Prolog
Dalam karya The Symposium yang termasyhur, Plato mengatakan bahwa manusia sejatinya merupakan makhluk berkepala dua dengan empat kaki dan empat tangan. Hidup di tengah kemewahan dewa-dewi, hingga muncul pertentangan yang bersifat batil. Haus akan kekuasaan dan rasa ingin menang sendiri membawa kutukan yang membelah tubuh mereka. Manusia lantas dijadikan dua bagian yang sama, dengan satu kepala, dua kaki dan dua tangan dalam masing-masing raga. Maka, sungguh alamilah apa yang disebut sebagai nafsu atau desakan untuk menemukan belahan jiwa, sebab manusia memang hanyalah sepotong dari satu raga utuh yang pernah ada.
Plato mengatakan, tak peduli apa pun orientasimu, ras, agama, tua maupun muda, ketika memang yang kau temukan adalah belahan jiwa, akan ada suatu koneksi tak kasat mata yang mengikat. Memberi perasaan dan hasrat untuk saling memiliki, mendekap erat, seolah dunia telah berada di mana seharusnya ia berada; tepat menapak, dengan keindahan luar angkasa bertabur bintang penuh khidmat.
Tetapi...
Sekali lagi, tetapi...
Mengapa orang-orang tidak mampu melihat hal itu sebagai apa yang seharusnya dianggap benar?
Kenapa... selalu ada standar—yang kemudian mereka sebut sabagai syarat demi mencapai kesempurnaan?
Apa itu kesempurnaan?
Apa Plato mengajarkannya?
Apa Nabi mengajarkannya?
Lantas, adakah manusia yang pernah jadi sempurna?
Mungkin, ada tiga bentuk kesempurnaan di dunia. Kesempurnaan bagiku, kesempurnaan bagimu dan kesempurnaan itu sendiri. Lantas, yang mana harus dilihat? Kesempurnaan bagimu atau kesempurnaan itu sendiri?
Donghyuck menginginkan jawaban itu. Ketika kesempurnaan yang seharusnya adalah manusia dengan dua kepala dan empat tangan serta empat kaki, mengapa mereka yang hanya memiliki satu kepala dengan dua tangan dan dua kaki berani memberi standar pada kesempurnaan itu sendiri?
Donghyuck boleh saja tidak memenuhi standar yang sosial tentukan, namun bukan berarti dia adalah produk gagal yang patut dibenci. Donghyuck sebagaimana mereka, manusia setengah raga yang menunggu potongan puzzle lain untuk melengkapinya. Janganlah buat ia jadi manusia trauma, hanya karena komentar kalian mengenai kesempurnaan yang sejatinya merupakan standar yang dibuat-buat. Karena kebenaran bagimu, belum tentu menjadi kebenaran bagi yang lain.
