"Aku mencintai dia"

"Kalau begitu, kau harus menerima cobaan dariku"

.

Title: The Break Roses

Rating: M

Main character: France

Characters: Roma-jiisan, fem!Romano, Spain, England

Pairing: actually this is will being France x all

notes tahun 2014: 1. Cerita lama gw yg terbit di FB. 2. gw dr tadi nangis mulu kerjanya, jadi sorry tulisannya ancur.. 3. gw lagi bener2 galau ampe buat ni cerita.. 4. gw stres, gampang depresi n lagi ngedown... plislah gw buat ni cerita karena kokoro gw ga kuat..

xxx

.

Hari itu, aku jatuh cinta padanya yang telah memikat hatiku. Dia tampak cantik dan menawan bagaikan bunga dandelion yang merekah. Aku dibuatnya tak bisa berpaling darinya. Hatiku berdebar keras dan nafasku memburu dikala mataku menembak kearahnya. Aku bagaikan dialam mimpi menatapnya. Europe class, Lovina Vargas seorang cucu kepala sekolah di High School Hetalia telah mencuri hatiku.

.

Yang aku tahu tentangnya adalah dia begitu cetus dan bertampang sangar sehingga dirinya belum mempunyai kekasih. Well, bagiku dia tampak manis dengan tatapan cemberutnya dan ucapan cetusnya bak tuan putri yang meminta sepatu kacanya dibawakan kepadanya. Aku sudah mulai tergila-gila padanya. Namun, hatiku ciut untuk menyapanya. Diriku yang payah ini, hanya bisa tersenyum-senyum menatapnya dari jauh. Walau terkadang aku hanya bisa menyapanya dengan senyuman. Gadis ini tampak sangat susah dijangkau olehku, begitu pikirku.

.

.

"Katakanlah!" ucap pria separuh baya yang ada didepan mataku kini. Ia menatapku dengan tatapan dingin namun tenang. Dia tidak menunjukan ekspresi tidak sukanya, ataupun ekspresi sukanya. Dia hanya menyuruhku mengatakan perasaanku sesungguhnya terhadap cucunya.

.

Aku dipanggil keruangan kepala sekolah tanpa kuketahui alasannya. namun karena akhir-akhir ini jarak antara aku dan Lovina mulai sedikit dekat, kepala sekolah memanggilku. Jujur saja setelah setahun aku bertemu Lovina dan mencintainya, kemajuanku untuk berdekatan dengannya sangat kecil. Aku baru saja bisa mulai bicara dengannya walau hanya sedikit kata yang kami keluarkan. Namun tiba-tiba saja, kejadian ini terjadi olehku. Pria didepanku duduk dengan tenangnya dikursinya sambil menatapku tajam. Ia mengetahui bahwa aku akhir-akhir ini dekat dengan cucunya. Ia tersenyum kecil dan menyuruhku untuk mengatakan perasaanku terhadap cucunya didepannya. Aku betul-betul merasa gugup. Aku bahkan tidak berani ngomong didepan orangnya langsung, bagaimana aku harus bicara tentang perasaaanku kepada kakeknya.

.

"A—Aku mencintai cucumu, Lovina Vargas" ucapku gugup. Kami terdiam hening untuk beberapa menit. Aku tidak mengerti kenapa aku dipanggil dan disuruh untuk jujur. Kutatap wajah kepala sekolah. Wajahnya tampak tenang menatapku namun hawa dingin menusuk reluku.

.

.

"Kau mencintainya?" ucapnya meyakinkan. Dan aku menjawabnya kembali dengan penuh keyakinan. Dia tertawa terbahak-bahak bagaikan ada sesuatu yang lucu. "Baiklah, kau boleh bersama dengannya apabila kau bisa melewati rintangan dariku"

Aku terdiam menatapnya dengan penuh keheranan.

"Aku ingin tahu seberapa besar rasa cintamu kepada cucuku itu, apabila kau tidak sanggup dengan rintangan yang kuberikan, maka kau harus menjauhi cucuku dan jangan pernah dekati dia, tapi kalau kau sanggup melakukannya tanpa melawan, maka aku akan memperbolehkanmu menikah dengannya kelak"

Aku merasa takut untuk menanggapinya. Tubuhku bergetar dan perasaanku khawatir. Entah rintangan apa yang akan ia berikan, aku tak sanggup untuk mengiyakannya. Namun perasaan sukaku terhadap Lovina sangat besar dan aku menginginkannya. Aku mengangguk tegas kepada Roma dan mengatakan "aku bersedia"

.

.

.

.

Pagi itu aku pergi ke sekolah seperti biasanya. Aku berjalan dengan santainya tanpa rasa khawatir. Kumemandang sekitar dan kutemukan Lovina berjalan didepanku. Tanpa basa-basi aku mendekatinya dan menyapanya.

"Yo" panggilku. Dia tampak kaget dan segera melihat kearahku dengan ketakutan. "Ah, maaf, kaget ya?" ucapku tersenyum kecil dan merasa bersalah padanya karena sudah mengagetkannya.

"—Ti—Tidak juga" ucapnya membuang muka semerah mawarnya.

Aku tersenyum menatapnya lembut. "Yuk, kita pergi ke sekolah bareng. Sebentar lagi bel berbunyi"

Dia mengangguk dan berjalan disebelahku. Selama perjalanan kami mengobrol panjang lebar dan sesampainya disekolah, kami masuk ke kelas masing-masing.

.

Ah, hari ini dia begitu cantik dan hari ini begitu indah bisa berbincang dengannya pagi ini. Pikirku begitu hingga akhirnya aku melihat teman-teman sekelasku menatapku sinis dan dingin. Aku melihat dengan kebingungan dan kucoba menyapa mereka.

"Bonjour, all" ucapku dengan tersenyum seperti biasanya. Namun mereka terdiam dan bahkan ada yang berbisik. Mereka menatapku dingin seakan diriku hina. Aku berjalan menuju kursiku mencoba untuk berpikir positif. Mungkin ini hanya perasaanku saja karena aku sedang senang?.

.

"Kyaa—" jerit seseorang didepan mataku lalu berlari menjauhiku. Aku terdiam melihat anak tersebut dengan heran. Dan semua orang mulai ribut berbisik-bisik didepanku.

.

Aneh. Ada apa ini? Kenapa semua orang berlaku seperti ini tiba-tiba? Aku benar-benar bingung dengan sikap mereka yang mendadak dingin seperti itu.

.

"He—hei hei kalian kenapa?" tanyaku dengan mencoba tersenyum kearah mereka. Namun mereka tetap berbisik-bisik dengan ributnya.

"Dia kan yang melakukan itu?" bisik seseorang dengan suara sedikit kencang sehingga aku bisa mendengar ucapan tersebut. Aku tersentak kaget mendengar kalimat tersebut.

"Hei, kau—" saat aku ingin mendekatinya, semua berteriak

"JANGAN MENDEKATI KAMI!" ucap mereka. "Kau homo mesum!"

.

Aku benar-benar bingung dengan ucapan mereka. Kenapa tiba-tiba mereka seperti ini? Suasana ini menegangkan. Aku tidak dapat berkutik mendengar ucapan mereka karena aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Aku terdiam diri dengan penuh kebingungan sehingga Gilbert dan Antonio masuk ke kelas dan mencairkan suasana ini.

.

"YO, FRANCIS~" panggil Gilbert dengan nada kencang dan merangkul leherku. "Kau datang pagi sekali hari ini"

"Kau sudah buat PR?" Tanya Antonio. Aku berusaha untuk tersenyum terhadap mereka karena aku masih merasa shock dengan situasi ini.

"Ah, pagi" ucapku singkat dan aku mulai duduk di kursiku bersama Gilbert dan Antonio.

.

Antonio dan Gilbert, sahabat karibku dari kecil. Mereka tetap berceloteh dengan biasanya terhadapku dan tidak ada perubahan seperti teman sekelas. Aku benar-benar bingung dengan semua ini. Kenapa orang-orang tiba-tiba mengatakan bahwa aku homo mesum?. Aku bahkan hanya menyukai Lovina, seorang cewek tulen. Apakah Lovina adalah lelaki? Itu tidak mungkin.

.

.

.

.

Aku berfikir bahwa itu hanya perasaanku, namun ternyata memang bukan perasaanku. Teman-teman sekelasku bahkan tidak segan-segan mencoret meja belajarku. Aku hanya terdiam menatap mejaku yang penuh coretan. Kupikir ini hanya sebuah keisengan saja.

.

"Jahat sekali, siapa yang mencoret begini?" ucap Antonio yang melihat tulisan tersebut di mejaku.

Aku hanya tersenyum "Ah, entahlah tapi biarkan saja. Paling ini hanya sementara"

"Hei, kenapa disini ada tulisan homo mesum?" ucap Gilbert heran menunjuk ke tulisan tersebut.

"Ada juga yang menulis mati?!"

"Tidak bisa dibiarkan, siapa sih yang melakukan hal ini?"

.

Aku tetap tersenyum sambil menenangkan kedua sahabatku yang sejak tadi berisik. Aku berusaha untuk menghapus tulisan di mejaku dan aku dapat mendengar ucapan-ucapan mereka yang tertawa kecil didalam bisikannya dan mengatai diriku dengan penuh celaan. aku tak tahu apa yang telah kulakukan pada mereka, namun kenapa mereka melakukan hal ini terhadapku?

.

Istirahat siang berakhir dan saat kubalik ke kelas, kulihat barang-barangku berserakan di lantai. Buku-bukuku lecek dan ada beberapa yang tersobek dan ada yang tercoret-coret. Apa salahku sehingga mereka melakukan ini terhadapku?

"Dia pasti nangis" bisik seseorang sambil tertawa kecil.

"Wah, pasti nangis" ucap seorang lagi dengan berbisik juga.

Aku membereskan barang-barangku dan kumasukan kembali kedalam tas. Aku melihat mereka dan mereka pura-pura untuk tidak melihatku.

.

"—" aku tak habis pikir dengan perbuatan mereka. "—Kenapa kalian melakukan hal ini padaku?"

Mereka tidak menggubrisku dan hanya diam.

"Apa yang telah aku perbuat pada kalian hingga kalian merobek bukuku?"

.

Perasaanku sedih dan aku ingin menangis, namun aku tidak mau terlihat lemah didepan mereka. Aku mengepak barangku dan keluar dari kelas tanpa melihat kedepan hingga aku menabrak Gilbert dan Antonio.

"Oi, Francis! Kau mau kemana?" panggil Gilbert kebingungan. Aku meninggalkan kedua temanku dan tetap berlari hingga ke toilet.

.

Aku mengunci diri di toilet sambil menatap kearah buku-buku pelajaranku yang telah robek dan penuh dengan coretan. Aku menangis dalam sunyi dan tidak tahu harus melakukan apa. Walau aku bukan anak yang pintar, namun aku berusaha untuk mencatat pelajaran yang selama ini kupelajari. Kini semuanya hilang. Aku bahkan tidak tahu harus darimana aku belajar.

.

TOK! TOK!

.

Aku tersentak kaget mendengar ketukan pintu toilet. Segera kuhapus airmataku dan aku berusaha untuk bertanya dengan suara normal.

"Si—siapa?" tanyaku dengan berusaha menormalkan suaraku.

"Kau didalam?" suara yang begitu familiar namun mengesalkan diriku. Namun aku sedang tidak mood untuk ber-argument.

"Oh kau, Arthur?" ucapku mencoba tersenyum. "Toilet masih banyak yang kosong, kau bisa memakai disebelahnya"

"Francis, keluarlah!"

.

Aku tetap mengurung diriku di dalam toilet tanpa menjawab kalimatnya.

"Frog! Gitt! Aku tahu kau menangis" ucapnya. "Kau pasti akan ke toilet bila kau sedang menangis"

"Itu bukan urusanmu!"

Dia Nampak kesal dan mulai membentakku. "Kau memang menyebalkan sekali!"

Aku tak tahu apa aku harus senang atau sedih mendengar bentakkannya. Hatiku kacau sekali akhir-akhir ini. Mendengar bentakannya yang setiap hari dilontarkannya membuatku senang. Aku membuka pintu dan menatapnya dengan mata sembab.

.

"Sudah kuduga, dasar cengeng!"

"Siapa yang cengeng?!" balasku tidak terima. "Aku hanya kelilipan" aku berbohong dan tidak ingin terlihat lemah oleh rivalku yang satu ini juga.

.

.

Xxx

Hari itu aku berangkat ke sekolah seperti biasanya. Yah hari-hariku berubah menjadi neraka sejak saat itu. Aku bahkan tidak tahu mengapa tiba-tiba aku diperlakukan seperti ini. Tidak ada bayangan apapun yang terlintas dalam ingatanku. Selama ini aku dan Gilbert juga Antonio memang menjadi anak nakal namun aku selalu rajin mengerjakan tugasku bersama kedua temanku tersebut. Aku bahkan tidak pernah mengganggu teman-teman sekelasku hingga akhirnya mereka seperti itu kepadaku. Kenakalanku dengan Gilbert dan Antonio hanya kenakalan kecil anak remaja seperti bolos pelajaran.

Aku berjalan hingga ke ruang loker dengan santainya. Kubuka loker sepatuku dan kutemukan sebuah surat dari kepala sekolah yang berisi agar aku datang ke tempatnya sebelum pelajaran dimulai. Aku bergegas memasukan surat tersebut kesakuku dan berjalan kearah ruang kepala sekolah. Kutatapi pintu coklat yang besar dan tinggi seakan berat untuk dibuka. Kuketuk pintu tersebut hingga terdengar suara orang didalam mengatakan "Masuk".

Aku masuk kedalam ruangan tersebut dan kudapati pria setengah baya berambut coklat sedang duduk diatas meja kerja miliknya sambil tersenyum kearahku. Aku segera menyapanya dan ia menyuruhku untuk segera masuk dan menutup pintu tersebut.

"Well, Francis bagaimana keadaanmu?" ucapnya tersenyum kearahku. Senyuman penuh arti dan makna tersirat di wajahnya. Aku tersenyum biasa tanpa bisa berkata apapun karena mengingat kejadian buruk tersebut menimpaku.

Dia lalu berjalan mendekatiku dan lalu menepuk pundakku dengan pelan. Ia mendekati bibirnya kearah kupingku dan membisikkan sesuatu sehinga membuatku terkejut dan terdiam tidak percaya.

"Kau senang kan dengan hari-harimu sekarang? Aku tahu! Jadi berterimakasihlah padaku yang telah membuat keseharianmu menyenangkan ini" ucapnya tersenyum dan memelukku yang masih terkejut.

"Kau menyukai cucuku bukan?" ucapnya kembali. "Kalau kau bisa menghadapi semua ini dengan sabar tanpa memberitahu bahwa akulah penyebabnya, maka aku akan berikan cucuku padamu"

"Bagaimana? Deal yang mengasyikan bukan?"

Aku tak dapat menatap wajah kepala sekolah. Rasanya pandanganku kabur dan seakan tubuhku ada di ruang kosong yang ada di angkasa. Aku sudah tidak dapat berpikir lagi sehingga aku tidak ingat bagaimana caranya aku keluar dari ruangannya yang besar tersebut.

.

.

.

Aku menatap kearah buku pelajaranku diruang kelas tersebut hingga tidak sadar bahwa jam pelajaran tersebut telah selesai tanpa kusimak baik-baik. Aku tetap menatap sambil memikirkan perkataan kepala sekolah tadi pagi. Aku melamun hingga tanpa sadar berkali-kali Gilbert dan Antonio telah memanggilku.

"Oi, Francis, kau tidak istirahat?" ucap Gilbert sambil tetap memanggil namaku. "Francis!"

Aku tersadar dan menatap mereka. "Ah?! Oh, maaf aku melamun"

"Kau tidak apa-apa?" Tanya Antonio sambil memegang keningku. Aku tersenyum kecil dan menggelengkan kepalaku. "Jangan kau pikirkan ucapan teman-teman yang lainnya. Mereka tidak mengenalmu, Francis"

"Aku tidak apa-apa" ucapku sambil mengambil bekal makanku dari laci meja. Saat kubuka kotak makanku, kutemukan beberapa ekor cacing sedang menggelut dimakananku. Aku begitu kaget hingga tanpa kusadari kulempar kotak makanku keatas lantai hingga berantakan.

Semua menatapku begitu juga Antonio dan Gilbert. Mereka semua kaget tak keruan menatap bekal makanku yang berserakan dilantai dengan ulat-ulat tersebut. Tanganku gemetaran. Tidak mungkin ini ulah kepala sekolah juga. Dibalik kerumunan orang tersebut, adalah beberapa orang yang menertawai dan mengatakan sesuatu yang menusuk ke reluku.

"Menjijikan"

"Pria menjijikan itu makin menjijikan saja lama kelamaan"

"Jijik! Bahkan sampai dia memakan ulat-ulat itu? Takut"

Aku terdiam sambil menatap kearah kotak makanku dengan terkejut hingga tidak berkutik sama sekali. Tidak pernah terpikirkan olehku bahwa hidupku akan menjadi neraka seperti ini.

"Oi, Francis, kau tidak apa?" Tanya Antonio sambil sedikit mengguncangkan tubuhku.

"Siapa yang iseng melakukan hal ini kepadanya?!" Tanya Gilbert kesal dan kencang kepada teman-teman sekelas. Namun semua hanya berbisik-bisik satu sama lain tanpa menghiraukan ucapan Gilbert.

"—S—sudahlah Gilbert, aku tidak apa-apa" ucapku seraya mengambil sapu didalam loker. "Aku akan membereskan ini"

"Aku ikut membantu" ucap Antonio seraya mengambil sapu bersamaku dan membereskan kotak makanku bersamaku. "Aku akan membagikan setengah makananku kepadamu, Frannie"

"Tidak apa aku bisa beli" ucapku tersenyum kecil sembari membuang makananku ke kotak sampah. "Kau makanlah duluan"

Antonio dan Gilbert menatapku dengan simpatik. Aku tersenyum dan kutinggalkan mereka di kelas dan kusuruh mereka untuk makan sendirian. Aku pergi ke kantin sendirian. Pandangan mata menyakitkan mengarah kearahku disepanjang jalan. Aku terdiam seribu bahasa dan tetap berjalan kearah kantin.

"Maaf, tidak ada yang bisa kujual kepadamu" ucap orang kantin kepadaku dengan pandangan sinis. Aku tersentak dan menatap tidak percaya.

"Tapi aku ingin membeli roti melon itu" ucapku sembari menunjuk kecil kearah roti tersebut.

"Aku tidak menjualnya kepadamu! Sudah sana kau pergi! Shoo! Shoo!" ucapnya menggoyangkan tangannya tanda mengusirku. "Kau mengganggu pemandangan dan membuat tokoku tidak laku"

Aku hanya bisa pasrah dengan semua ini dan segera berjalan kearah toko sebelahnya, Namun hasilnya sama. Mereka mengusirku seakan aku adalah serangga pengganggu. Walau perutku lapar, namun rasa terkucilkan itu jauh terasa direluku.

Salahkah aku kalau aku mencintai cucu dari kepala sekolah? Apakah seharusnya aku saat itu lebih baik berbohong mengatakan tidak mencintainya? Kenapa aku harus diperlakukan seperti ini hanya karena aku mencintai cucu dari kepala sekolah?

Rasanya aku ingin sekali menangis dan kembali ke masa itu saat aku dipanggil kepala sekolah dan mengatakan kepada diriku yang kemaren untuk tidak berterus terang mengatakan bahwa diriku menyukai cucu dari kepala sekolah, Lovina Vargas. Namun semua sudah terjadi, aku hanya bisa pasrah menghadapi ini.

"Hei ini roti melon untukmu"

Tiba-tiba seseorang menyodorkan sebuah roti melon didepanku. Aku tersentak kaget melihat roti melon tersebut. Dan yang paling bikin aku tersentak makin kaget adalah bahwa orang yang ada didepanku sambil menyodorkan roti melon tersebut adalah Lovina Vargas.

Dia menatapku dengan wajah angkuh dan anggunnya itu. Namun wajahnya tampak memerah malu untuk menatapku.

"Aku mendengar suara berisik dari perutmu dan aku melihat kau dengan tangan kosong dari kantin jadi kubelikan ini untukmu" ucapnya tampak malu. Aku terpana dengan rasa malunya dan wajahku memerah padam. Hatiku seakan melayang menerima kebaikan hatinya.

"A—ah akan kubayar" ucapku mengambil roti tersebut dan mengeluarkan uangku.

"Tidak perlu" ucapnya sembari berjalan ke kelasnya. "Anggap saja itu hadiah dariku"

"Terimakasih" ucapku tersenyum kearahnya sambil berjalan kearah kelas dengan tersenyum.

"Kau sudah membeli makanan?" Tanya Gilbert sambil melahap porsi terakhirnya. Aku mengangguk dan tersenyum. "Ya, aku beli roti melon ini" ucapku seraya menunjukannya ke Gilbert.

"Cepatlah dimakan!" ucap Antonio. "Kalau kurang masih ada punyaku"

"Tidak apa, aku kenyang dengan ini semua" ucapku sambil melahap roti yang dibelikan oleh Lovina.

.

.

.

.

Aku begitu lelah, setiap hariku bagaikan neraka. Semua memperlakukanku dengan hina walaupun aku tidak melakukan apapun. Yang menjadi penopangku tetap bersemangat hanyalah Lovina, Gilbert, Antonio dan Arthur, Rivalku.

Aku tidak menyangka bahwa semua ini terjadi karena ulah kakeknya Lovina yang mana adalah kepala sekolah di sekolahku. Aku benar-benar bingung mengapa dia melakukan hal ini terhadapku? Apakah aku salah mencintai cucunya?

Aku membuka pintu kamarku yang tidak terkunci dengan kebingungan. Seingatku, aku sudah menguncinya tadi pagi, namun kenapa pintu ini tidak terkunci? Siapa yang membukanya? Apakah ada maling yang datang ke kamarku? Kubuka pintuku dan kupandangi dengan wajah pucat, orang yang ada didalam kamarku sambil terduduk diatas sofa merah milikku.

"Yo" ucapnya dengan wajah berkilau dan tersenyum itu. Aku hanya terdiam pucat menatapnya tanpa bisa berkutik dan berkata. "Yah seperti biasa, Gallia, kau begitu cantik dari luar dan dalam"

"—Mau apa anda datang kesini?" ucapku penuh keraguan. Ia mendekatiku dan mencengkram kedua pipiku. Tubuhku bergetar namun aku tidak bisa lari ataupun berteriak.

"Kau memang pantas mendapatkan semuanya, Gallia" ucapnya seraya mencium pipiku dengan kasarnya.

"Jangan memanggil nama ibuku sembarangan!"

.

.

Bruk.

Aku terjatuh dengan kerasnya dan mendadak diatas kasurku. Tangannya mencengkram erat leher dan pipiku sehingga aku menggeliat kesana kemari untuk melepaskan cengkraman tangan tersebut. Tampak keras dan membuatku sulit bernafas.

"Kau masih bisa lancang kepadaku?" ucapnya sembari tersenyum. Tatapannya bagaikan harimau yang akan memburu mangsanya dan hal itu membuatku tak dapat berkutik. "Seharusnya kau berterimakasih padaku karena kau masih kuberi cobaan untuk mendapatkan cucuku"

.

Aku menggeliat dan menarik jauh tangannya, namun tangan itu tampak kuat mencengkram leherku. Aku mendesah merintih berusaha untuk meminta nafas namun ia tetap mencengkramnya. Dia menjilati pipiku tanpa basa-basi lalu mencium mulutku yang tengah mencari nafas dengan kasarnya. Diriku tdak dapat melakukan apapun kecuali berusaha untuk mencari nafas dan merintih hingga kurasakan tangannya yang besar itu menyentuh tubuhku hingga Penisku. Aku tersentak kaget dan berusaha kembali untuk melepaskan kecupan, cengkraman dan sentuhannya.

.

"R—Ro-m-ma" keluku berusaha menjerit untuk menghentikan tindakannya tersebut.

Dia menatapku dan tersenyum sambil membuka bajuku dengan paksa sehingga kancing-kancing bajuku lepas dari jahitannya. "Ini juga salah satu cobaan dariku, Gallia"

.

Malam itu aku merasakan malam pertamaku yang tampak kasar dan menyakitkan. Tubuhku telah ternoda dengan kasarnya dan aku tidak dapat menghindari semua perlakuannya. Airmataku keluar dengan derasnya menerima perlakuan tersebut. Nyeri tak terperi yang kurasakan dibagian belakangku. Dia melakukan klimaks berkali-kali tanpa memberiku istirahat dan nafas. Tubuhku tergeletak dan tak kuasa untuk menghindar dari serangannya...

.

To be continued...

NB: lanjutannya besok yaaaa~