Author Note: ho~ ho~ ho~ Merry Christmas guys! -slap! Masih beberapa hari lagi tahu!- lol! Karena ga sempat publish pada tanggal itu, ya aku publish sekarang aja! So, enjoy sequel dari Black Christmas, silahkan baca Black Christmas dulu jika ada yang tidak dimengerti! XD
Special Note: guuuuys~ kalau sempat, vote ficku dunk di IFA! XD judul ficku: My Name Is|Ventus Hikari| Kingdom Hearts.
Please? Soalnya cuma satu ficku yang masuk dari sekian fic Q.Q -sudah itu sepertinya cuma ficku juga yg ngewakili KH banget, kirain paling ga ada 5 fic dari author lain yg bisa ngewakili KH, ternyata cuma satu dan itu aku Q.Q (sakit hati pada naruto yg mendominasi IFA)- oh ya, batas waktunya 25 desember…
Christmas Wish
I shouldn't love you
But I want to
I just can't turn away
I shouldn't see you
But I can't move
I can't look away
And I don't know
How to be fine when I'm not
'Cause I don't know how to make a feeling stop
Just so you know
This feeling's taking control of me
And I can't help it
I won't sit around
I can't let him win now
Thought you should know
I've tried my best to let go of you
But I don't want to
I just gotta say it all before I go
Just so you know
Aku terus menyanyikan lagu itu belakangan ini, entah mengapa lagu ini seperti mencerminkan situasiku, dimana aku ingin mencintainya, tetapi sesungguhnya itu tidak boleh terjadi meski aku ingin.
Sesungguhnya aku tidak boleh menatapinya terlalu lama, tetapi mata ini tidak mau mengalihkan pandanganku darinya. Aku bahkan tidak tahu bagaimana caranya mengatakan aku baik-baik saja jika hatiku terasa sangat sakit dan perih.
Aku juga tidak tahu bagaimana caranya menghentikan perasaanku padanya. Semakin lama, perasaan ini serasa mulai mengontrolku dan aku tidak bisa berbuat apa-apa. Terkadang aku tidak bisa berdiam diri melihatnya bersama seseorang selain diriku, seakan-akan aku cemburu dan tidak ingin membiarkan orang itu menang. Sesungguhnya, aku sudah mencoba sebisa mungkin untuk melepaskannya, tetapi aku tidak rela. Aku ingin sekali mengatakan perasaan ini sebelum aku pergi...
Demi kebaikannya dan juga diriku.
Aku menghela napas untuk kesekian kalinya sambil menatapi Terra yang menggenggam tangan seseorang yang terbaring di kasur dengan wajah pucat pasi dan terdapat masker oksigen di mulutnya. Belakangan ini Terra juga terlihat pucat, dia terlihat lelah akibat kurang tidur beberapa hari ini, dia tidak bisa tidur dengan tenang, khawatir akan terjadi sesuatu pada orang yang dijaganya itu ketika tengah malam.
Tubuh Terra terlihat mengurus akibat kurang makan dan juga istirahat, dia jarang sekali beranjak dari sisi orang itu, berharap orang itu segera bangun dari tidur panjangnya, yaitu tiga bulan lebih...
"Kau masih keras kepala juga, ya, Sora?" Seseorang mendadak muncul di sampingku, dia tersenyum sinis sambil mencium bunga mawar pink yang dipengang olehnya.
"Dan mengapa kau datang lagi? Kau kemari mau mengambil nyawaku?" Tanyaku dengan wajah heran dan juga dengan nada menantang pada pemuda berambut pink yang membawa sabit raksasa berwarna pink.
Entah mengapa, sekelilingnya selalu terdapat kelopak bunga yang berjatuhan entah dari mana asalnya.
"Well, hanya mengunjungimu saja. Kau ingat, bukan, bahwa aku bilang belum saatnya aku mengambil nyawamu?" Tanyanya sambil mencium bunga mawar pinknya sekali lagi.
"..." Aku hanya memberikan tatapan kosong padanya. "Then go away, Marluxia, leave me alone," kataku sambil mengalihkan tatapanku darinya.
"Oh well, aku juga tidak bisa berlama-lama di sini." Marluxia terlihat pergi setelah mengatakannya.
Aku pun kembali menatapi Terra yang masih memegang tangan orang yang terbaring di kasur itu. Pemuda itu adalah aku. Mengejutkan? Kurasa tidak, karena saat ini aku berdiri di samping Terra sebagai jiwa yang pergi meninggalkan tubuhnya.
Pintu kamar ini terlihat terbuka perlahan, aku melihat dua anak kembar berambut blond dan seorang pemuda berambut merah spike memasuki kamar ini.
"Bagaimana kondisinya?" Tanya salah seorang anak kembar itu, dia adalah Roxas, dia membawa seikat bunga berwarna putih.
Terra hanya menggelengkan kepalanya dengan pelan.
"Kau terlihat lelah sekali, Terra," kata Ventus, kembaran Roxas, dengan wajah cemas.
"Belakangan ini aku tidak bisa tidur, aku cemas sekali padanya yang telah koma selama tiga bulan lebih," jawabnya sambil menunduk dan menyandarkan dahinya pada kedua punggung tangannya.
"Kau sudah sarapan?" Tanya Roxas pada Terra.
"Belum," jawabnya.
"Pergilah sarapan, Ven, kau temani dia, biar aku dan Axel yang menjaga Sora," perintah Roxas.
"Come, Terra," ajak Ventus.
"Yeah..." Terra terlihat berdiri. "...tolong jaga dia," katanya sambil berjalan keluar dengan Ventus.
Ketika Terra dan Ventus pergi, Roxas terlihat menghela napas dalam. "Damn, dia terlihat bimbang."
"Siapa?" Tanya pemuda berambut merah, Axel, dengan heran.
"Terra," jawab Roxas. "Saat ini dia tidak tahu harus memilih Sora atau Ven. Mengapa dia tidak menyadari, semakin lama dia bimbang, maka itu hanya akan membuat keduanya semakin terluka..." Dahi Roxas terlihat mengkerut.
"Bukankah dia memilih Ven?" Tanya Axel heran.
"Iya, tapi dia tidak sungguh-sungguh memilihnya," kata Roxas dengan kesal, seakan-akan ingin memukul Terra. "Dia masih memikirkan Sora saat bersama Ven, aku tahu itu."
"Mungkinkah hatinya memilih Sora?" Tanya Axel sambil menatapiku yang terbaring di kasur.
"Mungkin. Tapi karena masih memiliki ikatan darah, maka dari itu dia menekan perasaannya. Dia pernah menolak Sora saat dia menyatakan perasaannya pada Terra," kata Roxas memberitahu.
"Darimana kau tahu?" Tanya Axel terheran-heran.
"Sora sendiri yang menceritakannya padaku," jawab Roxas dengan sedih sambil menatapiku. "Terra adalah orang yang penuh keraguan. Maka dari itu, saat ini dia sangat bimbang dengan perasaannya sendiri." Roxas menghela napas dalam. Dia terdiam sejenak sambil mengeluarkan HPnya dari sakunya untuk melihat tanggal. "Sebentar lagi natal. Aku heran, mengapa hingga saat ini Sora masih belum sadar? Padahal, menurut dokter, kondisi kepalanya tidak terlalu parah meski lukanya harus dijahit."
"Mungkinkah terdapat suatu alasan mengapa dia tidak ingin bangun?" Tanya Axel menduga-duga.
"Kurasa. Jika itu benar, maka jawabannya adalah Terra," jawab Roxas.
"Oh man, kalian berdua genius sekali." Aku terheran-heran mendengar percakapan mereka berdua, tebakan keduanya memang tepat sekali. Mungkinkah keduanya punya indra keenam?
Seperti yang dikatakan keduanya tadi, Terra adalah alasanku mengapa hingga saat ini aku masih belum sadar-sadar juga. Tapi aku juga masih memiliki alasan lain mengapa aku tidak ingin cepat-cepat sadar.
Sebenarnya kecelakaan yang kualami sungguh memalukan. Mungkin akan terlihat keren jika aku koma karena bunuh diri dengan loncat dari gedung tinggi atau membiarkan diriku tertabrak mobil yang melaju kencang. Tapi bagaimana jika kau tidak sengaja terpeleset karena menginjak kulit pisang hingga membentur pada sebuah batu yang cukup tajam? Memalukan bukan? Tapi gara-gara batu itu, kepalaku terpaksa dijahit karena robek ringan, tetapi kata dokter kondisiku sih baik-baik saja...
Terra dan Ventus terlihat kembali keruangan ini, Roxas dan Axel langsung menghentikan pembicaraan mereka tentang Terra.
"Ada apa denganku?" Tanya Terra yang tidak sengaja mendengar Axel menyebut namanya.
"Nothing. Kami hanya membicarakan kondisimu yang terlihat buruk," jawab Axel dan tentu saja bohong.
"..." Terra hanya terdiam saja mendengar jawabannya.
Mereka semua pun terdiam dan tenggelam dalam keheningan...
It's getting hard to be around you
There's so much I can't say
Do you want me to hide the feelings
And look the other way
And I don't know
How to be fine when I'm not
'Cause I don't know
How to make a feeling stop
Just so you know
This feeling's taking control of me
And I can't help it
I won't sit around
I can't let him win now
Thought you should know
I've tried my best to let go of you
But I don't want to
I just gotta say it all before I go
Just so you know
This emptiness is killing me
I'm wondering why I've waited so long
Looking back, I realize it was always there just never spoken
I'm waiting here...
Been waiting here...
Sekali lagi aku menyanyikan lagu itu karena bosan. Saat ini hanya tersisa Terra seorang, tante Reala –ibu kandung Terra dan juga ibu tiriku—akan mengunjungiku bersama suaminya –Kyle, ayah tiriku dan Terra—dan Olette –adik Terra, tetapi hanya mengalir setengah darah yang sama.
Terra terdiam terus-menerus, begitu pula hari-hari sebelumnya. Dia diam seperti patung, mungkin dia sedang memikirkan sesuatu? Well, aku tidak tahu, expresinya tidak pernah berubah, selalu cemas.
Entah mengapa, aku merasa semakin gelisah melihatnya terus berada di dekatku. Sepertinya, banyak yang ingin dia katakan, tetapi keluar dari mulutnya. Apakah dia ingin aku sadar dan terus menyembunyikan perasaanku? Ataukah sebaliknya? Ataukah dia ingin aku mencari seseorang selain dirinya? Aku tidak tahu. Jika iya, aku tidak tahu apakah kedepannya baik ataukah buruk, aku takut, maka dari itu aku tidak ingin bangun karena tidak bisa mengatasi rasa takut ini. Rasa takut ini menguasaiku dan aku tidak tahu harus berbuat apa untuk menghentikan perasaan ini.
Sesungguhnya, aku tidak boleh membiarkan rasa takut ini terus menguasaiku terus-menerus. Sejak dua bulan lalu, aku terus mengatakan pada diriku bahwa aku tidak perlu takut dan berpikir positive untuk mengatasi rasa takut yang terus menghantuiku...
Aku takut sekali jika memikirkannya, aku sangat takut akan kekosongan hatiku, sama seperti ketika Ayahku pergi dan ketika Terra menolakku. Kekosongan ini serasa membunuhku dan Terra...
Aku merasa hanya dia yang dapat mengisi kekosongan itu. Tetapi selama apa pun aku menunggunya, dia tidak akan pernah menerima perasaanku karena dia sudah menolakku. Terus diam dalam kekosongan hatiku dan terus membiarkan diriku koma, menunggu kematian yang masih sangat lama menghampiriku...
Aku menghela napas panjang dan memegang tangan Terra, tentu saja aku tidak bisa menyentuhnya.
"Aku tahu kau tidak bisa mendengarku, Terra..." Aku menunduk, mencoba memegang tangannya sekali lagi dan tentu saja gagal. "...tetapi, kuharap kau dapat merasakan perasaanku, bahwa aku... sangat mencintaimu..." Aku memejamkan mata. "...dan aku sangat berharap, kau juga mencintaiku. Aku tahu bahwa aku ini sangat egois, hanya memikirkan diriku sendiri, karena aku sadar, maka aku mencoba menjauhimu meski selalu mengawasimu dari kejauhan. Hatiku terasa sangat sakit setiap kali melihatmu bersama Ven."
Kusentuh dadaku yang terasa sangat sakit, mencoba menenangkan perasaanku yang tidak karuan akibat terbawa emosi.
"Maaf atas keegoisanku, Terra, tapi biarkanlah aku terus koma sebentar lagi. Aku ingin kau terus berada di sampingku, sebentar lagi...sebentar lagi..." Aku menangis saat mengatakannya. Aku menangis akibat rasa sakit di hati ini. Aku sudah tidak sanggup lagi untuk berkata aku baik-baik saja.
Aku lelah atas kebohonganku sendiri bahwa aku hanya menganggapmu sebagai kakak saja. Aku lelah untuk terus menekan perasaan ini. Aku lelah akan hidupku sendiri dan segala hal yang ada. Aku hanya ingin kau saja, aku tidak butuh yang lain. Tetapi itu sangatlah mustahil, Terra, sulit untuk memilikimu...
"Sora..." Terra tiba-tiba memecah kesunyian ketika aku menangis.
Aku segera menyeka air mataku karena terkejut mendengarnya memanggil namaku.
Tatapan Terra tertuju pada wajahku, rupanya air mata mengalir dari wajahku dan terus mengalir tanpa henti meski aku mencoba menghentikan air mata itu. Meski saat ini aku terpisah dari tubuhku, tetapi tubuhku masih dapat merasakan kesedihan yang kurasakan saat ini...
Terra lalu menyeka air mataku dengan punggung tangannya. "Mengapa... kau menangis, Sora? Apakah kau sudah sadar?" Tanyanya dengan wajah cemas sekaligus berharap aku sadar.
Air mataku terhenti saat perasaanku mulai tenang. Aku dapat merasakan hangatnya tangannya di pipiku, hangat sekali...
Just so you know
This feeling's taking control of me
And I can't help it
I won't sit around
I can't let him win now
Thought you should know
I've tried my best to let go of you
But I don't want to
I just gotta say it all before I go
Just so you know
Just so you know...
Christmass eve, itu adalah hari sebelum natal. Terra tetap setia menjagaku setiap malam dan digantikan oleh tante Reala pada pagi harinya karena dia kelelahan. Dia tertidur di sampingku...
Aku berniat mengakhiri masa komaku malam ini, aku tidak boleh egois, kondisi Terra semakin buruk, dia semakin kurus dan pucat. Bukan hanya aku saja yang mencemaskannya, teman-temannya, Axel, Roxas, Ventus, dan Aqua—teman kerjanya—juga mencemaskannya. Bahkan paman Kyle, tante Reala, dan Olette lebih mencemaskan kondisinya.
Aku duduk diatas kasur, tepat di samping Terra yang tertidur dan menatapinya. Dia tertidur dengan wajah yang amat lelah. Tante Reala terlihat sedang mengupaskan apel untuk Terra –tidak mungkin untukku yang sedang koma, sesekali dia menatapi Terra. Sebentar lagi pukul 1 siang, biasanya Ventus datang, sendiri atau bersama Roxas, Axel, atau pun Aqua.
Ventus selalu mengajak Terra makan di kantin rumah sakit setiap kali dia datang supaya Terra menggerakkan tubuhnya –karena seharian penuh dia hanya duduk terus di depanku.
"Selamat siang," sapa Ventus ketika membuka pintu kamar ini, rupanya dia bersama Roxas saja.
"Siang juga, Ven, Roxas," balas tante Reala.
"Bagaimana kondisi Sora, Tante?" Tanya Roxas.
"Tidak mengalami perubahan...," jawab tante Reala dengan sedih. "Kalian mau apel?" Tawarnya sambil menyodorkan sepiring apel yang telah dikupas dan dipotong-potong.
"Terima kasih," jawab Roxas dan Ventus bersamaan.
Ventus berjalan mendekati Terra dan memperhatikannya yang sedang tidur. "Dia terlihat lelah sekali..."
"Ya,katanya, semalam dia tidak bisa tidur," jelas tante Reala.
Mereka semua terdiam, tidak tahu harus berkata apa lagi. Sesekali suasana hening ini diisi percakapan ringan antara Roxas dengan Ventus, tante Reala hanya terdiam mencemaskanku dan Terra.
Aku tidak tahu sudah berapa besar biaya yang dikeluarkan oleh mereka untukku dan aku sedih mengingatnya...
Satu jam sebelum Christmas...
Terra terlihat cemas dan tidak dapat tertidur malam ini, dia menggenggam tanganku dan meletakan dahinya dalam genggamannya. Kurasa dia sedang berdoa, karena besok sudah natal...
"Kau masih di sini juga, Sora?" Mendadak Marluxia berada disampingku sambil memegang bunga mawar pink.
"Ini adalah hari terakhirku di sini," jawabku sambil menatapnya. "Aku ingin mengucapkan salam padamu sebelum pergi."
"Oh..." Dia menatapku dengan datar. "Ya sudah, karena sebentar lagi natal, maka aku akan memberikanmu sebuah hadiah."
"Apa itu?" Tanyaku dengan heran.
"Pemuda itu..." Dia lalu menatap Terra. "...saat ini dia berharap kau akan sadar, dia hendak mengatakan sesuatu yang penting padamu," katanya dengan senyum.
"Apa?" Aku semakin penasaran mendengarnya.
"Bahwa dia mencintaimu," jawabnya sambil meletakkan bunga mawar pinknya di telingaku.
Aku terkejut dan langsung tersenyum mendengarnya. "Sayangnya, ketika aku kembali, aku tidak akan mengingat ini."
"Kau akan mendengarnya langsung darinya, nanti," katanya dengan senyum.
"Hey Marluxia, bisakah aku meminta tolong padamu? Sampaikan pada Ayahku, bahwa aku akan terus hidup untuknya, meski sesungguhnya aku kesepian tanpanya, tapi aku akan berusaha untuk tegar," kataku sambil menatapnya.
"Okay," kata Marluxia sambil mengangguk. "See ya again, Sora, kita akan bertemu lagi suatu saat, pasti," katanya sambil mencium bunga mawar yang entah muncul dari mana.
"Yeah, see ya..."
Aku berjalan mendekati tubuhku yang terbaring di kasur...
Aku merasa seseorang menggenggam tanganku dengan erat. Hangat sekali genggamannya...
Dimana aku? Apa yang terjadi? Tubuhku terasa sangat lemas dan mulutku kering sekali. Kubuka mataku secara perlahan dan aku melihat sebuah ruangan yang tidak kukenal, tempat ini remang-remang, aku tidak bisa melihat dengan jelas.
Ini dimana? Seingatku, terakhir kali aku berada di jalanan, aku sedang melamun dan tiba-tiba aku bertemu dengan Terra dan Ventus yang sedang berjalan kearahku. Mereka terlihat bahagia. ..
Aku lalu memutuskan untuk menghindari keduanya sebelum keduanya menyadari kehadiranku. Tidak sengaja, aku menginjak sesuatu yang licin dan membuatku terpeleset. Aku merasa kepalaku terbentur dan pandanganku langsung gelap seketika...
Apa yang terjadi selanjutnya, aku tidak bisa ingat apa pun. Mungkinkah aku berada di rumah sakit? Kurasa, karena terdapat infus di sampingku, sedangkan tangan kiriku...
Ada seseorang yang memegangi tanganku. Siapa? Aku berusaha sekuat tenaga untuk menolehkan kepalaku, seorang pemuda brunette terlihat menunduk, meletakkan dahinya pada genggamannya. Dia menggenggam tanganku dengan erat. Aku mencoba mengatakan sesuatu padanya, tapi suaraku tidak keluar karena tenggorokkanku kering. Maka aku mencoba menggerakkan jemariku yang digenggam olehnya dengan susah payah. Dia segera mengangkat wajahnya dengan wajah terkejut.
"So-Sora?" Katanya dengan wajah tidak percaya. "Kau...sadar?
"T-Ter-ra..." Aku mengatakannya dengan suara kecil dan pelan.
"Dokter! Dokter!" Terra langsung berlari keluar sambil berteriak.
Beberapa menit kemudian, datanglah seorang dokter dan dia segera memeriksaku. Di belakang dokter itu, Terra terlihat sedang menahan tangis...
Apa...yang ditangisinya? Setelah mengecekkan, dokter mengatakan bahwa besok masker oksigen sudah dapat dilepas karena aku tidak membutuhkannya. Dokter itu pun pergi dan Terra mendekatiku, dia menggenggam tanganku...
"Syukurlah kau sadar, Sora," katanya dengan haru, dari nadanya, dia terdengar sangat cemas. "Kukira...kau tidak akan bangun lagi dan terus tertidur. Aku sangat cemas memikirkannya."
Aku dapat merasakan air matanya yang hangat mengenai tanganku yang digenggam olehnya. Berapa lamakah aku tertidur? Apakah sangat lama sekali hingga membuatnya sangat cemas?
"Ter...ra..." Aku memanggilnya dengan pelan. "Hari ini...tanggal...berapa?"
Terra lalu menyeka air matanya. "Ini pagi natal," jawabnya sambil menatapiku. "Dan sadarnya dirimu, merupakan hadiah natal terbaik." Dia tersenyum saat mengatakannya, sepertinya dia sangat bahagia dan lega.
"Na...tal?" Tanyaku dengan heran.
"Ya, hari ini natal, tepat tgl 25 dan sekarang pukul satu dini hari," katanya memberitahu.
Seingatku, terakhir kali aku sadar sekitar pertengahan bulan september dan sekarang sudah natal? Berarti aku tertidur lebih dari tiga bulan lebih?
Mengapa aku bisa koma selama itu? Itu sungguh aneh, padahal kepalaku hanya terbentur dan sepertinya...kepalaku dijahit.
"Sora, Aku...sangat cemas sekali kalau kau tidak akan pernah bangun, aku...tidak kehilangan dirimu. Aku sungguh bodoh dan tidak menyadari, bahwa sesungguhnya, kaulah yang kucintai..." Dia mencium tanganku yang digenggam olehnya.
Entah mengapa, aku heran karena aku tidak terkejut mendengar perkataannya, seakan-akan aku sudah mengetahuinya sebelumnnya, tapi aku tidak ingat darimana aku mengetahuinya. Rasanya... aku seperti diberitahukan oleh seseorang, tapi siapa? Sudahlah, itu tidak penting...
"Terra..." Aku memanggilnya dengan lemah. "Aku...mencintaimu juga..."Aku tersenyum lemah. "...and I'm happy...knowing you was here, in my side," kataku sambil memejamkan mataku perlahan.
Entah mengapa, aku merasa sangat mengantuk, padahal aku sudah tertidur lama sekali.
"Sora? Sora? Hey, Sora!" Terra terus memanggilku, tetapi aku terlalu mengantuk untuk menjawab. Suaranya semakin mengecil dan mengecil, akhirnya menghilang...
Just so you know
This feeling's taking control of me
And I can't help it
I won't sit around
I can't let him win now
Thought you should know
I've tried my best to let go of you
But I don't want to
I just gotta say it all before I go
Just so you know
Just so you know…
Aku mendengar sebuah percakapan saat aku bangun, aku mengenal suara-suara itu...
"…Kata dokter, mereka akan melepas masker oksigennya hari ini, tapi dia masih membutuhkan infus untuk beberapa hari karena kondisinya masih lemah..." Kata seseorang, dari suaranya, sepertinya yang berbicara adalah Terra.
Kubuka mataku dan melihat seseorang berambut blond menatapiku dari atas.
"Dia sadar," kata pemuda blond itu memberitahu.
"Ro...xas?" Kataku dengan lemah.
Pemuda blond itu hanya tersenyum saat aku memanggil namanya.
"Sora! Oh thank goodness!" Kata tante Reala sambil menyentuh pipiku.
Aku dapat merasakan kecemasannya, sama seperti Terra. Aku mencoba bangun dan duduk, Terra segera membantuku karena tubuhku masih lemah dan tidak dapat bangun sendiri. Aku melepaskan masker oksigen karena terasa menggangguku ketika berbicara, lagipula aku merasa tubuhku tidak membutuhkan oksigen tambahan.
"Apakah tidak apa-apa jika kau melepas masker itu?" Tanya Ventus.
"It's okay," jawabku sambil menatap Ventus.
Kulihat mereka semua berkumpul disini, Axel, Roxas, Ventus, Aqua, Olette, tante Reala dan paman Kyle berada disini. Mereka terlihat sangat senang atas sadarnya diriku...
Beberapa hari kemudian...
Aku keluar dari rumah sakit sehari sebelum tahun baru karena aku tidak betah berlama-lama di rumah sakit meski Terra selalu menemaniku. Kami berdua lebih banyak membisu, tidak tahu harus berkata apa. Sesungguhnya aku bingung, entah mengapa jarak antara aku dan Terra terasa seperti jauh meski kami berada sangat dekat. Setiap kali aku mencoba meraih tangannya, dia seperti mengelak dengan berbagai alasan. Setiap kali aku mengajaknya bicara, pembicaraan kami selalu berakhir dengan cepat...
Pada malam pergantian tahun, kami bermaksud menunggu pergantian tahun sambil bermain kembang api. Terra menemaniku duduk di rerumputan karena aku tidak ikut bermain, aku lebih senang melihat orang lain bermain daripada memainkan kembang api.
Aku mau pun Terra terus membisu di tengah suara letusan kembang api yang sangat indah...
Mereka terus bermain hingga subuh dan tanpa kusadari, aku tertidur sambil menyandar pada Terra. Dalam keadaan setengah tertidur, aku dapat merasakan belaian Terra yang lembut di kepalaku.
Ketika aku terbangun, aku sudah berada di kamarku sendiri, tetapi, aku merasa sentuhannya belum menghilang dari ingatanku...
Ketika keluar kamar, aku hanya melihat Terra seorang. Aku tidak dapat menemukan tante Reala, paman Kyle, mau pun Olette. Lalu aku mendekati Terra yang sedang menonton televisi dengan wajah bosan.
"Dimana yang lain?" Tanyaku ketika duduk di samping Terra.
"Mereka pergi," jawabnya sambil menatapku.
"Oh..."
Kami pun hening sejenak...
"Terra..."
Terra langsung menatapku ketika aku memanggilnya.
"...mengapa...kau jaga jarak denganku?" Tanyaku sambil menatapnya.
"I guess... cause I'm holding myself," jawabnya.
"Huh?" Aku bingung mendengarnya.
"Sesungguhnya...aku ingin menyentuhmu, Sora," katanya sambil memegang pipiku. "Dan ketika menyentuhmu, perasaan ini mulai menguasaiku..." Dia mendekatkan wajahnya padaku.
Jantungku terasa berdebar-debar tidak karuan ketika dia semakin mendekatiku. Tanpa terasa, aku jadi menahan napas dan memejamkan mataku. Aku ingin segera merasakan sentuhannya...
Aku pun memberanikan diri mendekatkan wajahku padanya dan aku dapat merasakan hembusan napasnya. Bibirnya yang hangat menyentuh bibirku. Dia melumatkan bibirnya selama beberapa menit dan aku sangat menikmatinya. Lalu dia meminta izin untuk memasuki mulutku dan aku pun membukakannya untuknya...
"Hm..." Aku mendesah di tengah ciuman kami, mengizinkan lidahnya bermain dengan lidahku.
"Sora...," desahnya di tengah ciuman. "... I love you."
"Me too..." Aku langsung menciumnya lagi.
END
Author note: wow! Jangan tutup dulu! Buat fans yaoi, masih ada extra chapter! Aku sengaja memotongnya karena biasanya ada juga cowok yg baca =="
So review? Baru lanjut ke chapy extra? :3 -slap!-
