IN YOUR EYES
by Lee Nichie
Genre : Romance
Pairing : YunJae, YooSu
Disclamer : Semua pemain milik Yang Di Atas, dan cerita ini murni milik Niche.
Warning : Yaoi/Boys Love/BoyxBoy. Typo (s) bertebaran.
Summary : Jika kau masih ingin berada disampingku hingga akhir. Kau akan lebih patah hati, kau mungkin akan jatuh. Jadi, aku hanya bisa menutup mulutku. Dan berharap kau akan bahagia/YunJae/Yaoi/Chapter 1
Tak ada yang lebih istimewa selain kawan-kawan dengan senang hati bersedia me-reviem atau sekedar membaca coretan cakar ayamku ini seperti saat kalian menikmati secangkir coklat susu buatan sang gebetan.
.
.
.
:: In Your Eyes ::
PROLOGE
Meskipun aku dilahirkan kembali seribu tahun lamanya
Tak akan ada cinta yang lain selain cintamu
Orang yang akan selalu menerangi hidupku yang gelap
Orang yang akan menuntunku bila aku tersesat
Dan orang yaog akan selalu kuingat wangi parfumnya
Aku ingin sekali berterima kasih padamu
Tapi, aku tak sanggup, aku pun tak mampu
Karena aku sudah menjadi bodoh, idiot
Seorang lemah yang tak bisa melindungimu
Jika kau masih ingin berada disampingku hingga akhir
Kau akan lebih patah hati, kau mungkin akan jatuh
Jadi, aku hanya bisa menutup mulutku
Dan berharap kau akan bahagia
Walaupun sulit mengatakan bahwa aku mencintaimu
Itulah kenyataannya...
Walaupun dadaku sesak dengan harapan itu
Itulah kenyataanya...
Jangan menambah luka terlalu dalam...
Biarlah berjalan seperti biasanya
Mencintaimu, tapi tak mendapat cintamu
Hanya melihatmu dari jauh, aku akan menahan air mata ini
Hanya memandangmu diam-diam, aku akan memendamnya dalam-dalam
Bagiku itu cukup... karena itu sudah membuatku tersenyum
Terima kasih atas kenyataan yang kau berikan
Jangan menambah luka terlalu dalam...
Biarlah berjalan seperti biasanya
Mencintaimu, tapi tak mendapat cintamu
Adakalanya ia merasa bahwa dirinya tengah berada disebuah film lama yang penuh dengan konflik. Dunia yang tak pernah ia temui sebelumnya, begitu asing, begitu kejam. Ibarat debu, terkadang ia hanya mampu menahan tangis ketika tubuhnya terhempas, terlempar, terbuang, serta berputar-putar, bahkan terombang-ambing oleh permainan karakter dari film itu. Pandanganya sesekali mengabur karena air mata yang sering kali terjun bebas. Persendianya serasa remuk, detak jantungnya kian melemah sampai-sampai ia tak menyadari bahwa sebuah sentuhan hangat dengan sengaja menghapus butiran-butiran kristal dari pipinya, sepasang lengan kokoh yang tiba-tiba merangkulnya, membuat kelopak matanya memejam, meresapi aroma tubuh orang itu.
Oh ya... Ia ingin membalas pelukanya, agar orang itu tidak pergi dan tetap berada dalam dekapanya. Namun, tanganya tak dapat ia gerakkan, sangat kaku, sepertinya saraf-sarafnya sudah tak berfungsi lagi. Ia pun tak mendengar, padahal ia ingin mendengar suara orang itu serta ingin mendengar deru nafasnya. Oh... Tidak, ini seperti drama bahkan lebih dramastis dari itu. Kalau pun bisa, ia ingin mengucapkan terima kasih, hanya dua kata itu. Tapi, kenapa sulit? Lidahnya kelu, seakan-akan kerongkonganya tercekat.
Sekarang ia tahu, tak selamanya cerita itu happy ending, kadang-kadang harus berakhir dengan tangisan... bukan... bukan dengar air mata, sebab air matanya telah kering. Andaikan itu tak terjadi, ia ingin sekali melihat sinar mata dari orang itu, bentuk hidungnya, bibirnya, dahinya, wajahnya... dan, dan segalanya karena ia merindukan orang itu.
Sebab...
Memandang wajahnya adalah obat bagi dirinya
Mendengar suaranya adalah nyanyian surga untuknya
Merasakan deru nafasnya adalah hidup baginya
Memeluknya... yah... dengan memeluknya, ia akan tersenyum untuk selamanya
Tapi, semua itu hanya bagian dari skenario film itu. Semuanya palsu, hampir saja ia melupakanya. Oh... Ayolah, ia mengingingkan orang itu, sekali lagi ia hanya menginginkanya, tiada lain, kecuali orang itu. Orang yang akan menemaninya, mendekap tubuh ringkihnya sampai terlelap di dada orang itu.
:: In Your Eyes ::
KEDIPAN PERTAMA
"Akhirnya... Kau mengangkat panggilanku juga. Kau kemana saja Jaejoong-ah? Aku nyaris meneleponmu hingga seratus kali dan ini sudah yang ke-99 kalinya kau tak menjawab. Huft... Kau ingin coba menghindar dariku, hah?"
Suara tenor yang melengking di balik percakapan itu sedikit membuat Jaejoong menjauhkan ponsel dari daun telinganya. Pria berparas cantik itu meringis tertahan ketika pekikan lelaki di seberang sana berteriak keras hingga ia merasa alat pendengaranya berdenging.
"Junsu-ah, bisakah hari ini kau tidak membuat kepalaku pusing tujuh keliling?" balas Jaejoong sarkatis. Ia masih belum mengerti siapa itu Junsu, rupanya. Sahabat sekaligus merangkap sebagai partner satu apartemenya itu selalu melebih-lebihkan dengan sifat hiperbolanya itu.
Terdengar desahan dari Junsu. "Kalau kau merasa tak ingin dipusingkan, setidaknya kau menjawab panggilanku."
Jaejong menegakkan punggung sambil bersila di atas ranjangnya. Ia baru saja terbangun dari kembang tidurnya, dan langsung mendapat omelan sahabatnya. Nampak sekali nada suaranya yang ogah-ogahan mengankat telepon dari Junsu. Matanya juga terlihat sayu, karena setengah hari bergelung dengan guling-guling. "Yach! Tapi kau tak perlu berteriak senyaring itu. Apa di sana ada orang? Kalau saja ada, kau mungking sudah dianggap gila oleh mereka."
"Benar... Aku sudah gila karena ulahmu, Jae." kata Junsu, lalu melanjutkan. "Tapi... Bisakah kau datang ke cafe Heaven sekarang juga? Hari ini adalah penampilan pertamaku, Jae. Kau tak lupa, kan?"
Jaejoong menerawang ke atas langit-langit, mencoba mengingat-ingat apa saja yang ada di pikiranya. Sesekali jarinya mengetuk ponsel yang tertempel di telinganya. Detik kemudian, ia tersentak. Beberapa jam sebelumnya, Junsu memang mengancam Jaejong apabila ia tak datang ke acara perdananya di cafe Heaven pukul delapan malam, ia akan dibunuh. "Oh, ya... Aku hampir melupakanya."
"Bagaimana kau bisa melupakanya, Jaejoong?"
"Ah... tidak, aku tidak melupakanya. Hanya saja, aku baru mengingatnya."
Sekali lagi, desahan yang mirip bison di kala musim dingin itu mewarnai percakapan mereka. "Baiklah! Lupakan masalah penyakit mendadak amnesiamu itu. Tapi, kau bisa cepat kesini? Acaranya akan di mulai 30 menit lagi." ucap Junsu diiringi lirikan Jaejoong ke arah jam weker di atas meja nakas yang bersebelahan ranjangnya. 07.30 malam.
Lalu Jejong kembali kepercakapan mereka. "Sebenarnya, aku ingin melihat penampilanmu, tetapi... hari ini aku sedang sibuk."
"Sibuk? Sejak kapan kau menjadi orang sibuk?"
"Sejak hari ini." jawabnya santai.
"Oh... Ayolah, Jaejoong-ah! Malam ini kau libur siaran, kan? Jadi, jangan coba-coba membohongiku untuk yang ke sekian kalinya." kata Junsu penuh aksentuasi disetiap kata-katanya.
Alis Jaejoong memencing. Ia bodoh atau berpura-pura bodoh sih. Lelaki bertubuh mungil di ujung sana itu lebih tahu tentang dirinya sendiri. Junsu itu pintar, karena kepintaranya, Jaejoong selalu dibuat tolol olehnya. "Tapi, aku benar-benar sibuk malam ini." Jaejoong berusaha berdalih.
"Apa dengan memeluk guling dan menutupi dirimu dengan selimut itu adalah bagian dari kesibukanmu, huh?" Kekehan kecil yang terlontar dari bibir tipis Junsu membuat Jaejoong kesal pada dirinya sendiri. "Dari sini pun aku bisa melihat jika kau sedang duduk manis di atas ranjangmu."
"Aku sibuk karena kepalaku saat ini sedang berteriak pusing... pusing... pusing dan sama sekali tak ada hasrat berdebat denganmu, Junsu-ah." lagi-lagi Jaejoong mendalih dengan alasan yang tak berbobot.
"Terserahlah, mau kepalamu pusing atau kau benturkan ketembok hingga lepas, aku tak peduli. Kau harus datang sekarang juga, bukankah kau sendiri sudah berjanji tentang ini?" belum sempat Jaejoong membalas, Junsu menambahkan. "Acaranya sebentar lagi dimulai, jika kau masih setia dengan ranjangmu, kau akan mati." dan sambungan telepon itu terputus, menyisakan bunyi tut-tut dari ponsel Jaejoong.
Ia menghembuskan nafas pasrah. Ditatapnya layar ponsel sekilas dengan wajah yang bersungut-sungut. Dalam batinya, ia tak henti-hentinya merutuki nama lelaki itu. Jaejoong heran pada lelaki yang juga bermarga sama denganya itu. Kenapa sifat dan kepribadian Junsu, 180 derajat berbanding terbalik dengan dirinya? Apa karena ia tak punya bibir setipis Junsu, hingga lelaki itu dapat berbicara tanpa jeda sekalipun?
Ponselnya ia lemparkan sembarangan. Sembari memijat-mijat pelipisnya, ingatanya berputar ke kejadian apa saja yang terjadi selama 24 jam yang lalu. Yang benar saja, kenapa hari ini ia lebih banyak dikendalikan oleh bocah itu? Tadi pagi, Jaejoong harus memasakkan bimbimbap ketika bocah itu memelas bahwa perutnya kelaparan. Lain halnya dengan kakinya yang rela menahan nyeri di sekitar betisnya karena berlama-lama berdiri di butik milik Mr. Casey Kim hanya sekedar memilih pakaian yang cocok untuk Junsu kenakan di acaranya yang terbilang perdana itu.
Ini bukan kali pertamanya ia harus melayani sahabat se-apartemennya itu. Namun kali ini Jaejoong telah bertekat untuk pindah kamar dan tak tinggal satu apartemen bersama Junsu. Biar tau rasa dia!
Ah, masa bodoh dengan semua itu, Jaejong malah merebahkan kembali badanya ke atas kasur sambil membungkus tubunya menggunakan selimut. Entah sejak kapan rasa kantuknya mulai menguap, menyisakan insomnia yang berkelanjutan. Jika sudah begini caranya, ia tidak akan bisa tidur nyenyak lagi.
Lantas Jaejoong menyikap selimutnya sembari meniup poni-poni rambutnya yang berjatuhan di kening. "Oh Tuhan... benarkah aku asli keturunan kore? Jika iya, dipastikan detik ini aku sudah memutus urat nadiku." keluhnya seolah-olah menyarah pada keadaan.
Jaejoong beranjak dari tempatnya dalam keadaan tertatih-tatih. Pening yang menyerang kepalanya masih cukup kentara ia rasakan. Jaejoong membuka almari dan memilih beberapa pakaian khas musim dingin, seperti mantel hitam selutut, sapu tangan, syal tebal, topi beanies, serta sepasang sepatu uug boot berwarna coklat cerah di rak sepatu. Seoul sekarang bersalju, jadi Jaejoong memerlukan semua perlengkapan ini untuk melindunginya dari flu ataupun deman. Takut-takut ia nantinya mati membeku di luar sana.
Jaejoong bergerak kesamping tempat tidurnya, kemudian mengambil tas selempangan berukuran sedang tepat di atas meja nakas yang bersebelahan dengan tumpukan buku-buku, di bawah sinar lampu resikel teak. Satu hal yang ingin ia lakukan ialah melihat serta mendengar Junsu bernyanyi di cafe Heaven walau ia sendiri melakukanya setengah hati- pantasnya tak berniat setulus hati. Langkah Jaejoong terhenti ketika ia merasa ada sesuatu yang ia lupakan. Kemudian ia berbalik, lalu melangkah ke meja nakas lagi dan mengambil sebuah notes kecil yang tersusun rapi diatas gundukan buku. Kemana dan dimana pun ia pergi, Jaejoong tidak akan melupakan benda itu. Notes kecil itu selalu ia bawa, baik ketempat kerjanya maupun ke ketempat-tempat yang lain.
"Semoga kehadiranku mampu membuat Junsu tampil lebih baik. Tentunya ia tak akan mengecewakanku kali ini."
.
.
:: In Your Eyes ::
.
.
Sopir itu menghentikan taksinya tepat di depan sebuah apartemen. Jung Yunho sedikit terhenyak ketika tahu-tahu taksinya berhenti, menandakan bahwa ia sampai tujuan. Sopir itu membukakan pintu untuknya, setelah itu mengambil koper di bagasi. Yunho tersenyum ramah kepada lelaki separuh baya itu sambil membungkukkan badan disertai ucapan terima kasih sebelum taksi itu melesat meninggal bekas sapuan angin.
Yunho menghela nafas panjang. Ditangan kirinya, ia mememegang papan lukis dan sebelah tanganya lagi menjinjing tas koper. Matanya ia edarkan kesegala arah dari bangunan yang lumayan besar itu. Ia menyeret kakinya menuju bangunan itu. Dari tempatnya berpijak ia bisa melihat balkon-balkon sempit yang dipenuhi dengan tanaman-tanaman hias, satu alat penjemur pakaian yang juga terdapat dua kursi menghadap ke barat. Besi tempa putih indah memagari balkon itu.
Yunho memasuki bangunan itu, lalu menaiki anak tangga seusai mengambil kunci apartemen di bagian penerimaan tamu. Yunho memang sudah memesan kamar tiga hari sebelum ia tiba di Korea. Ia tak perlu menunggu terlalu lama memasuki apartemenya. Yang Yunho butuhkan hanyalah ranjang. Yah, di benaknya hanya ada benda empuk nan hangat itu. Sejam lalu, saat ia keluar dari bandara, Yunho berencana istirahat beberapa jam. Kalau bisa ia ingin tidur hingga esok pagi tanda ada gangguan. Seluruh tubuhnya terasa letih, saking letihnya ia bisa saja menaiki tangga-tangga itu sambil tertidur. Tidak... tidak, Yuhoo tak boleh tertidur jika tak mau dirinya terhuyung ke belakang, bersiap-siap menerima yang terburuk. Ia menggeleng-gelengkan kepala, seraya menghirup nafas.
Butuh tenaga ekstra bagi Yunho menapaki beberapa anak tangga, mengingat barang-barangnya cukup banyak membuatnya sulit bergerak. Ia kerahkan segenap konsentrasinya yang tersisa. Tak mau tiba-tiba kakinya tergelincir dan menjadi salah satu dari sekian korban gravitasi bumi.
Yunho sampai di pertikungan tangga untuk menaiki tangga yang kedua. Saat itu pun, mata musangnya membentur seseorang dengan pakaian serba-serbi musim dingin yang lengkap. Wajah orang itu sangar tak jelas, karena sebagian mukanya tertutupi syal merah yang melilit lehernya. Samar-samar, pendengaran Yunho menangkap lemparan-lemparan umpatan melalui mulut orang itu, sambil sesekali meremas-remas kepalanya yang tertutup beanies.
"Oh... Junsu, kau memang ingin menjadikanku zombie berjalan, yah..." Mau tak mau alis Yunho mengernyit, melihat orang itu bermonolog seraya mengeluh yang entah ditunjukkan pada siapa. Sejak saat itulah, Yunho menyimpulkan bahwa orang dengan mantel hitam selutut itu adalah seorang gadis. Tak tahu dari mana spekulasi itu muncul sebab ia merasa separuh wajah orang itu mewakili fakta bahwa orang itu adalah gadis manis yang sedang merajuk.
Obsidian Yunho tak lepas memandangi gadis itu, ketika menuruni satu persatu anak tangga. Saat jarak gadis itu sangat dekat, Yunho dapat melihat note kecil yang dipegang gadis itu. Ternyata, gadis itu masih belum menyadari keberadaan Yunho yang terbengong-bengong.
Namun, sekonyong-konyongnya kaki kanan yang terbungkus uug boot coklat berbulu milik gadis itu tergelincir dari pijakan, membuat tubuh gadis itu hilang keseimbangan. Otak dan perasaan Yunho sejatinya belum sepenuhnya terjaga tetapi kedua tangan Yunho lebih dulu bekerja. Yunho yang masih belum kuat dalam artian sangat lelah, dengan sigap merangkul pinggang ramping gadis itu. Sialnya, tubuh Yunho malah terhuyung kebelakang dan membentur dinding sangat keras.
Maka terciptalah adegan 'tangkap rangkul' yang err... gagal. Dimana posisi Yunho yang menempel di sudut tembok seraya menahan sakit di punggungnya. Bila begini terus, lama-lama ia bisa lumpuh, pikir Yunho.
Sementara gadis penyebab adegan kesialan itu, meringis kesakitan dengan kepala yang berbantal paha Yunho. Tangan kananya mengelus-elus pantat. Siapa sanka, jika gadis itu mendaratkan bokongnya pertama kali ke permukaan lantai. "Aww... aduh... pantatku... sakit..."
Mendengar ringkihan gadis itu, buru-buru Yunho mengenyahkan segala rasa sakitnya. Dua-tiga-empat, untuk spersekian detik, mata mereka saling membentur satu sama lain.
Sepasang onyx itu membulat seketika. Ada rasa aneh yang transparan yang secara tak disangka-sangka mengganjal dalam pikiran Yunho, entahlah apa itu. Mata itu... mata itu... begitu indah. Demi Dewa Neptunus, ia tak pernah melihat sepasang mata yang menghipnotis dunianya untuk berhenti berputar. Mata itu, mampu menghilangkan segala oksigen di paru-parunya. Mata itu, mampu menguapkan segala ngilu-ngilu di sekujur organ tubuhnya. Mata itu, sanggup membuat Yunho lupa daratan dalam sekejap. Mata itu... berhenti! Kata-kata apa itu?
Yang merasa dipandangi dengan sorotan tajam itu, tidak bergerak sedikitpun. Entah setan apa yang tiba-tiba merasuki gadis itu hingga seluruh persendianya kaku layaknya boneka kayu. Alih-alih menyadarkan gadis itu. Kedua matanyanya mengerjab satu kali, lalu gadis itu terkesiap dan buru-buru bangun seraya merunduk pada Yunho. "Mianhae... aku tak bermaksud melakukanya."
Giliran Yunho yang tersadar dari penyakit apopleksinya. Ia ikut berdiri di samping gadis itu yang tengah merapikan kembali pakaian dan tas selempangannya.
Yunho berdeham pelan. "Apa nona tak apa-apa?" tanyanya.
"A-apa? NONA?"
Yunho agak kaget mendengar pekikan gadis itu, lalu memasang tampang tak berdosa.
"Anda memangil saya nona? Hah... dari sisi mananya anda melihat saya itu wanita?" hardik gadis itu, sembari mengangkat dagunya seakan menantang. Kedua matanya membelalak seperti mengancam.
Yunho mengamati sekali lagi dari kepala hingga ujung kaki, kemudian kembali menjatuhkan pandangan kepada gadis itu. "Tak ada yang membedakan. Kau benar-benar seorang wanita, bukan?"
Decihan mengejek terlontar dari mulut gadis itu. Wajahnya dipalingkan ke arah lain, memutuskan kontak mata dengan Yunho. "Oh... Dear... Aku harus mengoperasi plastik wajahku mirip siapa sih? Mirip Choi Siwon? Oh, jangan! Mirip Robbert Pittison saja."
Kening Yunho berkerut heran. Sudah pasti. Apa yang baru saja gadis itu bicarakan?
"Baiklah, Tuan" lirih gadis itu seraya mengulum senyum paksa. "Anda salah mengenali saya sebagai wanita karena sebenarnya saya seorang pria." Gadis itu lalu melangkah gontai menuruni tangga serta menggerutu tak jelas.
Sedangkan Yunho tertegun menatap jejak-jejak punggung gadis... bukan lagi, tapi tepatnya pria itu-meski Yunho sendiri tak yakin akan kenyataan itu-menghilang di telan pintu.
Kesan pertama yang buruk, batin Yunho. Kemudian membereskan barang-barangnya yang terkocar-kacir. Sewaktu mengambil papan lukisnya, ia tak sengaja menemukan sebuah buku catatan kecil berwarna merah bertuliskan sebuah nama "KIM JAEJOONG" yang terpampang di depan buku itu.
.
.
Akan berlanjut di kedipan yang selanjutnya...
KOAR2 NICHIE
Yes! Akhirnya impianku tercapai juga untuk menjadi author di sini. Ini adalah cerita pertamaku, jadi sudah pasti sangat aneh dan tak layak untuk dibaca. Karena itu, supaya ceritaku lebih baik dan layak dibaca. Sudikah kawan2 memberikan saran dan kritik di kolom review.
