Summary: "Halilintar dan Taufan adalah kakak beradik berbeda dua tahun, dengan wajah yang sama, dan memiliki masalah hubungan kakak adik yang rumit. Mereka sama-sama ingin diakui satu sama lain, tapi cara yang mereka lakukan membuat mereka saling salah paham." Halilintar and Taufan Brotherly Love Complex story. AU.

Disclaimer: All characters only belong to Monsta, while here, the only thing I have is admire.


Another Halilintar and Taufan brother-relation story:

My Brother and I

By Ashoudan Zimmer

.

.

.

CHAPTER ONE
"The Brother in Change"

.

.

Hidup itu rumit, jika kau adalah seorang adik berusia 15 tahun dengan ciri-ciri rambut hitam, mata biru, topi miring, dan wajah ceria. Taufan, cowok setinggi 172 cm dan berat 67 kg, adalah salah satu dari orang yang memiliki hidup rumit itu.

Taufan terkulai lemas di atas mejanya. Hari pertamanya sekolah di SMA Pulau Rintis, sudah membuatnya jengah duluan. Belum apa-apa, sudah dikerumuni perempuan, dan belum apa-apa pula, sudah dilabrak kakak kelas di selasar sekolah dekat kantin. Padahal, niatnya kan cuma ingin mengisi kekosongan perut sesudah berpikir keras!—enggak sih, sebenarnya ia tidur pada saat jam pertama dan jam kedua tadi di kelas.

"Sial," keluh manusia apes itu dengan payah. Taufan mendengus, dan saat ia mengangkat kepalanya, dahinya yang indah, harus terpaksa membentur kotak bekal. "ADAW!"

"Heh, adik payah. Nih, bekalmu," seorang laki-laki berwajah hampir sama dengan Taufan, menatapnya dengan mata tak berselera. Taufan merutuk mata menyebalkan itu dalam hati.

"Kak Hali apaan sih, nggak usah pake njedotin segala! Ngasih bekal yang baik-baik aja dong!" Taufan menyambar cepat bekal di tangan kakaknya itu, ditambah gerutu-gerutu dan kutukan-kutukan untuk sang kakak. "Lagi sial, tauk," keluhnya akhirnya.

Laki-laki dengan tinggi 178 cm dan berat 73 kg itu mendengus, memutar bola matanya yang ber-iris kemerahan. Wajahnya jelas menunjukkan tanda tak peduli.

"Tahu, kamu bikin ulah lagi kan, sama anak kelas dua," Halilintar berdecak, "Ck. Baru hari pertama udah bikin ulah."

Taufan mendelik tajam, "Siapa yang mau bikin ulah! Mereka-nya aja yang sok kecakepan!" nadanya mulai naik.

Teman-teman kelas Taufan, mulai memandang mereka. Kelas yang tadinya riuh dengan suasana istirahat yang berisik dan penuh canda, kini berubah menjadi kuburan dengan beberapa tuyul.

"Aku gak mau denger alasanmu," tukas Halilintar. "Buang-buang waktu aja," ia mendengus keras, lalu berpaling.

"Aku cuma mau nganterin bekal dari Mama yang ketinggalan tadi pagi. Gak usah pakai kesempatan itu buat ngobrol, aku sibuk. Dasar adik payah," lalu pergi dengan punggung tegak dan angkuh.

Taufan menjulurkan lidah ke arah punggung itu.

Keadaan kelas yang hening pun berubah menjadi suara bisikan-bisikan, was-wes-wos yang sama sekali tak membuat Taufan nyaman. Tapi daripada memikirkan itu, Taufan lebih memilih memikirkan tatapan angkuh sang kakak.

"W—wow, Taufan, itu kakakmu?" tanya si gadis sipit berkacamata. Gadis yang memperkenalkan dirinya dengan nama "Ying" pada hari pertama Masa Ospek Siswa. Entah itu nama marga, atau memang nama kecilnya, Taufan tak peduli.

"Iya," Taufan setengah membanting punggungnya ke sandaran kursi.

"Dia... kan Ketua Osis? Dia kakakmu?" Tanya Ying sekali lagi.

Taufan menatapnya dengan tatapan yang ingin dipercaya, lalu Ying cepat paham. "Iya sih... wajah kalian mirip banget... Kayak anak kembar."

Hening lama, Taufan sempat tak berselera untuk menanggapi persoalan wajahnya yang memang sering dibilang orang sangat mirip dengan wajah kakaknya yang lahir dua tahun sebelum dirinya itu. "Banyak yang bilang gitu, tapi karakter kami berbeda jauh kok," Taufan memaksa senyum sebentar.

Ying menyangga dagunya, "Tapi keren, ya, punya kakak yang Ketua Osis..."

Taufan berdecak cepat, "Halah, bentar lagi juga turun tuh orang. Gak akan jadi Ketua Osis lagi."

Ying mengangguk, namun entah kenapa tatapan Ying di mata Taufan seperti tak menyetujui pendapatnya.

"Tapi, kudengar, dia Ketua Osis paling hebat setelah lima tahun terakhir, bukan? Oh, aku sering mendengar teman-teman perempuan membicarakannya."

Alis kiri Taufan naik.

Menjawab reaksi itu, Ying melanjutkan. "Kau tidak tahu? Kakakmu itu super populer di sekolah ini! Ketua Osis, juara kelas, kapten tim karate yang berhasil bikin tim karate sampai ke tingkat nasional, dan pernah menjadi cover model majalah High School Teen's—majalah mingguan yang membahas anak-anak SMA terkeren di Pulau Rintis."

Oh. Pantas saja aku dikejar cewek-cewek tadi. Mereka pasti berpikir kalau aku Kak Hali—Pikir Taufan jengkel. Taufan memutar bola matanya, lalu mendengus keras.

Menerima reaksi seperti itu untuk yang ke sekian kalinya, membuat Ying mengemukakan pendapatnya. "Kau... benar-benar benci kakakmu, ya?"

Taufan diam.

Sebenarnya, kata 'benci' sama sekali tidak menggambarkan keseluruhan perasaannya terhadap saudara satu-satunya itu. Justru Taufan sedikit mengagumi sang kakak.

Sedikit! Sungguh!—Oke, agak banyak. Taufan memang tak menyangkal bahwa Halilintar adalah anak sulung yang bisa diandalkan dan sosok ideal panutan keluarga. Hanya saja posturnya yang selalu dijaga, serta tatapannya yang ketus dan tidak ramah, membuatnya sering dianggap sombong dan tak punya sopan santun oleh beberapa orang.

Meski begitu, Halilintar adalah seorang pekerja keras. Ia tahu bagaimana menempatkan posisi dirinya bila dianggap perlu. Makanya, kadang-kadang ia cukup mahir menggunakan topeng wajah kebaikan dalam kondisi-kondisi tertentu. Walaupun mengangkat senyum dari bibirnya itu seperti mengangkat 40.000 ton baja.

Kakaknya ini tergolong siswa cerdas, bermasa depan cerah—kata orang tuanya—dan selalu jauh lebih unggul darinya. Makanya, sejak SD, ia hampir tak pernah satu sekolah dengan kakaknya itu. Kakaknya selalu berhasil masuk sekolah-sekolah terbaik di Pulau Rintis, sedangkan Taufan hanya sekolah-sekolah yang sedang-sedang saja. Kenyataan ini acap kali membuat Taufan minder terhadap kakaknya, meski begitu, di depan orang lain Taufan selalu berlagak tak mempermasalahkannya dan berkata bahwa kakaknya memang lebih pantas masuk sekolah unggul.

Lalu, satu permasalahan sering sedikit mengganggu pikiran santai dan woles Taufan.

Untuk sebagian orang, hubungan kakak beradik ini memang kelihatan baik-baik saja dan layaknya kakak beradik pada umumnya. Namun, hubungan mereka tak sesederhana itu. Mereka tidak terlalu akur dan jarang mengobrol bersama, karena Halilintar sendiri jarang di rumah. Ia lebih suka mengisi hari-harinya di luar rumah dengan mengikuti kegiatan OSIS dan beberapa ekstrakurikuler bela diri. Halilintar dan Taufan juga tak pernah satu sekolah kecuali saat Taman Kanak-kanak.

Taufan sendiri selama ini juga lebih suka bersama komunitas skateboard-nya, ketimbang berada di rumah. Mereka hanya berkumpul ketika makan malam—walaupun kadang-kadang tanpa ayah ibu mereka yang bekerja di luar Pulau Rintis. Tapi mereka tetap saja jarang bicara satu sama lain. Bahkan setiap bertemu, kakaknya hampir selalu menampakkan wajah ketus. Dan perilaku ini terus terjadi selama sembilan tahun ini.

Kadang, Taufan sempat merasa sedih dan bahkan iri, ketika ia melihat beberapa temannya di SD atau SMP yang sering membicarakan kegiatannya dengan kakak laki-lakinya. Entah itu pergi bermain di taman, main games di rumah, membicarakan hobi sama-sama, atau sekedar nonton tv bersama.

Taufan tak pernah punya semua kesempatan itu, walaupun kenyataannya ia punya kakak.

Pada mulanya, Taufan juga berpikir bahwa mungkinkah selama ini kakaknya memang sebenarnya tak peduli dengan kehadiran sosok adik sepertinya? Apakah pernah kakaknya itu sekali saja memedulikannya dan berhenti meremehkannya?

Namun, semua pikiran-pikiran tentang hubungan Taufan dengan kakaknya itu, seolah tandas akibat satu ingatan Taufan mengenai beberapa bulan yang lalu saat kelulusan SMP. Taufan ingat saat itu untuk pertama kalinya, kakaknya mewakili orang tuanya yang tak bisa hadir karena urusan pekerjaan, di acara perpisahan dan penyerahan ijazah Taufan.

Taufan sempat mencoba untuk merajuk kakaknya agar tak memaksakan diri untuk datang. Nyatanya, Halilintar tetap datang meski sedikit terlambat.

Halilintar duduk tegap di samping Taufan di salah satu kursi aula sekolah. Semua orang kelihatan rapih, yang wanita menggunakan dress dan yang pria menggunakan jas. Tak terkecuali Halilintar dan Taufan. Dengan aksen warna jas yang sama, mereka hampir kelihatan seperti anak kembar. Hanya saja Halilintar mengenakan kemeja merah maroon dan Taufan mengenakan kemeja biru indigo.

Di sela acara pidato Kepala Sekolah, Taufan yang sempat terantuk, tiba-tiba dikagetkan dengan suara kakaknya yang membisikkan pertanyaan aneh padanya.

"Kamu... gak mau masuk SMA yang sama dengan kakak?"

Ekspresi dan bahasa tubuh Halilintar terbayang jelas di benak Taufan. Halilintar terlihat tegang, dan Taufan merasa bahwa kakaknya sedikit ragu bertanya seperti itu.

"Ha? SMA Pulau Rintis? Hmm. Entahlah, kak. Aku gak tertarik masuk sana. Itu kan sekolah standar internasional."

"Terus kenapa?"

Seingat Taufan, ia cukup heran sekaligus kalut menanggapi pertanyaan bernada aneh itu. Dan ia menanggapinya dengan nada menyerah.

"Aku gak sepintar kakak."

Lalu di ingatan selanjutnya, Taufan bersumpah, satu-satunya pemandangan yang ia lihat hanyalah wajah memohon yang langka dan malah, tak pernah dilihatnya—selama 15 tahun perjalanan hidupnya—di diri sang kakak.

"Tapi... aku ingin menghabiskan setahun terakhir masa SMA-ku denganmu."

Taufan menatap tak percaya wajah memohon sang kakak. Apa ini mimpi? Kakaknya yang ia pikir tak pernah memedulikannya itu tiba-tiba berkata seperti itu?

Dan itu adalah kalimat yang membuat Taufan akhirnya bisa duduk di salah satu kursi SMA ternama itu, hari ini. Taufan sendiri tak menyangka ia benar-benar diterima disini. Mungkin di luar kesadarannya, ia belajar lebih keras untuk masuk SMA yang sama dengan kakaknya. Entah agar ia bisa mendapatkan jawaban mengapa kakaknya mengatakan hal demikian—tanpa hujan, tanpa badai, dan tanpa karakter tenang nan ketus Halilintar yang biasanya—atau memang hanya ingin satu sekolah dengan sang kakak untuk yang kedua kalinya setelah sembilan tahun beda sekolah.

Namun, belum lagi menemukan jawabannya untuk pertanyaan rumit yang satu itu, Taufan sudah harus dibuat kesal dengan tingkah kakaknya yang beberapa waktu lalu malah menyalahkannya atas insiden pelabrakan, ditambah sikapnya yang amit-amit ketusnya—menurut Taufan. Yah, itu biasa, tapi tetap saja menyebalkan.

Karena sedikit banyak, hati kecil Taufan berharap agar kakaknya mulai berubah, dan...

Mengakui keberadaannya sebagai seorang adik.

.

.

.

"Taufan?"

Lambaian tangan Ying di depan wajahnya, segera membuatnya kembali ke dunia nyata.

"Ya?" Taufan tersenyum gugup.

"Haiya, tadi kesal, lalu melamun, sekarang senyum-senyum aneh," Ying menatap Taufan datar.

"Hehe, sorry," Taufan kembali ke wajahnya yang biasa. Ceria dan penuh senyum. "Udahlah, gak usah dipikirin. Itu memang kakak somplak."

Ying mengibaskan tangannya, "Hush! Nggak baik ngomong gitu! Gimanapun juga dia kakakmu, kan?"

Taufan diam. Tepatnya, dia memilih untuk diam.

.

.

.

.

.

.

.


"I—itu kakak kelas yang tadi siang kemari, kan?"

"Dia ganteng ya~"

"Ketua Osis! Selamat Siang!"

"Senior, apa kabar?"

Begitulah sambutan-sambutan kata terus berlanjut, seiring Halilintar berjalan melintasi koridor menuju ruangan kelas sang adik untuk yang kedua kalinya. Halilintar berdiri depan pintu kelas. Semua murid yang masih sedang membereskan tasnya untuk bersiap pulang, segera berpaling, dan menatapnya. Termasuk para murid perempuan yang kini malah menjerit riang.

Taufan mendongak, saat merasa seseorang berdiri di sampingnya. Ia menemukan tatapan ketus iris sang kakak, memperhatikannya.

"Pulang," katanya singkat dan sedikit terkesan kasar.

Taufan membanting tatapannya, kembali ke buku-bukunya.

"Gak mau," Jawaban Taufan tak kalah singkat dan ketus.

"Ck," Halilintar berdecak keras. Kedua tangannya yang sedari tadi hanya bersembunyi di kantong celananya, salah satunya mulai keluar lalu menarik lengan Taufan, memaksanya untuk berdiri.

"O—Oi! Apaan sih, Kak—"

"Dengar, kalian semua," Halilintar memutus omelan adiknya dan berseru. Semua orang memperhatikannya. "Orang payah sialan yang ada di sampingku ini adalah adikku."

Cnut. Taufan menatap jengkel kakaknya.

Halilintar tak peduli dan terus menatap semua orang satu per satu dengan tatapan tidak main-main, lalu melanjutkan dengan nada lebih tinggi. "Siapa yang berani mengganggunya, kalian berhadapan dengan aku, Halilintar!" ia menunjuk dadanya dengan kepalan, di akhir kalimat. Membuatnya terlihat menunjukkan ancaman yang sesungguhnya dan bukan bualan atau gertak sambal.

Menganga. Taufan menatap kakaknya dengan mulut menganga. Apa boleh seorang Ketua Osis mengancam murid lainnya seperti itu?

Taufan menoleh, mengira ia akan menemukan wajah takut nan gemetar dari teman-teman sekelasnya. Tapi ternyata ia disambut senyum riang dari teman-temannya untuk sang Ketua Osis.

"Beres, kak! Serahin Taufan sama kita!"

"Iya, Kak, cingcai itu sih..."

Dan beberapa kata-kata sepakat bernada setuju lainnya. Bahkan, ketua kelas mereka yang baru dipilih sehari menjelang berakhirnya Masa Ospek, menepuk bahu Taufan sambil mengacungkan jempol. "Taufan, kalo ada apa-apa, ngomong aja, oke," ditambah kerlingan mata—yang kemudian membuat Taufan mules mendadak.

Halilintar menyeringai tipis.

Taufan tidak tahu harus bertingkah apa, sekarang. Haruskah ia senang?

Taufan hanya menatap sang kakak heran, lalu hela nafas. "Iya, iya, udah, thanks all! Aku pulang dulu!" Taufan melambaikan tangan dengan wajah ceria ke arah teman-temannya, lalu menyeret kakaknya pergi secepat mungkin sebelum Taufan melihat kelakuan aneh lainnya dari sang kakak.

.

.

.

.

Dan mau tak mau, akhirnya Taufan pulang bersama kakaknya.

.

.

.

"Kak?"

Taufan memanggil, namun yang dipanggil hanya tetap menatap ke depan, dan keluarlah jawaban sinis, "Apa sih."

Taufan meringis. Memang kakaknya yang biasa. Tapi ia tetap tak bisa mengabaikan tingkah kakaknya yang aneh beberapa waktu terakhir ini.

"Kak Hali kalo suka sama Taufan, ngomong aja. Ngapain pake sok jutek gitu," Taufan menyeringai lucu. Ia tahu ledekannya yang seperti ini selalu berhasil membuat kakaknya naik pitam dan—setidaknya—mulai menjawab serius pertanyaan-pertanyaan Taufan.

Tapi kali ini tidak begitu. Halilintar ternyata tidak termakan umpan. Halilintar tetap memasang tatapan jutek yang sama. Melihat itu, Taufan mulai menebak-nebak sumber penyebabnya.

"Maaf deh, kalau Taufan tadi pas istirahat marah-marah. Kak Hali juga yang ngeselin, adiknya digangguin, ehh... kakak malah nyalahin."

Halilintar mendengus, "Aku cuman kesel, di hari pertama kamu udah bikin aku bingung."

Bingung? Maksudnya? Heran Taufan dalam hati.

Halilintar melanjutkan. "Wajahmu mirip denganku, jadi orang-orang yang melabrakmu itu pasti salah orang semua."

"Trus? Apa yang bikin kakak bingung?"

"Aku bingung, gimana aku harus melindungimu mulai dari sekarang. Sebenarnya aku sudah berpikir, mungkin mengajakmu satu sekolah denganku itu beresiko besar. Tapi, mau bagaimana lagi. Aku sudah tak tahan."

Taufan mengerjap tak mengerti. "...Tak... Tahan?"

Seketika itu wajah Halilintar memerah, tapi di saat yang sama ia segera memalingkan wajahnya cepat. "Ck. Sudahlah," tukasnya ketus kemudian.

Taufan tertawa. "Pffft—Gak usah akting tsundere gitu deh. Aku tau kok, kakak sebenernya—"

Belum sempat Taufan menyelesaikan ledekan (atau godaan?) ala Taufan, Halilintar sudah mendorongnya. Menekan punggung Taufan ke tembok pagar salah satu rumah di pinggir jalan komplek.

Taufan memejamkan mata kesakitan. Saat ia membuka matanya, ia harus dikejutkan dengan wajah kakaknya yang lebih tinggi darinya itu—tengah menatapnya lekat, sedang tubuh Taufan tak bisa bergerak karena terkunci kedua tangan Halilintar yang mendorong tembok. Ya, Taufan mendapati dirinya tengah di-Kabe Don.

AP—APA INI! Shock Taufan dalam hati.

"Taufan," Halilintar menatapnya lurus. Tatapan itu membuat wajah shock Taufan melemah dan tak lagi siaga.

Saat Taufan sedang menunggu apa yang akan dikatakan kakaknya, Halilintar malah menaruh dahinya di pundak Taufan. Taufan bertambah bingung saat ia merasa cengkraman tangan kiri Halilintar di pundak kanannya yang gemetar. Walaupun samar, tapi Taufan bisa merasakan kecemasan di dalam gestur kakaknya. Dan, lagi, tingkah kakaknya yang baru dilihat pertama kali seumur hidupnya ini membuatnya bingung.

"K—Kak... Kak Hali?" tegur Taufan, sedikit mendorong tubuh kakaknya, hanya agar ia bisa melihat wajah Halilintar yang tertunduk di pundaknya.

Tapi Halilintar bersikukuh berdiam di sana.

"Tetap di sini..."

Taufan mendelik sekali lagi. Taufan merasa sang kakak ingin menyampaikan sesuatu, tapi sulit. Pada akhirnya, dari kata-kata itu Taufan hanya dapat menarik kesimpulan bahwa kakaknya ingin posisi mereka seperti ini untuk beberapa waktu.

.

.

.

.

TAPI TIDAK. INI DI TEMPAT UMUM, DAN MEREKA MULAI DIPERHATIKAN IBU-IBU KOMPLEK.

Taufan sweatdrop. "Kak. Kalau mau melakukan hal yang aneh-aneh sama Taufan, di rumah aja yuk. Taufan siapin badan deh buat Kak Hali," canda Taufan dengan nada manja. Tak lupa di ujung kalimatnya dibubuhi 'love' imajinatif.

Halilintar mendelik dengan mata merah. Taufan otomatis kena hantam di bagian perut.

"AKU DULUAN," seru Halilintar dengan nada kejam, tanpa belas kasihan setelah melihat sang adik berguling di jalan memegang perutnya kesakitan.

"Tu—Tunggu—Kak Hali...! A—Aku cuma bercanda...!" Taufan merangkak sambil mengulurkan tangannya, seolah ingin menggapai punggung Halilintar dengan dramatis. Tapi tidak, bukan Halilintar namanya, kalau ia menggubris sang adik. Halilintar terus berjalan meninggalkannya tanpa menoleh.

Taufan menangis komikal, "Kakaaaaaak—!"

.

.

.

.

.

.

.

Begitulah hubungan mereka pasca hari itu. Taufan mulai melihat sisi lain kakaknya yang tak pernah ia perhatikan sebelumnya—yang waktu itu meski ingin, namun tak pernah mendapat peluang untuk memperhatikan sang kakak dari dekat. Kakaknya terlalu jauh, terlalu jauh berada di depannya—atau mungkin Taufan sendiri memang sudah berkomitmen untuk takkan pernah mengganggu sang kakak, di luar kesadarannya, sehingga pandangannya cenderung terhalang pola pikir yang sederhana dan penuh kasih pada kakaknya yang ia pikir tak peduli padanya.

Namun tak hanya sang adik yang mulai melihat sisi lain dari sang kakak. Rupanya kakaknya juga mulai bisa melihat sisi adiknya yang tak pernah ia perhatikan selama ini.

Seperti hari ini, hari kelima di minggu ketiga Taufan sebagai siswa SMA.

Taufan asyik mengobrol dengan teman-teman sekelasnya di kantin. Beruntung sekali, ia menemukan beberapa teman yang rupanya satu hobi dengannya, yaitu skateboarding.

"Kalau Roll and Flip mungkin harus pakai trik heels-up ya?" tanya Ochobo, teman laki-lakinya yang berambut coklat berantakan dan hobi mengenakan kaos kuning belang hitam di dalam kemeja seragamnya, serta sebuah kacamata google berkaca biru di dahinya. Ngomong-ngomong, nama "Ochobo" hanya nama panggilan, tak perlu heran.

Taufan tersenyum, "Harusnya sih begitu, tapi kemarin kucoba dengan trik slide juga bisa."

"Ochobo, kamu googling, ya?" tanya Iwan dengan tatapan hati-hati.

Ochobo nyengir riang. "Iya, lah. Don't underestimate the power of internet!"

Stanley menatapnya datar, "Iya aja deh..."

Dan begitulah mereka terus membicarakan soal hobi mereka, sampai aura Halilintar menutup semua kebahagiaan itu.

Taufan yang sedang menyesap yoghurt kotak, hampir menyembur, melihat kakaknya sudah berdiri tiba-tiba di sampingnya dengan tatapan tak menyenangkan.

"Ochobo, ngapain kamu di sini. Bukannya aku menyuruhmu ke Ruang Osis untuk melengkapi formulir pendaftaran Osis?"

Ochobo menatap kalut sang pemimpin geng—bukan, pemimpin Organisasi Intra Sekolah. "Eng—Iya, kak, maaf. Ochobo lupa tadi... Sekarang Ochobo ke sana deh, hehe..."

Ochobo buru-buru meninggalkan gerombolan itu. Disusul Iwan dan Stanley. "Err, Taufan kita pergi dulu, ya... ada urusan bentar... hehe, dah!"

"Ehh—!" Taufan memanggil nama mereka, namun terlambat, yang dipanggil sudah sukses kabur.

Taufan menatap sebal kakaknya yang kini menarik salah satu kursi kantin, lalu duduk di sebelahnya dengan wajah tanpa dosa sama sekali.

"Apaan sih, kak. Ganggu keasyikan orang aja," Taufan mendengus, namun omelannya lagi-lagi tak diindahkan Halilintar yang malah menatap yoghurt di tangan Taufan.

"Yoghurtnya enak?" lalu tanpa tedeng aling-aling, langsung menarik tangan Taufan, menyesap yoghurt langsung dari kotak yoghurt di tangan Taufan.

"OI—YOGHURT-KU!" Protes Taufan, hendak menarik kembali tangannya, tapi tangan kakaknya tetap tak bergeming. Halilintar terus menyesap Yoghurt itu sampai kempis, lalu baru melepas tangan Taufan setelah berkata dengan dinginnya,

"Buang sampah pada tempatnya. Jangan mengotori sekolah," lalu bangkit pergi meninggalkan Taufan.

"KAKAAAAAAK—!" Teriakan Taufan dan sumpa serapahnya sontak membuatnya jadi pusat perhatian siswa-siswi lain yang ada di kantin, tak terkecuali guru Bimbingan Konseling (BK) yang langsung menjewer telinganya.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Ngapain, sih? Teriak-teriak begitu. Kan yang repot aku juga," Halilintar mendengus ketus setelah ia keluar dan memberi salam hormat pada Guru BK untuk yang terakhir kali.

"Ini semua salah kakak. Kenapa kau harus menghabiskan yoghurt-ku yang berharga," Taufan membalas ketus. Ia tak peduli dengan kenyataan bahwa kakaknya juga yang menyelamatkannya dari pembayaran denda pelanggaran sekolah.

Halilintar mendesis sebal, "Ya tapi nggak usah teriak lebay gitu."

Taufan mengangkat bahu. Tidak menjawab.

Halilintar mengangkat alis kirinya. Apa... adiknya selalu se-sensitif ini mengenai yoghurt?

"Kenapa? Kamu marah?" tanya Halilintar agak kalut, menghentikan langkahnya.

"Tau, ah."

Taufan tak menghentikan langkahnya, ia terus berjalan mengikuti selasar sekolah, dan membelok masuk koridor menuju kelasnya.

Halilintar menatap punggung adiknya.

Apa Taufan selalu se-sensitif itu soal yoghurt?

Atau... hanya Halilintar yang memang selama ini tak mengenal adiknya sendiri?

Halilintar memejamkan matanya sebentar, lalu melangkah pergi, kembali ke kelasnya.

.

.

.

.

"Kak. Ayo pulang."

Mata Halilintar berkedip beberapa kali. Alisnya yang tampak selalu mengernyit serius itu, kini mengernyit bertambah dalam melihat adiknya sudah tersenyum ceria, menghampirinya langsung di kelas—di mejanya, sepulang sekolah. Halilintar tak menyangka adiknya berani memasuki kawasan kelas tiga dengan entengnya, dengan wajah innocent.

"Kau... Kenapa kau tak tunggu aku di kelasmu," Halilintar melanjutkan kegiatannya membereskan buku.

"Kakak kelamaan sih, jadi aku duluan aja nyamperin," nyengir Taufan.

"Enteng banget jawabanmu, bukannya tadi siang marah sama kakak karena yoghurt?" Halilintar tak menatapnya, tapi ia tahu Taufan kini sedang gelagapan.

"I—Itu..."

Halilintar tahu ada yang tak beres, tapi pikirannya segera teralihkan, ketika ia mendengar suara lain menghampiri mereka.

"Halilintar, ini adikmu yang sering kauceritakan itu? Wow, dia beneran mirip denganmu!" seorang gadis berhijab merah muda menghampiri Halilintar.

Taufan sedikit heran mendengar kata-kata gadis itu. Sering diceritakan Kak Hali—?

Sebelum ia melontarkan pertanyaan konyol yang nanti akan disesalinya. "Kak? Kakak cantik ini pacarmu?"

Taufan menerima hantaman double attack. Tidak dari Halilintar, tapi dari gadis itu.

"...Ma—Maaf... aku cuman bercanda..." sesal Taufan mengelus kepalanya.

"Ah, maaf. Refleks," enteng gadis itu kemudian dengan senyum tanpa dosa, "Namaku Yaya, hai!" ia melambaikan tangan menyapa ramah.

"Ha—Hai, Kak Yaya..." kikuk Taufan sambil tersenyum takut. Dan ini pertama kalinya, ia menemukan orang yang lebih berbahaya ketimbang kakaknya, membuatnya harus berlindung di balik tubuh Halilintar.

"Makanya, jangan seenaknya ngomong," Halilintar memutar bola matanya, lalu menatap datar sang adik yang bersembunyi di balik ketiaknya. Halilintar kembali menatap Yaya. "Iya, dia adikku. Dia di kelas 1-D..." Halilintar mengacak rambut Taufan dengan tatapan datar tak berselera.

Wajah Taufan sedikit memerah, ini pertama kalinya ia mendapat usapan di kepala dari sang kakak. Sampai akhirnya tatapan Halilintar berubah kaget.

"Taufan, mana topimu?"

Taufan menatap kakaknya ragu, "Eng... Taufan masukin tas..."

Halilintar mendelik heran. "Kenapa?"

"Menurut ramalan cuaca hari ini hujan. Aku gak mau topinya basah."

Halilintar mengernyit lagi, lalu melirik langit dari jendela kelasnya. Namun tak ada awan satupun di langit.

Halilintar mendengus, lalu menatap Yaya. "Baiklah kalau begitu, kami pulang dulu. Jangan lupa berkas-berkas data anggota baru, kau ketik ulang, ya," nadanya tegas dan terkesan memerintah. Namun Yaya hanya tersenyum dan menganggapnya sudah biasa.

"Beres," Yaya melambaikan tangannya dengan senyum, "Hati-hati di jalan, kalian berdua!"

Halilintar tak menjawab lagi. Ia segera menyeret adiknya keluar dari kelas.

.

.

.

.

.

"Siapa yang ngilangin?"

Taufan mendelik, lalu cepat-cepat tersenyum. "A—Apa maksud kakak—"

"Bohong lebih dari ini, akan kuhajar kau," Halilintar menatap tajam adiknya. "Sekarang, katakan, siapa yang ngilangin topimu?"

Taufan mundur beberapa langkah, "Ng—nggak ilang kok kak! Cu—Cuman robek...!"

Halilintar menatap tak percaya pada awalnya, namun Taufan kemudian mengeluarkan topi kesayangannya itu dari tasnya. Dan benar, kondisinya robek dan compang-camping. Halilintar merampas topi itu dari tangan Taufan, lalu memeriksa dengan teliti. Jelas robeknya topi itu akibat benda tajam—seperti silet atau cutter.

"Siapa yang ngerobek?"

Taufan tertawa, "Aku kak, hehe... Nggak sengaja tadi pas mata pelajaran seni rupa."

Halilintar menyipitkan matanya. Tentu ia tak mempercayai itu sama sekali. Apa mungkin? Sebuah topi yang biasanya ada di kepala, kemudian sobek hampir terbagi dua tanpa disengaja hanya oleh sebuah benda tajam biasa? Belum lagi bentuknya yang compang-camping, seolah penyobekan itu dilakukan berulang kali.

Jelas, Taufan tak pandai mengarang cerita.

Tapi Halilintar tak ingin membebaninya lagi dengan paksaan dan ancaman. Membuatnya berterus terang—yang padahal menggunakan tatapan tajam dan ancaman terbaik pun, jika dilihat-lihat, takkan menghadirkan jawaban untuk Halilintar. Selain itu, ada satu sifat adiknya yang baru ia ketahui kini bahwa sifat itu tak pernah berubah semenjak mereka taman kanak-kanak dulu.

Taufan hanya berbohong, untuk melindungi perasaan.

Entah itu perasaan siapa atau tentang apa. Tapi Taufan selalu berusaha berbohong untuk melindungi perasaan seseorang dan kakaknya.

Halilintar mengatur nafas dalam-dalam. Jika tidak—emosinya akan naik dan malah akan memperburuk kondisi hati sang adik—yang nampaknya sedari tadi sudah dikamuflase dengan senyuman-senyuman ceria.

Sungguh, meski adiknya tak pandai berbohong, tapi ia pandai menyembunyikan perasaan sedihnya. Karena begitulah caranya menghadapi jauhnya jarak hubungan mereka selama ini.

"Ck," Halilintar berdecak nyaring. "Besok Sabtu, kan?"

Taufan memiringkan kepalanya. "Ya? Kenapa? Kakak mau mengajakku kencan?"

Halilintar menahan emosinya sekali lagi. Ia tak tahu, sejak kapan adiknya suka bercanda dengan kalimat-kalimat nyerempet seperti itu—tapi yang jelas itu terasa semakin sering semenjak mereka satu sekolah dan selalu berhasil membuatnya jengkel.

"Bilang itu sekali lagi, dan Senin kau datang ke sekolah tanpa kepala."

"EEEHH?" Taufan langsung bergidik ngeri. "SEREM, OI."

Halilintar mendengus tak peduli. "Karena besok Sabtu, kita beli topi yang baru. Bangun pagi, besok kita berangkat pagi, Jangan membantah. Karena siang aku ada kegiatan club. Aku tak bisa menemanimu lebih dari jam 12 siang. Paham?"

Taufan terkejut sebentar, tapi senyumnya perlahan mengembang di bibirnya kemudian. "PAHAM! MAKASIH KAK!"

Taufan melompat hendak memeluk sang kakak untuk merayakan kegembiraannya, tapi si gesit Halilintar sukses menahan dahi Taufan dengan sendal jepit.

.

.

.

.

.

Lalu... Kapan Taufan akan punya nyali untuk menanyakan alasan kenapa kakaknya mulai sedikit demi sedikit membuang jarak dan membuka diri?

.

.

.


...Bersambung di episode dua.


A/N: Ya-Hallo! (?) Ashoudan Zimmer desu! Fanfic Boboiboy kedua yang pernah saya publish secara eksklusif di fanfiction. Biasanya saya hanya menulis mini-fic di akun FB saya yang mulai terbengkalai akibat kesibukan saya di dunia nyata. *elus sayang akun FB*

Ngomong-ngomong, maaf kalau fanfic ini dirasa membingungkan dalam penggambaran karakternya. Intinya sebenarnya untuk chapter yang ini, saya ingin menunjukkan dulu bagaimana sosok Halilintar di mata Taufan. Walaupun di akhir chapter, pada akhirnya saya sedikit bikin penggambaran sosok Taufan di mata Halilintar. Di chapter ini juga belum ada cerita sama sekali, karena cuma penggambaran karakter doang.

Well, nampaknya penggambaran karakter akan berlanjut sampe chapter dua.

Ide konsep fanfic ini sendiri terinspirasi dari fanfic 'Sibling Chaos' karya Dark-Calamity Princess. Hanya saja di sini saya ingin fokus tentang hubungan Halilintar dan Taufan sebagai kakak dan adik yang berbeda dua tahun umurnya, bukan sebagai anak kembar.

Mungkin ada yang bertanya, "Kemana Gempa?"

Jawabannya mungkin akan muncul di chapter depan atau dua chapter lagi. Entahlah. Yang jelas, Gempa di sini nggak kubikin sebagai kakak-adik dengan Halilintar dan Taufan, walaupun masih ada hubungan darah. Karena sebenarnya saya mau lebih fokus dengan brotherly-ship dua orang ini. Maafkan hamba, Gempa. Kamu saya titip sama Fang dulu ya— *disepak*

Anyway, maaf atas keababilan fanfic ini. Semoga diterima masyarakat fandom sini ya... *ngelap keringet dingin*

Okay, that's all! Meet you in next chapter, and feel free to review!