A/N: Halo, halo, One Piece fandomers *lambai2* Fanfic pertama dalam (hidup saya) fandom ini, so mangapkan lah jikalau ada deskripsi atau plot yang tak berkenan di logika :'D Buat test drive, nyoba pake bahasa emak dulu deh. Mungkin kalau ada niat dan waktu, bakal coba menjamahi bahasa tetangga yang lebih umum :'D
Terinspirasi diskusi orang2 di reddit dan sebangsanya. Without further ado,
DISCLAIMER: Kalaupun saya ambil alih One Piece dari Oda-sensei, ditanya One Piece peninggalan Roger aslinya tuh apaan pun saya nggak bakal bisa jawab, demi. Bahkan tema cerita aja dapet minjem dari lirik Daiji na Mono wa Mabuta no Ura punyanya mbak KOKIA. Terus cover image dapet unduh dari pininterest. Apalah yang saya punya selain ide plot dan niat untuk ngetik.
Karena dunia butuh lebih banyak Law/Bonney
sementara Oda-sensei terlalu sibuk buat arc selanjutnya
#heh
++-++
Surga Bukan di Telapak Kaki Ibu
++-++
Dengar, sayang. Kita memang tidak sama dengan mereka.
Kita tidak memiliki apa yang mereka miliki.
Tapi kamu...kamu berbeda.
++-++
"BWAHAHAHAHAHA!"
Bunyi denting gelas yang saling beradu tak kalah riuh dengan suara tawa yang mengiringinya. Bukan keramaian yang langka bila settingnya adalah pub merangkap restoran kota semacam ini, di pukul segini. Apalagi itu terletak di sebuah pulau yang ikut menjadi pelengkap barisan kepulauan yang tersebar di setengah rute awal samudera liar, Grand Line. Laut ganas, kerap orang berkata. Belum lagi cuaca pendukungnya yang tak pernah sepakat dengan logika ilmu geografi awam. Meski begitu, julukan apa yang mereka beri untuk laut semacam itu?
"Surga! Surga! Hari ini kita menemukan surga! BWAHAHAHAHA!"
Surga. Paradise.
Sungguh, bila surga di dunia ini ternyata banyak dihuni orang-orang semacam itu, tak sanggup lagi membayangkan akan seperti apa bentuk rupa penghuni nerakanya. Namun kenyataan telah berbicara, saudaraku. Orang-orang bejat tiada beradab, lingkar brewok penuh sisa rum dan daging, perut bergelambir kembang kempis saat tertawa terbahak tak pakai kontrol, busana beraroma bubuk mesiu dan darah kering—makhluk-makhluk seperti itu yang akan sering kau jumpai di daerah sepanjang apitan dua garis Calm Belt ini.
Fenomena umum jika kau hidup di Great Age of Pirates. Biasakan lah.
"Siapa dulu dong boss kita, Kapten Befolg si Tulang Besi! 65 juta Beri!" Derai tawa kembali menderak kasar, "Ingat muka mereka saat tahu nama boss kita? Hah! Coba tadi ada yang bawa kamera Den Den Mushi, haha!"
"Heheheh...Nah, bukan salah mereka untuk merasa takut," Pria yang disebut-sebut Befolg mengayunkan lambat mug berisi rum-nya, menenggak setengah isinya, baru membanting benda itu seutuhnya ke meja reyot pub dengan gelegar tawa, "Karena memang sudah begitu seharusnya, BWAHAHAHAHA!"
"MAKANAN! BAWA LAGI MAKANAN KEMARI!"
Satu, dua...setidaknya ada sekitar dua lusin pengikut yang berada di sekitar Befolg, mengelukan nama kapten mereka dengan suka cita. Befolg sendiri terkekeh di bangkunya. Padahal hanya sedang mencengkeram mug saja, namun sendi-sendi tulang jemarinya tetap terdengar bergemeletuk keras; tulang pemberi titel di kertas buronannya itu, tentu saja.
"Tapi, Kapten, dipikir-pikir ini bisa jadi kemenangan besar setelah sekian lama, bukan?" Seorang kurus di sebelah Befolg menyeletuk dengan seringai lebar, "Dua kapal bajak laut dalam satu hari. Dan salah satunya ternyata sedang membawa berkotak koin emas! Haha! Tak bisa dipungkiri lagi, hari ini kita baru membuka pintu surga!"
"Surga, eh?" Befolg mendengus; rum di bibirnya muncrat tiga tetes di meja, "Keh, mereka itu...para rookie itu khususnya! Begitu naif! Meninggalkan Blue mereka dengan wajah terangkat tinggi, sudah yakin benar dengan pamor di kepala masing-masing semasa di kampung halaman. Berpikir kalau itu saja sudah cukup untuk mengarungi perairan Grand Line. Bah!" Beberapa tegukan alkohol membasahi baik kerongkong maupun batang lehernya, "Ini surga, hey! Paradise! Pernahkah kalian dengar semua orang bisa masuk surga? Hah? Haha!"
Kepalan tangan kiri Befolg menepuk dadanya sendiri "Ada survival game di dalamnya! Hidup atau mati! Surga di sini bukan pemberhentian akhir, tapi awal permainan! Sangat awal. Yang berpengalaman yang mengusai medan perang. Dan siapa yang biasanya tereleminasi lebih dahulu? Rookie! Para rookie tak tahu tempat, menganggap kita yang telah menahun berlayar ini sebagai pemain usang—tak layak berdiri lagi dalam permainan! Hah, HAHAHAHAHA! Cuih!" Meludah sejenak, "Katakan itu di depan wajah mereka! Wajah Shirohige, misalnya! Bajingan tua di tanah baru itu dianggap pemain usang?! HAHAHAHAHA! Aku ingin lihat siapa yang bisa menggulingkan si monster berkumis itu. Berani sumpah, yang pasti bukan rookie!"
"Oi, oi, Kapten! Kau sudah sangat mabuk ya, hahahaha!"
"Pastinya. Kalau Kapten sudah berpidato begini sih. Lihat saja, alkoholnya sudah menjalar sampai ubun-ubun begitu!"
"Sudahlah, Kapten, minum air putih dulu ini, haha!"
"BERISIK!" Befolg menepis air yang disuguhkan padanya, "Jangan samakan aku dengan kalian, cecunguk bau kencur! Aku yang menentukan kapan harus minum dan mabuk! Baru bisa menarik pelatuk saja sudah sok menceramahiku...Ng?" Mug ditangannya hanya meneteskan sisa rum ketika dibalik, "Tch, OI! BAWAKAN MINUMAN LAGI! YANG KERAS SEKALIAN! KAU BILANG INI ALKOHOL?! KAU PIKIR SUDAH BERAPA LAMA AKU KENAL ALKOHOL?! AKU BERENANG DI DALAMNYA, KAU TAHU?! YANG BEGINI TIDAK AKAN MEMBUATKU MABUK, HEY!"
"Ya, ya, Kapten, tenanglah!" Lelaki kurus tadi memutar tubuhnya untuk menoleh ke arah meja bar di belakangnya, "Oi, Bartender! Kau dengar apa kata Kapten kami, jadi cepatlah! Kau sungguh tak ingin melihat dia mengamuk, kukatakan saja padamu," Ia sudah akan kembali ke posisinya sebelum teringat sesuatu, "Dan, hey! Mana tambahan makanan yang kami pesan daritadi?! Sudah lebih dari setengah jam tapi makanan belum juga datang! Kau ingin dipenggal ya?! Atau kau ingin mengetes sendiri kenapa Kapten Befolg diberi gelar itu oleh Navy?!"
Lelaki paruh baya dibalik meja bar tampak menelan ludah dengan gugup. Berada dalam bisnis ini untuk waktu yang lama tak lah menjamin dia untuk terbiasa dalam situasi seperti ini. Khususnya di depan kriminal berharga di atas 50 juta Beri. Namun demi kebaikan bersama, ia menjawab dengan nada sopan, "M-Maaf, Tuan Bajak Laut. Seperti yang sudah saya bilang tadi, kami sudah tak bisa menyuguhkan apa-apa selain minuman..."
"HAH?!"
"M-Maka dari itu..." Kedua tangannya sibuk berkial menenangkan, "Kami tak bisa menyuguhkan makanan karena persediannya t-telah habis..."
"HABIS?! Apa maksudmu dengan habis?! Kami bahkan baru memesan beberapa piring dan kau bilang persediannya habis?!" Si lelaki kurus menggebrak meja, geram, "Kau niat buka usaha tidak sih?!"
"H-Hii!"
"Psst, bro..." Seorang pria kru Befolg yang lain menyikut si lelaki kurus.
"Tsk, jangan sekarang! Tidak lihat apa kau aku sedang mengamuk disini?!"
"Aku tahu. Makanya, lihat dulu," Pria tersebut mengendikan kepalanya ke arah lain, "Ada target yang lebih tepat,"
Mengangkat sebelah alis, si lelaki kurus mengikuti arah tunjuk rekannya.
Tidak begitu jauh dari pintu masuk, masih termasuk bagian meja bar, terdapat satu sudut berisikan segerombolan orang...dan piring. Bila diperhatikan lebih baik lagi, gerombolan itu bukan bagian dari kru Befolg; cukup menjadi berita baru bagi si lelaki kurus karena ia pikir seluruh bagian pub ini sedang di-booking oleh anggota kelompoknya. Tidak secara resmi di-booking memang, tapi hey, bukan kah sudah menjadi semacam tradisi tak tertulis kalau seseorang tak akan mau berlama-lama tinggal satu tempat dengan kru kriminal berharga tinggi? Apalagi kalau kru yang dimaksud sedang berpesta. Kecuali kalau seseorang ingin cari mati.
Dan seseorang agaknya memang sedang berniat untuk itu.
Lupakan dua orang yang duduk kalem di ujung terjauh meja tersebut, yang jadi perhatian adalah orang ke-tiga. Dari sebelah sini cukup sulit untuk diperhatikan detil postur tubuhnya. Bukan apa-apa. Tumpukan piring bak menara menghalangi jalur pandangnya. Dan meski sudah setinggi itu, tidak ada tanda-tanda akan berhenti menggunung. Seberapa besar nafsu makan orang itu sebenarnya?
Ralat, perempuan itu. Dengan surai merah muda panjang dan paras yang...sebentar, apa benar begitu paras orang dengan nafsu makan seganas singa? Dalam situasi begini, selapis dua lapis lemak normalnya sudah bertengger di pipi. Persetan lemak, makanannya betulan masuk perut tidak sih? Meski menilai hanya dari pemandangan antar sela piring, lelaki macam dia masih berani bersumpah kalau three sizes sang gadis tetap mampu memboyong kaum Adam manapun ke fantasi liarnya.
Oh, baiklah, cukup dengan narasinya, sekarang waktunya real business.
"Heh," Bangkit berdiri, bibir tebal si lelaki menyunggingkan seringai santai. Ia berjalan dengan sama santainya seolah memberi waktu sejenak kepada kawanan asing itu untuk merasa terintimidasi dengan kedatangannya. Hanya dua orang saja yang menoleh, si sorotan utama tetap asyik mengganyang sepotong baru pizza, "Hey girlie, nafsu makanmu besar juga, ya? Untuk ukuran tubuh seperti itu,"
Basa-basi.
Tapi gestur itu hanya dibalas dengan suara kunyahan sekoyak besar daging; pizza yang tadi telah hilang ke balik kerongkongnya tiga detik lalu, jika kau bertanya-tanya. Si lelaki masih menyeringai. Mood dia syukurnya masih cukup bagus untuk bermain-main. Kalau bukan karena event hari ini dan penampilan si lawan bicara, tentunya, "Sayang sekali bila cewek sepertimu makan sendirian. Tapi beruntung, Kapten Befolg biasanya senang ditemani makan oleh gadis manis,"
Sang perempuan, yang omong-omong baik posisi makan dan cara mengunyahnya sama-sama tak ada manner, melirikkan bulir amethyst-nya sekilas ke si lelaki dengan alis bertaut—tanpa berhenti makan—sebelum melempar pandangannya ke kedua rekannya.
"Ah. Dia bermaksud mengajakmu makan bersama, Kapten," Salah satunya berbicara, mengerti maksud pandangan itu.
"Hoo...seorang pelayar juga ternyata, eh cantik? Bajak laut kah? Kalau begitu pembicaraannya jadi lebih mudah,"
"Dia tahu kau bajak laut juga, Kapten, sekaligus memuji parasmu. Sepertinya mengetahui statusmu, percakapan setelah ini menjadi lebih mudah untuk diteruskan,"
"Tentu saja akan lebih mudah, karena pastinya kau tahu Kapten Befolg, bukan? Dan tak perlu kusebut lagi kru siapa yang sedang berada di sini, bukan?"
"Dia bertanya apakah kau mengetahui seseorang bernama Befolg, Kapten. Dan bermaksud menginformasikan dirimu kalau dia termasuk kru orang itu,"
"Ya, benar sekali, aku adalah bagian dari kru—tte, OI! KENAPA JUGA KAU YANG HARUS MENJELASKAN SETIAP PERKATAANKU SEPERTI ITU?!"
Kalap, si lelaki kurus menudingkan telunjuknya ke pria yang daritadi berperan sebagai jubir tersebut. Meski kalau dilihat lagi, orang itu lebih tepat disebut koki dengan topi ala chef yang tersemat di kepalanya, "Oh, ah. Soalnya Kapten sedang makan, jadi semua perkataan yang kau sampaikan tak akan digubrisnya. Ah, tapi tenang saja, aku ingat semua perkataanmu tadi, kalau-kalau ada hal penting yang patut diketahui Kapten," Kalimat itu dilancarkan dengan tenang dan senyum. Seolah kejadian ini memang sudah lumrah adanya,
kecuali bagi si lelaki kurus.
"Jangan bercanda denganku!" Menggebrak meja, "Tak digubris katamu?! Hey girlie, aku tak tahu permainan apa yang sedang kau coba lakukan, tapi aku tak sudi berada di dalamnya! Asal tahu saja ya, seorang—W-Whoa!"
Tiba-tiba saja si lelaki limbung dan hampir jatuh muka duluan ke lantai kalau bukan karena refleksnya untuk mempertahankan keseimbangan. Cepat dia menengok ke belakang dengan raut marah, "Hey! Siapa itu yang berani-berani mendorongku?!"
"Mendorong?"
Sebuah suara baru, sekaligus figur baru. Di belakang lelaki itu berdiri seorang pria dengan tinggi yang tak begitu jauh darinya. Kaus hitam-kuning lengan panjang ber-hoodie dengan smiley-or-likely-so besar di bagian depan membalut tubuh kurusnya. Kurus, namun bukan berarti satu klan dengannya—sang pria tampak lebih berisi. Ia bisa melihat corak tato di tangan sang pria; kini mengalung malas pada nodachi yang bertengger di bahunya. Iris keabuan dengan gurat hitam di lingkar mata menatapnya dengan seringai kecil. Dan percayalah, bukan seringai selembut topi bulu putih bercoraknya itu.
"Anak kecil juga tahu kalau tidak baik berdiri di tengah jalan, Skinny-ya,"
Entah sejak kapan pria ini masuk pub, tapi dia tentu tak akan membiarkan siapa pun lolos begitu saja setelah jelas-jelas memberi sinyal 'ngajak berantem' lewat ekspresi itu, "Ini di depan meja bar! Lalu siapa yang kau panggil Skinny-ya, oi?!"
"Dan di depan jalanku," Pria itu berbalik memunggunginya.
"Hey, aku masih belum selesai deng—UAGH!"
Si lelaki kurus lagi-lagi limbung. Kali ini karena kepentok ujung nodachi yang mengayun ke arah dia akibat membaliknya si pria. Sengaja atau tidak, satu hajaran itu cukup telak di mukanya.
"Bartender-ya," Fokus sang pria seutuhnya pada pemilik pub, "Apa di kota ini terdapat toko supply keperluan medik? Dan tukang kayu disini apa hanya berada di dekat pelabuhan itu saja? Lalu Log Pose, berapa waktu yang diperlukan sampai stabil?"
Si bartender melirik sebentar ke kru Befolg yang barusan jatuh itu sebelum membalas dengan agak gugup, "T-Tiga blok sebelah kiri dari ujung perempatan jalan di depan. Toko yang Anda cari ada disana. Dan ya, tukang kayu disini hanya berada disitu. Waktu charging Log Pose sekitar 29 jam,"
"29 jam..." Hening, "Berikan aku ale, Bartender-ya,"
"Segera,"
"S-Sialan..." Si lelaki kurus bangkit perlahan dari jatuh tak indahnya. Telapak tangan mengelus pipi kanannya saat berjalan mendekati meja bar, "Berani-beraninya kau me—"
"—BARTENDER! MAKANANNYA KENAPA BELUM DATANG JUGA?!"
Lagi-lagi terinterupsi, oleh kepalan tangan sang perempuan yang tahu-tahu saja terangkat dan mengayun keras ke, lagi-lagi, wajahnya.
"E-Eh, tadi saya sudah katakan kalau persedian kami sudah habis, dipesan semua oleh Anda. Kalau minuman masih ada,"
"MINUMAN CUMAN BIKIN KEMBUNG!"
"Kapten, masih ada sepuluh loyang besar pizza lagi disini jadi tenanglah!"
"Tch, sepuluh mana cukup!" Tetap bisa mengomel berat meski mulutnya penuh dengan spaghetti. Pipinya naik turun saat mengunyah sembari menoleh ke sisi berlawanan dengan rekannya, "Lalu apa yang kau tertawakan, heh? Memangnya ada hal lucu yang kau lihat di sini?!"
Hanya diselingi satu bangku, pria bertato tadi kini duduk di depan meja bar. Tangan kanan memutar pelan gelas berisi ale yang baru saja diterimanya. Seringai yang sama masih terpasang di bibirnya walau sekarang ditambah tawa kecil, "Tidak. Hanya tak menyangka saja kalau rumor yang terdengar benar-benar senyata faktanya. Malah kupikir sekedar kiasan saja. Terkadang Navy suka melebih-lebihkan sesuatu, tapi agaknya yang ini sangat tepat,"
"Dan poinmu adalah?"
Bahkan menyipitnya manik keabuan itu ikut memancarkan seringai yang mirip saat sang pria menoleh, "Apa dalam lambungmu itu memang tak berdasar, Glutton-ya?"
Si dara merah muda mendengus, tak ada aura feminim sedikit pun, "None of your damn business. Kenapa? Kau punya masalah dengan itu, Yagou-boy?" [1]
"Well, tidak untuk saat ini," Kedua bahu mengangkat ringan, lalu sang pria menyesap minumannya dengan tenang.
"K-Keh..." Si lelaki kurus, lagi-lagi, bangkit berdiri. Namun kali ini, di tangannya telah tergenggam sebuah pistol yang barusan diambil dari pinggangnya; pelatuk siap ditarik kapan pun dimau. Melihat gelagatnya, 'dimau' ini bisa terjadi dalam beberapa detik lagi, "Heheh, cukup sudah waktu bermainnya, orang-orang dungu! Kalian telah melewati batas yang harusnya tak boleh dilanggar! Kuharap di dunia sana kalian akan ingat untuk tidak bermain-main dengan kru—"
Untuk ke sekian kalinya, demi Neptune, perkataan dia kembali terinterupsi.
Padahal sedetik yang lalu, kedua orang yang ditodong tadi tengah memunggunginya. Namun baru dua langkah berjalan, tahu-tahu saja pinggangnya ditebas oleh ayunan cepat sebuah kaki. Di saat yang sama, dari arah berlawanan datang tungkai langsing yang menendangnya telak pada bagian pelipis. Dua gaya itu saja sudah cukup untuk memaksanya kembali mencium lantai. Walau sekarang, akan memerlukan waktu lebih lama sebelum ia bangkit berdiri lagi dan mengomelkan protesnya.
"Hey, ini sampah yang kau buat, kan?" Pria bertato bersender pada meja bar di bangkunya ketika menunjuk bawah dengan kaki yang sudah stand-by lagi di tempat, "Kalau begitu jangan buat orang lain ikut membereskannya untukmu,"
"Jangan tanya aku, sampah datang sendiri tanpa ada yang mengundang," Sang perempuan telah menarik kembali satu kakinya, sekarang bertengger tak beradab pada bangku kosong di antara dia dan si pria bertato, "Geez, ada apa sebenarnya dengan orang ini? Berbunyi terus seperti lalat. Euh, aku tak suka ada lalat dalam makananku. Sungguh merusak selera,"
"Lalat mana yang tak akan datang bila porsi makanmu seperti itu,"
"Argh! Berhenti mengutuk yang tidak-tidak, janggut kambing! Tak lihat apa aku masih makan di sini?!"
"Itu ledekan terbaikmu?"
"Oh, aku bahkan belum mulai,"
"BWAHAHAHAHAHAHA!"
Semua mata tertuju pada pemilik tawa keras yang tiba-tiba menggema. Sebenarnya bukan perihal aneh dalam suasana pesta semacam ini, namun selama beberapa menit terakhir, fokus orang-orang tidak lagi berada dalam perjamuan. Oh ya, adegan yang dibawakan oleh dua orang asing plus salah satu kru mereka itu terlalu mencolok untuk tidak disaksikan. Apalagi bila akhirnya begitu. Mereka yang menonton sempat tak percaya dengan penglihatan sendiri saking cepatnya itu terjadi. Tawa keras itu saja yang menyadarkan mereka kembali.
"Apa ini, apa ini? Orang asing kah?" Befolg meneguk rumnya dalam telanan besar, baru menengok ke balik bahunya, "Sebuah pertunjukan menarik yang kalian lakukan disana, Nak,"
Kedua orang yang dimaksud tak membalas, mungkin karena yang satu sibuk makan sementara yang satu lagi lebih memilih untuk menyeruput ale dalam gelasnya.
"Heheh, aku suka pertunjukan. Dan aku juga suka pertunjukan oleh orang-orang pemberani. Melakukan hal-hal yang ditakuti orang itu lebih menarik untuk ditonton...bukan begitu, young'uns?" Senyum lebar masih terpasang di wajah brewoknya, "Tapi hey, anak muda..."
CRASH!
Suara perabot kayu terbelah mengudara kemana-mana taktala Befolg membanting keras mug di tangannya ke atas meja. Beberapa piring dan gelas yang berada di atasnya juga ikut hancur berkeping-keping, termasuk mug yang digenggamnya sendiri.
"...kalian melakukan pertunjukan di tempat yang SALAH!" Entah warna merah yang mewarnai wajah Befolg sekarang itu disebabkan oleh amarah, atau karena jumlah bercangkir rum yang telah ia konsumsi selama sekian jam terakhir. Namun dari suara merengsek bangku ketika dia berdiri, diiringi bunyi sendi-sendi tubuh saat berbalik dan menyeringai, sudah cukup menggambarkan emosi seperti apa yang sedang meluap dalam dirinya, "TIDAK ADA yang boleh mempermainkan kru Befolg, apalagi di depan Befolg sendiri! Heh, namun kalian beruntung, anak muda—"
Befolg menyeret langkahnya pelan. Dengan bodi sembilan kaki dan sepuluh inci, ditambah gelembungan otot yang membentuk dirinya dari atas sampai bawah, setiap tapak Befolg semakin terlihat berat dan intens. Pandangannya terkunci pada kedua muda-mudi yang sudah bagai puni saja di hadapan tubuh gargantuanya. Beberapa kru Befolg yang menghalangi jalan kaptennya sengaja menyingkirkan diri. Sebagian besar karena tak mau ikut terlibat dalam amukan sang pria. Mereka tahu betul apa yang terjadi dalam masa itu, makanya tak mau ambil resiko.
Pun demikian, kedua target Befolg tetap bergeming di tempat; bersender pada meja bar tanpa mengubah ekspresi sedikit pun.
"—karena bisa merasakan sendiri apa yang terjadi bila melakukan kebodohan di depan kehadiran Befolg!"
Padahal jarak antar mereka masih terpaut beberapa meter lagi, namun seolah mengingkari hukum gravitasi, tubuh berat Befolg tahu-tahu dapat meluncur kilat dari lantainya berpijak. Yang mampu dilihat terakhir darinya hanya lah sebentuk tinjuan yang terpasang pakem pada sisi kanan, siap menghujam ke sasaran, dan war cry.
"HEAAAAAAAAA!"
"Room,"
THUD!
"HUEEEEEEEEE!"
Semua mulut ternganga, tak satupun mata berkedip. Para penonton yang didominasi kru Befolg itu merasa tidak percaya dengan apa yang mereka saksikan. Pasalnya, dalam kejadian yang berlangsung hanya sepersekian detik tadi, banyak sekali yang terjadi.
Banyak.
BANYAK!
Tidak tahu mana yang datang lebih dahulu: serbuan Befolg saat menyarangkan pukulannya ataukah munculnya kubah biru transparan secara tiba-tiba dalam sekian detik saja. Tapi sebelum orang-orang menata komentar dalam pikirannya, mendadak kursi di ujung seberang menghilang. Bagai sihir. Digantikan oleh sesuatu yang jatuh bedebum di lantai. Selesai sampai di situ? Oh tidak, saudara-saudara.
"HUEEEEEEE! BELANI-BELANINYA KALIAN, HUEEEEEEE!"
Tangisan anak kecil terdengar. Tepatnya, tangisan Befolg versi anak kecil terdengar. Amat tepatnya, tangisan tubuh bagian atas minus tangan Befolg versi anak kecil terdengar. Tangan dan tubuh bagian bawahnya? Berada di depan sang kedua orang asing bersama kursi yang tadi lenyap. Tidak ada darah, tidak ada adegan gore 18+, tidak ada. Semua licin, bersih, dan aman untuk dipandang. Yah, mungkin harus sedikit tahan melihat bagian tubuh manusia tercincang yang menggeliat hidup bak cacing kematengan.
"K-KAPTEN!" Akhirnya setelah sempat hening akibat menyaksikan tayangan bak tipu muslihat, walau realitanya tak ada tipu dan tak ada muslihat alias fakta adanya, kru Befolg di sekitar berteriak. Hanya berteriak. Yah, sebenarnya berpasang mata telah memandang geram kedua orang asing tersebut, bermaksud ingin membalas perbuatan mereka terhadap sang kapten. Meski begitu, tak ada satupun kaki yang berinisiatif untuk bergerak; terlalu takut buat maju. Apa boleh buat, lawannya pengguna buah iblis. Bukan sembarang buah iblis. Ini pengguna buah iblis yang mengalahkan kapten mereka dalam sekali ronde. Awal ronde malah.
"Benar kan?" Sang pria bertato menggeser sedikit nodachi-nya agar lebih nyaman bersangga pada bahunya. Ia masih duduk di bangkunya dengan nyaman dan tenteram, "Sudah kubilang akan ada banyak lalat yang tertarik dengan besar porsi makanmu,"
"Itu karena kau yang mengutuknya, heh!" Sementara itu, sang perempuan memijat dahinya dengan tangan bebasnya. Tangan yang satu lagi telah meraih seiris baru pizza, "Euh, tidak bisakah seorang gadis mendapatkan ketenangan di waktu santapnya? Kenapa lalat itu tidak pernah belajar mengenai konsep personal space..."
"Karena kemungkinannya sama seperti bila dirimu belajar mengenai konsep table manner?"
"Pernahkah ada yang memberitahumu untuk tidak berkata lebih dari yang diperlukan?"
"Ah, banyak yang mencoba. Tapi kau tak akan ingin mendengar bagaimana komentar akhir mereka kemudian,"
"Begitu kah? Biar kutebak, memberimu saran supaya smiley besar itu ditambah janggut kambing juga?"
"Sayangnya ini sudah trademark. Lagipula simbol ini sudah sangat terkenal untuk diganti,"
"Apa? Hah, jangan bilang itu Jolly Roger-mu?"
"Mungkin mengetahui bentuk Jolly Roger-ku bisa jadi referensi bagus di masa depan, bila kau berniat mengagumi kru-nya kelak,"
"Oh, dalam mimpimu!"
"Orang-orang bermimpi, Glutton-ya. Bukan kah itu juga yang membuka tirai Great Age of Pirates?"
"Kesepian akibat kekurangan pendengar, Yagou-boy? Karena tampaknya kau suka sekali menceramahi orang,"
"Dan pastinya kau sering diceramahi orang, melihat manner yang kau miliki itu,"
"Kembali ke pembicaraan awal, eh aren't we?"
"JANGAN BELBICALA SAJA DAN DENGALKAN AKU, ANAK MUDA!"
Di tengah ketegangan yang melanda setiap individual dalam pub tersebut, si kedua orang asing—yang secara garis besar adalah penyebabnya—lebih memilih untuk saling bertukar cakap. Sama sekali tak menggubris, malah mungkin lupa pada bocah setengah badan yang awalnya bukan bocah apalagi setengah badan di pojokan—kalau bukan karena suara melengking naik setengah oktaf miliknya.
"Oh, lihat siapa yang berbicara. 'Anak muda', eh?" Sang perempuan terkekeh ringan saat mengunyah dua pizza sekaligus, yang dibalas dengan rentetan omelan ala bocah merengek minta mainan. Gadis itu mengerutkan keningnya sebelum menoleh, "Oi, ini semua salahmu. Kenapa kau harus membelahnya seperti...itu kalau pada akhirnya tidak berniat membunuhnya? Setidaknya kalau dibuat mati, tak ada yang freak out dan tak ada mengomel dengan suara memekakkan telinga!"
"Hmph, lihat siapa yang berbicara," Sang pria memutar lambat bola matanya, "Kalau dia tidak dibuat menjadi balita seperti...itu, tak akan ada yang menangis. Dan jelas tak akan ada yang membuat pekak telinga,"
"Nope, minimal dia menjerit. Kau pikir dipotong-potong dalam keadaan hidup itu menyenangkan? Seleramu buruk juga..."
"Aku tak ingin diberi tahu itu olehmu,"
"Whatever...Ng?" Gadis itu menoleh. Tangannya meraba piring di meja bar belakangnya, "Tch, sudah habis kah? Katanya masih sepuluh loyang!"
"Dari tadi itu kau makan sepuluh-sepuluhnya, Kapten..."
"Makanya kan sudah kubilang kalau sepuluh itu tak bakal cukup!" Dia kibaskan surai merah muda panjangnya dengan raut sebal, bangkit dari bangku, kemudian mengacungkan telunjuknya ke bartender, "Hey, kau! Lain kali kalau beli bahan makanan jangan pelit-pelit! Yang banyak sekalian! Dan ah..." Sekilas alisnya bertaut, tanda berpikir, "Kuki, omong-omong itu...ada harganya tidak? Dari tadi si lalat cerewet sekali soal dia jadi harusnya punya,"
Kuki, lelaki bertopi ala chef, menganggukkan kepala. 'Itu' yang ditunjuk kaptennya tak lain adalah Befolg yang masih tenggelam di pakaian kebesarannya sambil menangiskan protesnya, "Ada, Kapten. Befolg si Tulang Besi. 65 juta Beri,"
"65 juta? Apa sih kerja Navy akhir-akhir ini sampai membuatnya berharga segitu? Hah, tapi setidaknya dia tidak useless amat," Fokus sang perempuan kembali ke bartender, "Kau dengar? 65 juta Beri. Tukarkan saja dia pada Navy dan kau dapatkan bayaran untuk tagihanku. Aku yakin pasti kelebihan, jadi sebagai gantinya, berikan semua minuman yang kau punya. Ambil rum terlezatmu! Awas saja kalau tidak enak!"
"E-Eh?! Ah, um, b-baiklah—"
"—Oh, tidak secepat itu, Glutton-ya,"
Suara itu membuatnya memalingkan wajah ke arah pria bertato, "Ada yang salah dengan transaksimu,"
"Apa yang salah, heh?"
"Hanya satu bagian saja. Bahwa itu bukanlah uangmu," Manik keabuan sang pria melirik penuh senyum saat melambaikan gelas ale-nya ke arah Befolg, "Perlu kuingatkan siapa yang membereskan semua sampah ini?"
Sang dara melipat kedua tangannya angkuh, "Sampah cari masalah duluan denganku. Dan aku tidak ingat pernah meminta bantuanmu,"
"Tapi sampah datang sendiri untuk minta dibereskan olehku. Aku yang membelahnya,"
"Aku yang mengubahnya jadi balita. Terlebih dahulu. Kau hanya meneruskan pekerjaanku. Buang-buang tenaga saja malah kupikir,"
"Fufu, jadi kau berpikir melakukannya lebih cepat dariku, Nona?"
"Tentu. Ada apa? Tak pernah merasakan yang namanya kalah dalam hidup, hmm Dokter?"
"Oh, hanya sering bertemu dengan orang-orang yang terlalu percaya diri pada kemampuannya, bukan hal khusus,"
"Hoo...bagaimana kau tahu kalau kau juga bukan salah satunya?"
"Aku bisa mendemonstrasikannya padamu bila perlu,"
"Kebetulan, aku punya waktu untuk bermain..."
Keduanya saling memandang, namun tak satupun yang bergerak dari posisinya masing-masing. Sang pria masih menggenggam gelas ale di bangkunya, sementara sang gadis berdiri santai di tempatnya.
"Oi, oi, oi, oi apa yang kalian lakukan?! Aku bukan balang untuk dibaltel, tahu! Siapa bilang aku kalah?! Lihat saja kalau aku sudah bisa melangkak kesana ya, akan kulumat kalian jadi—"
"—Diam saja kau, koin uang!"
Padat. Berisi. Dua suara milik kedua asing itu datang bersamaan diiringi sorotan tajam yang bisa diartikan sebagai 'ngomong sekali lagi dan kau sungguh mati'. Cukup efektif untuk membungkam tak hanya Befolg namun juga massa di sekitar yang mulai bergerak gelisah.
"Jadi sampai dimana kita tadi?"
"Sampai sebelum dia bicara,"
"Oh..."
Detik selanjutnya, bunyi decit sepatu bertolak pada lantai dan desing pelan dari munculnya kubah transparan mengudara.
"AI AI AI AI AIYA, KAPTEEEN!"
Pintu ganda pub mengayun terbuka, menampilkan sosok beruang putih ber-jumpsuit oranye yang berteriak dengan suara melengking. Tidak, kau tidak salah baca. Itu memang beruang putih. Dan ber-jumpsuit oranye. Dan berteriak dengan suara melengking. Kedatangan dia tidak hanya membuat semua mata jadi tertuju padanya, namun juga ikut menghentikan gerakan kedua asing tersebut. Khususnya gerakan tangan, karena punya yang satu tengah maju menuju dada sang pria, sedangkan punya yang satu lagi menelungkup dengan pusaran udara di bawah telapaknya.
"Ah," Si beruang menyeletuk, tapi kali ini dengan suara dalam, "Kapten sedang sibuk ya?"
"Beruang?" Sang gadis memiringkan kepalanya, tapi sang pria hanya menoleh dengan tampang datar.
"Ada apa, Bepo?"
"Ah," Sekarang si beruang tampak baru teringat sesuatu, "Pasukan Navy sedang menuju ke pub ini, Kapten. Sekitar tiga lusin...kalau tidak salah sih,"
"Tsk, Navy?" Yang merespon lebih dahulu adalah sang gadis, berbicara tanpa menutupi kebeteannya, "Buat apa Navy kemari coba?"
"Yakin lagi-lagi bukan karena porsi makanmu itu?"
"Argh, apa yang salah dari seorang manusia yang ingin makan?! Sudah kubilang ini semua karena kau yang mengutuknya!"
"Well, apapun alasannya aku tidak ingin terlibat dengan Navy saat ini. Kau beruntung mereka menginterupsi ini untukmu,"
"Itu harusnya kalimatku. Jangan anggap ini sudah selesai ya?!" Sang perempuan mendengus, lalu berbalik ke kedua rekannya, "Kita pergi dari sini. Bartender! Suatu saat aku akan mengambil sisa kembalian yang kutitip disini, jadi jangan lupa ya! Kau bahkan tak perlu repot-repot membawa dia karena Navy sendiri yang kemari," Dengan itu, dia berputar mendahului si pria bertato, berjalan menyeberangi kerumunan massa pub, melewati si beruang putih, dan menghilang keluar.
Sang pria bertato sendiri tak lama berjalan pergi dari tempatnya, tanpa meninggalkan uang bayaran—lagipula si bartender juga tak ada usaha untuk mengingatkan—lalu melangkah menuju pintu keluar.
"TUNGGU!" Suara teriakan Befolg-bocah membuatnya berhenti, namun masih tetap memunggunginya, "Kau...Kau pasti lookie kan?! M-Maksudku bajak laut pemula kan?! Hah, kau mungkin menang saat ini, lookie. Tapi ingatlah, suatu saat aku akan membalasmu! Kesalahan besal bila kau tidak membunuhku sekalang kalena aku bisa kembali untuk membulumu! Kau dengal itu, lookie?! Hanya dengan membunuhku dulu balu kau bisa menghentikanku!"
Sunyi sesaat, baru kemudian terdengar dengus geli saat pria bertato itu menoleh sembari menyunggingkan seringai khasnya.
"Orang lemah tidak punya hak untuk memilih cara dia mati,"
Dan ia berlalu bersama beruangnya.
Kejadian serba cepat yang terjadi di pub hari ini. Begitu setidaknya yang dipikir oleh sang bartender yang lebih memilih untuk menyaksikan semua itu dalam diam. Pertama, karena ia tahu tak ada hal baik yang muncul bila sengaja menjerumuskan diri dalam pergulatan antar bajak laut. Dan apalagi kedua, dia tahu persis pergulatan bajak laut mana yang berlangsung di pub-nya tadi. Berada dalam bisnis ini, sudah barang pasti untuk terus meng-update papan buletin dengan kertas-kertas buronan. Karenanya setiap kali ada bajak laut yang berkunjung, ia minimal sudah dapat menskenariokan kejadian buruk yang mungkin terjadi di dalam pub.
Tidak terkecuali kali ini.
Kalau saja para anggota kru ini meluangkan waktu untuk melayangkan sekilas pandang ke papan buletin di pojok pub, mungkin ada wajah-wajah familiar yang bisa dilihat. Khususnya di bagian atas, tempat di mana kertas berangka sembilan digit biasa ditempel.
'The Glutton' Jewelry Bonney. 125 juta Beri.
'Surgeon of Death' Trafalgar Law. 180 juta Beri.
Ya. Melihat kertas-kertas buronan itu, sudah pasti satu fakta saja yang bisa ditarik.
Puji Roger, dalam firdaus dunia ini, kriminal yang wajahnya masih enak dipandang ternyata belum lenyap dari peredaran. Dan harusnya bukan sekedar figuran.
[1] Yagou = 屋号, arti harafiahnya 'nama rumah'. Mengacu ke bahasa Law yang memanggil orang dengan suffix -ya (berdasarkan SBS vol. 62). Kata wiki, commoner Jepang dulu nggak punya nama keluarga, jadi sebagai gantinya, Yagou dipakai untuk mendeskripsikan profesi/lokasi seseorang. Misal, Mugiwara-ya = si pemakai (yg berprofesi/dikenal sebagai) topi jerami. Lebih lengkap, baca aja wiki C=
++-++
A/N: Oh, disclaimer lagi. Nama random pirate asli nyomot dari kata random di manual user bahasa Jerman, yang juga kebetulan nangkring dengan sama random-nya di tumpukan buku. Nyaris mau dikasih nama Pirate A aja kalau bukan karena ada tuh buku #gagitujuga Nama anggota kru Bonney juga bukan canon kok, charanya aja yang canon (kalo liat anime sih). Btw, bakal sangat berterima kasih kalau ada yang meninggalkan jejak di panel review; sekedar penanda kalau mejengnya fic ini masih di-notice :'DD Tenkyu!
