Disclaimer: Naruto milik om Masashi Kishimoto. Sai yang ganteng jelas bukan punya saya pfft. Dan tidak ada keuntungan materil yang saya dapatkan dari membuat cerita ini.
.
.
.
Aku tidak pernah mengharapkan hidup yang sempurna. Aku hanya menginginkan hidup yang bahagia.
.
.
.
Didedikasikan untuk teman terbaik, kakak perempuan, yang baru saja melangsungkan pernikahan. Juga untuk kalian yang menghargai persahabatan.
.
.
.
Bukan perkara mudah memutuskan sebuah hubungan dengan orang yang telah mengisi hari-harimu selama ini. Ino menyadari hal tersebut. Tapi setiap keputusan besar selalu disertai sebuah pengorbanan. Dalam hal ini, Ino mengorbankan perasaannya. Dia menatap lelaki jangkung yang duduk di hadapannya di seberang meja, di ruang tamu rumahnya. Dia mengamati ekspresi lelaki itu yang kian keruh seiring dengan kata-kata yang sejak tadi meluncur pasti dari bibirnya.
"Aku sudah lelah, Gaara," ungkapnya untuk kesekian kali.
"Aku memintamu percaya padaku, Ino," timpal Gaara lirih, lagi.
Ino menggelengkan kepalanya sekali. "Itulah masalahnya Gaara, percaya. Kau selalu memintaku memercayaimu. Sedangkan kau, tak pernah menjaga kepercayaanku."
"Maafkan aku. Aku bersalah."
"Dan apa kau tahu sudah berapa kali kau meminta maaf padaku selama tiga tahun ini? Selalu dengan alasan yang sama. Dan bodohnya aku selalu memberimu kesempatan ... ,"
"Aku berjanji tak akan mengulanginya lagi," potong Gaara. Nada suaranya terdengar membujuk. "Maafkan aku."
Ino menunduk, memejamkan matanya selagi berbicara. "Jangan meminta maaf lagi. Tak sepenuhnya salahmu. Aku yang membuatmu jadi seperti ini, Gaara," kata Ino sedikit tercekat. "Kesempatan yang aku berikan, menerimamu berkali-kali setelah apa yang kau lakukan membuatmu menjadi lelaki yang tak memiliki perasaan."
"Aku memiliki perasaan. Aku selalu mencintaimu!" seru Gaara gusar. Ino membuka matanya. Indera pendengarannya tajam mendengar desahan napas dari ruang televisi, tempat seluruh keluarganya berada sekarang, yang ia yakin sedang mendengarkan percakapannya dengan Gaara.
"Aku bahkan tak yakin apakah kau benar-benar paham dengan cinta." Suara Ino terdengar lebih tajam dari yang ia maksudkan.
"Aku paham."
"Secara teori ya," potong Ino. "Mungkin konyol membicarakan cinta dengan cengeng di usia kita yang sekarang ini. Tapi cinta dalam benakku meliputi kesetiaan dan tujuan." Ino menghela napas pelan. "Dan kau tak memiliki keduanya."
"Jika yang kau inginkan adalah sebuah pernikahan, aku akan memberikannya padamu. Hanya tunggu aku satu tahun ini saja," kata Gaara memelas. Ino menggeleng sedih. Gaara tak mengerti apa yang salah dalam hubungan mereka, atau pria itu mengerti dan berpura-pura tak ada yang terjadi. Ino selalu menjadi pihak yang bertahan selama ini, selama tiga tahun hubungan mereka. Ino selalu menjadi pihak yang menerima dan memaafkan. Ino bukan malaikat. Oleh karena itu dia juga bisa merasa muak dan bosan.
"Gaara, ada sesuatu yang salah dalam hubungan kita." Ino memulai. Dia mengangkat tangannya, mencegah Gaara untuk berbicara. Dia baru memulai, dan tak akan berhenti di tengah-tengah seperti biasa, lalu luluh karena mendengar perkataan –permohonan Gaara yang seperti bersungguh-sungguh. Biasanya selalu seperti itu. Tapi sekali lagi, Ino sudah muak dan bosan. Walaupun sejujurnya perasaan terhadap Gaara masih sangat besar. Tiga tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk dihilangkan begitu saja.
"Hubungan ini tak benar," kata Ino lebih yakin. "Apa kau sadar? Kau menganggapku seperti rumah, tempat kau bisa pulang kapan pun kau mau. Ya ya, pada awalnya aku terharu dengan hal itu, sampai aku tahu bahwa kau memiliki banyak sekali kamar hotel tempat kau bisa singgah sebentar." Nada suara Ino menajam sekarang. "Kau tahu maksudku? Ya, kau tahu," tambahnya sinis.
"Ino ... ,"
"Aku memafkanmu untuk yang pertama, lalu yang kedua, ketiga, sampai entah sejak kapan aku berhenti menghitung. Aku selalu memafkanmu, membelamu bahkan saat orang-orang mengatakan bahwa aku bodoh dan telah buta karena cinta." Ino menarik napasnya dalam-dalam. Dia berusaha untuk tak menatap mata Gaara terlalu lama. Dia tak boleh luluh lagi.
"Tapi aku sudah lelah Gaara. Ini salah, dan aku merasa berdosa dengan hubungan tanpa ikatan jelas seperti ini." Nada suara Ino mewakili perasaannya.
"Ino, kita sepasang kekasih."
"Tepat," tegas Ino. "Itulah masalahnya, sepasang kekasih." Ino meremas jemarinya. "Sepasang kekasih adalah ikatan yang belum jelas. Kenapa aku harus merasakan sakit hati berkali-kali hanya karena sebuah ikatan yang diciptakan oleh manusia?"
"Kita akan menikah," kata Gaara gusar.
"Tidak, kita tak akan menikah." potong Ino. "Kau ragu Gaara, kau selalu seperti itu. Lagipula jika kita menikah, aku akan selalu mencurigaimu. Aku tak ingin menderita sendiri dan bertanya-tanya sepanjang waktu tentang apa yang kau lakukan di luar rumah. Aku juga ingin bahagia dan hidup tanpa rasa curiga pada suamiku sendiri."
"Aku berjanji aku akan berubah."
Ino menggeleng sedih untuk yang kesekian kali. "Sudah terlambat. Aku sudah memutuskan Gaara." Udara serasa tersangkut di tenggorokannya. "Mari kita akhiri saja hubungan yang menyakitkan ini." Ino menatap Gaara dengan keyakinan penuh, meski hatinya ikut terluka seiring perkataan yang keluar dari mulutnya. "Jika kau benar-benar mencintaiku, kau akan mengerti kalau aku akan lebih bahagia jika kau lepaskan."
.
.
Hal terburuk dari sebuah perpisahan adalah minggu kedua di hari pertama. Ino tak bisa menolak rasa sakit yang tersisa seiring dengan kesadarannya bahwa hubungannya dan Gaara sudah benar-benar kandas. Dia hampir menyesali keputusannya, sesuatu yang sebenarnya sudah ia perkirakan sebelumnya. Dia kembali mengingat-ingat kenangannya bersama Gaara selama tiga tahun belakangan. Atau kalau dia sedang tak ingin mengingat, kenangan itu menyeruak seenaknya, menambah beban derita yang harus ia tanggung.
Ino mengira bahwa itu akan bertahan dalam waktu yang lama. Bahwa dia sedang memasuki fase kehidupan terberat yang sering orang-orang ributkan.
Dia patah hati.
Tapi kenyataannya, dia mampu bertahan dalam rasa sakit hati yang mendera. Dia masih bisa melalui hari-harinya seperti biasa. Dia makan seperti biasa, tidur nyenyak seperti biasa dan berteman seperti biasa, juga melanjutkan kuliah seperti biasa. Hal yang berbeda hanyalah, tak lagi ada Gaara dalam rencana kesehariannya, rencana masa depannya.
Ino tak bisa memungkiri bahwa perpisahannya dengan Gaara merubahnya menjadi pribadi yang lebih tegas dan berhati-hati. Ino mungkin patah hati. Tapi patah hati itu tak lantas membuatnya berhenti peduli dengan hal-hal di sekitarnya. Ino hanya perlu bergabung dengan keluarganya, dengan teman-temannya, untuk dapat menyadari bahwa masih banyak orang yang peduli padanya, masih banyak yang menunggunya kembali, kembali menjadi pribadi yang ceria seperti saat ia belum bertemu Gaara.
Ino terharu dengan perhatian yang dia dapatkan, dan dia semakin bersyukur kepada sang Tuhan yang telah memberinya kekuatan hati untuk membuat keputusan, tetap bertahan dalam keputusan itu.
Hari itu waktu jam kerja, pukul empat belas lewat dua puluh lima menit. Delapan bulan setelah masa patah hatinya lewat. Lima bulan setelah dia lulus kuliah. Kantor tempatnya bekerja sedang sangat lenggang. Para bos dan sebagian besar karyawan lain sedang mengikuti seminar di luar daerah, dua jam perjalanan dari kota mereka. Ino adalah karyawan bagian administrasi di sebuah perusahan. Divisinya hanya memiliki tiga karyawan administrasi, dan satu supervisor yang juga ikut dalam seminar tahunan itu.
"Kalian tahu tidak? Choi Siwon itu pacarku, Lee Dong Hae itu selingkuhanku, dan Eun Hyuk itu adalah calon suami masa depanku." Karin–rekan kerja sekaligus satu dari dua teman terdekatnya berseru, lalu terkikik. Menertawakan sendiri kecintaannya pada para member dari salah satu idol group Korea Selatan itu.
Suara dengusan terdengar dari meja di belakangnya.
"Apa?" Karin berbalik, mengerling kesal pada orang yang tadi mendengus. "Mau protes? Kau sendiri tak setia!" tuduhnya, seraya memberikan tatapan menantang.
Ino memutar bola matanya. Mereka mulai lagi, pikirnya gerah.
"Aku setia kok!" protes Sakura –si Teman dekatnya satu lagi–yang merasa tersindir. "Aku cinta Cho Kyuhyun, Kim Woo Bin, Lee Jong Suk, Tom Felton, Ian Somerhalder. Err ...," Sakura berpikir sejenak. "Park Bo Gum? Chris Evans. Lihat! Aku setia kan?" Sakura menutup pembelaan dirinya dengan raut wajah yang tak berubah, serius. Seolah perkataan yang baru saja keluar dari mulutnya merupakan isi hatinya yang sebenarnya.
"Apanya yang setia!" protes Ino.
Sakura mengangkat bahu. "Aku setia dengan pria tampan," katanya, lalu tertawa.
"Yeee." Ino dan Karin sama-sama bersorak.
Sakura tertawa. "Memangnya salah? Yang penting aku tak membayangkan mereka jadi suamiku! Tak seperti Karin."
"Kau dan Karin itu tak ada bedanya," kata Ino sebal pada Sakura. Meja yang dia tempati berjarak satu meter dari meja-meja yang ditempati Karin dan Sakura, dan dihalangi oleh meja lainnya. Sehingga ia tak khawatir dicubit oleh salah satu dari mereka seperti biasa. Tapi hal itu pun tak membuatnya terhindar dari godaan dua gadis yang pintar bicara itu.
"Jadi Yesung boleh aku ambil dong." Karin memulai. Ino melotot.
Sakura terkekeh. "Kau benar-benar orang yang setia, Ino," katanya terus terang, lalu mengerutkan dahi. "Pembicaraan kita jadi semakin memalukan. Cari yang nyata dong!" katanya kemudian.
"Kau sendiri tak punya pacar," ejek Karin.
Sakura mengangkat bahu, lagi. "Aku sudah tak berminat dengan yang begituan, membuang-buang waktu. Apalagi kalau sudah pacaran lama terus ujung-ujungnya putus. Duh, korban perasaan, nangis, mewek, semakin banyak waktu yang terbuang sia-sia dengan alasan patah hati." Ino terdiam mendengar kata-kata Sakura yang nyaris terlalu santai itu. Gadis itu memang terbiasa mengeluarkan pendapatnya secara terang-terangan, sama halnya dengan Karin yang sedang memasang raut wajah herannya sekarang, tapi lalu mengangguk juga.
"Ya, cari yang ingin saling memiliki dengan kita aja. Terus langsung menikah," kata Karin semangat.
"Dan hidup bahagia selama-lamanya," sambung Sakura lalu terbahak, diikuti oleh Karin. Ino menggeleng, ikut tertawa juga. Mendapatkan yang ingin saling memiliki, lalu menikah dan hidup bahagia selama-lamanya terdengar bagus juga, pikirnya geli.
Sakura dan Karin tak tahu bahwa yang mereka katakan hari itu memberi perubahan besar dalam benak Ino. Mereka tak tahu, dan Ino tak berniat memberitahu. Sakura dan Karin selalu suka bekerjasama menggodanya, dan mereka tak akan berhenti dalam waktu dekat.
Ya, tidak memberitahu adalah keputusan yang paling tepat.
.
.
Lelaki itu adalah temannya sewaktu SMP. Terakhir kali mereka bertemu adalah dua tahun lalu saat reuni di bulan September. Ino tak pernah terlalu memikirkannya, hanya mengingatnya sebagai salah satu teman lama seperti yang lainnya. Reuni selalu seperti itu, mempertemukan teman lama dan membicarakan cerita lama pula. Membicarakan masa sekarang hanyalah sebagai basa-basi belaka, hanya sebagai penambah manis cerita.
Kenangan sewaktu sekolah tak akan pernah kembali. Keakraban yang pernah terjalin adalah sesuatu yang sudah berlalu. Walau kita berusaha untuk terlihat sama seperti dulu, nyatanya semua telah berubah sama sekali.
Kehidupan yang terus berjalan dapat merubah sesuatu yang dulu terasa penting menjadi tak terlalu penting. Atau sebaliknya, menjadikan sesuatu yang tak terlalu penting berubah menjadi sangat penting. Ino bukanlah pengecualian dalam hukum alam tersebut.
Dia tak tahu kapan mulanya, ketika Sai mulai sering mengiriminya pesan singkat. Pada awalnya hanyalah pertanyaan basa-basi yang dia jawab sekenanya. Namun lama-kelamaan berkembang menjadi obrolan sehari-hari yang membuatnya terbiasa. Dia terbiasa menerima dan membalas pesan singkat dari teman semasa sekolahnya itu.
Begitulah yang terjadi pada Sai dan Ino.
"Bagaimana ini? Sai memintaku menemaninya ke pesta pernikahan teman lama kami hari minggu besok," kata Ino suatu kali. Karin dan Sakura saling berpandangan, lalu terkikik kompak. Reaksi yang tak asing lagi bagi Ino.
Dia kadang berpikir apa yang membuatnya betah berteman dengan dua gadis yang lebih suka menertawainya dibanding memberikannya solusi. Tapi jawaban rutin dalam benaknya membuat dia selalu menyerah. Karin dan Sakura memberinya kenyamanan yang tak didapatnya dari teman-teman lain seumur hidupnya. Mereka memang terlihat santai memandang dunia, juga menjalani hidup. Siapa yang menyangka bahwa itulah yang paling dibutuhkan Ino dari seorang teman.
"Ya, tinggal pergi saja," sahut Sakura. "Kau 'kan tak bisa mengendarai motor apalagi mobil. Memang mau naik taksi sendiri? Aku sih ogah nganter," tambahnya. Padahal Ino yakin Sakura akan mau mengantarnya meski dengan sedikit paksaan. Hari minggu telah dinobatkan Sakura sebagai hari bermalas-malasan sedunia.
"Kalau dengan aku sih namanya nemenin. Naik taksi juga ujung-ujungnya," timpal Karin, lalu terkikik lagi. "Aku sih senang-senang saja diajak, hitung-hitung makan gratis." Dia tertawa.
"Kalian benar-benar tak memberi solusi ya." Ino mendengus.
"Karin memang begitu sih, mengatasi masalah tanpa solusi," kata Sakura sambil tersenyum jahil.
"Kalian itu lebih dari satu orang vampire! Artinya kau juga termasuk," balas Karin.
Sakura menyeringai, menampakkan sederet giginya. Matanya menyipit mengikuti lakon salah satu karakter vampire terkenal abad ini. Karin pura-pura bergidik ngeri, tidak lama, karena setelah itu mereka kembali tertawa. Ino memutar bola matanya.
"Jadi keputusannya adalah ... ," seru Karin kemudian. "Semoga hari minggunya menyenangkan Ino!" suara Karin dan Sakura terdengar kompak, seperti biasanya. Ino menggeleng, entah kenapa dia tak merasa kaget lagi.
.
.
Akhir November datang terlalu cepat, membuat Ino semakin waspada setiap waktu yang dia habiskan di kantor. November adalah bulan lahirnya. Itu artinya akan ada sesuatu yang terjadi dua hari lagi, tepat tanggal dua puluh delapan.
Ino masih ingat Karin yang disiram dengan air bercampur terasi Februari lalu, juga masih ingat tubuh Sakura yang berubah menjadi pajangan adonan kue bulan Juni kemudian. Dia masih ingat dengan jelas semua orang yang dikerjai di hari ulang tahun mereka di kantor ini. Semuanya meriah, apalagi diakhiri dengan kejutan kue ulang tahun yang sudah disiapkan sebelumnya.
Saat itu menyenangkan, mengerjai Karin dan Sakura yang biasanya selalu mengerjai orang lain. Tapi sekarang kesenangan itu seperti menjadi petaka bagi dirinya sendiri. Sakura dan Ino mulai sering terlihat berbisik-bisik, seperti merencanakan sesuatu. Ino tak mau menyadarinya. Tapi dia menyadari begitu saja bahwa teman-temannya tersebut sedang merencanakan sesuatu saat ulang tahunnya nanti. Ino hanya bisa pasrah.
Hubungannya dan Sai masih didominasi oleh pesan singkat. Mereka hanya bertemu sesekali saat Sai mengunjungi rumahnya, juga ketika lelaki itu datang sebentar ke kantornya untuk berkenalan dengan Karin dan Sakura. Semua pertemuan mereka selalu di tempat ramai dan penuh godaan teman-teman juga keluarganya. Tak ada suasana romantis apapun. Tapi entah kenapa Ino merasa hal tesebut lebih terasa benar.
Orangtuanya menyukai Sai yang sederhana, itulah yang Ino tangkap dari tatapan ayah dan ibunya. Sai mungkin tak seperti Gaara yang tinggi dan bergaya, juga romantis dan selalu berbicara lembut. Tapi Sai memiliki pembawaan alami yang menenangkan dan dapat dipercaya.
Dan keputusan Sai untuk mengenalkan dirinya dengan orang tua lelaki itu membuat Ino semakin kagum. Sai memiliki semua karakter yang dia butuhkan dari seorang pria.
Tapi masalahnya, Sai belum mengatakan apa-apa terkait tujuan dari hubungan mereka. Hal itu cukup membuat Ino gelisah akhir-akhir ini.
Hari yang Ino takuti akhirnya tiba juga. Sepanjang hari dia mendapatkan beragam ucapan selamat ulang tahun yang bisa dibilang biasa-biasa saja. Karin dan Sakura menjadi orang pertama yang mengirimkan pesan ucapan tengah malam sebelumnya. Sai juga sama.
Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam ketika dia sedang serius menyelesaikan beberapa berkas pekerjaan. Mereka lembur hari ini, yang membuatnya berpikir itulah alasan kenapa tak ada acara siram-siraman atau apapun yang sejenisnya.
Tapi Karin dan Sakura masih membuatnya curiga.
Mereka seringkali kedapatan sedang saling lirik dan tersenyum-senyum sendiri. Ino baru saja akan bertanya ketika Sai datang entah darimana. Lelaki itu terlihat lebih rapi daripada biasanya, juga lebih gugup. Mereka berakhir berdiri berdua di luar pagar pendek kantor, meski masih dalam jarak pandang semua orang yang berada di dalam bangunan bercat hijau itu.
"Aku kesini hanya mau mengucapkan selamat ulang tahun secara langsung." Sai berdehem. "Dan memberikan ini padamu." Dia menyerahkan sebuah bungkusan cantik berlabel sebuah toko pakaian tradisional. Sai mundur satu langkah. Sekarang mereka berdiri nyaris satu meter jaraknya.
"Kimono," kata Sai setelah terdiam beberapa detik. "Aku harap kau menyukainya." Dia memaksakan senyum. Matanya menatap bungkusan dalam genggaman Ino.
"Aku ... terima kasih." Ino tak bisa menahan rasa harunya. Tak pernah ada yang menghadiahinya sebuah kimono di ulang tahunnya.
Sai memang istimewa.
"Ino ... ,"
"Ya?" Sai menunduk dan memejamkan mata untuk beberapa detik lagi yang terasa kian lama. Ino menunggu dengan jantung yang berdebar keras.
Kepala Sai terangkat, dan iris matanya menampilkan keyakinan teguh yang mengagumkan. Sai bukan lelaki yang dapat membuat orang berbalik dua kali hanya untuk melihatnya. Sai memang kulit putih seperti aktor Korea yang selama ini menjadi idaman Ino, tapi Sai cenderung kurus, dan tak terlalu tinggi. Sai selalu menjadi lelaki biasa. Lelaki biasa yang mengagumkan.
Apalagi setelah kalimat yang diucapkannya kemudian.
"Ino ... menikahlah denganku." Sebuah kotak kayu berornamen sederhana sudah berada di satu telapak tangan Sai, menunjukkan sebuah cincin sederhana yang bagi Ino teramat cantik dari perhiasan apapun di dunia ini.
Keheningan menguasai mereka.
Ino tahu itulah yang ingin Sai katakan sejak tadi. Dia tahu, namun dia tetap terperangah setelah kalimat itu benar-benar keluar dari mulut Sai. Dia menatap Sai yang berdiri gugup di hadapannya, sedang menunggu jawabannya. Ino mengerutkan dahinya–
"Terima kasih."
–tapi dia tak bisa memberikan jawaban yang lebih dari itu, selain anggukan yang menyusul kemudian. Sai di hadapannya tersenyum lega. Ada kilat bahagia di matanya.
"Izinkan aku," ujar Sai seraya mendekat dan melingkarkan cincin itu di jari manis Ino.
Sorak-sorai tetiba saja terdengar. Semua orang yang berada di dalam gedung keluar dan bertepuk tangan di sekeliling mereka. Beberapa menggoda, beberapa sibuk berusaha menyalakan kembang api. Karin dan Sakura menjadi orang terakhir yang keluar, menyanyikan lagu ulang tahun seraya membawa cake berukuran sedang berbentuk hati yang didominasi warna merah muda, lavender, dan kuning muda. Saat itulah Ino sadar, semua orang telah merencanakannya sejak awal, termasuk Sai.
Ino tertawa, dan menangis pada saat yang bersamaan. Di dalam hati ia berterima kasih pada Tuhan atas semua hal yang telah dia dapat saat ini. Rasa sakit yang pernah dia alami seolah terkikis dalam satu kalimat sederhana dari Sai. Kalimat sederhana yang bermakna begitu dalam. Acara yang tadinya penuh haru berubah menjadi colek-colekan krim yang dimulai dari Karin dan Sakura, lalu berakhir dengan tubuh Ino yang menjadi pajangan kue lainnya.
Tentu saja, mereka tak akan pernah melewatkan kesempatan seperti ini, pikir Ino seraya berlari mengejar Karin dan Sakura yang berlari menghindar dari semua orang.
.
.
.
The And not End. Karena terlalu cepat untuk menyebut ini sebagai akhir sebuah cerita.
*Hadiah asli si Cowok sebenarnya kebaya.
Seperti yang aku sebutkan di awal. Fanfict ini aku persembahkan untuk teman terbaik, kakak perempuan. Salah satu orang terpenting dalam hidupku yang baru saja melangsungkan pernikahan. Aku bersyukur atas persahabatan yang begitu indah, walau kini terbentang jarak yang jauh di antara kami.
Pilihannya adalah menyelesaikan fic ini atau menangis. Aku ingin memilih yang pertama. Tapi pada akhirnya aku menangis juga, karena tak bisa berada di tengah-tengah kebahagiaan itu. Doakan persahabatan kami abadi. Dan aku doakan semoga kalian semua mendapatkan persahabatan yang indah seperti kami. Amin.
ps. ultah semua orang di ff ini aku ubah ya, soalnya ini crosspost dari akun fb pribadi. Kalau diubah lagi, takut timingnya enggak pas ... semoga enggak mengganggu.
