~ Had You Enough ~

.

YeWook Fanfiction © R'Rin4869

.

Genre : Family, Romance, Hurt

Rated : T (maybe i would to change this *heh*)

Warning : Boys Love, lil bit straight, OOC, Typo(s), etc.

Disclaimer : my oppars and unnirs in here isn't mine, but this story is belong to me.

.

.

Memilikimu, bukan hanya antara satu kata, ataupun beberapa saat. Tapi dalam jutaan makna, yang sarat akan perasaan, dan juga... selamanya...

.

.

Kim Jongwoon.

Usianya masih terbilang muda. Memasuki jenjang kuliah tahun lalu dan kini sedang menjalani semester 3 di Seoul University. Anak keluarga Kim yang merupakan pebisnis besar di Korea Selatan. Namun di antara kejayaan dari posisi dan segala sesuatu yang dimilikinya, ada satu hal yang dia impikan. Kebebasannya.

Kado terbesar pada hari ulang tahunnya yang ke-19 hanyalah pembicaraan dengan orangtuanya. Malam itu, di ruang makan yang bernuansa kecoklatan karena klasiknya desain interior ruangan, wajah Jongwoon menyatakan kalau dia sama sekali tak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh orangtuanya.

"Apa?"

Jongwoon bertanya, merasa jika pendengarannya memiliki masalah serius karena apa yang baru saja dia dengar merupakan satu hal yang... agak mengerikan.

"Kami memikirkan masa depanmu, Jongwoon-ah." Ibunya berkata dengan nada yang menenangkan, tapi sama sekali tidak membantu.

"Dengan... dengan membuatku menikah di usiaku yang masih belasan?" pertanyaannya terdengar retoris sebelum dia tertawa parau. "Aku masih terlalu muda!"

"Kau hanya diminta bertunangan." Ayahnya menatapnya, lebih tajam dibanding biasanya. Atau mungkin Jongwoon merasa begitu, karena faktanya, ayahnya jarang sekali bertatapan mata dengannya.

Jongwoon mengalihkan pandangannya ke perapian. Menatap api yang menyala dan melalap kayu bakar di sana. Kehangatan yang ditimbulkan tidak mampu mencairkan emosinya sekarang. Dia sedang menahan diri untuk tidak menggebrak meja di depan orangtuanya. Menentang segala macam perintah mereka.

"Dia gadis yang baik, Jongwoon." ayahnya berkata lagi.

"Aku tak peduli."

"Kau akan segera jatuh cinta padanya."

Jongwoon berdecih. Ibunya membuat kata cinta itu terdengar seperti penawaran merger dengan perusahaan lain, sesuatu yang dia pelajari di bangku kuliah.

Dia menyerah. Bangkit dari kursinya dengan suara keras tanpa nemandang lagi pada kedua orangtuanya. Ingin cepat-cepat beranjak dari tempat itu sebelum ayah dan ibunya menceramahinya dengan segala omong kosong itu.

"Terserah kalian."

.

.

.

Pertunangan itu berlangsung jauh lebih cepat daripada yang diduga Jongwoon sebelumnya. Dia mengira semua ini akan berlangsung tiga atau empat bulan lagi setelah pertemuan pertamanya dengan gadis itu, yang nyatanya justru dilaksanakan tepat dua minggu setelahnya. Namanya Stephanie Hwang. Putri dari bisnisman Amerika yang terkenal, Martin Hwang. Dan Jongwoon mengerti apa yang terselubung di balik pertunangan ini.

Kerjasama perusahaan yang bernilai milyaran won. Mencakup berbagai bidang, mulai dari perumahan sampai ekspor-impor barang yang dinilai sangat berharga oleh beberapa pengamat ekonomi. Keluarga mereka semakin terkenal berkat hubungan kerjasama ini. Tapi sekaligus menekan Jongwoon sampai dia tak mengerti lagi bagaimana harus menolak semuanya.

Pria itu berdiri di ujung tangga dengan menggandeng seorang gadis cantik di sampingnya. Tiffany, gadis itu biasa dipanggil, terlihat biasa saja. Usia gadis itu nyaris seumuran dengannya. Hanya terpaut satu tahun lebih muda, namun gadis itu cemerlang. Menjadi model di beberapa majalah lokal dan pernah mendapat tawaran bermain di film layar lebar.

Mereka sanggup memukau banyak orang dan menjadi pusat perhatian sampai akhir acara. Jongwoon tidak benar-benar memaksudkan segalanya sewaktu dia memasukkan jari manis Tiffany ke lingkaran cincin yang berwarna silver sederhana. Dia sama sekali tidak berniat untuk mengikat gadis itu.

Tidak. Namun itulah yang dilihat oleh semua orang.

.

.

.

Setidaknya pernikahan mereka bukan momok menakutkan lainnya bagi Jongwoon. Terjadi sekitar sebelas bulan kemudian ketika Jongwoon menyelesaikan semester 5 kuliahnya. Dan dia berada di awal usia 20 tahun. Hal ini menjadi headline berita seminggu sebelumnya. Bagaimana keluarganya dan keluarga Tiffany bagaikan membuat aliansi bisnis di atas surat registrasi pernikahannya.

Dia tak bisa melarikan diri. Dan dia tidak mau bersusah payah melakukannya.

Hal yang paling buruk yang diketahuinya sebagai anak tunggal adalah, ketika orangtuanya menjadikan dirinya sebagai pion utama permainan dan dia tak punya benteng untuk berlindung dari segalanya. Namanya di surat wasiat orangtuanya cukup untuk menjadi taruhan di sini. Dan Jongwoon masih terlalu muda untuk mengambil resiko menjalani kehidupannya sebagai gelandangan. Sebagai seseorang yang terbuang dari keluarga Kim.

Teman-temannya tidak bisa membantu sama sekali dalam hal ini. Sesuatu yang disesali Jongwoon karena dia telah menjadi pemuda introvert bagi semua orang yang mengenalnya. Dia tak bisa menceritakan segalanya, apalagi meminta solusi. Mungkin hanya Sungmin yang cukup sabar untuk berdekatan dengannya sampai mau menghubunginya satu malam sebelum pernikahannya dilangsungkan.

"Katakan kau mencintai gadis itu, hyung."

"Sama sekali tidak." Jongwoon menjawab datar.

"Tapi-" Sungmin mendesah frustasi. "Pernikahanmu itu besok."

"Lalu?"

"Hyung! Kau itu menikah tidak cuma untuk satu atau dua hari!"

Jongwoon terdiam. Sungmin memang benar. Pernikahannya akan berlangsung besok. Dia akan menjalani hari-hari yang berbeda dengan seorang gadis, dan celakanya, dia tak bisa menumbuhkan perasaan apapun untuk gadis itu.

Dia tahu, selama 8 bulan ini, jika Tiffany adalah gadis yang baik. Manis dalam tingkah lakunya, terutama gadis itu juga sangat sopan. Tipe pribadi yang menyenangkan, dan lembut. Nyaris seluruhnya bertolak belakang dengannya. Dia masih tak bisa membayangkan apapun untuk ke depannya. Cuma satu hal yang dia tahu saat ini.

"Aku tidak bisa menolak semuanya." ujarnya lelah. "Hanya itu, Sungmin-ah, aku tidak bisa lari dari semuanya. Tidak sekarang ini."

.

.

.

Jongwoon terbangun pada lusa harinya. Mengerjapkan mata beberapa kali sebelum bisa benar-benar membuat bayangan yang utuh di pengelihatannya. Kamar pengantinnya kosong saat ini, mungkin dia memang seorang diri di sini. Karena sosok Tiffany tidak ada di manapun.

Pemuda itu tidak menyentuhnya sama sekali. Yang berarti malam pertama mereka sebagai suami istri terlewatkan begitu saja. Jongwoon menemukan Tiffany terbaring kelelahan setelah mengganti baju pengantinnya semalam, begitupun dengannya. Tidak ada yang berbicara sama sekali meskipun faktanya mereka tidur di ranjang yang sama, untuk pertama kalinya.

Pernikahannya berlangsung tanpa satu moment pun bisa diingatnya dengan jelas. Dia merasa semuanya begitu kabur. Tersamarkan oleh bayang-bayang keengganan yang begitu jelas saat suara beratnya menyatakan jika dia bersedia menikah di depan pendeta dan seluruh tamu undangan. Lalu akhirnya dengan sah dia sudah berganti status menjadi seorang pria yang sudah beristri. Dalam usia yang menurutnya bahkan terlalu dini.

Dia pikir ini tak ada bedanya dengan dulu, sebelum dia terikat dengan pernikahan. Dan Jongwoon meyakinkan diri jika dia bisa melalui semuanya dengan lancar, sampai mungkin ada saatnya untuk keluar dari situasi ini.

Dengan desahan pelan, Jongwoon turun dari kasurnya. Bermaksud mengambil segelas air untuk membasahi tenggorokannya yang kering saat dia melihat Tiffany sedang sibuk di depan kompor. Harum masakan yang tercium membuatnya merasa lapar tiba-tiba. Tanpa sadar, Jongwoon mendekat, lalu duduk di meja makan dengan suara pelan.

"Kau tidak mau mandi dulu, Jongwoon-ssi?"

Tiffany menoleh padanya, sama sekali tidak terduga. Jongwoon heran mengapa gadis itu bisa menyadari kehadirannya. Meskipun begitu, Tiffany terlihat santai sekali, seolah ini sudah jadi kebiasaannya sehari-hari. Tidak terlalu risih dengan keberadaan Jongwoon, yang meskipun menjadi tunangannya selama hampir satu tahun, namun masihlah orang asing baginya. Pernikahan mereka berdua jelas bukan kehendak dari gadis ini juga.

"Aku lapar," ujar Jongwoon. Mengenyahkan segala macam rasa ganjil yang melandanya saat jawaban itu dia katakan.

Tiffany hanya mengangguk paham. Menyelesaikan masakannya dan membawanya ke meja makan. Tepat di depan Jongwoon.

"Kalau begitu makanlah," gadis itu tersenyum, memperlihatkan kesan keibuan yang begitu kuat.

Dan saat itu juga Jongwoon merasa dirinya mulai goyah. Gadis di depannya ini pasti bisa menjadi istri yang sangat baik.

.

.

.

"Mengadopsi anak?"

Jongwoon mendongak dari koran pagi yang sedang dibacanya, menatap lekat pada kedua mata Tiffany yang nampak sedikit salah tingkah.

"Aku ingin mengurus seorang anak, oppa." gadis itu berkata pelan.

Hubungan mereka memang sudah tidak sekaku dulu. Mereka sudah jauh lebih dekat, lebih banyak bicara bersama setelah pernikahan itu berjalan kurang lebih selama 3 bulan. Tinggal satu rumah membuat mereka menghabiskan banyak waktu untuk berinteraksi bersama, bahkan terkadang melakukan kegiatan bersama-sama. Hanya satu hal yang tidak pernah dilakukan keduanya. Mereka tak pernah menjalani hubungan yang wajar sebagai suami istri, dalam hal untuk melanjutkan keturunan. Jongwoon tak pernah menyentuh Tiffany, tidak sama sekali. Dan kali ini gadis itu menginginkan seorang anak untuk diurusnya di rumah. Apakah itu tandanya-

"Aku hanya kesepian di sini!" Tiffany buru-buru melanjutkan. Tidak ingin membuat dugaan Jongwoon melantur semakin jauh.

Pria itu segera tahu apa maksudnya. Rumah yang dibelikan kedua orangtua mereka bisa dibilang megah. Dan meskipun Jongwoon sendiri dibesarkan dalam kemewahan, rasa sepi itu pasti ada. Apalagi mereka hanya tinggal berdua di sini. Beberapa pelayan dipanggil setiap hari untuk membersihkan rumah, tapi tidak pernah menginap. Membuat rasa sepi itu kian terasa di sudut-sudut rumah mereka.

"Tapi kau kan masih sibuk kuliah, Fany-ah," Jongwoon berkata pelan. "Bagaimana caranya kau bisa membagi waktumu?"

"Aku pasti bisa." Tiffany menjawab yakin. "Aku tidak akan menjalani pemotretan lagi."

Dahi Jongwoon mengernyit ketika mendengarnya. Biasanya gadis-gadis akan berebut untuk menjadi model, lalu melejitkan namanya hingga terkenal. Tapi gadis di depannya ini ingin menukar profesi itu hanya untuk mengurus seorang anak di rumah.

"Apa kata orangtuamu nanti?" tanya Jongwoon. Kini dia melipat korannya dan menaruhnya di atas meja makan. Memberikan perhatian sepenuhnya pada Tiffany.

"Aku-"

"Bukankah nanti mereka akan bicara macam-macam? Kau siap dengan jawabanmu jika mereka ternyata menolaknya dan lebih menginginkan seorang cucu yang asli darimu... ehm dari kita?"

Tiffany meremas tangannya. Gelisah. Dia tahu Jongwoon benar. Tapi dia menginginkan hal itu. Dan memiliki anak dengan Jongwoon sekarang ini bukanlah ide yang bisa diterima keduanya secara sukarela. Mereka masih mencoba untuk lebih dekat, bukan situasi yang pantas untuk memikirkan hal-hal semacam anak dan rumah tangga sungguhan.

"Kau sangat-sangat ingin mengadopsi seorang anak?"

Gadis itu mengangguk. Menggigit bibirnya dan menatap pada mata Jongwoon yang juga balas menatapnya. Pria itu bangkit.

"Baiklah," ujar Jongwoon, menyerah. "Aku akan mencoba bicara dahulu, baru kita mencarinya." dia tersenyum lembut.

Tiffany membalas senyumnya dengan perasaan senang yang meluap-luap. Ikut bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah Jongwoon. Memeluk pria itu sebagai ungkapan dari rasa terima kasihnya.

.

.

.

Berbeda dengan ketakutannya selama ini, ternyata Jongwoon mampu membuat kedua belah pihak dari orangtua mereka meluluskan keinginan Tiffany. Alasan Jongwoon sederhana saja, hanya sebagai latihan, karena mereka tidak mungkin memiliki anak sendiri selagi masih berstatus sebagai mahasiswa. Apalagi Jongwoon sudah memasuki semester akhirnya sekarang. Dan yah persetujuan itu datang begitu saja. Sampai-sampai Jongwoon mulai berpikir jika kedua orangtua mereka akan memberikan apapun selama dia dan Tiffany merasa betah dalam status pernikahannya.

Satu bulan kemudian, mereka berdua sudah berada di sebuah panti asuhan. Sebagai sepasang suami istri muda yang ingin mengambil seorang anak dari sana.

Tiffany cukup mudah akrab dengan anak-anak. Tapi kesulitan untuk mengurus bayi. Faktor pengalaman gadis itu, yang sama sekali belum pernah mengetahui cara untuk mengurus bayi. Jadi Jongwoon menyarankan gadis itu untuk mengambil anak yang sudah agak besar. Sekaligus memudahkan mereka untuk mengurusnya nanti.

Dari semua anak, pandangan Tiffany terpaku agak lama pada seorang anak laki-laki yang memiliki postur mungil, mata sewarna karamel, dan wajah yang tirus. Anak itu berada di belakang sebuah buku dan terlihat sedang membaca dengan serius.

"Namanya Ryeowook." pengurus panti itu bicara. Memanggil Ryeowook untuk mendekat pada mereka.

Pandangan anak itu terlihat bertanya, ketika dia menemukan Tiffany dan Jongwoon bersama pengurus pantinya.

"Annyeong, Ryeowook," Tiffany menyapa anak itu dengan ramah.

Meskipun bingung, dia membalasnya sambil tersenyum. "Annyeong, noona," Ryeowook bisa mengira-ngira jika gadis di depannya pastilah masih berusia sangat-sangat muda, sehingga dia enggan untuk memanggil dengan sebutan ahjumma.

Jongwoon hanya menyaksikan interaksi keduanya dalam diam. Menilai sendiri dalam hati apakah anak itu akan cocok nantinya dengan mereka. Ryeowook berumur sepuluh tahun, yang awalnya dikira Jongwoon hanya berumur tujuh atau delapan tahun karena tubuh mungilnya. Anak itu sedikit pemalu, dan jelas tipe anak yang manis. Sepertinya Tiffany tertarik dengan Ryeowook. Jongwoon menebaknya dari senyum gadis itu ketika menghampirinya.

"Aku suka anak itu, oppa." suara Tiffany terdengar menggebu karena terlalu bersemangat. "Bagaimana menurut oppa?"

"Apa dia tidak terlalu besar? Kupikir kau mau yang berusia balita." pria itu sedikit terkekeh, membuat gadis di depannya cemberut.

"Tapi Ryeowook manis sekali. Tingkahnya juga masih agak kekanakan."

"Menurutmu begitu?"

Tiffany mengangguk. Memberikan sorot penuh permohonan pada Jongwoon.

Pria itu mengerling. "Kalau begitu tunggu apalagi? Kita bisa menandatangani surat adopsinya sekarang kan?"

"Gomawo, oppa." ujar Tiffany.

Jongwoon membalas senyum gadis itu dengan hangat. Tanpa pernah tahu, segala hal dalam kehidupannya dimulai pada saat itu juga. Saat di mana dia mendapatkan seorang anggota baru dalam keluarga kecilnya. Dalam kehidupannya.

.

.

.

[ T . B . C ]

.

.

.

Warning: cerita ff ini agak berat -_-

Rin lagi gila sama gaya penulisan macam ini dan ngga ngerti gimana harus ngehentiinnya Dx ini gaya penulisan buat novel banget sebetulnya, jadi maaf kalau reader merasa agak aneh dan ga nyaman. Yah namanya masih belajar, Rin sedang mencoba untuk membuat tulisan Rin jadi lebih baik.

Ini masih semacam prolog, karena ide satu ini terbayang-bayang dengan amat sangat jelas di otak Rin, makanya ini langsung Rin ketik setelah update Snowy Wish kemarin XD

Dan oiya buat yang nanyain blog, maaf banget, Rin ulangi, Rin ga post YeWook di sana. Seluruh fic YeWook Rin ada di sini. Rin cuma post ff SJ di sana, tapi dengan genre yang sama sekali berbeda, dan satu lagi, straight (sama OC) dan itu buat project novel. Kegilaan Rin soal yaoi emang cuma di YeWook, so sorry. Ada juga beberapa reviewers yang minta Rin buatin ff atas pairing EXO, atau pairing SJ yang lain.

Rin cuma bisa bilang, kalo Rin ga bisa. Kalo ga ada feel untuk bikinnya kan jatuhnya nanti garing, jadi Rin mendingan ga coba deh ya :(( so far, Rin juga bukan exostan.

Mohon kritik, saran, dan lain-lainnya untuk ff ini!

Mind to gimme your review? ^^

.

- See You -

.