Aku berlari menyusuri padang rumput yang sudah gersang itu."Clove, tunggu!"terdengar suara Cato di belakang. Anak berusia 12 tahun itu masih berusaha mengejarku. Aku tertawa cekikikan merasakan semilir angin yang menerpa wajahku dan mengibaskan rambutku. "Kejar aku kalau bisa!"aku berseru tanpa menoleh. Suara hentakan kaki Cato semakin keras, pertanda ia sudah dekat. Semakin ia mendekat, semakin aku menjauh. Samar-samar terdengar suara nafasnya yang sudah agak terengah-engah, namun tertutupi dengan tawanya. "Masih lambat, Cato?"aku mengejeknya lagi, berlari menaklukkan padang gersang itu. Tiba-tiba senyap. Hening. Tak ada lagi suara lari Cato atau cekikikannya. Aku berhenti, terengah-engah. Aku melihat ke belakang untuk mencari Cato. Tidak ada. Aku berputar dan melihat sekeliling, tidak ada tanda-tanda keberadaan Cato. "Cato? Ini tidak lucu,"aku berkata, lebih pada diriku sendiri.

Tiba-tiba terdengar suara di belakangku. Suara geraman. Aku berputar ke belakang. Aku hampir saja pingsan saat melihat apa yang ada di hadapanku. Cato, dengan usianya sekarang, yakni 18 tahun, memegang erat sebuah pedang berlumuran darah. Mulut dan hidungnya tidak berhenti meneteskan darah. Ia tertawa, memamerkan giginya yang berselimut darah. Kemudian sesuatu yang aneh terjadi. Kaki dan tangannya berubah warna menjadi coklat tua. Kuku-kukunya semakin panjang dan seiring pertumbuhan kukunya, tangan dan kakinya membesar dan bulu mulai bermunculan. Ia menggeram lagi, suaranya seperti geraman serigala sekarang. "Cato? Apa…apa yang terjadi?" tanyaku putus asa. Ia sudah berubah menjadi serigala sepenuhnya, dengan empat kaki yang menghujam tanah. Ia mengais-ngais tanah sebelum menerjangku, kuku-kukunya yang tajam terhunus untuk mencabik perutku.

Aku bangun di saat yang tepat. Badanku terasa panas dingin dan dadaku naik turun beriringan dengan nafasku yang memburu. Aku duduk di tempat tidurku, menyeka keringat di dahiku. Dalam diam, aku memeluk lutut dan menundukkan kepala. Mimpi itu benar-benar terasa nyata. Aku merasa tenggorokanku tersekat saat aku berusaha menahan air mataku agar tidak jatuh. Kenangan itu begitu nyata. Enam tahun terasa cepat sekali berlalu, rasanya baru kemarin aku dan Cato berlari-lari di padang gersang yang sekarang sudah menjadi pabrik pembuatan senjata itu.

Aku bangkit dari tempat tidurku dan membuka jendela, merasakan semilir angin sepoi-sepoi. Aku melihat keadaan sekitar, masih gelap, kira-kira ini jam empat atau lima pagi. Aku membuka lampu sebentar untuk memastikan sekarang jam berapa, dan perkiraanku tidak salah. Jam dinding menunjukkan sekarang jam lima pagi. Aku membuka jendelaku, kemudian melompat keluar .

Aku memakai sandal sebelum berlari menyusuri dinginnya udara pagi. Kembali kurasakan semilir angin menerpa wajahku dan menyibakkan rambutku, persis seperti yang sering kulakukan enam tahun lalu bersama Cato, sebelum para Penjaga Perdamaian melatih kami menjadi Peserta Karir dan mengajar kami untuk menjadi dewasa, yang artinya aku harus mengurangi kejar-kejaran konyolku bersama Cato di padang rumput yang gersang itu dan menghabiskan hampir seharian di ruang latihan, mengasah kemampuanku melempar pisau dan berkelahi dengan tangan kosong.

Rumah Cato tidak terlalu jauh dari rumahku, kira-kira lima menit berjalan kaki. Namun karena aku berlari, aku sudah sampai di sana dalam waktu kira-kira tiga atau empat menit. Aku pergi ke belakang rumahnya, mengambil batu kecil, kemudian melempar jendela kamarnya. Dua batu, dia belum bangun juga. Tiga batu, masih belum ada tanda-tanda ia menyadari kehadiranku. Empat batu, lampu kamarnya hidup. Ia kemudian membuka jendelanya dan melihat ke kiri dan kanan, kemudian ia melihat ke atas, mungkin mengira ada burung yang menjatuhkan sesuatu dan mengenai jendelanya.

"Psstt… Cato! Di bawah sini!"aku berbisik lumayan keras. "Cato…!"

Ia menoleh ke bawah dan memicingkan matanya sedikit untuk melihatku. Kemudian tanpa suara ia menutup jendelanya. Terdengar suara hentakan kakinya menuruni tangga sebelum ia membuka pintu belakang rumahnya.

"Clove? Harusnya aku tahu. Mau apa kau ke sini? Ini kan masih pagi dan….astaga, di mana sopan santunku? Ayo masuk,"ia berbicara padaku. Aku melangkahkan kaki ke rumahnya dan merasakan semen dingin di bawah kakiku. Rumah Cato adalah rumah yang cukup bagus di distrik kami. Kedua orangtuanya bekerja di pabrik persenjataan, yang membuat keluarganya hidup cukup makmur.

"Aku….perlu bicara,"ujarku. Kemudian ia duduk di kursi dan aku duduk di sebelahnya.

"Tentang?"

"Aku bermimpi. Dan mimpiku… Aku… Aku mimpi tentang kita dulu, Cato. Saat kita menghabiskan waktu tiap sore dengan kejar-kejaran di padang rumput. Saat suara cekikikan kita adalah satu-satunya suara yang dapat kita dengar. Aku rindu masa-masa itu. Dan mereka, siapapun mereka, tidak berhak merebut masa-masa itu dari kita."

Aku menatap tajam matanya, berusaha menemukan kembali sinar yang dulu selalu terpancar dari mata cerianya. Tidak ada. Matanya kini berkilat tajam bagai besi yang sering diasahnya di depan rumah. Mereka benar-benar sudah mengubah Cato. Mengubah kami.

Ia senyum. "Clove, ayolah. Kita masih kecil saat itu. Kau rindu dengan masa-masa itu, aku juga. Percayalah."

Aku mengangguk. "Ya, andai saja para Penjaga Perdamaian itu tidak datang ke rumah kita dan melatih kita menjadi mesin pembunuh…"

"Clove! Itu bukan salah mereka. Sudah berapa kali kita membicarakan ini? Untuk itulah kita dilahirkan, kita menjadi relawan The Hunger Games, kemudian kita akan memenangkan permainan itu. Semua itu sudah mendarah daging, Clove."

"Aku tahu, Cato. Hanya saja….bukan itu saja yang aku mimpikan. Aku mimpi kau memegang pedang berlumuran darah, dan…dan kau berubah menjadi serigala jelek yang menyeramkan, kemudian…kemudian…kuku-kukumu tajam hampir saja mencabik…"

Cato tertawa kecil. Ia kemudian menggelengkan kepalanya dan mengacak-acak rambutku. "Aku akan baik-baik saja, Clove. Mereka tidak akan mengubahku menjadi serigala di arena, bukan?"

Aku tidak menjawab. "Tolong jangan mengajukan diri di Hari Pemilihan,"ucapku akhirnya. Dadaku naik turun menanti jawabannya.

"Clove… Aku sudah mempersiapkan diriku selama enam tahun terakhir. Dan sekarang, sehari sebelum Hari Pemilihan, kau mengharapkan aku untuk mengubah keputusanku?"jawabnya. Kelembutan tersirat di suaranya.

"Tolong jangan. Kau tahu bagaimana hubunganku dan keluargaku. Mereka tidak menyayangiku, yang mereka pedulikan hanyalah uang, uang, dan uang. Apa yang harus kulakukan saat kau pergi dan memperjuangkan nyawamu sendiri di arena? Apa yang harus aku lakukan saat aku merindukanmu? Apa aku harus berlari-lari seperti orang gila dan cekikikan sendiri? Atau melempar batu kerikil ke jendela kamarmu yang kosong? Atau aku harus mengurung diri di kamar agar aku tidak harus nonton televise dan melihatmu terluka di arena?"aku penuh emosi sekarang. Cato adalah satu-satunya orang di dunia yang sudah kuanggap sebagai sahabat dan saudaraku sendiri. Bagaimana jika ia pergi dan tak kembali? Bagaimana aku bisa hidup?

"Clove, apakah itu tujuanmu ke sini? Apapun yang kau lakukan tak akan mengubah apapun. Keputusanku sudah bulat dan…"

"Keputusan MEREKA."

"Terserah. Clove, kau harus tahu kalau aku harus melakukan ini, dan kau pun sebenarnya harus melakukannya. Kita mengajukan diri, bertarung di arena, dan pulang dengan selamat membawa harta dan kebanggaan untuk distrik kita…"

"Kita tak akan pernah pulang dengan selamat, Cato. Jika kita selamat di arena, hanya tubuh kita yang pulang, jiwa kita masih di sana, berjuang untuk mencari jalan keluar dari mimpi buruk kita tiap malam. Menghadapi segala…"

"Jangan manja, Clove! Jangan manja. Kau dan aku, kita pembunuh, ingat? Sudah mendarah daging. Untuk itulah kita dilatih."

Aku hampir menangis sekarang. "Cato…jangan pergi. Kau tahu aku tak akan pernah sama lagi saat kau tidak ada."

Ia menggeleng. Pelan tapi pasti. Air mataku jatuh sekarang. Aku membuang muka agar ia tidak melihatku menangis atau aku akan terkesan lemah dan cengeng di hadapannya. Aku mengusap air mataku dan menarik ingusku. Tidak ada gunanya. Dia tidak akan berubah pikiran.

"Kau tidak akan berubah pikiran, kan? Seberapa keras aku mencoba, keputusanmu sudah bulat. Tidak ada yang bisa mengubahnya, bahkan dirimu sendiri."

Ia mengangguk, luka sedikit terpancar dari matanya saat ia memandangku. Aku bangkit berdiri dari kursiku. "Semoga beruntung, Cato." Ia juga bangkit berdiri dan menggenggam tanganku. "Clove, jangan marah…"

Aku menggeleng dan kembali menarik ingusku, kemudian menghembuskan napas panjang. "Aku tidak marah, Cato. Aku mengerti perasaanmu. Ini tahun terakhir bagimu untuk menjadi peserta. Sekarang atau tidak selamanya. Aku benar-benar mengerti. Sampai jumpa besok."

Aku kemudian melepaskan tanganku dari genggamannya dan pergi keluar dari rumahnya. Sebelum aku pergi, sempat kudengar suara yang keluar dari tenggorokannya yang tersekat, "Sampai jumpa besok, Clove."