Chapter 1: First Fall
Mungkin, dia tak akan pernah tahu, masalah seperti apa yang telah ia dan saudari kembarnya buat sampai membuat rasa keprihatinan orang tuanya hilang seutuhnya, dan tega 'membuang' mereka ke tempat aneh nan terpencil ini.
Mungkin, dia tak akan pernah tahu, kepribadian seperti apa yang telah dimilikinya sehingga ia tak pernah bisa menemukan 'sisi baik' kota antah-berantah ini.
Mungkin, dia tak akan pernah tahu, angin macam apa yang telah mendorong dirinya untuk mencurahkan seluruh penat hatinya itu di sini, di pantai yang bahkan tak cukup pantas untuk menyandang gelar indah ini.
Mungkin, dia juga tak akan pernah tahu, mengapa pula gadis berambut merah itu melakukan hal yang sama.
Yang Dipper Pines tahu, saat matahari dengan sangat sempurnanya memendarkan warna jingga di langit, saat desau halus membelai-belai kulitnya, saat deru ombak menjamah pendengarannya, saat pertama kali iris kambiumnya bertemu dengan iris klorofil milik gadis itu, ada binar-binar lain yang terpancar dalam sorot matanya. Ada binar gembira yang tak terdefinisikan. Ada binar mengagumi yang luar biasa. Ada binar yang akan jatuh semakin dalam jika ia tetap memandangi gadis itu seperti ini.
Dan binar-binar itu juga sukses melahirkan semburat merah yang lebih hangat dari sinar Raja Siang yang menimpanya. Bersama dengan detak jantung yang menggedor dadanya keras, tubuh yang tiba-tiba saja gemetar tanpa alasan, dan refleks tarikan di kedua ujung garis bibirnya, Dipper menyadari satu hal dengan pasti.
Dia telah jatuh cinta.
"Aisle"
Disclaimer:
Gravity Falls © Disney Animation Studios
All the ideas © Aveolela
The author didn't take any profit from this story
Warning:
Typo(s), wrong visual, bad words, confusing plot, failed genres, complicated relation, little bit insane, first fic, new comer, and DO NOT AVAILABLE TO RECEIVE ANY FLAME.
Short story, Rated: T, Third POV, AR (from "The Time Traveler's Pig"), OOC, Dipper-centric, Romance/Drama/Family.
Mind to review?
"Kau sudah bisa menikmati liburan kita ini dalam arti yang lebih baik rupanya," Mabel Pines duduk di belakang meja kasir toko barang kuno yang tidak biasa milik pamannya sambil bertopang dagu. Menarik jiwa adiknya yang sempat terhampar dalam imaji untuk kembali ke dunia nyata.
"Apa maksudmu?"
"Tidak ada satu pun keluhan 'oh, tempat apa ini sebenarnya?', 'kenapa barang-barang ini bisa dijual di sini?', 'bagaimana ada orang yang tahan tinggal di sini?' pagi ini bukan? Bagiku itu perkembangan yang sangat hebat. Satu lagi, ekspresimu itu, yang hampir tak pernah kulihat sebelumnya. Kau ini layaknya orang yang sedang kasmaran."
Tuduhan yang benar-benar tepat bagi dirinya saat ini membuat remaja berambut cokelat itu menunduk perlahan. Menyembunyikan gemuruh yang melanda dadanya. Menutupi wajahnya yang dia yakini sebentar lagi akan serupa dengan udang rebus.
Untungnya, salah satu dari bagian otaknya berpikir cepat. Mau tidak mau sesegera mungkin dia harus bersikap layaknya tidak terjadi apa-apa, karena kalau sampai kecerdasan bidang tertentu Mabel muncul dan anak itu sadar sikapnya barusan benar-benar di luar kebiasaannya, dalam arti lain yang menyatakan kalau perkataannya itu benar, dia akan jadi bahan lelucon sepanjang sisa musim panas.
Jadi, Dipper Pines mendongak dan menatap kakaknya dengan tatapan yang-benar-saja sekaligus merendahkan. Pita suara Mabel sudah hampir menggetarkan bunyi dari mulutnya yang terbuka ketika tiba-tiba suara lonceng berdenting dari atas pintu depan toko menginterupsinya. Berhasil mengalihkannya dari Dipper.
Dipper ikut menoleh. Di sana, berdiri seorang gadis, sedang membuka jaket abu-abunya dan menggantungkannya di tiang gantungan.
Sebentar, rasanya familiar?
Gadis itu kini berdiri tegak menatap kedua anak manusia di hadapannya. Terlihat tubuhnya yang tinggi langsing terbalut celana jins biru panjang dan kemeja hijau tua garis-garis yang digulung sebatas siku, ditambah lagi kulit pucat, rambut kemerahan, dan sebagai pelengkap, sepatu boot hitam polos.
Dari jarak yang seperti ini, Dipper tak bisa melihat iris matanya. Tapi dia sangat yakin kalau warnanya adalah hijau. Karena ...
"Hai, maaf aku datang terlambat. Toko belum beraktivitas terlalu jauh kan? Jadi aku tak perlu membayar denda pada Stan," senyum kini tersungging di bibir mungilnya.
Koordinasi organ-organ tubuh Dipper berhenti melakukan tugasnya.
Gadis itu gadis yang sama dilihatnya kemarin sore di pantai.
"Jadi, kalian ini keponakan Pines yang diceritakannya itu, ya? Wah, senang rasanya ada pendatang baru selama liburan ini."
Dia bekerja di sini? Dia pegawai toko Paman?
"Ya, begitulah. Kupikir orang tua kami sedang ada pekerjaan mendadak jadi tidak mungkin menemani kami."
Kalau benar, itu artinya dia bisa memandangi gadis itu setiap saat. Dia bisa menemui gadis itu kapan pun dia mau. Ah, ini benar-benar menyenangkan!
"Aku mengerti. Tapi yang kudengar dari cerita-cerita Pines, sepertinya kalian berdua ini benar-benar menarik, ya! Mulai sekarang dan seterusnya, kalian bisa memanggilku Wendy."
Dan itu artinya dia juga bisa berteman dengan gadis itu, mendekatinya, memikatnya ...
"Namaku Mabel Pines. Semua orang memanggilku Mabel."
Akhirnya ada juga hal menggembirakan yang akan dia lalui di sini!
"Dan ..."
Apa keinginannya terlalu berlebihan kalau setelah ini dia ingin menjadi bagian terpenting dalam hidup gadis itu?
"Dipper, sepertinya Wendy sedang bertanya padamu," Mabel bersedekap.
"Eh, ya, apa? Oh, aku Dipper Pines. Aku ... aku adiknya Mabel. Ya, adik kembarnya."
Wendy? Dia akan mengingat nama itu sebaik mungkin.
"Hahaha! Pantas saja! Aku sudah menduganya sejak awal! Kalian berdua mirip sekali, kau tahu itu?" Wendy mencondongkan tubuhnya ke arah Dipper.
Astaga, demi Tuhan, tawa gadis ini manis sekali untuk dilihat ...
sampai mampu menghanguskan kata-kata formal yang seharusnya bisa dilontarkannya langsung.
Mabel melirik Dipper. Ingin memberitahunya kalau dalam kacamatanya tindakan anak itu tidak wajar. Bagaimana tidak wajar? Bukannya basa-basi membalas perkataan Wendy, dia malah memandangi gadis itu sambil diselingi satu-dua senyum yang tidak bermakna jelas.
Mabel mendecakkan lidah.
"Baiklah, baiklah. Kalian berdua belum sarapan kan? Aku tahu, karena Stan tak pernah memasak dan aku berpapasan dengan Soos yang ingin ke pasar," Wendy memutar bola matanya. "Mau kue Elderberry dengan satu sendok es krim stroberi?"
"Ya, ya, tentu saja! Aku sangat suka Elderberry apalagi dengan es krim di atasnya. Rasa stroberi pula! Kau ini bisa membaca pikiran, ya?" Dipper menjawab dengan sangat bersemangat.
Tentu saja memancing Wendy tertawa ramah dan mengacak helai rambut cokelatnya. Berjalan bersisian menuju dapur. Tidak menyadari Mabel memerhatikan semua itu dengan gelengan kepala ganjil.
Sejak kapan Dipper suka Elderberry dan es krim stroberi?
Kalau saja ada yang memberitahunya ini legal, bahkan jika orang itu bercanda sekali pun, Mabel pasti sudah menghunjamkan garpu yang digenggamnya erat-erat ke punggung tangan adik kembarnya.
Dipper Pines yang duduk di sebelahnya ini, ralat, Dipper Pines yang duduk memandangi Wendy dengan kesungguhannya yang langka ini, benar-benar bukanlah Dipper Pines yang dia kenal. Adiknya yang biasa adalah adiknya yang selalu memerhatikannya dalam keadaan apa pun. Bukan sosok melankolis yang tidak mengacuhkannya sekaligus tidak menyadari kehadirannya seperti sekarang.
Mabel menyuapkan kuenya—yang sekarang entah kenapa berubah rasa menjadi tawar—dengan tidak bersemangat. Dia berharap adiknya bisa sedikit mengerti perubahan kakaknya, dan mungkin saja mau menanyakan keadaannya. Dugaannya salah besar, sepertinya Dipper memang sudah terhipnotis.
"Kau baik-baik saja Mabel? Kau sakit? Atau kue ini baru saja membuatmu demikian?"
Tidak, Wendy. Tidak. Aku tidak mengenal adikku dengan kepribadiannya dalam waktu ini. Apakah dia baru saja tersengat listrik? Kau yang bahkan baru mengenalku, bisa lebih baik dalam memedulikanku, kan?
"Ya, Wendy. Tentu saja aku baik," Mabel menjawab Wendy dengan air muka meyakinkan dan berubah tiga ratus enam puluh derajat ketika berbalik pada Dipper. "Kuenya enak sekali, Wendy."
Waktu berjalan dan sudah berlalu empat jam sejak makan pagi. Mabel mengetuk-ngetukkan jarinya dengan jenuh di atas meja kasir. Keadaan baginya tak urung membaik.
Dipper masih saja cuek dengan dirinya seakan-akan memusatkan seluruh dunianya pada Wendy. Setiap kalimat yang diutarakan Wendy, selalu Dipper berusaha menanggapinya. Candaan apa pun yang dilontarkan Wendy, sanggup membuat Dipper tertawa terbahak-bahak.
Dasar!
Daripada dia semakin jengkel dan nantinya meledak, lebih baik dia segera menghindar dan bersembunyi dalam kamar. Gadis dengan sweater indah yang selalu dikenakannya itu memilih menenggelamkan dirinya dalam buku-buku, ponsel, komputer, televisi, video animasi dua sampai tiga dimensi, dan permainan konyol bersama peliharaannya, Waddles. Caranya efektif, dia tak lagi menyadari kalau matahari sudah bergulir ke ufuk barat dan sejam sudah lewat dari waktu makan malam.
Ketukan samar di lempeng kayu tebal pembatas ruangan yang didiaminya dengan ruang keluarga cukup menyita perhatiannya sejenak. Sosok yang sudah akrab sekali dalam tahun-tahun hidupnya muncul dengan wajah sumringah.
Mabel yang sedang duduk di atas busa tebal yang ditutupi kulit lembut untuk bermalas-malasan mengikuti adiknya dengan matanya sampai Dipper membaringkan tubuh di atas tempat tidur.
Hei, hei! Dia tidak marah Waddles di tempat tidur dan bahkan mengelus-elusnya!
"Kenapa kau tidak turun makan malam, eh?" nada suara Dipper nyaris terdengar seperti senandung dan senyum tak lepas dari mimiknya.
"Kau masih ingat eksistensiku di sini, eh?" gadis ber-sweater indah itu membalas dengan sebal, mengibaskan rambut cokelat panjangnya ke belakang.
"Ah, Mabel yang manis," Dipper membalikkan tubuhnya dan membenamkan wajahnya dalam empuknya busa bantal. "Tak bisa kujelaskan betapa gembiranya aku hari ini."
Karena berhasil mengusirku secara tidak langsung ke kamar?
Tak ada kelanjutan. Gadis muda itu menyandarkan punggung semakin dalam dan melipat kedua tangannya. "Jelaskan."
"Ah, kau menunggu, ya?" yang menjadi sasaran permintaannya membalikkan tubuh kembali, sehingga tampaklah cengir menggoda sudah terpasang di mukanya. "Wendy menerima ajakanku untuk pergi jalan-jalan bersama di pusat kota."
Kemudian, Dipper Pines menyentak tempat tidur dan bersorak seperti orang yang baru saja mendapatkan uang satu juta dolar.
"Lihat dirinya," Mabel tak dapat menyuruh batinnya berhenti berbisik.
"Aku berani bersumpah kalau ada sesuatu yang tidak beres terjadi padanya."
.
.
A/N: Halo semua! *lambaikantangan*
Terima kasih karena sudah bersedia membaca fanfiksi pertama saya ini.
Karena saya masih pendatang baru, maafkan saya yang masih sangat kurang pengalaman ini karena typo masih berserakan, gaya penulisan yang sangat kurang, penggunaan kata-kata yang sangat kurang, visualisasi yang sangat kurang, feel yang sangat kurang, dan sebagainya.
Saya masih perlu banyak belajar, jadi dimohon bantuannya.
.
.
See you in next chapter!
.
.
Greetings to you with the warm rays of twilight.
