.
.
DISCLAIMER
All rights reserved. I don't take any commercial profit.
Gintama belongs to Sorachi Hideaki.
WARNING
[ Genre: Friendship, Family ]
Kumpulan drabble yang nyeritain apapun yang bisa diceritain.
Genre nggak nentu, tapi fokusnya pada friendship dan family. Sama lebih condong ke happy things, karena saya tidak ingin melihat mereka merana lagi /halah/
DLDR. OOC. Typo (s). Kesamaan ide harap maklum.
konstelasi
2016 © Yonaka Alice
.
.
.
.
.
{ 1. tunas kebahagiaan }
.
"Aku pulang!" Kagura masuk dengan tergesa, diikuti Sadaharu di belakangnya.
"Okaeri, Kagura-chan." Shinpachi menoleh, mengangkut sebuah keranjang penuh asak dengan jemuran. "Jangan lupa cuci kakimu sebelum masuk!"
"Lihat, lihat!" Tak mengindahkan Shinpachi seperti biasanya, Kagura mendekati Gintoki yang terbaring di atas sofa dengan majalah komik terbuka menutupi muka. "Aku menemukan sesuatu yang menarik!"
Gintoki—sudah tahu kalau jadinya bakal merepotkan—berpura-pura tidur dengan mendengkur. Sayang sekali Kagura sudah mengetahui niat di balik lagak pria itu, seperti yang sebelum-sebelumnya. Ia menyingkap komik yang menutupi wajah Gintoki dengan kasar dan berteriak di dekat telinganya.
"Heeei! Aku menemukan sesuatu yang menariiiik!"
"Berisik, bocah!" Gintoki terpaksa bangkit dengan rasa mangkel. "Apa lagi yang kautemukan?! Kumbang pemakan kotoran? Bola seseorang? Shinpachi baru?!"
"Apa yang kaumaksud dengan Shinpachi baru?!" damprat Shinpachi yang kini tengah berkutat dengan pembersih debu.
Kagura meraih sesuatu dari kantung celananya. Gintoki dan Shinpachi melongok, menyoroti gerak-gerik Kagura dan apa yang gadis cilik itu pungut kali ini.
Nyatanya, alih-alih benda aneh nan menjijikan, benda yang Kagura perlihatkan jauh lebih simpel dari asumsi mereka. Sang empunya netra azure itu memamerkan setangkai daun semanggi di depan wajah Gintoki dan Shinpachi.
"Apa ini, hanya rumput biasa," gerutu Gintoki.
Kagura memprotes, "Bukan rumput! Daun ini, daun ajaib yang katanya bisa membuat pemiliknya memperoleh kemujuran!"
"Begitu." Shinpachi mengangguk paham, membuat Gintoki melempar tatapan bingung padanya. "Coba lihat mahkotanya, Gin-san. Ada empat. Katanya, kalau menemukan semanggi dengan kelopak empat, berarti kita beruntung."
"Ooh, kau benar, Patsuan." Gintoki menjamah ringan salah satu mahkota daun itu.
Kagura, di sisi lain, mengulas senyum pongah di bibirnya. "Ha! Benar kan, aku menemukan sesuatu yang bagus? Sebaiknya kita menyimpan ini, supaya bisa bahagia terus!"
Gintoki beradu pandang dengan Shinpachi, laksana saling bertukar pikiran. Satu sekon kemudian, ujung-ujung bibir mereka tertarik hingga membentuk cengiran lebar.
"Kagura-chan, kita tidak butuh ini."
Senyum di wajah Kagura langsung bablas, berganti dengan ekspresi heran. "Eh?"
Menepuk puncak kepala Kagura, Gintoki tak berhenti tersenyum. Sadaharu menggonggong ceria—seolah mengerti apa yang dirasakan oleh majikan-majikannya itu.
"Siapa yang butuh ini…"
"…kalau memang sumber kebahagiaan kita ada di sini?"
Mata Kagura melebar. Dilihatnya kedua anggota Yorozuya yang sama-sama nyengir lebar di hadapannya.
Kagura menahan nafas, kemudian menyajikan cengiran yang sama dengan Gintoki dan Shinpachi. Gadis itu lekas mengangguk.
"Benar!"
Semanggi berkelopak empat itu—pun yang kata orang dapat membawa kebahagiaan—terhempas dari genggaman Kagura kala sang pemilik membawa dirinya untuk menerjang, merangkul tiga sumber kebahagiaannya.
Sebenarnya, tunas kebahagiaan sudah mulai bersemi di sana sejak pertama kalinya mereka bertemu.
.
{ 2. pecundang }
.
Tempo hari, Takasugi pernah bertutur di depan Gintoki. Katanya, kau adalah seorang pecundang, Gintoki-kun.
Kau mengelak dari janjimu padaku, memilih untuk menyelamatkan rekan-rekanmu ketimbang Sensei. Kau berpihak pada negeri ini, bukan?
Negeri busuk ini, negeri samurai yang seakan menginjak-injak harga diri samurai itu sendiri. Negeri yang sudah mengambil semuanya dari kita. Yang sudah mengambil Sensei dari kita.
Saat itu Gintoki tidak menyangkal, pun tidak membenarkan. Pria berpucuk argentum itu hanya merespons dengan singkat.
"Aku tidak pernah bertempur untuk negeri ini," sahutnya. "Dan aku tidak pernah berpihak pada siapapun."
"Benar." Gintoki menghela nafas. Kali ini ia membenarkan ucapan Takasugi di masa lampau—meski tidak sepenuhnya.
Gintoki tersenyum kecil, menatap Kagura dan Shinpachi yang berselisih di tengah jalan. Sadaharu menggigit kepala Shinpachi dan Kagura menertawakan pemuda itu keras-keras.
"Makanya aku bilang kau benar, Takasugi-kun," timpalnya seraya tertawa kecil, mendengarkan kegemparan yang ditimbulkan dua rekannya itu. "Aku memang seorang pecundang. Pecundang yang ada bersama-sama dengan para orang bodoh ini."
.
{ 3. dua orang bodoh }
.
Katsura paham betul kalau dirinya adalah orang yang bodoh.
Ikumatsu juga pernah bilang begitu.
Kala itu, untuk kesekian kalinya Katsura tengah menikmati semangkuk soba di toko ramen Ikumatsu. Wanita itu mencela Katsura di tengah kegiatan mencuci piring. Katanya, Katsura itu bodoh.
Aku sudah tahu identitasmu, apa kau tidak khawatir bila sewaktu-waktu aku menyerahkanmu ke Shinsengumi? Lantas kenapa kau masih datang ke sini?
Katsura melontarkan gelak tawa, seakan-akan pertanyaan Ikumatsu adalah pertanyaan paling konyol di muka bumi. Jadi, pria itu juga membalas Ikumatsu dengan mengejeknya bodoh juga.
Jangan bercanda, Ikumatsu-dono. Dari awalnya kita bertemu pun—bahkan aku berbohong padamu—kau sudah mengetahui identitasku. Tapi apa yang kaulakukan waktu itu? Tak sekalipun kau menyerahkanku ke polisi. Aku tahu itu, Ikumatsu -dono. Aku tahu kau percaya padaku.
Katsura tersenyum. Ikumatsu yang kini tengah membilas peralatan makan di wastafel ikut tersenyum kecil.
Karenanya, biarkan aku percaya padamu juga.
Ikumatsu meloloskan tawa lepas, membuat Katsura ikut terbahak dan tertawa bersama wanita itu.
Kau memang bodoh, Katsura-san—karena memesan semangkuk soba di tempat makan ramen, wanita itu berkata seraya meletakkan soba pesanan Katsura di konter.
Karena itu…, Ikumatsu mengusap matanya yang berair. …dari sekarang dan untuk seterusnya, aku harap kau bisa menikmati soba yang kaupesan pada toko ramen bodoh ini.
.
{ 4. binar }
.
Hinowa mengajarkan Seita untuk selalu menatap lawan bicaranya tepat di mata.
Lambat laun, anak itu jadi gemar menyelami netra seseorang. Mereka menyimpan kerlipan jelita yang berbinar cerah. Ibarat kelereng-kelereng yang sering Seita gelindingkan di tanah—namun pendar di mata seseorang jauh lebih rancak dari benda itu.
Belakangan ini, Seita mendapati dua permata lila milik Tsukuyo memancarkan kilau yang lebih cerah dari biasanya setiap kali berbincang dengan Gintoki—atau mereka bilang, sang penyelamat Yoshiwara.
Seita ingat Hinowa juga pernah bilang, katanya kalau mata seseorang lebih gemerlap dari biasanya, artinya orang itu sedang jatuh cinta.
"Onee-san, apa Onee-san sedang jatuh cinta?"
Wajah Tsukuyo sontak memerah, "T-tidak!"
.
{ 5. ayo pulang }
.
Waktu masih berumur lima tahun, Kagura kerap mengikuti kakaknya ke mana-mana.
Awalnya Kamui membiarkan adiknya berbuat sesuka hati—namun semakin ia beranjak dewasa, semakin jengkel pula ia setiap kali Kagura mengikutinya.
"Mou, jangan ikuti aku lagi! Kau menyebalkan!" Suatu waktu, Kamui menampik tangan mungil Kagura yang mencoba meraih tangannya.
Kagura menatap Kamui dengan matanya yang bulat. Tak mengatakan apapun. Jengkel, Kamui memilih untuk meninggalkan adiknya.
Lama kelamaan, netra sian Kagura membersitkan kristal, yang akhirnya gagal ia pertahankan dan pecah begitu saja. Gadis cilik dengan warna rambut menjiplak sirip salmon itu terisak, dengan langkah terseok ia berusaha mengikuti sang kakak.
Beberapa kali Kamui tak sampai hati—menoleh ke belakang dan mendapati Kagura masih mengikutinya sambil mengucek mata, tapi kemudian anak itu kembali berpaling dan meninggalkan adiknya di belakang.
Tangis Kagura makin kencang melihat Kamui yang bahkan tidak mau repot-repot menunggunya. Anak itu jatuh terduduk di tengah jalan, masih menangis.
"…"
Tak lama kemudian, Kagura merasakan presensi seseorang di depannya. Ia mengangkat wajahnya dan mendapati tangan Kamui terulur padanya.
"…ayo."
Melihat Kagura yang malah membeku, Kamui berdecak dan menegaskan sekali lagi, "Duh, maksudnya pulang, pulang! Masa nggak ngerti, sih?"
Kagura berhenti menangis tepat setelah kata-kata itu meluncur keluar dari mulut Kamui. Ia mengusap air matanya dengan lengan baju dan meraih tangan kakaknya. Memperlihatkan cengiran lebar yang bahkan membuat Kamui ikut tersenyum.
"Un!" —bergandengan tangan, dua insan itu berjalan di bawah naungan payung.
.
{ 6. take care } au. movie 2.
.
Kagura mengintip dari celah di antara pintu kayu. Matanya mengerling ke kanan dan ke kiri, setelah dirasa aman barulah gadis itu mengalihkan atensi ke sosok di belakangnya.
"Sepertinya mereka sudah pergi."
Sougo—yang bersandar pada dinding gubuk dengan tubuh bersimbah darah—meringis. Sial, para ronin itu berhasil menghadiahkan segaris luka sayat di perutnya.
"Oh. Sudah pergi, ya. …kalau begitu, kurasa aku juga harus mencari tempat persembunyian lain. Trims, China."
Sougo bangkit dengan tertatih, berusaha menahan lukanya dan angkat kaki. Namun sebelum ia sempat beranjak, sebuah tangan lekas menahannya. Pria berkuncir kuda itu sontak menoleh—mendapati Kagura yang tengah menahannya. Raut gadis berusia sembilan belas tahun itu tidak terlihat karena tertutupi rambut.
"…duduklah."
"Hah?" Sougo mengernyit. Apa lagi yang Kagura inginkan darinya?
"Aku bilang, duduk dulu." Gadis itu bersikeras. Sougo menghela nafas, sadar kalau melawan Kagura sama saja dengan membuang-buang tenaga. Padahal seusai ini samurai hitokiri itu masih harus membabat para cecunguk yang mengejar di belakangnya.
Kagura mengeluarkan sebuah bajan bambu berisi air dan sebuah serbet dari balik punggungnya—lengkap dengan obat merah dan perban. Sougo bergeming, sepertinya ia sudah bisa menerka niat gadis itu.
"China, lihat, aku tidak punya waktu untuk ini. Hanya luka kecil, kaupikir sudah berapa banyak aku mengalami luka yang lebih parah dari ini?"
"Diam kau, Sadis brengsek." Kagura mencelupkan serbet ke dalam air. "…aku tidak yakin kau tidak kesakitan jika bertarung dalam kondisi seperti itu. Ne, Sadaharu?"
Sadaharu menyalak, menandakan persetujuan pada kata-kata sang majikan. Kagura tersenyum simpul seraya membelai kepala piaraan sekaligus sahabatnya itu. Sougo mendengus, akhirnya duduk di tempatnya semula.
"Jadi, apa yang harus aku lakukan, Nona Perawat?" godanya.
Tak mengindahkan godaan Sougo, Kagura membawa tangannya melepas atasan hakama pria itu. Gadis itu memerah pekat begitu melihat bagian atas tubuh Sougo yang terkespos—meski sejujurnya, ia sudah berkali-kali melihat pemandangan ini.
"Kenapa melihatku seperti itu? Kau ingin dipeluk? Duh. Mohon bersabar sampai nanti malam, kita akan bermain sepuas—"
"APANYA!" Sebuah tamparan mendarat di pipi Sougo. Sang pelaku, Kagura, mengalihkan wajahnya yang padam. Menolak untuk beradu pandang dengan Sougo.
"Oi, oi, beginikah caramu memperlakukan orang yang terluka," timpal Sougo datar. Ia memandang Kagura yang kini dengan hati-hati menyentuh bahunya, membasahi luka sayat yang ternyata lumayan lebar.
Kagura melakukan pekerjaannya dengan cepat. Gadis itu membersihkan darah yang menempel dan membubuhkan obat merah dengan cekatan. Meski demikian, ia agak bingung bagaimana cara membalut tubuh Sougo dengan perban.
"China, jangan bilang kau tidak bisa melilitkan perban."
Kagura tertegun mendengar Sougo yang seolah sanggup membaca pikirannya. Tahu-tahu saja pria itu sudah menangkupkan kedua tangannya di pipi Kagura, memaksa mereka beradu pandang. "Lingkarkan tanganmu hingga ke balik punggungku."
Pipi Kagura memanas. Do-S sialan itu tak berhenti menatapnya, jadi mau tak mau ia melakukan apa yang disuruh Sougo. Mungkin terambat bagi Kagura untuk menyadarinya, namun posisi mereka saat ini luar biasa ambigu—Sougo yang tak memakai uwagi, Kagura yang seakan memeluk Sougo, dan wajah mereka yang kira-kira hanya berjarak satu senti.
"Oi, cepatlah," bisik Sougo tepat di telinga gadis itu. Puncak hidung mereka bersentuhan. Entah sengaja atau tidak, Kagura tak tahu.
"L-lepaskan tanganmu, Sadis bodoh!" —ah, ia kelepasan menggunakan aksen lamanya lagi. "Susah tahu, dengan posisi begini! Kenapa kau tidak berdiri saja?"
"Eeeh, tapi kalau begitu kan, aku jadi tidak bisa memelukmu."
"Siapa juga yang mau kaupeluk, bodoh!" Kagura memekik kala Sougo mengecup kelopak matanya singkat. Pun, tangan Sougo sudah beralih dari pipi Kagura, merayap turun hingga ke pinggang gadis itu.
"Ck, kau berisik sekali, China. Apa yang salah dengan memeluk kekasihku sendiri?"
Paras Kagura makin menggebu tepat pada kata "kekasih" yang diucapkan Sougo tanpa malu-malu. Nyatanya sampai sekarang pun ia masih belum terbiasa dengan status mereka.
Gadis berambut sepunggung itu menggeliat, namun tak menggunakan kekuatan yatonya untuk menampik Sougo. Alih-alih melepaskan diri, ia malah menyenderkan kepalanya di bahu kokoh pria berambut kersik itu. Sebisa mungkin berusaha menghindari area lukanya.
Sougo tersenyum dan mengambil sejumput helai jingga Kagura—menghirup aroma citrus milik gadis itu dalam-dalam. "Terima kasih karena sudah merawat lukaku, Bakagura-chan."
.
{ 7. hari ini untuk esok }
.
"Kondo-san, coba kaupikir, kenapa kau mau repot-repot memberi segerombolan orang dungu seperti kami masa depan?"
Satu waktu kala mereka berada di kancah pertempuran, Hijikata melontarkan pertanyaan seraya menghunus pedangnya.
"Jarang sekali kau berbicara seperti itu, Toshi. Ada angin apa?" Kondo mengernyih, agak tersengal. Pria itu mengoyak musuh dengan sekali ayunan pedang.
Hijikata ikut menyeringai, pria dengan rambut jelaga itu menyempatkan diri untuk menyelipkan sebatang rokok di celah bibir dan menyalakannya. "Tidak, aku hanya teringat kembali soal kata-katamu waktu mengajak kami mendirikan Shinsengumi."
"Ah, yang itu." Kondo tertawa lepas. "Aku tidak memberi kalian masa depan. Aku hanya membantu kalian menggapai masa depan."
"Tapi tetap saja anda menyediakan jalan untuk kami."
"Benar." Kondo mengusap keringatnya, menyunggingkan senyum tipis. "Orang yang paling berjasa dalam kehidupan kalian tak lain tak bukan adalah diri kalian sendiri. Aku bisa melihat harapan tentang hari esok di dalam mata setiap anggota. Itu saja, sudah merupakan bukti yang lebih dari cukup. Dan tidak, Toshi, kalian bukanlah segerombolan orang dungu. Kalian adalah Shinsengumi, benar."
Hijikata tersenyum simpul, "kau sama sekali tidak berubah, Kondo-san. Masih sama seperti beberapa tahun yang lalu. Baiklah, kalau begitu, bukankah kami harus mati demi Shinsengumi juga?"
"Tidak," elak Kondo. "Aku sudah berbaik hati memberi jalan pada kalian. Karenanya, sebelum masa depan itu tercapai…"
Kondo dan Hijikata merangsek bersamaan untuk menikam pihak musuh yang berada di belakang mereka.
"…kau tidak boleh mati dulu!"
.
{ 8. rumah }
.
"Kenapa kau tetap kembali ke sini, walau sudah tahu resikonya tinggi?"
Kondo menunduk. "Pulanglah, Otae-san. Pulanglah ke rumah. Aku tidak ingin membahayakan dirimu lebih dari ini."
"Apa yang kaubicarakan?" potong Otae. "Rumahku adalah tempat di mana pun kalian berada. Tempat di mana kau berada."
.
{ 9. tolong awasi kami, ya }
.
Sougo menatap Hijikata dengan datar, "Hijikata-san, apa yang kaulakukan di sini?"
Pemuda itu berdiri di hadapan makam kakaknya, membaringkan buket bunga aster dan sekantung keripik balado super pedas. Ia baru saja bersiap membersihkan batu nisan dan berdoa ketika Hijikata datang.
"Err, bukan, itu…," Hijikata salah tingkah, menggaruk pelipis dan celingukan. Dari semua tanggal, mengapa Sougo harus memilih hari ini—hari yang sama dengannya—untuk berziarah ke makam Mitsuba?
Sougo menghela nafas. "Lakukan sesuka hatimu, asal jangan menggangguku berbicara dengan Aneue." Matanya melirik barang yang ditenteng Hijikata—sebuket bunga lily, dan sekantung kue beras balado juga. Ini menggelikan. Mengapa bahkan merk kudapan yang mereka pilih juga sama?
Hijikata berdeham untuk mencairkan suasana, meski nampaknya usaha itu sia-sia saja. Ia ikut berlutut di sisi Sougo, meletakkan bawaannya di depan nisan. Kini ada dua buket bunga dan dua kantung keripik pedas di depan makam Mitsuba. Ah, gadis itu pasti senang.
Sougo mengerling jengkel. Mau apa pria sialan itu kemari? Apakah ia belum puas menyakiti Mitsuba semasa ia masih hidup sehingga memutuskan untuk datang kemari?
"Sougo." Hijikata memecah keheningan. Sougo menoleh malas, namun ternyata Hijikata tidak berbicara padanya—pemuda itu masih memejamkan mata dan khidmat berdoa.
Ia berbicara pada Mitsuba.
"Sougo selalu berada di sini dengan kami." Permata laterit Sougo melebar mendengar Hijikata bermonolog. "Dan bocah itu baik-baik saja. Jadinya, kau tidak perlu khawatir, oke."
Hijikata mengangkat wajahnya. Pemandangan pertama yang ia dapat adalah Sougo yang menunduk hingga rambutnya menutupi wajah—dengan senyuman geli terukir di wajahnya.
"Brengsek! Kenapa kau malah tertawa?!"
Tak menghiraukan Hijikata, kini giliran Sougo yang menutup matanya dan berbicara keluar.
"Hijikata-san juga tidak bermain-main dengan wanita lain, kok. Jadi Aneue tidak perlu khawatir. Karena ia memang cuma modal tampang. Terlepas dari semua itu, sebenarnya ia adalah seorang pria yang menyedihkan." Hijikata mati-matian menahan diri untuk tidak menendang Sougo di depan Mitsuba.
"Tapi selain itu, ia juga sudah berjanji akan selalu berada di sini—dengan kami. Kalau-kalau salah satu dari kami mengingkari janji, Aneue yang paling tahu. Jadi—"
Baik Hijikata maupun Sougo tersenyum.
"—dari atas sana, tolong terus awasi kami, ya."
.
{ 10. yang selalu ada di sisimu }
.
"Jadi, lagi-lagi kita berakhir di sini, ya." Ayame membuka percakapan, menyingkap sedikit topi jerami yang menutupi matanya.
"Apa boleh buat," balas Zenzou seraya melahap dangonya. "Ini tidak seperti kita memiliki tempat nongkrong yang lebih baik."
"Oh, kau berlebihan," timpal Ayame, mengambil satu tusuk dango dari piringnya dan mulai menggigit adonan kue itu.
"Jadi bagaimana hubunganmu dengan samurai jump itu?"
"Gin-san?" Mata Ayame berbinar. "Baik tentu saja. Dan mesra. Bahkan kami akan menikah bulan dep—"
"Teruslah bermimpi, bocah." Zenzou tertawa dan menjitak kepala Ayame sekilas, membuat yang bersangkutan menggembungkan pipi.
"Aku tidak bermimpi."
"Ya, ya. Jadi ada angin apa kau memanggilku kemari? Ingin lempar-lemparan kunai?"
"Ck, bukan itu." Ayame berdecak. Gadis ninja itu mengeluarkan sebuah bujur sangkar kecil dari kantungnya dan menyodorkannya pada Zenzou.
"…apa ini?"
"Aku dengar wasirmu kambuh lagi, benar?"
"Duh, tapi yang biasa kupakai adalah yang biasa dimasukkan, bukan dioleskan. Bukankah kau juga tahu itu."
"Mana kutahu! Seorang wanita tidak sepatutnya membicarakan hal-hal vulgar semacam itu!" Ayame tersenyum bangga. "Setidaknya kau harus berterima kasih karena aku sudah berbaik hati membawakanmu obat."
Zenzou tersenyum dan menepuk ringan puncak surai lavender gadis itu.
"Ya, kurasa kau benar. Terima kasih, Sarutobi."
.
.
.
.
.
.
.
.
TBC? I guess?
A/N: wks OkiKagunya panjang sendiri, menandakan betapa sampahnya saya /melipir/ saya ga edit2 lagi jadi maklum aja kalau ada typo atau apa :"" fik ini akan diupdet jika sempat.
