Disclaimer: All characters belong to Hajime Isayama. But this story purely mine. I don't take any material profit from this work. It's just because I love it.

Warning: au, miss typo(s), and other stuffs.

Note: mc levihan pertamaaaa! ini akan jadi fik multichap yang ringan, plotless, dan gak banyak words/chap. murni ditulis karena saya butuh pelampiasan friendzone thingy yang gak meledak-ledak :") gak janji akan update teratur, tapi saya akan berusaha. thanks dan selamat membaca!


con amore

( ukp dengan cinta; digunakan sebagai aba-aba dalam musik agar dimainkan dengan lembut )

.


s a t u

"Aku punya herbal bagus untuk pasangan suami-istri. Kalian sudah punya anak? Aku juga punya herbal yang bersahabat untuk anak-anak."

Hanji tersenyum simpul, menggeleng pelan dan membiarkan nenek penjual herbal tersebut mengambil uang yang ia julurkan. "Ambil uangnya saja, Baa-san. Terima kasih."

Nenek itu berlalu dengan raut bertanya-tanya. Namun mengangguk sekali dan tetap meninggalkan mereka dengan beberapa uang di kepalan.

Levi memerhatikannya, senyum Hanji yang perlahan hilang. Seolah hal seperti tadi sudah terlalu mudah untuk perempuan itu lewati dan tak lagi ia ambil hati.

"Apa di keningku ada namamu, ya, Levi? Atau di keningmu yang tercantum namaku?" Hanji menggumam tanpa menoleh. Meneruskan perjalanannya memasuki pekarangan rumah. "Orang-orang selalu menyebut kita pasangan. Lebih parah, suami-istri yang sudah punya anak."

Tanya itu begitu ringan. Seringan angin yang memainkan helai rambut Hanji yang dikuncir. Perempuan itu mendahului membuka pintu, memasuki rumah, dan menyapa Isabel seolah-olah ialah yang kakak kandungnya.

"Hanji-nee kenapa? Ada orang yang mengira kalian suami-istri lagi?"

Hanji menahan tawanya, Levi mendengus singkat. Terkadang, perpaduan Isabel dan Hanji menjadi bencana untuknya yang tak pandai bermain kata.

"Orang itu bahkan menawarkan obat herbal untuk anak kami." Hanji menggeleng jail. "Anikimu itu terlalu sering membuntutiku, sih."

Satu tarikan di rambut Hanji membuat perempuan itu terpekik. Levi menyeruak di antara mereka, memberikan tatapan mengejek pada Hanji di sana. "Berkacalah, mata empat."

"Aw! Tangan ringanmu itu, ya, Levi!" Hanji balas meninju pelan lengan hangat Levi.

Isabel memerhatikan mereka berdua dengan mata menyipit, dengan sengaja mendesah dengan keras. "Kaliaaan ini. Tidak boleh ada kekerasan dalam rumah tangga, tahu."

Kikik halus kemudian mendominasi ruang yang sebelumnya sepi. Hanji kembali berceloteh, dengan mudah melupakan topik sebelumnya dan membawa Isabel mengantusiasi topik selanjutnya. Levi memerhatikannya, mata itu yang selalu bersinar, wajahnya yang tak pernah berhenti tersenyum, bibirnya yang selalu mengurva. Itukah yang membuatnya tak keberatan berbagi dunia dengan Hanji? Tapi Hanji juga cerewet, ia ceroboh, ia seperti laki-laki. Dan tawanya yang terlampau keras, terkadang membuat Levi ingin menendang jauh-jauh perempuan itu ke luar angkasa.

Kalau dipikir-pikir, ada lebih banyak hal yang tak Levi sukai tentang Hanji. Dan hanya beberapa hal yang ia sukai darinya. Tapi entah mengapa, segalanya terasa ringan. Terasa benar.

Levi terlalu sulit untuk mengingat bagaimana mereka memulai hubungan rumit ini. Yang Levi tahu, hingga saat ini, hampir sepuluh tahun sejak awal ia melihat Hanji bersepeda dengan rambut pendek dan gigi kawatnya, Hanji tak pernah terusik dengan relasi di antara mereka yang berlabel sahabat.

Tak kurang, tak lebih.

Sahabat.

.

.

.

tbc