"Monochrome Wonderland"
Author: Nacchan Sakura / Nabila Razaqlia Alketiri
Disclaimer: Durarara! (c) Narita Ryohgo
AU (Alternate Universe)
Ini fanfic entry buat Fanfiction contest di Inori, SMAN 3 Bandung ~_~ karena acaranya sudah berakhir dan aku ga menang, ya udah di publish /shot
"Don't let go.
Can you smile for me just one more time?
Before your warmth disappears..
Hug me tight.."
XxxxxX
Dunia ini, seperti buku Sketsa tanpa warna yang begitu tipis.
Itulah yang dipikirkan Shizuo—melihat kegiatannya sehari-hari tak ada bedanya dan tak berubah sama sekali.
Pergi bekerja bersama Tom, tanpa sadar marah dan akhirnya mengamuk, melemparkan Vending Machine ke arah seseorang, lalu pulang dan tidur, siap untuk menemui hari esok.
Hitam dan putih. Kehidupan yang begitu monoton ini betu-betul seperti dunia yang berisi garis dan bentuk saja.
Tapi, satu hal setidaknya membuat matanya menangkap beberapa warna yang masih hidup dan eksistensinya tak terhindarkan.
"III-ZAAA-YAAA!"
Suara tawa yang nyaring itu, suara yang menari di udara dan sampai di telinga Shizuo. Membuatnya kesal, membuatnya geram.
"Haha! Shizu-chan, hari ini juga kau bersemangat sekali~" Ejek Izaya. "Mau bermain denganku mulai pagi hari ini, hmm? Aku tersentuh! Ternyata Shizu-chan sebenarnya merindukanku!"
"BERISIK, KUTU!" Satu buah Streetsign pun melayang dengan indah, dan tentu saja—seorang Orihara Izaya bisa menghindarinya dengan mudah. "KAU ITU PARASIT! PENGGANGGU!"
Izaya hanya mendengus, dengan senyumnya yang seakan berkata, 'Apa benar begitu?'
Dan tentu saja, senyumannya itu membuat emosi Shizuo semakin naik. Mungkin kalau diibaratkan dengan gunung—Shizuo sudah meletus sekarang.
"III-ZAAA-YAAA-KUUUUN!"
Dan di hari itu—Ikebukuro pun diramaikan kembali dengan pasangan anjing dan kucing yang kejar-kejaran seharian.
XxxxxxxX
"Kau tahu, Shizuo? Kalau kau dan Izaya kejar-kejaran itu—kau persis seperti Alice yang sedang mengejar kelinci putih!" Ucap Shinra sambil tertawa. "Hanya saja, Alice tidak marah-marah."
"Berisik, Shinra. Kau mau mati?" Geram Shizuo, dan Shinra pun terdiam seketika dengan wajah pucat. "Kelinci? KELINCI APANYA? Heh, kalau ia adalah kelinci, mungkin aku sudah membakarnya dan kemudian aku makan!"
Mudah ditebak, jawaban tipikal Shizuo sudah pasti begitu.
"Tapi setidaknya—Karena ada Izaya bukan, hidupmu jadi tidak membosankan?"
"Haah?" Shizuo menyipitkan satu matanya. "Membosankan? Dia membuat hidupku berantakan!"
"Kalau begitu, coba bayangkan—kalau tidak ada Izaya, kalau tidak ada orang yang bisa kau kejar lagi.. bagaimana hidupmu jadinya?"
Kalau tidak ada Izaya?
Shizuo berpikir—pasti akan sangat damai sekali jika kutu itu tidak ada. Tidak ada lagi suara tawa menyebalkan yang harus ia dengar. Tidak ada lagi orang yang membuat emosinya naik berkali-kali lipat. Tidak ada lagi acara kejar-kejaran sambil melempar barang.
Tapi, kalau semua hal itu terjadi—apa yang akan jadi 'bumbu' dari hidup monoton miliknya?
"Che.. dasar kutu merepotkan."
Harus diakui—memang hidupnya akan jadi membosankan tanpa Izaya.
"Shizuo, kau tahu?" Shinra menatap Shizuo lekat dari balik kacamatanya. "Musuh terbesarmu justru bisa jadi sahabatmu yang paling dekat. Musuh terbesarmu justru adalah orang yang paling tahu tentang dirimu. Celty yang bilang begitu, loh~"
Musuh terbesarmu justru adalah orang yang paling mengerti akan dirimu?
"Huh, omong kosong!" Shizuo berbalik dan pergi meninggalkan Shinra. Sudahlah, pikir Shizuo. Kata-kata dokter gadungan itu hanya membuatnya semakin geram.
Shinra membuang nafas. "Lihat saja, Shizuo. Suatu hari, pasti kata-kataku akan terbukti."
XxxxxX
Hari yang sama lagi. Hari yang warnanya hitam dan putih.
Shizuo memperhatikan orang-orang yang berlalu di hadapannya. Satu per satu, mereka semua terlihat sama. Garis yang membentuk sosok orang-orang itu bagaikan benang kusut, berantakan. Raut wajah mereka tidak jelas, tidak terbaca seperti apa. Dan tentu saja—mereka semua tidak berwarna.
Setidaknya, seperti itu gambaran Ikebukuro menurut Shizuo.
"Shii~zuu~chan!"
Shizuo dengan cepat berbalik. Suara itu lagi, suara menyebalkan yang mengacak-acak pikirannya!
"III-ZAA-YAAA!"
"Ayo bermain, Shizu-chan~"
Shizuo berlari ke arah lelaki yang memakai furcoat di siang hari itu. Yang ada di dalam pandangannya dan pikirannya saat ini hanya satu: Izaya Orihara.
"Jangan kabur kau, Izaya!"
Izaya berbelok, memasuki jalan kecil di antara gedung-gedung pencakar langit. Shizuo menggumam, 'Checkmate!'.
Shizuo ikut berbelok, mengikuti kutu yang dengan cepatnya berlari itu. Tangan kananya sudah menggenggam erat sebuah streetsign, bersiap untuk dilempar mengenai Izaya.
Tapi yang dilihat Shizuo di hadapannya adalah—Izaya yang berdiri dan diam, tidak berlari dari kejarannya—hanya diam seraya menatap Shizuo yang kebingungan. 'Bingo.', batin Izaya.
"Kau kaget karena ternyata jalan ini buntu?"
"Kau—kau merencanakan sesuatu?"
"Sayangnya, tidak~ aku tidak membuat strategi, aku melakukan hal ini secara spontan. Semoga saja aku masih hidup setelah keluar dari sini, ya~"
"TIDAK AKAN—AKU AKAN MEMBUNUHMU HARI INI!"
"-Shizu-chan." Izaya menghapus senyuman di wajahnya. "Kalau aku mati, kau benar-benar akan menjadi senang?"
Pertanyaan singkat itu—untuk pertama kalinya, tidak terdengar menyebalkan di telinga Shizuo. Nada bicaranya juga suaranya—terdengar serius, terdengar menginginkan sebuah jawaban yang bukan kebohongan. Membuat Shizuo terdiam untuk sesaat.
"T-tentu saja—"
"Kalau begitu, bunuh aku sekarang. Kau punya kesempatan, bukan?"
"Shizuo, kalau kau sedang mengejar Izaya, kau seperti Alice yang mengejar kelinci putih."
Tetapi, jika aku Alice—kenapa Wonderlandku berwarna hitam putih?
"Walaupun terlihat marah—sepertinya, kau bersenang-senang saat mengejar Izaya."
"Pikirkan lagi, Shizuo."
"Warna apa yang kau lihat ketika Izaya ada bersamamu?
"Merah.."
"...Hah?" Izaya menaikkan sebelah alisnya mendengar jawaban Shizuo. Merah? Pertanyaannya tadi sepertinya bukan tentang warna, 'kan?
Sudah kuduga, monster ini memang bodoh, pikir Izaya.
"Matamu, aku bisa lihat warnanya. Merah."
"..Lalu?"
"Rambutmu. Warnanya hitam. Bajumu, warnanya hitam dan putih. Kupikir, kau sama saja seperti yang lainnya—tapi aku bisa melihat warna matamu. Merah."
Hanya dia yang terlihat, walau hanya satu warna—kau bisa melihat warnanya.
Genggaman Shizuo yang semakin pelan—membuat streetsign yang sedari tadi ia genggam kini terjatuh. "Yang lainnya hanya terlihat hitam dan putih di pandanganku. Tapi kenapa kau memiliki warna?"
"Kau tahu, Shizuo?
Musuh terbesarmu,
Justru adalah orang yang paling mengerti akan dirimu"
"Shizu-chan, kau kenapa sih? Bicaramu ngawur."
"Kau sudah tahu jawabannya bukan? Maka dari itu kau bertanya. Kau sudah tahu jawaban sebenarnya.. akan jadi bagaimana jika aku membunuhmu dan kau menghilang selamanya."
Tak akan ada warna lain yang bisa dilihat,
Semuanya pudar.
"Katakan, Izaya. Kenapa kau bisa tahu jawabannya?"
"Hmm, kenapa, ya?" Izaya tersenyum kembali. "Mungkin itu karena, aku mengerti akan Shizu-chan sepenuhnya."
Kalau saja Alice tidak mengejar kelinci putih,
Mungkin ia tidak akan pernah menemukan dunia penuh keajaiban yang merubah hidupnya.
"Pfft, Shizu-chan, kau baru sadar sekarang?" Izaya tertawa kencang. "Bodoh, aku yang membencimu saja bisa mengerti dan bisa menebak jawabanmu."
Benci?
"Payah, bahkan musuhku sendiri jauh lebih tahu tentang diriku—jauh dari diriku sendiri.." Shizuo tertawa hambar. "Tapi memang musuh itu seperti itu, ya?"
Wonderland milikku warnanya hitam dan putih,
Tapi saat mengejar kelinci putih,
Aku bisa melihat warnanya.
"Yaah, kalau begitu sudah jelas 'kan—Shizu-chan tidak bisa membunuhku. Tepatnya, kalau aku mati, kau kesepian~"
Saat aku tersadar, aku akan menjadi dewasa.
Dan mulut ini akan bisa mengeluarkan kebohongan yang begitu mudah untuk dipercaya.
"Nah, kalau begitu, aku pergi dulu ya, Shizu-chan~"
Izaya—dengan santainya berjalan melewati Shizuo yang masih terpaku. Lelaki yang memakai baju bartender itu masih setengah berada dalam alam pikirannya, sampai..
Satu detik,
Dua detik,
Tiga detik..
"III-ZAAA-YAAA! SIAPA YANG BILANG KAU BOLEH KABUR?"
"Hahaha, Shizu-chan lemot~"
Yah, walaupun begitu, keadaan seperti ini memang lebih baik tidak usah berubah, 'kan?
XxxxxX
"Nee, Celty, kenapa waktu itu kau bisa berkata begitu?"
Dullahan itu mengetik di Handphone nya. "Berkata apa?"
"Soal musuh dan sahabat. Siapa yang kau jadikan contoh sampai bisa berkata begitu?"
"..Menurutmu?"
"Aku sih langsung teringat pada Shizuo dan Izaya~"
"Aku memang mengambil contoh dari mereka. Yah.. karena menurutku, memang begitu."
"Aku juga selalu berpikir begitu. Mungkin sebenarnya, Shizuo tidak membenci Izaya—itu memang cara dia memperlakukan seorang sahabat, mungkin."
"Kau tahu, Shinra?" Shinra menatap layar HP milik peri tanpa kepala itu. "Dari dulu, di dalam pandanganku—aku selalu melihat Shizuo dan Izaya tidak saling membenci."
"Mungkin itulah cara mereka saling menjaga satu sama lain."
"Shizuo, hari ini sepertinya.. kau senang sekali?" Tom mengangkat wajahnya, menatap Shizuo yang sedari tadi belum mengerutkan dahinya. "Ada hal bagus yang terjadi?"
"Tidak, tidak ada." Shizuo menjatuhkan rokok yang baru ia hisap dan menginjaknya. "Aku hanya menemukan orang yang memiliki warna."
Selamat datang,
Di Monochrome Wonderland milikmu seorang.
The End
