WARNING : dunia Avatar di cerita ini bukanlah dunia Avatar The Last Airbender yang ada di film seri. Dunia Avatar di cerita ini adalah dunia Avatar khayalan saya, seandainya Avatar Roku berhasil menggagalkan rencana Saozin untuk memulai perang menakhlukkan dunia 100 tahun lalu sebelum perang panjang dimulai.
Chapter 1 : Journey to The Fire Nation
Katara adalah gadis berusia 14 tahun dari Suku Air dan ia adalah seorang Water bender termuda di Suku Air Selatan. Saat ia berusia 4 tahun, ibunya Kya meninggal dunia. Karena terlalu banyak kenangan bersama Kya di desa Suku Air Selatan, maka Hakoda, sang ayah berniat untuk meninggalkan desa itu agar ia bisa melanjutkan hidupnya dan merelakan kepergian Kya.
Hakoda membawa serta putranya, Sokka, namun atas nasihat ibunya, Katara dikirim ke Suku Air Utara untuk memaksimalkan kemampuan Water bendingnya, berguru pada kakeknya, Master Paku. Maka dari itu, setelah mengantarkan Katara kepada sang kakek, Hakoda pun berpisah dengan Katara. Sejak itu Katara hidup dengan kakeknya dan hanya mengetahui bahwa ayahnya tinggal di sebuah desa kecil bernama Jang Hui di Negara Api.
Setelah berusia 14 tahun, Katara yang sangat berbakat dalam Water Bending merindukan ayahnya dan ingin tinggal bersama sang ayah. Master Paku tidak bisa menghalangi keinginan cucunya itu dan mengijinkannya pergi ke Negara Api untuk kembali tinggal bersama ayahnya. Lagipula, Katara sudah menguasai tekhnik-tekhnik Water Bending dengan baik.
Karena tidak mungkin membiarkan cucunya pergi sendirian, Master Paku menyuruh Jet untuk mendampingi Katara mencari ayahnya di Negara Api. Mereka berdua berangkat bersama-sama. Awalnya Jet memang tampak bertanggung jawab. Namun lama kelamaan, ia semakin mengabaikan Katara. Dan setelah mereka berdua sampai di Kerajaan Bumi, Jet meninggalkan Katara dan mengambil uang dan benda-benda mereka. Jet menghilang begitu saja.
Katara terbangun di penginapan, tak ada uang, tak ada barang, ia menjadi panik dan memberondong pemilik penginapan dengan berbagai pertanyaan "Anda lihat lelaki yang datang bersamaku kemarin?"
Dan pemilik penginapan malah keheranan "Dia sudah pergi tadi pagi. Apakah dia meninggalkan anda?"
Katara kebingungan dan menangis. Reaksi yang wajar bagi seorang gadis kecil berusia 14 tahun apabila ditinggalkan sendirian di tempat asing. "Sekarang apa yang harus kulakukan? Aku tidak tahu jalan, bahkan aku tidak tahu tempat apa ini. Aku tidak tahu harus kemana?"
Katara merenungi nasibnya yang malang sendirian di restoran penginapan itu. Namun seorang pemuda duduk di sebelahnya dan menyapanya dengan ramah. "Nona. Aku tidak sengaja mendengar percakapan anda tadi. Sudahlah jangan bersedih. Kutraktir makan?"
Katara mengusap air matanya dan melihat seorang pemuda yang berusia 19 tahun sedang duduk di sebelahnya. Katara tidak pernah kenal orang ini sebelumnya, akan tetapi ia yakin bahwa pemuda ini orang baik.
Pemuda itu tersenyum "Kuanggap kau setuju."
Kemudian ia memesan makanan. Setelah itu ia memperkenalkan diri. "Perkenalkan. Namaku Lu Ten. Aku tinggal di Ba Sing Se. Aku dan sepupuku baru saja kembali dari petualangan kami di daerah Penggembara Angin."
Tak lama, ada pemuda lain yang lebih muda darinya, duduk di hadapan Katara. Wajahnya jauh lebih tampan daripada Lu Ten, namun ia tampak melankolis dan selalu cemberut dan serius. Ia meletakkan pedang kembarnya di atas meja dan duduk tenang sambil menunggu saudaranya.
Lu Ten memperkenalkan saudaranya. "Yang ini namanya Zuko. Dia menemaniku berjalan-jalan di daerah Penggembara Angin. Ia tampak galak, dan selalu kelihatan sedang marah. Akan tetapi sebenarnya dia orang baik. Tidak perlu takut padanya."
Zuko tampak kesal. "Apa aku kelihatan seperti sedang marah?"
Lu Ten tertawa. "Maaf kalau kau ternyata tidak sedang marah, saudaraku."
Dan pesanan mereka pun datang. Ketiga orang itu makan bersama. Awalnya Katara diam saja sambil memperhatikan Lu Ten bicara. Lu Ten sangat ramah dan baik. Ia juga sangat sabar dan tulus. Sebentar saja, Katara sudah merasa nyaman bicara dengannya. Mereka sudah mulai bergurau. Akan tetapi Zuko tetap asik dengan makanannya sendiri dan hanya duduk tenang di atas kursinya. Sesekali Lu Ten mengajak Zuko bercanda dan menggodanya sedikit. Tapi Zuko menanggapi dengan serius.
Sebentar saja Katara sudah akrab dengan Lu Ten. Dan ia menceritakan kalau ia sedang dalam perjalanan ke Negara Api untuk mencari ayahnya di desa Jang Hui. Tadinya ia diantar dengan seorang pemuda bernama Jet. Akan tetapi Jet malah merampoknya dan menghilang entah kemana.
"Bagaimana kalau kau pergi dengan kami?" tanya Lu Ten.
Zuko terkejut. "Bukankah katamu kau ingin ke Ba…"
Lu Ten cepat-cepat menendang kaki Zuko agar dia diam. Selagi Zuko mengaduh kesakitan, Lu Ten melanjutkan. "Aku ada urusan yang belum di selesaikan di Negara Api."
Namun Katara enggan merepotkan mereka. "Tidak usah. Mungkin aku kembali saja ke Suku Air Utara."
Lu Ten kembali membujuk Katara. "Kau bisa pinjam uangku. Sungguh, aku tulus ingin mengantarmu ke Negara Api."
"Aku hanya takut merepotkan kalian saja." Kata Katara.
Lu Ten tertawa. "Tentu saja tidak. Kau lihat, sesungguhnya aku pun terpikir untuk kembali ke Negara Api. Aku ingin mengembalikan saudaraku ini ke rumah ayahnya."
"Jadi, kalian berasal dari Negara Api?" tanya Katara.
Lu Ten mengangguk. "Tapi sudah sejak 6 tahun lalu, aku dan ayahku pindah ke Ba Sing Se. Dan sepupuku ikut dengan kami pindah ke Ba Sing Se. Tapi tak lama ayahnya ingin dia kembali ke Negara Api."
Dengan demikian, Katara pun ikut dengan kedua pangeran itu ke Negara Api. Dalam perjalanan, mereka singgah sebentar di Ba Sing Se. Ba Sing Se adalah Negara besar dan tembok kotanya sangat tinggi dan tebal. Membuat kota ini sangat aman dan terlindungi dari dunia luar.
"Kau tinggal di sini selama 6 tahun?" tanya Katara kepada Zuko.
Zuko, melipat kedua tangan di dadanya, menjawab dengan singkat dan kritis "Ya..kota ini sangat besar. Bahkan keluarga besar bison terbang pun bisa bermain petak umpet."
Mereka bertiga akhirnya sampai di Kedai Teh Jasmine Dragon milik Iroh.
"Ayah!" seru Lu Ten saat ia bertemu dengan Iroh.
"Hai, anakku!" Iroh segera menyambut kedatangan putranya. "Bagaimana padang pasir?"
"Tempat yang menyenangkan! Tapi jauh lebih menyenangkan berada di rumah." Kata Lu Ten.
Iroh kemudian berpaling pada Zuko. "Dan kau, Pangeran Zuko. Bagaimana padang pasir?"
Zuko berkata dengan wajah seriusnya. "Panas."
"Sepanas secangkir teh, rupanya!" kata Iroh sambil tertawa. Kemudian ia tertarik pada gadis kecil berkulit gelap di belakang Zuko. "Wah, siapa ini?"
Lu Ten memperkenalkan Katara pada Iroh. "Ayah, ini Katara. Ia berasal dari Suku Air Utara. Lahir di Suku Air Selatan, dan kami bertemu dengannya di Omasu. Dia mau pergi ke Negara Api untuk menyusul keluarganya."
Iroh mengangguk-angguk. "Selamat datang di Ba Sing Se, nona. Namaku Iroh."
Katara membungkuk untuk memberi hormat. "Senang berjumpa denganmu, tuan Iroh."
"Kau bisa panggil dia "paman". Semua orang memanggilnya begitu. Termasuk pengunjung kedai ini yang bahkan seusianya." Kata Zuko.
Iroh tertawa. "Baiklah. Kalian bertiga pasti lelah setelah perjalanan jauh. Bagaimana kalau kalian duduk dahulu, biar aku buatkan kalian teh?"
Dan mereka bertiga pun duduk di salah satu meja yang kosong sambil menunggu teh dari Iroh datang. Namun Lu Ten tidak lama, berdiri dari tempat duduknya dan menyusul ayahnya ke dapur. Tentu saja sepeninggal Lu Ten, Katara dan Zuko membuat suasana menjadi hening seperti berada di kuburan. Pandangan Zuko sibuk mengamati pemandangan lain daripada melihat ke hadapannya atau berinteraksi dengan gadis yang duduk di hadapannya itu.
Akhirnya Katara membuka percakapan. "Tadi aku mendengar dia menyebutmu "Pangeran". Apakah kau putra Fire Lord?"
Zuko menjawab singkat "Ya .. aku anaknya."
"Jadi kau sungguh seorang pangeran??" Katara terkejut. Ucapannya agak keras sehingga membuat pengunjung lain tertarik untuk melihat mereka. Zuko merasa malu dan buru-buru meralat. "Bukan"
Setelah pengunjung lain kembali sibuk sendiri, ia melanjutkan "Maksudku iya. Tapi kau tidak perlu meneriakkannya."
"Maaf, aku hanya terkejut." Kata Katara sambil tertawa. "Kalau kau adalah pangeran Raja Api, berarti .. paman Iroh dan Lu Ten?"
"Paman Iroh kakak ayahku." Jawab Zuko.
Katara terkejut mendapati perubahan signifikan dalam hidupnya. Pertama, ia terkejut mendapati dirinya cucu seorang guru besar Water Bender di Suku Air Utara, dan kemudian ia ditipu orang dan dirampok, dan ia segera ditolong oleh dua orang pangeran dari Negara Api. Entah apa lagi yang bisa mengejutkannya. "Kenapa dia tidak menjadi raja saja?"
"Mana kutahu?" jawabnya.
Setelah beristirahat beberapa hari di Ba Sing Se, Lu Ten ternyata sibuk hendak belajar pedang pada master Piandao. Maka dari itu Zuko saja yang pergi untuk menemani Katara ke Negara Api. Iroh dan Lu Ten melepas kepergian keduanya pagi itu.
"Hati-hati di jalan." kata Lu Ten.
"Zuko, kau jangan salah makan." Kata Iroh.
Setelah kereta membawa mereka pergi dari Ba Sing Se, Katara masih ingin mengajak Zuko mengobrol. "Paman dan sepupumu sama-sama optimis dan sama-sama selalu terlihat ceria. Mereka begitu kompak dan mirip. Apakah kau dan ayahmu begitu juga?"
"Tidak juga." jawab Zuko.
"Ayahmu orang seperti apa? Apakah ia orang yang bijaksana?" tanya Katara.
"hmm .. tidak juga." jawabnya lagi.
Katara kehabisan pertanyaan. "Maafkan aku, aku terlalu cerewet untukmu. Aku hanya takut kau merasa bosan saja."
Tak lama kemudian, Zuko pun berbicara. "Aku hanya malas membicarakan ayahku. Aku lebih dekat dengan ibuku."
Katara mendengarkan dengan perhatian.
"Ibuku sangat baik. ia sangat pengasih. Tapi saat paman Iroh dan Lu Ten hendak pergi meninggalkan kerajaan dan ingin hidup damai di Ba Sing Se, ibuku menyuruhku ikut dengan mereka. Ia yakin aku akan mendapatkan pelajaran berharga bersama mereka. Tapi aku tahu .. ibuku hanya ingin menjauhkanku dari ayah dan adikku." Kata Zuko.
"Kenapa ia ingin menjauhkanmu dari ayah dan adikmu?"
"Aku tidak tahu." Jawab Zuko. "Menurutmu kenapa?"
Katara tersenyum. "Hmm .. aku tidak tahu kenapa… tapi waktu ayahku meninggalkanku dan mengirimku ke Suku Air Utara, ia ingin aku menjadi manusia yang lebih baik lagi. Karena menurutnya, aku berbeda dengan ia dan Sokka. Aku bisa Water Bending. Ia ingin aku mempelajari itu… apakah menurutmu itu hampir sama dengan apa yang dipikirkan ibumu?"
Zuko berpikir sebentar, berusaha menyamakan nasibnya dengan nasib Katara. Setelah menemukan persamaannya, bahwa ia pun berbeda dengan Ozai dan Azula, tapi dalam bentuk yang lebih negative daripada kasus Katara, ia berkata "Entahlah… mungkin… dipikir-pikir, ayah lebih menyukai Azula daripada aku. Menurutnya Azula terlahir beruntung, sementara aku beruntung bisa lahir."
"Tega sekali ia berkata demikian" kata Katara dengan prihatin, sekalipun dalam hati ia ingin tertawa mendengarnya. "Barangkali ia hanya ingin kau berusaha lebih giat untuk menjadi orang yang lebih baik lagi."
Zuko memalingkan pandangannya dengan sedih. "Yah .. mungkin…"
Setiba mereka di pelabuhan Negara Api, Zuko tadinya hendak memberikan Katara peta Negara Api agar ia mencari sendiri desa Jang Hui. Akan tetapi setelah dipikir-pikir kembali, Zuko tidak sampai hati melepas gadis 14 tahun itu sendirian di Negara Api yang keras dan luas. Maka dari itu Zuko memutuskan untuk tetap bersamanya dan mencari desa tersebut bersama-sama.
Mencari desa Jang Hui cukup sulit, dikarenakan desa tersebut terletak sangat terpencil dan tidak terdaftar dalam peta Negara Api. Mereka hanya bisa melacak keberadaan desa tersebut dari bertanya kepada petugas setempat. Akhirnya mereka pun menemukan Jang Hui.
"Menurut ayahku dalam surat-suratnya, desa itu sangat bersih. Desa petani yang cukup terpencil dan damai. Desa itu sangat indah. Setiap pagi ayahku memancing dan kakakku menemaninya. Kehidupan di sana sangat damai." Kata Katara dengan bersemangat saat mereka sedang berjalan menuju desa Jang Hui.
Namun saat mereka melihat desa tersebut, Katara terdiam. Bagaimana pemandangan itu tidak bisa membungkamnya? Desa Jang Hui yang mereka lihat dikotori oleh limbah dan airnya sangat jorok. Dari kejauhan mereka bisa melihat betapa kotor dan memprihatinkannya desa tersebut.
Karena Katara tidak berbicara juga, akhirnya Zuko berkomentar "Indah kok.."
"Aku tidak percaya ayahku bohong padaku!" kata Katara. Kemudian ia menatap Zuko. "Kita tidak salah desa kan?"
Zuko melirik pada papan penunjuk jalan di sebelahnya persis. Terbaca tulisan "Jang Hui" dengan jelas di sana. Kemudian Zuko menjawab "…Tidak…"
Katara sangat kecewa. Tapi Zuko tetap mengantarnya sampai ke desa. Mereka menemui seorang kakek tua yang menyebrangkan mereka ke desa. Di sana, mereka mencari keberadaan Hakoda, dan keluarga Katara menyambut Zuko dan memberinya makan.
Zuko awalnya menolak. "Tidak usah repot-repot, aku hanya sebentar. Aku akan langsung pergi melanjutkan perjalananku ke ibukota."
Namun Sokka membujuknya. "Kau telah menjaga adikku selamat sampai ia sampai di sini. Ini hanya ucapan terima kasih yang sangat kecil untukmu. Jika kau tidak menerimanya, maka kita akan merasa tidak enak."
Akhirnya Zuko memakannya juga. Setelah makan makanan tercemar itu, Zuko yang tidak terbiasa menjadi sakit perut dan hanya berguling-guling di atas lantai rumah Katara. Katara pun merasa tidak enak badan setelah makan makanan itu. Tapi ia mampu mengobati system pencernaannya sendiri dengan ilmu pengobatan yang ia dapatkan dari Suku Air Utara. Setelah itu ia merasa baikan.
Melihat Zuko berguling-guling lemah karena keracunan makanan, Katara tertawa kecil dan lalu menghampirinya. "Maaf, membuatmu jadi begini."
Zuko hanya bisa mengeluh sambil berguling-guling lagi.
Katara kemudian menyuruhnya untuk berbaring terlentang. "Coba .."
Zuko menurut. Dalam kondisi seperti itu, ia tidak perduli apapun yang orang lain lakukan padanya, yang penting ia bisa merasa baikan. Dan setelah Katara melancarkan system pencernaannya, Zuko pun buru-buru buang air besar, setelah itu ia merasa baikan.
Segera setelah merasa baikan, Zuko segera pergi dari sana. Sebelum pergi, ia berpesan pada Katara. "Tolong jangan beritahu siapa aku. Diam-diam saja."
"Baiklah." Katara setuju. Ia mengantarkan Zuko sampai seberang. Namun saat Zuko berjalan menjauh, Katara menyusulnya. "Zuko!"
Zuko berhenti berjalan dan menoleh ke belakang. Sebelum ia sadar apa yang terjadi, Katara sudah mencium pipinya. "Terima kasih banyak. Kau orang baik. Kelak kau pasti akan menjadi raja yang baik."
Sebelum Zuko merespon apapun, Katara sudah berlari kembali ke Jang Hui. Meninggalkan Zuko yang masih berdiri mematung karena shock dengan pipi memerah. Ini pertama kalinya ada perempuan selain ibunya, mengecup pipinya.
Zuko tersenyum sambil berlalu dari Jang Hui. "Orang baik …"
