Karena sesuatu, akhirnya aku putuskan buat menterjemahkan ulang. Semoga ini lebih baik dari kemarin :) Maaf karena terlalu ngaret, boleh lempar cokelat kok *eh*
.
.
.
Naruto belongs to Masashi Kishimoto
The Blood of Ivory belongs to SapphireRivulet with new pen name Alia Rubrik
Mitsuki Ota just translate her story and don't take any profit.
.
.
.
Author's Note: This fiction belongs to SapphireRivulet-san with new pen name Alia Rubrik. Big hug and thanks for trust me to translate your story :)
Karena aku sudah mendapatkan izin untuk menterjemahkan fic ini, jangan menganggap aku plagiat ya :)
Kalau ada yang pengen baca fanficnya, bisa lihat di profilku. Aku sudah mencantumkannya kok :))
.
.
.
Dulu aku tidak begini.
Ketika aku masih kecil, aku sangatlah bahagia, bahagia sekali. Keluargaku sangatlah baik, dan aku punya adik kecil yang sangat aku sayangi, dan ayah yang perhatian padaku, yang aku pikir begitu. Ibuku sudah meninggal ketika aku masih sangat muda. Aku bahkan belum bisa mengingatnya saat itu.
Aku menerka jika ia juga mempercayaiku, seperti yang telah aku katakan.
Ketika usiaku memasuki ke depalan, pamanku; Hizashi pindah ke rumah kami setelah perceraiannya dengan mantan isterinya. Saat itu pula ayah berhenti memperhatikanku.
Aku baru berusia delapan tahun ketika pertama kali pamanku memperkosaku.
.
.
.
Malam hampir datang ketika aku baru saja akan tertidur dan ia datang ke kamarku untuk pertama kalinya. Kami punya tamu sepanjang sore dan adikku, Hanabi, sepupuku, Neji dan aku kelelahan karena berlarian bersama teman-teman kami. Aku masih ingat dengan jelas suara pintu dibuka dan ditutup, tapi lampu kamarku tidak dinyalakan. Aneh, pikirku.
"Siapa itu?"
"Ini pamanmu, sayangku."
"Paman Hizashi! Apa yang kau lakukan di sini?"
"Pelankan suaramu, sayang. Kau bisa membangunkan ayahmu. Kau tahu, aku punya kejutan untukmu, namun hanya untuk kau dan aku. Kau tak ingin ayahmu tahu, kan?"
"Tidak, paman."
"Gadis baik."
Aku ingat suara gesper celana pamanku yang ditarik, begitu juga suara celananya yang ia lucuti.
"Buka celanamu, sayang."
"Kenapa aku harus membuka celanaku, paman?"
"Karena aku menyuruhmu begitu."
Dengan bodoh, polos dan percayanya, aku mengikuti apa yang pamanku perintahkan. Aku berpikir apa yang akan terjadi jika aku memanggil ayah waktu itu. Saat itu yang ada dalam benakku hanyalah ia ingin mengajakku mandi bersama Neji. Namun rasanya sudah terlalu malam ketika kami berbaring di ranjang, dan orang dewasa mungkin tak akan berpikir begitu.
"Sayang, diamlah. Kau tahu, aku tak senang jika kau mengeluarkan suaramu, dan terlebih ayahmu pasti akan marah."
Ketika ia memaksa menyatukan tubuhnya dengan tubuhku, aku seperti ditusuk. Aku mulai menangis dan bertanya apa yang sedang ia lakukan.
"Ini adalah salah satu proses menuju dewasa sayang."
Aku bahkan tak ingin menjadi dewasa.
.
.
.
Sembilan tahun, dan masih saja tiap malam paman 'menusukku'.
Sepuluh tahun, aku sadar akan 'pedang'nya.
Sebelas tahun, aku tahu bahwa semua itu dinamakan seks.
Di usiaku yang ke dua belas, guruku terperanjat dengan pernyataan yang aku buat di kelas.
"Miss, apakah normal untuk orang melakukan seks ketika masih delapan tahun?"
"Itu tak normal, Hinata. Mengapa kau bertanya seperti itu?"
"Emm … pamanku berkata bahwa itu bukanlah masalah."
Dua minggu kemudian, Polisi datang ke rumah kami, dan menangkap pamanku untuk dipenjara. Aku pikir semua hal mengerikan itu akan berakhir.
Sampai pada akhirnya siang itu ayahku datang ke kamarku dan menggenggam sebuah kotak kecil di tangannya. Dia mengulurkannya padaku dan membuatku kebingunan. Ayahku tak pernah memberikanku hadiah kecuali di hari ulang tahunku atau Natal. Dia berkata padaku untuk membukanya, dan aku melakukannya.
Di dalam kotak kecil itu ada medali perak, dan aku membukanya dengan tergesa-gesa. Di sana ada sebuah foto pamanku dan sepupuku; Neji sedang tersenyum di depan kamera. Di sisi lain kotak itu tertulis ''Nobody loves a liar.'
Keesokannya, pamanku dibebaskan dari penjara, hanya karena aku berkata aku telah bohong.
Tiga minggu bebas sebelum mimpi buruk itu datang lagi.
.
.
.
Tiga belas tahun, dan teman-temanku mengagumiku karena telah mengetahui seks lebih banyak.
Empat belas tahun, dan aku mendapat datang bulan pertamaku.
Lima belas tahun, dan pamanku menyuruhku minum pil, mengeluh tentang 'datang bulan yang mengerikan.'
Enam belas tahun dan aku mulai belajar untuk berkata 'tidak.'
Tujuh belas tahun dan aku mencoba kabur pada akhirnya.
"Miss?"
"Ya, Hinata? Ada sesuatu yang kau inginkan?"
"Miss, aku ... butuh bantuan Anda."
"Apa yang dapat aku lakukan untukmu, Hinata?"
"Miss, aku butuh bantuan Anda untuk membawaku kabur dari rumahku."
"Mengapa kau berkata seperti itu, Hinata?"
"Ini ... ini karena ... Miss tak akan marah padaku, kan, Hinata?"
"Mengapa aku harus marah padamu?"
"K-karena ayahku marah padaku ... ketika aku berusia dua belas tahun aku mengatakannya ... hanya ... tolong, jangan berpikir aku berbohong, Miss."
"Aku janji untuk mendengarkanmu, Hinata."
"Paman ..., pamanku ..., ketika aku delapan tahun ..., aku tak tahu, aku tak mengerti... ."
"Apa yang salah, Hinata?"
"Pamanku selalu memperkosaku hampir tiap malam ketika aku berusia delapan tahun, Miss."
Aku tidak pulang malam itu.
-TBC-
