—Compass—
Author: Rin, collab with kkun-clouds
Chapter: Prologue of 7 + Epilogue
Disclaimer: All casts is belong to themselves.
Rated: T
Pair: YeHae, KiHyun, WonMin, ZhouRy, KangTeuk, HeeWook, HanHyuk.
Genre: Fantasy – Romance
.
Warning: AU, Crack Pair, YAOI, OOC untuk keperluan cerita, dll.
.
.
DON'T LIKE DON'T READ
.
.
—First—
"Aigoo, ini tidak rusak kan?"
Mata foxynya menatap kompas miliknya yang sedari tadi ia pukulkan pada bangku taman yang ia duduki. Berkali-kali ia melakukannya, berharap akan terjadi sesuatu. Namun, sia-sia. Bahkan walau sudah ia pukulkan berkali-kali—ditambah dengan tenaganya yang tidak bisa dibilang kecil, benda itu masih utuh, diam, statis, tanpa ada satupun pergerakan, apapun itu.
Ia mempoutkan bibirnya. Ini tidak rusak kan? Untuk apa orang-orang tua itu menyuruhnya mencari orang itu dan malah memberikan alat yang bisa memandunya dalam keadaan rusak?
Lee Sungmin mengacak rambutnya frustasi. Ini menyusahkan. Kalau saja kakek-kakek sialan itu tidak melarangnya menggunakan kekuatan apapun selain kekuatan dari kompas ini, ia pasti bisa dengan mudah menemukan orang yang seharusnya ia cari.
"Mwo?"
Ia mengerjapkan kedua matanya, menghentikan tingkah konyolnya yang sedari tadi menggalau tidak jelas. Jarum kompas yang sejak awal diam, mulai berputar. Pelan, menunjuk ke arah utara.
Sungmin bangkit, terlampau bersemangat hingga ia hampir terjatuh. Ia tidak mempedulikannya. Akhirnya setelah sekian lama berjalan tak tentu arah, ia menemukannya. Ia memang baru melakukan pencarian ini selama tiga bulan, tidak seperti dongsaengnya yang bahkan menghabiskan waktu selama satu tahun melakukan ini. Tapi selama tiga bulan itu, tak ada hal berarti apapun yang terjadi padanya, malah terkesan statis. Itulah sebabnya, reaksi sekecil ini, walau lemah, adalah hal yang sangat dinantikannya.
Baiklah, siapapun itu, aku akan menemukanmu.
.
.
—Second—
"Annyeonghaseyo, Cho Kyuhyun imnida. Mohon bantuannya untuk satu tahun ke depan."
Ia membungkukkan badannya. Berdiri di depan kelas yang baru saja akan ia tempati. Senyum lebar terpatri di wajahnya, membuat semua siswa di kelas—baik namja maupun yeoja—sontak menatapnya, antara kagum dan iri.
Semua, kecuali satu namja yang duduk di bangku belakang dekat jendela. Lebih memilih memperhatikan hujan yang turun di luar sana—yang nyatanya memang lebih menarik. Ini bukan musim hujan namun hujan turun dengan sangat lebat, layaknya air yang dibuang dari langit secara besar-besaran.
Itu jauh lebih menarik perhatiannya. Membuatnya bahkan tidak menyadari ketika namja itu—murid baru di kelasnya—duduk tepat di sebelahnya. Dan membuatnya tak menyadari pula ketika namja berkulit semi pucat itu tersenyum tipis sambil melihat ke depan, sebelum kemudian tergantikan oleh sebuah seringai.
Cho Kyuhyun merogoh saku celananya, mengambil sebuah kompas berwarna silver. Seringainya semakin lebar ketika dilihatnya jarum kompas miliknya berputar, tanpa henti dan semakin cepat.
Kim Kibum, akhirnya kau kutemukan.
.
.
—Third—
"Hufft…"
Leeteuk bersandar pada bangku taman yang sedari tadi ia duduki. Kedua matanya terpejam, sementara tangan kanannya merogoh dalam-dalam tas yang ia letakkan di sampingnya. Jemarinya terhenti ketika menyentuh sebuah benda di dalamnya. Sontak kedua mata yang awalnya terpejam itu pun terbuka.
"Hhhh…"
Lagi. Helaan nafas itu kembali terdengar. Kali ini lebih berat dari sebelumnya. Ia mengacak helaian light-brown miliknya, sedikit frustasi. Tanpa melihat apa yang ia sentuh, ia sudah tahu apa itu. Kompas berwarna putih miliknya.
"Hhhh..."
Kembali terdengar. Kali ini bukan hanya terdengar berat, melainkan pasrah. Ini bukan karena masalah uang sewa apartemennya yang agak sulit—err, itu juga sebenarnya sih, tapi untuk sekarang itu bukan prioritas, toh kalaupun ia diusir ia masih bisa—sedikit memaksa sih—menumpang tinggal di tempat Kyuhyun. Yah, itu juga kalau maknae satu itu, tidak sedang dalam mode menyebalkannya.
Masalahnya kali ini, yang benar-benar masalah besarnya, selain dari kesulitan keuangan yang dialaminya (ingin ia hancurkan tempat tinggal para tetua sialan itu yang sudah menempatkannya dengan sangat tidak elit di dunia ini), adalah... kompas miliknya.
Ia memang diberitahu oleh orang-orang tua kurang kerjaan yang dengan seenaknya membuat mereka—ia dan beberapa dongsaengnya—melakukan perjalanan tidak jelas hanya untuk mencari jodohnya—jodoh mereka. Benar, jodoh. Dan, hell, kenapa satu-satunya cara untuk menemukan mereka harus menggunakan benda bulat konyol yang bahkan hampir tidak pernah digunakan lagi di dunia ini?
Bukan itu masalahnya, sejujurnya...
Leeteuk kembali menghela nafasnya. Masalah ini benar-benar membuat kepalanya pusing. Kompasnya sudah lama berputar, tanpa henti, sejak beberapa bulan yang lalu. Bukan, ia bukannya tidak tahu siapa orang yang dimaksud, karena sebenarnya ia bahkan sudah mengenalnya.
Kim Youngwoon. Teman kerjanya di café tempat ia bekerja.
Yang jadi masalahnya, ia bahkan tidak tahu apa yang harus ia katakan mengenai hal ini. Tidak mungkin kan ia tiba-tiba bilang kalau ia adalah jodohnya?
Aigoo, ini bahkan jauh lebih sulit daripada memarahi semua dongsaengku…
.
.
—Fourth—
"Zhou Mi-gege, tidak bisakah kau pelankan langkahmu? Tidak sadarkah kau kalau kakimu itu panjangnya amit-amit?"
Namja bernama Zhou Mi itu menghentikan langkahnya, berbalik dan dilihatnya namja lain yang lebih pendek darinya sedang berusaha menyamakan langkahnya dengan susah payah. Henry—nama namja itu—langsung menghirup oksigen sebanyak-banyaknya ketika ia sudah tiba di dekat Zhou Mi.
"Langkahku sudah pelan lho, mochi..."
Plak.
Henry menggeplak kepala Zhou Mi menggunakan kompas berwarna putih gading miliknya. "Untuk standar panjang kakiku, langkahmu itu masih terlalu cepat—atau lebar mungkin lebih tepatnya."
Zhou Mi memegangi kepalanya, meringis kesakitan. Senang rasanya mengganggu sang mochi, namun ketika ia terlalu kesal, ia bisa berubah menjadi mochi sangar yang hobi memukulnya entah dengan benda apa yang sedang dipegangnya. Dan sialnya, yang sedang dipegangnya saat ini adalah kompas milik sang mochi yang sudah mempertemukan mereka—yang kerasnya benar-benar menyusahkan
"Arra, arra. Tapi kalau kita tidak cepat, kita bisa benar-benar terlambat, mochi chagi…"
"Kalau begitu, gendong aku."
"Mwo?"
"Kan tadi kau bilang kita harus cepat, daripada menunggu langkahku yang lambat, bukannya lebih baik kalau kau menggendongku jadi kau bisa melangkah lebar seperti biasanya. Lgipula, gege kan mirip koala, jadi pasti bisa menggendongku." Ucap Henry, sambil tersenyum lebar.
Zhou Mi hanya bisa facepalm mendengarnya. Bilang saja kalau kau malas berjalan terlalu jauh sekalian juga ingin mengejekku. Dasar modus...
"Mochi, cepat jalan, atau kau akan kehilangan salah satu gegemu..."
Henry membulatkan kedua matanya, lupa akan kemungkinan satu itu. Detik berikutnya, ia segera menarik salah satu tangan Zhou Mi dan berlari. "Yaa! Gege, kenapa kau tidak ingatkan aku soal itu?"
Zhou Mi memilih diam, setidaknya ia bisa membuat mochi China ini berjalan—err, atau lebih tepatnya berlari—dengan kedua kakinya sendiri tanpa mengeluh kelelahan atau mempermasalahkan kedua kaki jenjangnya yang melangkah terlalu lebar. Apapun itu, setidaknya mereka bisa lebih cepat sampai di tujuan.
.
.
—Fifth—
Lee Hyukjae hanya bisa mengerjapkan kedua matanya, tidak percaya dengan apa yang tengah terjadi padanya. Ini aneh, ini mustahil, atau apalah istilahnya. Mana ada orang sebaik ini? Mengizinkannya untuk tinggal sementara di rumahnya, sementara dirinya adalah orang asing yang—sedikit berakting—menceritakan keadaan dirinya yang tidak memiliki tempat tinggal (err, sebenarnya ini agak benar juga, setidaknya di Korea ini ia memang tidak memiliki tempat untuk tinggal). Apa wajahnya itu terlihat seperti orang baik-baik yang setiap perkataannya dapat dipercaya?
Bahkan Lee Donghae sekalipun selalu dengan mudah mengetahui kapan ia berbohong dan kapan ia berkata jujur. Sahabat sehidup tapi bukan sematinya itu bahkan sering kali memukul kepalanya jika ia sedikit berbohong padanya.
Tapi ini...
Namja ini bahkan mengizinkannya tinggal di kediamannya, tanpa menanyakan apapun. Tan Hankyung namanya—itu nama Koreanya ngomong-ngomong. Nama aslinya Tan Hangeng, berasal dari China—menurut pengakuannya. Entah benar atu tidak, tapi melihat wajah orientalnya yang sedikit berbeda dengan orang Korea, ia yakin kalau orang ini memang mengatakan yang sebenarnya.
Ah, satu lagi. Biarpun orang ini ramah, tapi jujur saja, ia agak kaku dan canggung jika dekat dengannya...
Yah, tidak masalah sih, setidaknya... ada satu keuntungan yang didapatnya dengan tinggal di tempat ini.
Ia bisa tinggal satu atap dengan seseorang yang menyebabkan kompas miliknya berputar tanpa henti.
.
.
—Sixth—
Kim Ryeowook tidak pernah merasa setakut ini sebelumnya—ralat, ia pernah merasakan hal ini, hanya saja tidak seekstrim dengan apa yang tengah terjadi padanya sekarang. Ia menelan salivanya, suaranya benar-benar sulit untuk dikeluarkan dan lidahnya entah kenapa seperti mati rasa.
Iris gelap miliknya menatap namja di hadapannya—lebih cantik daripada yeoja manapun yang pernah ditemuinya namun tetap terlihat sangar kalau menurut penglihatannya, sekarang.
Ia bukan tipe frontal, lebih senang berada di balik bayang-bayang Lee Sungmin yang memang notabenenya sangat dekat dengannya. Hanya saja, entah kerasukan apa, atau entah apa yang ada dalam pikirannya hingga ia bisa mengalami hal ini.
Ketahuan mengikuti namja di hadapannya ini, lalu dipaksa untuk masuk ke dalam flat berukuran sedang miliknya dan kini berakhir dengan ia yang seolah terlihat sedang diinterogasi. Oh, bahkan bicara dengan tetua sarap di dunianya tidak semenakutkan ini suasananya…
"Jadi?"
Ryeowook menelan salivanya—lagi untuk yang kesekian kalinya. "Aku… sudah bilang semuanya. Jeongmal, aku tidak sedang berbohong sekarang…"
Namja cantik itu hanya menatap tajam ke arah Ryeowook, membuat namja bertubuh mungil itu hanya bisa merengut takut. Teukie-hyung... Minnie-hyung... aku benar-benar tidak kuat kalau harus seperti ini. Orang ini terlalu menakutkan...
Jinjja, siapapun yang sudah membuat kompas miliknya mengarah pada namja ini, ia benar-benar ingin menggeplak kepala orang itu lalu menggantung tubuhnya di moncong jerapah. Siapapun... tolong aku...
.
.
—Seventh, Last—
Namja berambut gelap itu mendongakkan kepalanya, menatap langit yang telah merubah warnanya menjadi gelap. Tetesan hujan mengenai kepalanya yang memang tidak tertutup apapun. Ia mendesah. Iris gelapnya beralih pada sesuatu yang dipegangnya. Benda bulat berlapis emas dengan lambang clover di bagian penutupnya. Sebuah kompas.
Ia mengerutkan alisnya, ketika dilihatnya jarum kompas itu berputar—terus tanpa henti. Oh, ayolah, benda ini tidak mungkin rusak kan? Orang-orang tua itu tidak mungkin memberikannya benda yang sudah rusak kan?
Ia mendengus. Ini sudah lewat dari satu tahun sejak ia memulainya. Berbekal benda bulat ini yang kadangkala membuatnya harus menahan emosinya karena sering berputar tanpa henti—seperti sekarang ini. Namun, selama satu tahun itu pula ia tidak menemukan apa yang harus dicarinya.
Apa ia kembali saja lagi ke rumahnya?
Aish, dua minggu. Kalau sampai dalam waktu dua minggu ini aku tidak bertemu dengan siapapun yang memiliki nama Kim Jongwoon, aku akan pulang saat itu juga.
Ia melanjutkan langkahnya, tanpa menyadari ada seseorang yang selalu mengikutinya kemanapun ia pergi, sejak awal ia melakukan perjalanan tanpa arah ini. Lee Donghae bahkan tidak menyadari kalau dirinya kini dalam bahaya—tidak, bukan sekarang, bahkan sejak awal ia memang berada dalam bahaya, tergantung kapan orang yang mengikutinya ini berhenti bermain-main dan mengamati keadaan…
Namja dengan iris kemerahan itu menyeringai. Tidak menyenangkan jika ia memulai semuanya dengan terburu-buru, harus ada sesuatu yang bisa ia mainkan atau setidaknya bisa membuatnya mengulur waktu dengan sangat menyenangkan.
Dan mengganggu Lee Donghae, mungkin adalah salah satu hal yang bisa membuatnya senang saat ini…
.
.
.
Shindong hanya bisa menghela nafasnya, sambil sesekali memijat pelipisnya. Heran, facepalm, tidak habis pikir dan sebagainya. Bagaimana mungkin ia bisa tahan beberapa tahun mendampingi orang-orang tua yang tidak punya kerjaan dan lebih seringnya mengganggu semua penghuni dunia ini—dunia tempat tinggal mereka yang terisolasi dari dunia luar tempat tinggal para manusia pada umumnya—yang kini justru membuat repot tujuh orang namja dengan menyuruh mereka mencari jodoh mereka sendiri. Hell, semua orang tua di dunia ini juga tahu, kalau jodoh mereka tidak perlu dicari, kalau waktu yang tepat sudah tiba, mereka akan dengan sendirinya bertemu—tanpa bantuan kompas tidak jelas buatan orang-orang tua ini.
Masa kecil kurang bahagia, eoh? Sampai melakukan permainan tidak jelas ini, dasar labil…
Yah, semoga saja tidak akan ada sesuatu yang buruk terjadi pada hyung dan dongsaengnya yang kini menyebar di Korea Selatan.
"Tidak akan ada sesuatu yang buruk, tapi lebih parah dari itu. Setidaknya, tidak ada masalah dengan Lee Hyukjae. Yang jadi masalah justru Lee Donghae…"
Shindong melebarkan kedua matanya. Namja bertubuh tambun itu hanya bisa diam. Bukannya itu artinya kalau salah satu dongsaengnya yang punya ketertarikan lebih pada ikan itu sedang dalam bahaya?
"Maksud anda?"
Kakek tua berjanggut putih itu—mengingatkannya akan salah satu tokoh fiksi di sebuah novel yang pernah ia baca yang hobi memakan permen jeruk, seorang penyihir yang mati dibunuh mantan muridnya lalu terjatuh dari menara—hanya terkekeh pelan sambil mengelus janggut panjangnya. "Kalau kuceritakan sekarang, tidak akan ada unsur yang menyenangkan sama sekali…"
Sungguh, kalau saja orang tua ini tidak lebih tua dari dirinya, Shindong pasti sudah memukul kepalanya dengan tongkat kayu milik kakek tua ini. Sabar… jangan sampai kau membuat kacau dengan menggeplak kepalanya. Bisa-bisa ia dipecat…
.
—T.B.C/END?—
.
a/n Saya comeback dengan fic baru. XD Mendadak dapet ide ini gara-gara obrolan gaje bareng seorang senior saya. :D Fic bergenre fantasy pertama saya dan ini collab. :D
Oke, sekian dari saya. RnR? :D
.
Best Regards
—RIN—
.
