa berdiri tegak. Dengan cepat salah satu dari mereka menebas ibunya dengan samurai.
Tanpa belas kasihan, ibunya pun menerima perlakuan sama seperti ayahnya. Dada wanita itu terkoyak, darahnya muncrat mengotori tatami dan dinding. Dinding itu segera berganti warna menjadi merah pekat.
Mendengar suara teriakan ibunya, Momo berlari menuruni tangga. Sesampainya di anak tangga terakhir, ia berdiri mematung. Tubuhnya tak bisa bergerak. Ingin ia berteriak sekencangnya tapi tidak bisa. Tenggorokannya seperti diisi berton-ton pasir. Kering dan sakit.
"I..ibu! A-Ayah!" hanya kata-kata itu yang keluar dari mulutnya. Ibunya memandangnya sambil meregang nyawa. "Lari! Cepat! Kau harus tetap hidup!" kata itu diucapkan ibunya sepenuh tenaga sebelum akhirnya wanita yang paling disayangi Momo itu menyusul suaminya ke alam lain.
Momo tetap tak bergerak. Matanya terpaku pada kedua sosok yang dikasihinya. Air matanya dengan cepat mengalir, membuat pandangannya kabur. Ia tak berusaha menghapusnya. Ia sengaja membiarkan pandangannya kabur, berharap setelah pandangannya menjadi jelas, adegan di depannya menghilang.
Sayangnya, adegan itu menjadi semakin nyata setelah dua lelaki bertopeng itu berjalan mendekatinya. Samurai terhunus yang berlumuran darah terarah tepat padanya. Sedikit demi sedikit ketakutan mulai menguasai dirinya menggantikan kesedihannya. Lelaki itu berjalan mendekatinya. Tanpa membuang waktu, lelaki bertopeng itu mengayunkan samurainya tepat ke arah Momo.
"Tidak!"
Momo terjaga. Napasnya tersengal-sengal. Keringat dingin mengucur deras di sekujur tubuhnya. Dengan ketakutan, matanya memandang sekeliling. Dan, tiba-tiba dia sadar bahwa ada seseorang yang tengah mengawasinya. Mata hazel itu menatapnya tak berkedip, terbersit ekspresi terkejut lalu segera berganti dengan ekspresi iba.
"Jangan! Jangan mendekat!"
"Jangan takut, nona. Kau aman sekarang," pemilik mata itu berkata perlahan padanya. Seakan mengerti ketakutan dan kebingungan Momo, lelaki itu tersenyum lembut sambil berkata,"Kau ada di rumah sakit. Aku Aizen Sousuke, dari kepolisian Seireitei. Kami selalu menjagamu, jadi kau tidak perlu takut lagi."
Entah karena kata-kata pria itu atau karena kehangatan dan rasa aman yang terpancar dari tatapan lembutnya, napas Momo perlahan mulai teratur. Tangan laki-laki itu mengulurkan tissue pada Momo.
~O.o.O~
Beberapa jam berlalu dengan lambat bagi Aizen. Sudah pekerjaannya untuk mencari keterangan dari para saksi. Tapi tak pernah sebelumnya, ia merangkap bertugas menenangkan gadis yang sedang menangis. Itu tugas Gin. Tapi sialnya rubah jenius nya itu tiba-tiba mendapat telepon dari kekasihnya untuk segera menjemput kekasih tercintanya yang baru saja selesai belanja di mall Seireitei. Ingin rasanya Aizen menghantamkan revolvernya ke kepala Gin, sayangnya anak itu sudah kabur duluan dan meninggalkannya.
Aizen menghela napas sekali lagi. Tentu gadis ini masih sangat shock dan sedih mengingat orang tuanya dibantai di depan matanya. Dan dia sendiri bahkan juga hampir mati. Aizen sangat mengerti, tapi kasus lain yang diduga ada hubungannya tak akan memberinya waktu terlalu lama. Motif kasus ini harus segera diungkap sebelum jatuh lebih banyak korban lagi.
"Nona Hinamori, saya mohon maaf. Tapi bisakah Anda mengingat-ingat lagi, bagaimana ciri-ciri pelaku?"
Tak ada suara lain kecuali isak tangis Momo yang semakin kencang. Tak tahu lagi, Aizen meraih Momo dalam dekapannya. Mencoba menenangkan gadis itu, tak peduli dia akan melanggar etika atau tidak. Toh, niatnya hanya untuk menenangkan gadis itu lalu meminta keterangan dengan lancar. Tidak ada niat lain. Kemeja biru mudanya mulai basah oleh air mata. Ia merasakan tubuh Momo bergetar. Hn, sepertinya aku memang tidak bisa mendapat keterangan hari ini.
~O.o.O~
"Aizen Taichou~"
Aizen tidak perlu repot-repot menoleh, atau lebih tepatnya ia tak ingin menoleh untuk mengetahui siapa yang memanggilnya. Ia merasa lebih baik mengabaikan sang pemanggil daripada menoleh dan timbul niatnya untuk memberondong kepala laki-laki yang memanggilnya dengan revolver kesayangannya.
Sudah satu jam Aizen membaca laporan kasus pembunuhan suami istri Hinamori. Semakin membaca, semakin pening kepala Azien mengingat ia tidak bisa menggali informasi dari satu-satunya saksi kasus itu. Tangan kanannya bergerak meyingkirkan helaian rambut yang jatuh mentupi kening. Mengembalikannya lagi pada susunannya yang disisir ke belakang, menyisakan sedikit anak rambut yang terurai jatuh kembali di dahinya.
"Aizen Taichou~ jangan marah-marah begitu dong~ nanti cepat tua lho. Para mademoiselle di Zinya tidak akan suka melihat superman idolanya bertambah keriput." Suara Gin menggodanya untuk melemparkan mesin fax di depannya ke kepala rubah perak itu.
"Hm,kau dari mana Gin?" alih-alih suara berat penuh amarah yang dikeluarkannya, justru suara tenang dan dalam yang meluncur datar dari bibirnya. Aizen memang selalu berhasil mengcover suasana hatinya.
"Err, dari Rumah Sakit, Taichou.." jawabnya sambil senyum-senyum menyebalkan.
"Oh ya? Kupikir semalam aku mendapat laporan kau "meminjam" mobil Kaname untuk belanja ke Mall Seireitei. Jadi mana yang benar Gin? Karena tadi pagi saat aku keluar dari Rumah Sakit, aku bahkan sama sekali tidak melihat batang hidungmu di sana," sahut Aizen datar sambil menyalakan laptopnya.
Seringaian Gin makin lebar mendengar kata-kata Aizen. Bibirnya melebar sampai di bawah telinganya. "Ehe..he.. Semalam aku ada urusan sebentar,Taichou".
Aizen melirik bawahannya sekilas, dengan tatapan setajam silet ia berkata," Kurasa 'semalam penuh' cukup untuk menggambarkan definisi 'sebentar'mu itu".
"Maaf, Taichou. Ayolah, jangan marah–marah begitu. Tanpa marah pun, kau sudah cukup menyeramkan. Apalagi saat marah begini. Tidakkah kau lihat sekarang kakiku sudah gemetaran ?"
Tak ada sahutan dari Aizen. Seakan ia tidak menganggap Gin ada di depannya. Matanya terpaku pada layar laptop dan jemari panjangnya tengah sibuk mengetikkan sesuatu.
Gin menghela nafas. Berurusan dengan Aizen Taichou yang ngambek memang tidak mudah. Hanya satu hal yang bisa merubah kembali mood kaptennya itu."Oke. Sebagai permintaan maafku, aku membawakanmu berkas keterangan Hinamori Momo yang baru saja selesai kukerjakan. Aku mengerjakannya dengan ngebut lho..Setelah urusanku selesai, aku langsung ngebut ke rumah sakit. Petugas yang jaga bilang kau baru saja dari sana. Jadi aku langsung menemui gadis itu...bla...bla..bla..."
Gin terus saja berbicara penuh semangat kepada kaptennya, meskipun ia tahu laki-laki berambut superman itu sudah tidak fokus pada perkataan lagi ketika mata hazelnya langsung menyambar map merah di tangan Gin. Sedetik kemudian map itu sudah berpindah tempat ke atas meja Aizen.
"Nah, beres kan? Kalau begitu, senyum dong Taichou~" ucap Gin ceria, tapi ia buru-buru kabur keluar ruangan ketika dilihatnya tangan Aizen bergerak meraih vandel marmer di dekatnya.
~O.o.O~
"Bagaimana Aizen? Sudah ada perkembangan?" tanya lelaki tua berjenggot putih pada seorang pria muda berambut cokelat gelap di depannya.
"Sejauh ini kami masih menyelidiki keterkaitan kasus ini dengan pembunuhan hakim Kasuoji di Rukongai, Komandan Yamamoto," pria muda itu menjawab, sambil menyerahkan sebuah map.
Lelaki yang dipanggil Komandan itu membuka map, lalu membaca beberapa berkas di dalamnya sejenak. "Hm..Bagus. Awasi terus. Dan laporkan setiap perkembangannya padaku".
"Siap pak!"
"Baiklah, kalian boleh pergi," kata Yamamoto sambil mengibaskan tangannya. Aizen, Gin dan Tousen memberi hormat lantas bergegas melangkah keluar, tetapi langkah mereka terhenti oleh ucapan sang komandan.
"Oh ya. Mengenai saksi kunci dari kasus Hinamori itu.. Komisaris memutuskan untuk menitipkannya sementara di rumah salah satu dari kalian. Yah, untuk melindunginya dari bahaya dan juga agar kalian lebih mudah meminta keterangannya."
Ketiga lelaki itu tercengang dan saling pandang.
~O.o.O~
"Ayolah, Aizen Taichou.. Istri dan anakku saja sudah cukup berisik di rumah. Apa kau tega melihat kami berempat yang hidup berdesak-desakkan harus ditambah seorang gadis lagi? Kau juga tahu kan, istriku cemburuan setengah mati? Kedatangan seorang gadis di rumahku, bisa memicu perang dunia ketiga," tolak Kaname yang sukses membuat Gin tertawa terpingkal-pingkal.
Ia membayangkan Tousen Kaname yang sangar dan galak bagai singa Afrika, tiba-tiba jadi penurut dan sangat manis layaknya kucing Persia ketika berhadapan dengan istrinya. Tawanya yang sempat berhenti, meledak kembali, bahkan death glare Kaname gagal membungkam mulutnya.
"Bagaimana denganmu,Gin? Kau kan bujangan.. Apartemenmu juga masih cukup diisi satu orang lagi." Gin berhenti tertawa. Kata-kata Aizen membuat seringaiannya menghilang entah kemana.
"Err,ano...Kau tahu kan Taichou, Rangiku baru saja datang dari Las Noches. Dan dia juga belum punya tempat tinggal di Seireitei ini. Jadi...yah..kau tahulah.." jawab Gin sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Kalian tinggal bersama,Gin?" seperti tidak puas dengan jawaban rekannya, Kaname berusaha memberi penekanan pada kata-kata 'tinggal bersama'. Kening Aizen berkedut-kedut menahan marah. Apa-apaan sih, anak ini?
Bukannya menjawab, Gin hanya cengengesan seperti biasa. Aizen benar-benar pusing, tak tahu lagi harus bagaimana, ia melayangkan pandangannya keluar jendela. Memandang warna lembayung di langit sore Seireitei, seolah solusi untuk masalahnya ada di sana.
"Ehem.." suara Tousen membuatnya menoleh, dilihatnya Gin menyeringai sangat lebar.
"..."
"Apa?"
"Taichou, kau juga bujangan kan?"
"..."
"Apartemenmu cukup luas,Taichou.."
"..."
"Selamat Taichou. Mulai sekarang kau tidak akan tidur sendirian di apartemen."
"Diam,Gin!"
o.O.o.O.o
Saia mendapat inspirasi fic gaje nan aneh ini saat melihat om superman dan dua anak buahnya bertransformasi menjadi seorang polisi..
Akhir kata,
Setetes review Anda, penyambung hidup fic saia.. Jadi..REVIEW pliss..
