Semua karakter milik bapak Masashi Kishimoto
DANDELION IN THE RAIN
Part 1
.
.
.
Uchiha Sarada bersenandung riang melihat pohon sakura di depan rumah yang mulai menunjukkan warna cantiknya. Sebelum ia pergi ke Konoha dua minggu yang lalu, pohon itu hanya menunjukkan sedikit kuncupnya. Selamat datang musim semi dan selamat datang kehidupan yang baru, ucapnya dalam hati sembari membuka pintu rumah.
Ia baru saja kembali dari Konoha untuk berlibur pasca wisudanya dari Universitas Suna, fakultas kedokteran. Hampir setahun ini mereka sekeluarga belum kembali ke Konoha untuk mengunjungi kakek dan neneknya. Tentu saja karena kesibukan kedua orang tuanya. Jadi, sebelum ia memutuskan untuk mulai bekerja di rumah sakit milik ayahnya, ia harus berlibur di Konoha sekaligus menemui kekasih jauhnya, Uzumaki Boruto.
Syal yang melilit rapat di lehernya ia lepas saat kakinya berjingkat pelan menuju ruang kerja ibunya. Ya, sebagai seorang redaktur majalah botani dan juga peneliti tanaman liar ini, ibunya pasti sedang berkutat dengan laptop dan foto bunga-bunga liar yang sangat asing dimata Sarada.
Ketika ia hendak menepuk pundak ibunya, foto buram dan tampak lusuh yang terjatuh di lantai membuatnya menghentikan langkah. Meskipun tak jelas siapa seseorang yang berada di foto itu, tapi Sarada bisa melihat sosoknya, seorang pria memakai jas putih berjongkok membelakangi kamera. Tangan kanan memegang pagar besi dengan erat, dan tangan kirinya menutupi wajahnya yang tertunduk. Dari punggung pria itu, ia bisa merasakan suasana emosional disana. Pria berjas putih itu, seperti menyesali sesuatu.
"Kenapa mama menyimpan foto ini?" Aneh memang, tersimpan foto orang asing diantara tumpukan foto-foto tanaman liar membuatnya bertanya-tanya.
Wanita paruh baya itu tersentak, sejenak menghentikan kegiatannya dan memukul pelan lengan gadis kesayangannya. "Sarada? Kau mengejutkan Mama."
Sarada tersenyum kemudian mencium pipi ibunya.
"Bagaimana kabar kakek dan nenek, Sarada?" Tanya ibunya sembari membereskan beberapa foto yang berserakan di meja.
"Mereka baik-baik saja, Nenek bertanya kapan kalian akan pulang." Sarada mengambil foto yang terjatuh itu untuk diperlihatkan kepada ibunya. "Siapa laki-laki ini, Mama?" Ia sedikit membenarkan letak posisi kacamatanya.
Ibunya menaikkan alisnya sejenak lalu tersenyum, "Itu kan Papamu."
"Papa?" Nada suara Sarada meninggi, alisnya menaut. "Ada apa dengan Papa, di foto ini?" Matanya menuntut jawaban.
Senyum ibunya sedikit pudar dan berpaling, ada sedikit pertimbangan dalam ekspresinya.
"Mama?"
Ibunya kembali menatap Sarada.
Keheningan yang muncul membuat Sarada semakin ingin tahu, ada cerita apa dibalik gesture tubuh ayahnya dalam foto itu.
"Itu. Hanya salah satu kenangan, nak." Ibunya kembali tersenyum.
"Boleh aku mendengarnya?"
.
.
-o0o-
.
.
.
34 tahun yang lalu.
"Hei, gadis musim semi, apa kau sudah menentukan kostum yang akan kau pakai untuk festival nanti?"
Uzumaki Karin, gadis berambut merah terang berteriak usai mencabut kabel jek keyboard di studio band Konoha High School, salah satu SMA terbaik yang ada di Prefektur Konoha. Dimana hampir semua clubnya selalu meraih prestasi dalam berbagai perlombaan pada setiap tahunnya. Dan saat ini, club musik yang di ketuai oleh Nara Shikamaru sedang mempersiapkan diri untuk mengikuti festival band antar sekolah.
Karin adalah gadis yang ceria, baik hati, mudah bergaul, juga pandai menarikan jemari di tuts-tuts piano kebanggaannya. Kacamata minusnya tidak membuatnya terlihat seperti murid anti sosial. Justru sebaliknya, wajahnya tampak cantik hingga membuatnya menjadi salah satu murid populer di sekolah.
"Belum, aku berencana pergi ke pusat perbelanjaan pulang sekolah nanti. Kau mau ikut?" Sakura berencana mengajak Karin jika gadis itu belum menyiapkan kostum untuk manggung.
Haruno Sakura mulai menjalin persahabatan dengan Uzumaki Karin sejak bertemu dengannya di club musik dua tahun lalu, di hari-hari pertama mereka masuk sekolah. Saat itu Karin sedang mengikuti audisi untuk masuk ke club musik, sama seperti Sakura. Hingga pada akhirnya mereka membentuk satu band bernama 'Noise', dimana Karin adalah keyboardisnya, dan Sakura adalah vokalisnya.
Sebenarnya, Noise sudah dibentuk oleh Karin sejak SMP. Sayangnya sang vokalis melanjutkan SMA-nya ke luar negeri, sehingga Karin kehilangan vokalisnya. Untunglah ketiga personil lainnya seperti Akamaru Kiba (bassis), Uzumaki Naruto (drummer), dan Shimura Sai (gitaris) memutuskan untuk melanjutkan ke sekolah yang sama. Kebetulan lainnya adalah, Naruto dan Sakura bertetangga.
"Aku, entahlah, aku harus bertanya pada Sasuke dulu." Karin merapikan tasnya.
"Kau akan mengajak Sasuke kun?" Sakura menaikkan alisnya. Ia memang tidak mengenal dekat laki-laki bernama Sasuke itu, yang ia tahu, Uchiha Sasuke adalah murid terpintar dan introvert seperti anak cerdas pada umumnya. Dia memang sangat tampan, tapi sifat acuh yang ada pada dirinya membuat semua perempuan yang menyukainya mundur dengan sendirinya. Ya, laki-laki dengan tangan yang selalu bersembunyi di saku celananya itu terkadang terlihat begitu sombong, tapi Sakura sadar, hanya manusia bodoh yang menilai seseorang hanya dari penampilannya saja.
"Hn, dia bilang, dia ingin membeli beberapa buku, sekalian saja, bukan begitu?" Karin bergegas menuju pintu. "Nanti akan kukabari." Teriaknya sambil lalu.
"Apa aku boleh ikut?" Sai yang dari tadi hanya duduk menyetem gitar, ternyata menyimak.
"Untuk apa kau ikut? Para gadis akan lupa dengan kekasih mereka ketika mereka sudah berada di pusat perbelanjaan." Suara serak menyahut.
Takk!
Satu jitakan mendarat di kepala Naruto.
"Ittaiii!" Pria bermata biru itu mengusap-usap kepala kuningnya sambil menjauhi Sakura.
"Hmph, selamat bersenang-senang." Kiba menepuk pundak Sakura sejenak kemudian mengikuti jejak Karin keluar ruangan.
"Aku akan mengambil tas di kelas dulu. Kau, tunggulah di gerbang." Sai berdiri meletakkan gitar di stand hitam dekat amplifier, kemudian berjalan melewati Sakura sambil mengacak rambut merah mudanya.
Beberapa saat setelah Sai pergi meninggalkan mereka berdua. Naruto menatap Sakura curiga. "Kalian, apa benar sudah seserius itu?"
"Tentu saja." Sakura tersenyum ceria.
"Kau tau aku mengenalmu dari kecil, Sakura." Mata Naruto menyelidik.
Sakura menaikkan kedua alisnya, wajahnya berubah kaku beberapa saat.
"Semua butuh proses Naruto, kami sama-sama serius, jadi berhentilah berpikiran yang tidak-tidak. Aku pergi dulu." Kini giliran Sakura yang pergi meninggalkan Naruto.
"Bagaimana aku tidak berpikiran yang tidak-tidak jika pria itu adalah Sai." Naruto bergumam saat ia berpaling keluar jendela untuk melihat gadis berambut pirang panjang yang sedang berlari mengambil bola baseball yang terbang ke luar lapangan.
.
.
-o0o-
.
.
.
Sakura berlari menuju pintu gerbang sembari meneriakkan nama Sai. Pria berwajah pucat itu tersenyum hingga matanya tertutup. Sakura terengah-engah sembari membawa tas sekolahnya yang terlihat berat.
"Kau tidak harus berlarian seperti itu, Sakura." Ujar Sai saat gadis itu sampai di tempatnya berdiri.
"Hmm," gumam Sakura membalas senyum Sai. "Sudah lama menunggu? Aku baru selesai menyerahkan print out untuk Iruka sensei, maaf membuatmu menunggu."
"Tidak apa-apa. Semuanya sudah beres, kan?" Sai kembali bertanya.
"Hmm, sudah beres. Ah, Karin, dimana dia?" Sakura menoleh ke belakang, ke kiri dan kanan, melacak keberadaan si kepala merah yang baru saja mengirim pesan agar Sakura menunggunya.
"Mungkin masih mencari Sasuke. "Ucap Sai sambil menjumput sesuatu yang mendarat di rambut Sakura. Jika tidak teliti, mungkin tidak ada yang tahu kalau ada kelopak bunga Sakura yang terselip disana. Sai membuka telapak tangan Sakura kemudian meletakkan kelopak berbentuk hati di sana.
"Ah, terima kasih." Sakura memperhatikan kelopak bunga itu, cantik. Ia mencari dimana pohon yang menjatuhkankannya dan menemukannya tepat di pinggir jalan raya, menghadap ke Sekolah. Pohon itu terbilang besar, bunga Sakura yang bermekaran membuat pohonnnya tampak rindang. Berbeda dengan beberapa bulan lalu saat musim salju tiba, pohon itu tampak seram tanpa hiasan dan hanya di selimuti salju.
"Aku menyukai aromanya." Sakura bergumam sambil menghirup dalam-dalam suasana musim semi di sore hari.
Dan sekelebat, ia teringat pernah mengatakan hal yang sama dua tahun lalu. Saat hari pertama masuk sekolah, tapi bukan Sai yang mendengarnya saat itu, melainkan…
"Sakura!"
Sakura berbalik dan langsung tersenyum menyambut Karin. Gadis merah itu tampak kesal saat menyeret pria berambut raven yang terlihat bosan.
"Maaf membuat kalian menunggu lama, aku harus membangunkan orang yang meninggalkan kelas sepanjang jam terakhir dan tidur di ruang kesehatan seperti berada di rumahnya sendiri."
Mereka semua paham siapa yang di sindir Karin. Dan orang yang disindirnya hanya berekspresi datar seolah sudah terbiasa mendengar ocehan gadis itu.
"Ah, kau juga ikut Uchiha san?" Sakura tersenyum kepadanya.
"Aa." Jawab laki-laki itu singkat.
"Baguslah, let's go! Kita harus menyelesaikan belanja sebelum makan malam tiba." Sakura berjalan mendahului semuanya.
"Kata-katamu terdengar seperti hendak menyelesaikan tugas sekolah." Sai tertawa.
"Hei, Sakura tunggu, kau ini semangat sekali." Karin mengejar Sakura yang sudah lebih dulu meninggalkan teman-temannya.
"Nanti sekalian saja kita makan malam disana." Usul Sai yang disambut persetujuan dari kedua perempuan yang tampaknya terlalu bersemangat hingga melupakan bocah laki-laki yang diam memandang pohon Sakura yang kini tertiup angin dan membuat sebagian bunganya rontok.
"Hei, Sasuke, apa yang kau lakukan? Cepatlah!" Suara Karin kembali terdengar kesal.
Sakura ikut menoleh, memandang laki-laki itu dan tersenyum.
Angin yang membawa kelopak bunga Sakura itu tampak indah melayang-layang di senyumnya. Gadis itu. Gadis musim semi berjalan yang sangat menyukai aroma bunga Sakura.
.
.
-o0o-
.
.
.
Seperti rencana awal, Sakura dan Karin memasuki setiap butik yang ada di pusat perbelanjaan Konoha. Letaknya tak jauh dari sekolah, hanya perlu naik kereta sekali lalu turun di tiga pemberhentian berikutnya. Karena disanalah pusat perbelanjaan terbesar di Konoha, Sakura dan Karin sering menghabiskan waktu disana. Entah hanya mencari takoyaki terenak se-prefektur Konoha, atau hanya sekedar melihat-lihat koleksi terbaru butik-batik langganan mereka.
Sasuke yang sejak awal hanya memiliki tujuan untuk membeli buku, sudah menghilang entah kemana. Mungkin tersesat dalam dunianya. Sedangkan Sai, mengekori Sakura kemanapun gadis itu pergi.
"Bagaimana dengan yang ini?" Sakura bertanya untuk kesekian kalinya. Sedikit dibingungkan dengan dua pilihan sebelumnya.
"Bagus." Ucap pria itu sekali lagi dengan senyumnya.
"Ini sudah ke delapan belas kalinya kau bilang bagus, jadi yang mana yang harus kupilih?" Sakura merengut sembari memeluk Tod's Leather Biker Jacket berwarna merah maroon di dadanya.
"Apapun yang bisa membuatmu nyaman, pakailah yang seperti itu." Sai mengusap rambut gadisnya gemas. "Aku ke toilet dulu."
"Baiklah," Sakura kembali memandang pilihannya. Karin yang merupakan orang kedua yang hendak di mintai pendapatnya sudah menghilang ke ruang ganti. Ia menimbang, berpikir dan menggigit bibir bawahnya. Setelah yakin dengan pilihannya, ia menurunkan tangannya yang sedang menenteng dua jenis pakaian itu.
Dan laki-laki berambut raven yang berdiri di hadapannya membuatnya terkejut.
"Ah, Uchiha san?" Pria itu hanya diam bersandar pada pilar besar. "Sudah mendapatkan buku yang kau cari?"
"Hn."
Lagi-lagi Sakura hanya mendapat jawaban singkatnya, mungkin lain kali Sakura harus menanyakan perihal dimana penjawabnya akan memberikan alasan yang panjang dan lebar.
"Baju itu, cocok untukmu."
Eh?
Sakura yang hendak pergi ke kasir berhenti tiba-tiba. Suara baritone yang ia kenal dari pria pecinta dua konsonan itu membuatnya ragu pada pendengarannya.
"Ya?" Mata Sakura membesar, alisnya naik.
Tapi laki-laki itu hanya menatap datar sebuah minidress putih bermotif bunga Sakura di roknya yang berpotongan A tanpa lengan itu.
Sakura berkedip sejenak.
"Bilang pada Karin, aku menunggu di Takoyaki Resto."
"A..aa.. baiklah." Jawab Sakura ragu.
Beberapa detik masih tertegun, akhirnya ia tersenyum memandang minidress itu.
.
.
-o0o-
.
.
.
Malam itu lebih dingin dari malam-malam di musim semi sebelumnya. Padahal musim panas hampir tiba. Membuat Sakura mengancingkan jas abu-abu yang berlambang daun di dadanya dan menyesal karena tidak merangkapi seragamnya dengan sweeter.
"Sebentar lagi, ujian kelulusan dan ujian masuk Universitas akan dimulai. Setelah itu lulus, lalu mencari masa depan masing-masing. Apa kita bisa berkumpul seperti ini lagi?" Sakura memecah keheningan.
"Tentu saja, aku akan menjadi guru musik di Konoha. Kalian pasti bisa menemukanku disini." Suara Karin terdengar bersemangat. Sejak awal, gadis itu memang mencintai musik, ingin mengabdi untuk musik, dan terus berada di dunia musik. Suatu saat, Sakura akan menemuinya lagi.
"Kau?" Karin menoleh ke Shimura Sai, "apa kau sungguh-sungguh melanjutkan kuliah di London dan meninggalkan Sakura begitu saja?"
Benar, Sai memang ingin melanjutkan studinya ke London University. Ia harus melanjutkan bisnis ayahnya di Shimura Corp dan bergelut di dunia bisnis. Sakura pernah membahasnya, ia sama sekali tidak mencemaskan hubungan mereka. Masa depan jauh lebih penting. Suatu saat, jika takdir memang berpihak pada mereka, mereka pasti akan bertemu lagi. Sai pernah berkata seperti itu.
"Aku mendukungnya. Apapun itu." Sakura tersenyum pada Karin. "Kita memang harus menatap ke depan. Masa lalu akan menghambat masa depanmu jika kita tidak bisa merelakannya. Aku tidak ingin menjadi seseorang yang tidak bisa merelakan suatu hal untuk sesuatu yang baik."
Seketika laki-laki yang sedari tadi hanya diam dan menyimak itu menoleh pada Sakura. Sakura menyadarinya, tapi ia berpura-pura tak acuh.
Seperti biasa, Sai mengacak lembut rambut Sakura. "Terima kasih." Gumamnya.
"Hmm." Sakura membalas senyum pria itu.
"Ck, kalian, aku masih disini, loh!" Karin melirik kesal pada Sakura dan Sai.
"Hehehe, maaf maaf. Ah, kereta kalian datang." Sakura menunjuk kereta yang baru saja tiba. Rumah Sai dan Karin berlawanan dengan rumah Sakura dan Sasuke yang harus kembali melewati sekolah mereka.
"Kau yakin tidak ingin kuantar?" Sai berdiri memandang Sakura lembut.
"Aku baik-baik saja, lagipula ada Uchiha san. Kau tenang saja, Sai." Sakura menepuk-nepuk pundak kekasihnya.
"Sasuke, karena rumahmu searah dengannya, pastikan dia sampai rumah dengan selamat." Karin menyikut lengan Sasuke. Laki-laki itu hanya menatap Karin malas.
"Aku titip Sakura," Sai menepuk lengan Sasuke. "Kalian berdua hati-hati." Sai memandang Sakura dan Sasuke bergantian.
"Kalian juga, sampai besok." Sakura melambai pada Karin dan Sai hingga pintunya tertutup dan membawa mereka pergi meninggalkan keheningan disana.
Sasuke berdiri tepat disampingnya. Sakura mencoba untuk terlihat santai. Dan menimbang-nimbang apa yang hendak ia katakan untuk memecah kecanggungan. Laki-laki ini benar-benar pendiam. Sangat kontras dengan dirinya yang suka menebar senyum cerianya. Apakah Sasuke akan tersinggung jika Sakura bertanya tentang kehidupannya? Ah itu tidak sopan Sakura. Rutuknya dalam hati.
"Uchiha san, terimakasih untuk hari ini." Ia mencoba ramah, mencoba memecah keheningan dan mencoba menghilangkan rasa canggung.
Laki-laki itu hanya menatap Sakura, meskipun ekspresinya datar, tapi Sakura tahu bahwa Sasuke mempertanyakan terimakasihnya.
"Untuk ikut kami jalan-jalan." Tambah Sakura sambil tersenyum.
Sejenak Sasuke tertegun. Matanya melebar beberapa detik. Tapi kemudian mengedipkan mata dan mengalihkan pandangan saat Sakura berteriak.
"Ah, keretanya datang."
Sasuke dan Sakura bergerak maju sesuai antrian masuk. Seperti di Tokyo, para pengguna jasa transportasi kereta atau biasa mereka sebut Kyuukou itu cenderung menjaga ketertiban, sehingga masuk ke dalam kereta rasanya seperti antri membeli tiket.
Sasuke berusaha tidak berada jauh dari Sakura saat mereka tenggelam bersama orang-orang yang memadati kereta. Jam pulang kantor memang sudah lewat, tapi justru di jam-jam segini, orang-orang memutuskan untuk pulang. Apalagi bagi mereka pecinta lembur.
Sakura terdesak beberapa orang dan membuatnya mengikuti arus penumpang. Sakura sedikit panik saat ia menjauh dari Sasuke. Bahunya tersentak kebelakang dan kedepan, kakinya tersandung sesuatu yang keras ketika mengenai tulang keringnya. Satu detik kemudian sebuah tangan menggenggam pergelangan tangannya. Ia menoleh seketika, Sasuke sedang menatapnya dengan pandangan mematikan dan memaksanya untuk tidak terbawa arus yang membuat mereka terjebak di antara pintu kanan dan pintu kiri tepat di tengah-tengah.
Saat itu Sakura menyadari bahwa laki-laki itu mempunyai mata yang tajam.
Tapi apapun ekspresi yang ditunjukkan Sasuke, ia merasa lega. Setidaknya mereka tidak terpisah di tempat yang penuh dan berdesakan seperti ini, karena dari yang Sakura dengar, banyak terjadi pelecehan yang dialami gadis seusianya di kereta saat berdesakan seperti ini. Itu membuatnya sedikit parno.
Sesaat setelah pintu tertutup, kereta mulai bergerak, hentakan yang di buat kereta membuat Sakura tekejut dan hampir terjungkal. Tapi karena genggaman Sasuke yang kuat, ia selamat. "Hampir saja." Gumam Sakura sambil tersenyum.
Beberapa saat kemudian, setelah gerakan kereta terasa stabil. Genggaman itu mulai merenggang, lalu terlepas. Ia sedikit mengernyit dengan rasa kebas yang ditimbulkan Sasuke di pergelangan tangannya. Sakura mencari pegangan kereta yang paling dekat, tapi karena mereka berada di tengah-tengah, tentu saja ia kembali bingung. Sedangkan tangan Sasuke yang panjang sangat mudah menemukan pegangan terdekat meskipun berada di atas kepala penumpang-penumpang lainnya.
"Pegangan padaku."
"Eh?" Mata Sakura membulat. Memastikan ia tidak salah dengar.
"Pegangan padaku." Ulangnya sekali lagi. Kali ini lebih dekat. Mungkin agar Sakura mendengarnya. Tapi tindakan itu justru membuatnya gugup. Aroma musk yang menguar dari tubuh laki-laki itu dan napas yang menerpa pipi kirinya, membuat dada Sakura menghangat.
"A..aa.." Sakura menunduk, ia yakin pipinya sudah semerah tomat.
Demi gossip seantero Konoha, ia mulai percaya pada kasak kusuk bahwa Sasuke memang benar-benar tampan, apalagi dilihat dari jarak sedekat ini. Tuhan.
Dengan ragu, tangannya mencengkeram jas abu-abu Sasuke. Tepat di pinggangnya. Perasaan canggung membuat jemarinya menggenggam jas Sasuke lebih erat. Ketika sampai di pemberhentian nanti, mungkin ada jejak kusut di jas sekolah milik laki-laki itu.
Hanya perlu melewati dua stasiun lagi Sakura dan kalian akan sampai. Gumamnya dalam hati.
Dan di sepanjang perjalanan menuju stasiun terdekat dari Konoha High School, mereka membisu. Tanpa satu patah katapun terucap.
.
.
-o0o-
.
.
.
Perjalanan dari stasiun menuju rumah harus melewati Konoha High School, jalanan menurun, melewati jembatan, menyusuri sungai Naka, kemudian pemukiman penduduk. Memakan waktu sekitar 35 menit jika mereka berjalan santai.
Saat melewati sekolah, Sakura sempat menghentikan langkah. Membuat ekspresi bertanya Sasuke terlihat di wajah datarnya.
"Kita sering pulang bersama, tapi kau selalu berada beberapa meter di belakangku. Sekarang kita benar-benar pulang bersama." Sakura menoleh pada Sasuke dan tersenyum.
Sasuke tidak menanggapinya, ia melanjutkan perjalanan dan membuat gadis itu mengejarnya.
"Hei, hei, Uchiha san. Kalau kita bertemu saat berangkat sekolah ataupun pulang sekolah, apa aku boleh menghilangkan jarak?" Sakura menatap Sasuke sungguh-sungguh.
Alis Sasuke sontak naik sebelah.
"Ah, maksudku, kita pulang dan berangkat bersama-sama seperti ini." Terang Sakura gugup.
"Aa."
"Hei. Apa kau tidak punya kosa kata lain?" Sakura menilik wajah Sasuke tepat dihadapannya dan membuat laki-laki itu berhenti melangkah.
Mereka sempat terdiam sebentar sebelum…
"Pfft, hahahaha… Kau memang orang yang seperti ini, ya? Pantas saja Karin sering mengeluh." Sakura mengulurkan tangannya.
"Senang menjadi temanmu, Sasuke kun."
"Aa." Ujarnya santai. Sepertinya laki-laki itu tidak mempermasalahkan nama panggilannya yang berubah.
"Besok, apa aku boleh ikut makan siang di belakang gudang olahraga?" Mereka kembali berjalan beriringan.
"Kau tahu tempat itu?" Sasuke sedikit membelalak, sedikit.
"Hmm, kau sering makan siang disana, bersama kucing lucu berwarna putih." Sakura mengangguk, "saat aku mengembalikan bola basket ke gudang olahraga beberapa bulan yang lalu, aku melihat seekor kucing terjebak di dalamnya, begitu aku membuka pintu, dia melompat ke arahku dan membuatku terkejut. Aku mencoba mengikuti kemana ia pergi, takut-takut ada bagian dari tubuhnya yang terluka. Lalu kau ada disana. Seperti menunggu kucing itu datang kemudian memberikan setengah dari bekalmu untuknya. Dan beberapa hari setelahnya, aku sering melihatmu makan siang disana."
Sasuke menatap Sakura. Tatapan penuh arti yang sayangnya Sakura tidak tahu artinya.
Sempat hening beberapa saat sebelum Sakura membuka suara lagi.
"Hm, apa aku boleh bergabung denganmu besok? Aku ingin melihat kucing itu lagi." Wajah Sakura memohon.
Sasuke yang sempat tertegun menatap Sakura langsung berpaling dan melanjutkan perjalanannnya menyusuri pemukiman penduduk.
"Aa, besok, datang saja." Ujar Sasuke datar.
"Benarkah? Yatta!" Sakura bertepuk tangan kemudian berjalan mendahului sebelum mencegat laki-laki itu lagi.
"Sampai disini saja. Hanya tinggal satu blok lagi sampai."
Sakura tahu, Sasuke dengan baik hati akan mengantarnya sampai rumah, tapi ia juga tahu bahwa arah rumah Sasuke harus ke kanan. Ia tidak mau terlalu merepotkan.
"Sampai jumpa besok, Sasuke kun." Sakura melambai sebelum berlari dan menghilang dari pandangan Sasuke.
.
.
-o0o-
.
.
.
"Sasuke kun." Sakura mengintip laki-laki itu di samping tembok gudang olahraga.
"Aa." Sasuke bergeser dari tempatnya duduk – memberi ruang untuk Sakura dan perbekalannya.
"Arigato, wah, indahnya." Belum sempat ia duduk dengan nyaman, komplek perumahan dan perkebunan terlihat jelas dari tempatnya duduk. Ia meletakkan makanannya di lantai semen untuk menata roknya dan menyapukan matanya pada pemandangan indah di depan sana.
"Jika kau melewati jalan setapak ini dan melewati perkebunan itu, kau bisa sampai di perempatan jalan menuju rumahmu." Jelas Sasuke. Pria itu membuka bekal makan dan mulai menyantapnya.
"Benarkah?" Matanya menelusuri jalan setapak samar yang tertutup semak-semak pendek. "Kapan-kapan aku akan mencoba rute ini." Gumam Sakura lalu mengikuti Sasuke membuka bekal makannya.
"Siapa yang memasakkan untukmu, Sasuke kun?" Sakura melirik bekal laki-laki itu. Melihat beberapa jenis makanan yang tidak di kenalnya, ia penasaran.
"Aku sendiri. Mau coba?" Laki-laki itu menyodorkan bekalnya.
"Kau yang memasak ini semua? Ey, jangan becanda." Sakura menyumpit sesuatu yang bentuknya mirip kacang panjang, tapi lebih kecil dan terasa kenyal. Rasanya gurih dan berwarna hijau kecoklatan. "Enaknya! Apa ini?"
"Dandelion."
Sakura mengerutkan alisnya, "Dan? Dan apa?"
"Dandelion. Dia tanaman liar bervitamin A dan bervitamin C, juga mengandung beta karoten yang baik untuk kekebalan tubuh dan melindungi sel dari kerusakan." Jelas Sasuke.
"Wah. Kau hafal sekali. Dimana kau bisa menemukan tanaman liar ini?"
"Dandelion bisa tumbuh di semua musim. Kau bisa menemukannya di sekitar sungai Naka. Aa, di musim semi seperti ini, tangkainya tidak begitu pahit. Jadi dengan sedikit olahan, rasanya akan terasa enak."
Sakura terkesima, ini pertama kalinya ia mendengar Sasuke berbicara lebih dari tiga kalimat.
"Kapan-kapan ajari aku untuk memasaknya ya." Mata Sakura berbinar.
"Hn."
Sasuke mengambil beberapa ikan panggangnya untuk di berikan kepada kucing putih yang mendekati Sasuke.
"Kawai. Siapa namanya?"
"Izumi."
"Izumi? Hai Izumi, namaku Haruno Sakura, salam kenal."
Sasuke hanya menatap Sakura tanpa komentar, seperti yang -laki itu meletakkan bekalnya yang sudah hampir habis untuk dimakan Izumi. Laki-laki itu mengelus pelan bulu bersihnya.
Angin yang berhembus membuat Sakura tersenyum tipis. Pemandangan yang menyenangkan. Tempat yang nyaman dan duduk bersama seseorang yang apa adanya. Disinilah, Sakura mulai menghabiskan waktu makan siang selama sisa masa SMA-nya.
.
.
-o0o-
.
.
.
Hampir setiap hari Sakura mendatangi markas Sasuke. Ia pun ikut memberi makan untuk Izumi, sesekali ia memberikan kucing mungil itu susu putih yang di bawanya dari rumah. Bahkan ia meletakkan karpet kecil berwarna coklat bercorak bunga yang ia simpan di bawah bangku bekas usang yang terbengkalai di samping dinding. Supaya makan siang terasa seperti piknik, kata Sakura, meski awalnya Sasuke menolak untuk menggunakannya.
Terkadang, Sakura juga membawa beberapa novelnya. Membaca di bawah pohon ek dan melihat pemandangan dari dataran tinggi, terlebih semilir angin sejuk yang berhembus membuatnya lebih nyaman berada disana daripada di perpustakaan.
Begitupun dengan Sasuke, laki-laki itu lebih sering membawa buku sakunya dibandingkan Sakura. Dari sana Sakura menduga bahwa Sasuke memang lebih menyukai kesendirian, tenggelam bersama buku dan dunianya.
Sudah keenam kalinya laki-laki itu meminjamkan novelnya untuk Sakura, ketika laki-laki itu menjelaskan buku yang menarik perhatian Sakura. Beberapa novelnya pun terkoleksi berkat referensi dari Sasuke. Karena seperti yang di katakan laki-laki itu, kehidupan di novel jauh lebih menyenangkan daripada di dunia nyata. Tenggelam bersama cerita yang tidak memerlukan kepura-puraan seperti yang ia lakukan untuk menghadapi orang-orang. Bersama Sasuke, ia tak perlu selalu tersenyum dan terlihat ceria hanya agar dirinya diterima.
Menyenangkan.
"Sepertinya mulai besok aku harus menambah porsi Dandelionku." Ujar Sasuke datar.
"Hei, sejak kapan kau keberatan aku mengambil sebagaian Dandelionmu? Kenapa kau jadi pelit begini, sih?" Meskipun laki-laki itu menggerutu, tapi ia membiarkan Sakura mengambil setengah dari sayurannya dan menukarnya dengan beberapa sosis bakar milik Sakura.
"Kalau aku pelit, aku sudah mengusirmu dari sini sejak awal."
"Waw, terima kasih banyak, kau baik sekali Sasuke kun." Sakura melahap sayurannya tanpa sungguh-sungguh berterima kasih. "Hei, bagaimana kalau besok kau ajari aku untuk membuatnya. Jika aku bisa membuatnya sendiri, aku tidak akan memintanya darimu lagi."
"Apa kau berniat menghancurkan dapurku?"
"Kuharap kau punya asuransi untuk dapurmu." Sakura tersenyum.
"Apa aku punya pilihan lain?"
"Tidak. Besok jam 9 pagi aku akan muncul di gerbang rumahmu." Sakura tertawa melihat ekspresi penolakan Sasuke yang terkesan bosan.
Sakura menyukai perdebatan kecil mereka.
.
.
-o0o-
.
.
.
Tepat jam 9 pagi di hari Minggu, Sakura muncul di depan rumah Sasuke dengan sepeda mini merahnya. Tote bagcanvas yang ia letakkan di keranjang sepeda, di ambilnya sembari meneriakkan nama laki-laki itu alih-alih memencet bel pintu.
"Dimana kau jatuh tadi sampai-sampai lupa bagaimana cara memencet bel pintu?" Geram Sasuke sambil melirik sepeda mini Sakura.
"Ini."
Tanpa menanggapi keluhan Sasuke, Sakura langsung menyodorkan sepedanya kepada laki-laki itu.
"Bukankah kau bilang kita harus belanja bahan makanan?"
"Naik benda ini?" Sasuke menaikkan sebelah alisnya.
"Hm, jangan bilang kalau kau tidak tahu cara menggunakannya." Sakura mendengus.
"Jangan sinting." Sasuke meraih setir yang di sodorkan Sakura lalu duduk di pedalnya, menunggu Sakura duduk di belakangnya.
Laki-laki yang sedang memberengut itu membuat Sakura tertawa kecil. Sasuke tampak lucu jika sedang merasa disepelekan. Satu lagi sisi Sasuke yang diketahuinya.
"Semua bumbu sudah siap di dapurku, kita hanya butuh Dandelion."
"Itu berarti kita akan pergi ke Sungai Naka?" Sakura memiringkan tubuhnya untuk melihat wajah Sasuke. Tapi gerakannya justru membuat Sasuke goyah dan hampir jatuh.
"Hei, kau bisa membuatku jatuh!"
"Ah, maaf maaf."
Sungai Naka memang tidak jauh, tapi mengingat ia hanya akan berdua dengan Sasuke dan bersepeda seperti ini membuatsebagian dari dirinya merasa senang sekaligus sedih. Entahlah, tapi pengalaman seperti ini mungkin tidak akan terulang di tahun berikutnya.
Setelah sepuluh menit melakukan perjalanan, akhirnya mereka sampai di tepi sungai Naka.
Sakura cepat-cepat turun dari sepeda dan berlari menuruni tanah yang penuh rumput sambil tersenyum lebar. Sungai yang lebarnya sekitar 30 meter itu tampak jelas di hadapannya. Rerumputan luas yang berada di kedua sisi sungai membuat lingkungannya terasa sejuk. Jarak dari ia berdiri dengan air mengalir mungkin sekitar 5 meter, cukup untuk dijadikan tempat bermain. Di beberapa bagian, terdapat tanaman liar yang berwarna-warni dan membuat sungai ini tampak indah jika dilihat dari jalan raya.
Sungai Naka tidak begitu dalam menurut orang-orang, alirannya juga tidak deras. Jadi banyak anak-anak bermain layang-layang disekitar sungai.
Dan diantara rumput-rumput itu, Sasuke berjalan menuju tanaman-tanaman liar yang berayun-ayun diantara rerumputan.
Sakura hanya mengikuti laki-laki itu sembari memperhatikan keadaan sekitar. Cuaca yang cerah membuat anak-anak kecil itu bersemangat berlarian kesana dan kemari.
"Lihatlah."
Sakura langsung memfokuskan pandangannya pada arah pandang laki-laki itu. Sasuke memetik beberapa tangkai berwarna coklat kehijauan dimana daunnya tampak seperti daun kangkung tapi lebih lebar.
"Ini namanya Dandelion." Terangnya.
"Ah, ini." Sakura ikut berjongkok di hadapan Sasuke.
"Di musim semi seperti ini, bunganya akan berwarna kuning." Laki-laki itu memberikan salah satu hasil petikannya kepada Sakura.
"Ah, indah sekali." Mata Sakura menatap kagum pada bunga yang kini di pegangnya.
"Tangkainya yang berwarna coklat tidak terasa pahit. Kau harus mengambil yang berwarna coklat seperti ini. "Sasuke memetik lagi satu batang Dandelion." Buang daunnya juga bunganya."
"Seperti ini?" Sakura memetik satu tangkai saat laki-laki itu memperhatikan pergerakannya.
"Aa."
Sakura memetik satu bunga yang berbentuk bola-bola putih yang tampak begitu cantik. Sepertinya rapuh, Sakura meniupnya. Begitu angin membawa serbuk-serbuk putih itu terbang menjauh, Sakura tersenyum.
"Indahnya." Kagumnaya sekali lagi.
"Kau baru saja menebar benih."
"Eh?" Senyum Sakura langsung pudar, wajahnya menatap Sasuke terkejut.
"Dandelion memiliki mahkota bunga berwarna kuning. Begitu daun bunga terjatuh, kepala bunga naik selama satu atau dua minggu yang kemudian akan berubah manjadi bola-bola putih. Masing-masing rangkaiannya memiliki lebih dari 100 benih calon individu baru yang akan meneruskan generasi berikutnya. Dalam masa ini rangkaian bola-bola dandelion akan menunggu jam hayati mereka yakni saat datangnya angin untuk memulai perjalanan baru dengan menebar benihnya dan membuat kehidupan baru. Saat ini, kau sedang membantu mereka berkembang biak."
"Begitu." Sakura mengangguk mengerti. Ia kembali memperhatikan benih-benih rapuh itu.
"Dia tidak pernah menyalahkan angin dan tetap tumbuh walaupun di terbangkan ke tempat yang ekstrim sekalipun." Mata hitam laki-laki itu juga menatap benih putih Dandelion.
Sakura menatap Sasuke dalam. Menelusuri mata hitam laki-laki itu. Cukup gelap dan kelam, membuat Sakura tersesat dalam mencari jawaban atas nada terluka dari suara Baritone-nya.
Apapun itu, "setidaknya Dandelion memiliki semangat hidup yang besar. Meskipun ia berada di tebing jurang sekalipun, ia akan menebar benih untuk memperjuangkan kehidupan-kehidupan baru yang lebih baik." Gumam Sakura.
Sasuke mendongak, kini giliran dirinya yang menatap Sakura tajam dan dalam. Cukup lama untuk sebuah tatapan.
Ia mendengus.
"Apa? Aku salah bicara?" Sakura tampak bingung.
Laki-laki itu hanya diam dan melanjutkan pekerjaannya, membiarkan Sakura yang berteriak-teriak meminta jawaban.
"Hei, Sasuke kun, kau sedang mengejekku atau apa? Hei, kau mendengarku? Hei, Sasuke!"
.
.
-o0o-
.
.
.
Suara percikan air keran lambat laun menumpahkan air di dalam baskom setelah membersihkan batang Dandelion. Seperti yang dikatakan Sasuke, ia menurutinya tanpa protes karena kali ini, ia yang membutuhkan ilmu baru dari Sasuke agar bisa memasak Dandelion dengan benar. Sakura menyerap baik-baik setiap kata yang diucapkan Sasuke. Tentang bagaimana cara menghaluskan batang Dandelion, cara merebus, cara menakar bumbu dapur juga cara menumis
"Kau mau menumis atau merebus minyak?" Protes laki-laki itu.
Sakura hanya memberengut mendengarnya. Ia tidak akan protes walaupun kesal dengan semua komentar pedas laki-laki itu. Karena saat ini, dirinyalah yang sedang membutuhkan bantuan. Setidaknya ia tau diri.
"Setengah sendok teh saja, Sakura, kau tidak sedang membuat asinan sekarang." Lagi-lagi Sasuke membuatnya kesal. Tapi ada sebagian dari hatinya mencair, cara laki-laki itu memanggilnya entah bagaimana membuat dadanya hangat.
"Kapan matangnya? Aku lapar sekali!" Sakura merengek di depan ricecooker yang baru lima menit ia nyalakan.
"Sudah sejak tadi jika kau tidak lupa menekan tombol cook." Ujar Sasuke sambil menata makanan yang sudah matang di meja makan.
"Sasuke kun."
"Hn."
"Kenapa kita tidak mengundang Karin saja untuk makan siang bersama, dia akan menjadi juri yang adil untuk masakanku." Sindir Sakura.
"Terserah kau saja."
Cukup lama berselang, Karin sudah berada di depan pintu rumah Sasuke. Sakura membukakan pintunya dan tersenyum senang melihat Karin datang disaat yang tepat. Perutnya sudah tidak bisa ia tahan lagi.
Karin tampak sedikit terkejut pada awalnya, tapi mendengar penjelasan Sakura, ia langsung bergegas menuju rumah Sasuke.
"Kuharap aku tidak terlambat, bagaimana masakan kalian?"
"Duduklah dan selamat mencoba," Sakura mempersilahkan Karin duduk di hadapannya dan membuka tudung saji yang menutupi makanan mereka.
"Waw. Sakura, kau yakin kau yang membuat semua ini?" Karin menunjuk semua makanan yang tersaji diatas meja makan dengan sumpitnya.
"Tidak." Jawab Sasuke datar.
Sakura langsung memukul pundak Sasuke. Laki-laki itu menatap Sakura kesal. Tapi Sakura tersenyum pada Karin. Dan Karin hanya tersenyum ragu.
"Baiklah, aku akan menilainya dengan adil." Karin menyumpit batang Dandelion sebelum mencicipi tumis tahu.
"Mmm, enak sekali!" Mata Karin berbinar dibalik kacamata minusnya.
"Benarkah? Syukurlah!" Sakura mengambil sumpitnya kemudian ikut makan bersama nasinya.
"Yeay, akhirnya aku bisa masak juga. "Sorak Sakura gembira yang disambut Karin. Kedua perempuan itu membuat makan siang Sasuke menjadi gaduh.
.
.
-o0o-
.
.
.
"Jadi sejak kapan kalian mulai sedekat ini?" Karin berjalan disamping Sakura yang sedang mendorong sepeda mininya pulang.
"Ehm, sejak kita pulang dari pusat perbelanjaan. Ah tidak-tidak, sejak kami makan si-, ah tidak, entahlah." Sakura tersenyum kikuk.
"Awalnya aku tidak percaya, tapi ternyata benar, kalian memang sedekat ini. Apa Sai mengetahuinya?"
"Sai?" Sakura hampir lupa, Sai. "Ah, Karin, kalau kau berpikir sejauh itu, tidak kami hanya teman. Aku dan Sasuke hanya berteman." Jelas Sakura terbata-bata.
"Tidak biasanya Sasuke memiliki teman. Kau termasuk orang yang spesial kalau begitu."
"Eh?"
"Sasuke tidak pernah punya teman dekat. Ia menjadi introvert sejak orang tuanya mengalami kecelakaan saat ia berada di sekolah dasar."
"Kecelakaan?" Sakura menghentikan langkahnya.
Karin menatap Sakura nanar.
"Aku berteman dengannya sejak kami masih bayi. Aku mengenalnya dengan baik, dulu ia adalah anak yang ceria. Tapi karena kecelakaan pesawat yang dialami orang tuanya saat mereka mengunjungi Itachi di Tokyo membuatnya berubah.
"Itachi?"
"Kakak laki-laki Sasuke. Akhirnya kakaknya lah yang membesarkannya sampai SMP, kemudian ia kembali lagi ke Tokyo untuk melanjutkan kuliah. Kudengar sekarang ia sudah memiliki perusahaan sendiri disana."
Sakura tertegun. Jadi luka yang terpancar di mata Sasuke tadi pagi karena orang tuanya. Sejak kecil, laki-laki itu merasa sendirian.
"Sasuke sudah merasakan bagaimana rasanya di tinggal orang-orang yang ia sayangi. Ia tidak pantas untuk disakiti oleh siapapun."
Karin melanjutkan langkahnya. Sakura hanya memandang Karin dari belakang. Mencerna dengan baik maksud dibalik kalimat terakhir gadis itu. Tidak, ia tidak menyakiti Sasuke. Ia tidak bermaksud seperti itu.
Tanpa sadar, setetes air mata Sakura keluar. Tidak, ia tak akan melarikan diri ke laki-laki itu. Sasuke bukan seseorang yang mengalihkan perhatianyan dari rasa sakit yang ia alami beberapa hari belakang.
Tapi ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Karena Sasuke lah, ia baik-baik saja sekarang.
.
.
- tbc -
.
.
.
