-Disclaimer-
HETALIA © Hidekazu Himaruya

-Fiction-
DIFFERENT WORLD © dark 130898

Genre: Romance/ Hurt

Rated: T

Pairing: AmeBela

Sum: Kau bebas melakukan semua yang kau mau. Tersenyum dan tertawa gembira. Sedangkan aku? Terkurung dalam Uni Soviet yang membosankan tanpamu. Bawa aku keluar dari sini. Bawalah aku melihat dunia luar.

Chapter 1
Check it out!


.

" Natalia~" seru Ivan dengan suara innocent yang selalu berhasil menutupi semua ke-sangar-annya. Ivan Branginzky, dia kakakku. Aku hanya menoleh dengan tatapan dingin –tatapanku seperti biasa. Mungkin tidak biasa untuk orang yang tak mengenalku. Tapi berani kujamin Ivan sudah cukup kenyang melihat tatapanku yang selalu begitu. Aku tidak menyayanginya, tapi aku juga tak membencinya. Lebih tepatnya, aku tak peduli dengan si maniak vodka yang satu ini.

" Apa kau sedang sibuk, da?"

" Tidak juga."

" Bagaimana kalau temani aku beli vodka?" Aku diam, tak ingin menanggapinya. Aku bosan harus selalu menemaninya ke toko yang sama, untuk membeli barang yang sama, dan dalam jumlah yang sama juga. Ah, tidak. Kadang Ivan bisa membeli vodka 76 – 82 botol untuk seminggu. Menurutku, dosisnya terlalu banyak untuk kakak berhidung besar ini. Tapi ya sudahlah. Toh aku tak peduli sama sekali.

" Hei, Natalia. Kau juga harus coba vodka sekali- kali. Enak, lho! "

" Terima kasih. Tapi aku tak butuh minuman pahit yang rasanya aneh itu." Jawabku dingin.

" Lalu bagaimana jawabanmu? Mau menemaniku? Aku janji nanti akan kubelikan koleksi pisau milik mafia nomer satu di Italy, da!" Katanya.

Aku segera bangkit dari kursi, keluar rumah dan memakai sepatu. Ivan mengikutiku di belakang sambil terus mengocok- kocok botol vodka kosong yang dibawanya. Bodoh. Kami memang kakak- adik. Tapi dijalan, kami seperti orang tidak kenal. Lebih tepatnya, aku yang pura- pura tak mengenal orang yang selalu senyum- senyum apa pun suasananya ini.

Kalian tahu kenapa aku tak peduli padanya? Karena dia duluan yang tidak mempedulikan kebebasanku. Aku tak boleh keluar rumah tanpa dirinya. Ivan hanya membolehkan aku keluar untuk menemaninya beli vodka. Rumah kami memang besar dan dilengkapi fasilitas yang cukup nyaman. Kami tinggal bertujuh dalam rumah itu. Aku, ivan, Yekaterina, Toris, Eduard, dan Raivis. Tetap saja aku bosan. Toh mereka sibuk dengan kegiatannya sendiri. Eolah- olah Ivan melarangku untuk keluar. Melarangku untuk punya orang yang kucintai. Jangankan pacar. Teman saja tidak boleh. Dan aku tak tahu kenapa Ivan melakukannya.

Aku mengantarnya beli vodka bukan karena iming- iming pisau yang akan dibelikan olehnya. Yah,itu alasan keduanya sih. Kalau alasan pertamanya, karena aku ingin bertemu dia. Seorang pemuda yang selalu kulihat di sekitar toko vodka langganan Ivan. Dia selalu tersenyum dan tertawa. Senyumannya begitu tulus, tidak seperti senyum palsu Ivan yang membuatku pernah sedikit pun tersirat kesedihan di wajahnya. Aku ingin ingin jadi orang sepertinya. Tapi apa daya, karena aku hanya bisa memandangnya dari jauh.

" Seperti biasa. 80 botol, da." Kata Ivan pada si penjual.

" Baiklah. Silahkan menunggu, tuan."

Aku dan Ivan duduk di toko itu. Tentu saja duduknya berjauhan. Tidak dalam satu meja. Dan lagi- lagi, aku melihat pemuda yang kucari. Rambut blonde disertai mata biru cerah yang dilengkapi oleh kacamata putih ala texas. Sepertinya orang Amerika. Dia memang sempurna. Andai saja sosoknya adalah diriku, pasti aku senang sekali. Dia orang pertama yang menginspirasi dalam hidupku. Meskipun aku tak mengenalnya.

" Natalia? Kau melihat kemana, da?"

Suara Ivan membuyarkan semua fantasiku. Tak ingin ketahuan –segera kuhapus senyum kecil yang terlukis di wajahku.

" Tidak kemana- mana."

" Jangan bohong, Natalia."

" Aku tidak bohong. Terserah kalau kau tidak percaya."

" Kau memperhatikan Alfred 'kan, da?"

" Alfred? Alfred siapa?"

" Ya sudah kalau kau tidak tahu."

Alfred. Jadi namaorang itu adalah Alfred ya. Benar- benar orang Amerika. Tetap seperti tadi, aku tetap melihatnya yang sedang main bola dengan teman- temannya. Tertawa saat kepalanya terkena bola. Sama sekali tidak marah pada teman yang menendang bolanya. Justru itulah yang membuatnya tersenyum. Aku ingin jadi orang seperti dia. Bebas melakukan semua yang dia mau. Tidak terkurung di Uni Soviet yang membosankan..

" ...lang, da." Alfred, aku memang tak mengenalmu. Aku juga tak berharap kau menyadari aku selalu memperhatikanmu. "...lia, kau kenapa, da?" Sebelumnya aku tak sadar. Sebelumnya aku tak tahu. Tapi sekarang aku sadar dan aku tahu. Perasaan yang membuatku berdebar setiap melihatmu. Perasaan yang membuat wajahku merah saat mengingatmu. " ...lia!" Orang bilang ini cinta. Tapi aku tak percaya sebelum kubuktikan sendiri.

" Nataliaa!" Teriakkan Ivan yang terakhir mampu menghancurkan bayanganku. Sepertinya dia memanggilku dari tadi. Tapi aku tak mendengarnya. " Ayo pulang. Aku harus bicara denganmu." Katanya. Ivan menarik tanganku dengan kasar, dan setengah berlari menggandengku. Tapi wajahnya tetap tersenyum. Lagi- lagi senyum palsu yang menyembunyikan emosinya.

" Lepaskan! Lepaskan aku, Ivan!" Ivan tak mengubris perkataanku, dia tetap menarik tanganku dengan kasar. meremas pergelangan tanganku sampai merah. Aku tahu dia marah. Dan aku tak peduli dia marah. Yang kupedulikan hanyalah kebebasanku. Aku ingin keluar dari rumah itu. Di sana tak ada seorang pun yang mengerti perasaanku.

Gerbang megah itu terbuka, mengantarkanku masuk ke bangunan yang kubenci. Ya, itu rumahku. Tapi cepat atau lambat, aku akan keluar ari rumah itu.

Klek..

Ivan membuka pintu ruang kerjanya. Menyuruhku duduk di salah satu kursi yang ada. Dia duduk di kursi yang berhadapan denganku. Kesannya seperti seorang 'bos' yang sedang mamarahi 'bawahan' nya. Aku benci ini.

" Natalia, aku punya berita buruk untukmu, da." Katanya sambil mempertahankan senyum-sok-innocent-bikin-muntah khasnya. " Kau lihat pemuda berambut blonde tadi itu kan, da? Namanya Alfred. Menurut kabar yang beredar, dia itu..." Ivan berhenti sejenak, niatnya memberi efek dramatis –tapi sama sekali tak berpengaruh padaku. "..yang membunuh anak penjual vodka di toko tadi." Sambungnya.

Pembunuh? Memang aku pernah dengar bahwa anaknya si penjual vodka itu menghilang misterius. Dan beberapa bulan setelah dia hilang, akhirnya dia dikabarkan meninggal dengan luka tusuk di bagian perut dan jantung. Apakah Alfred yang kulihat adalah Alfred si pembunuh?

" Lebih baik kau jangan dekat- dekat dengan dia, da. Bahaya, lho." Jelas Ivan. "Aku hanya ingin yang terbaik untuk adikku. Aku tak ingin kau terluka." Tambahnya. Dia memajukan wajahnya hingga jarak wajah kami hanya sekitar 10 cm. Dia menatapku tajam, senyum palsunya telah hilang. " Kau mengerti 'kan, da?" Di belakangnya mulai muncul aura-aura hitam mematikan, dengan background yang tak kalah mengerikan. Aku hanya mengangguk singkat. " Bagus. Kolkolkol..." Ivan bangkit dari kursinya, meninggalkanku dalam ruangan.

=.=?

Kembali ke kamarku. Kamar luas dengan cat putih elegan dilengkapi fasilitas yang lengkap pula. Tapi tetap saja. Kosong. Barang- barang ini tak mampu menemaniku. Barang- barang ini tak bisa mendengarkan ceritaku. Aku ingin ada orang yang memahamiku. Yang mengerti bagaimana perasaanku.

Kalian tahu? Aku sama sekali tak percaya bahwa Alfred adalah pembunuh. Jangan sampai kalian juga tertipu olehnya. Aku yakin Alfred bukan pembunuh. Dan aku percaya pada diri sendiri daripada Ivan. Sama seperti sebelumnya, itulah yang dilakukan Ivan. Beberapa tahun lalu, aku punya tetangga berkulit coklat yang akrab denganku. Dialah satu- satunya orang yang pernah jadi temanku. Antonio Fernandez C. Sepertinya Ivan tak suka melihatku akrab dengan Antonio. Ivan bilang padaku bahwa Antonio pernah hampir memperkosa kak Yekaterina dan menculik Raivis. Dan bodohnya aku, waktu itu aku percaya dengan omongannya. Ivan sukses membuat persahabatanku dengan Antonio rusak. Kita saling membenci. Dan Antonio pindah ke Spanyol untuk selamanya. Dan aku belum sempat minta maaf setelah tahu kejadian sebenarnya. Ivan bohong. Antonio tak pernah memperkosa ataupun menculik siapa pun.

Kali ini, aku takkan percaya lagi.

Aku duduk di depan cermin, memperhatikan bayangan wajahku sendiri. Betapa muramnya wajah ini. Tanpa senyum sedikit pun. Dan Ivan adalah penyebab semua ini.

Klotak!

Sebuah batu kecil menghantam kaca kamarku. Untung Cuma batu kecil, jadi hanya membuat goresan di kaca kamarku. Sudahkah aku cerita bahwa kamarku ada di lantai dua?

Perlahan kudekati kaca jendela. Melihat ke bawah, siapa tahu si pelaku masih ada di sana. Akan kuhias tubuhnya dengan pisau kalau saja aku tahu pelakunya.

" Pssst! Hei!" Kata suara itu pelan. Lho? Siapa? Ada dimana dia? " Hei! Di bawah sini!" Aku melihat ke bawah dan kutemukan sosok yang... yang... ukh, tak bisa kuungkapkan.

" A-Alfred..?"

Alfred hanya tertawa. Dia mengambil selembar kertas dan sebuah pena dari sakunya. Dan mulai menulis sesuatu. ' Ternyata kau tahu namaku, Natalia.' Itulah yang dia tulis. Darimana dia tahu namaku? Aku juga mengambil selembar kertas dan pena, lalu menulis 'Kau sendiri tahu dari mana kalau namaku Natalia?' dan menempelkannya pada kaca agar Alfred bisa membacanya.

'Tentu saja aku tahu. Ngomong- ngomong, kau tidak apa- apa 'kan? Sepertinya tadi kakakmu menarik tanganmu dengan kasar.'

Aku membalasnya, ' Tidak. Aku baik- baik saja. Kenapa kau ada di sini?'

Alfred malah memasukan kertasnya dalam saku dan menggigit pulpennya. Dia melambaikan tangan, dan segera pergi dari depan rumahku. Tapi kenapa? Padahal kita baru saja kenal. Kenapa Alfred langsung pergi..? Padahal kuharap dia bisa menemaniku lebih lama lagi.

Alfred...

Kau akan kembali 'kan?

" Natalia.." Ivan berdiri di depan kamarku. Dia sudah mengetuk pintu dari tadi, tapi aku tak mengubrisnya sama sekali. Terpaksa, kubukakan pintu untuknya.

" Ada apa lagi?" Tanyaku ketus.

" Memenuhi janjiku. Ini satu set pisau langsung dari kau menyukainya." Dia menyodorkan kotak dengan tutup transparan yang berisi 8 pisau mengkilat. Dengan kasar aku menyambarnya.

" Terima kasih. Biarkan aku sendiri."

Aku langsung menutup pintu kamar, tapi Ivan menahannya. " Tunggu dulu." Ivan mendorong pintunya, dan masuk ke kamarku..

Dia berjalan ke arah jendela. Dan betapa sialnya aku, Ivan menemukan kertas yang tadi kugunakan untuk berkomunikasi dengan Alfred. Dia membacanya, lalu bertanya padaku, " Ini apa, da?"

" I,i, itu... Itu... Cuma kertas coret- coretan, kok." Jawabku sesantai mungkin.

" 'Aku baik- baik saja. Kenapa kau ada di sini?' Memangnya siapa yang tadi ada di sini?"

" Tidak ada. Aku berencana menulis fanfiction yang ceritanya ada seorang gadis yang terkekang dalam rumahnya sendiri. Orang tua dan kakaknya melarangnya untuk keluar. Tapi suatu saat gadis itu melihat sosok pemuda dan jatuh cinta padanya. Karena tak tahan lagi, gadis itu kabur dari rumah untuk menemukan cintanya. Dan itu adalah skrip kasarnya saat pertemuan si gadis dengan orang yang dicintainya." Jelasku berusaha menjelaskan keadaan sekarang dan beberapa waktu kedepan.

" Kalau aku boleh beri saran, menurutku ceritamu itu..." Ivan berhenti sebentar, aku pun tak menunggu kelanjutannya. Tidak peduli. "..sangat tidak masuk akal, da. Gadis yang kabur dari rumah hanya untuk mengejar hal yang tabu itu benar- benar bodoh. Kolkolkolkol..." Ivan keluar dari kamarku. Sialan! Jika kau bukan kakakku, mungkin aku sudah membunuhmu sejak dulu!

Sudah kuputuskan.

Aku akan kabur dari rumah...

Malam ini juga.


Chapter 1
-Tsuzuku-

Veee~

Ini OOC banget, ya? Apa lagi Ivan sama Natalia. O iya. Natalia kabur bukan karena pengecut, ya. Tapi dia nggak mau masalahnya jadi makin panjang. Ada yang bisa tebak Alfred pergi kemana? Kalau tebakannya akurat 100%, anda boleh nge-request 1chapter dari fict ini. Baca lanjutannya terus, ya, da.. Keritik dan saran silahkan kirim ke nomer di bawah ini. #disemprotpestisida *nggak ada nomer apa- apa di bawah 'ini'* Keritik dan saran silahkan riview aja, deh.

Rencananya mau hiatus sementara dulu, soalnya ada UAS. Tapi entah kenapa akhir- akhir ini saya malah lebih produktif melahirkan fict- fict abal binti labil. Habis kalo nggak cepet- cepet di updet, takutnya keburu lupa ide ceritanya.

Jya ne, Mina.

-dark 130898