"Pada akhirnya, tentang kehidupanmu, kau sendiri lah yang menentukan ke mana arahnya."

.

.

.

.

.

[ 09 Maret, 10.00 ]

Sesungguhnya ... aku pun tidak menginginkan hal ini terjadi.

Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan saat ini selain pasrah dengan keadaan yang kuhadapi sekarang.

Aku tahu aku harus mengorbankan kebahagiaanku, perasaanku, ketenangan dan kedamaian hatiku, hanya untuk membuat semua orang bahagia; yaitu kedua orang tuaku, tunanganku, keluarga dari tunanganku dan teman-teman yang mendukung itu.

Tapi ada satu hati yang juga akan dikorbankan selain hatiku.

Yaitu hati kakakku.

Aku juga tahu tempat di mana aku mendapatkan seluruh hal yang akan kukorbankan itu hanya bisa kudapatkan di kakakku,

Hanya di kakakku.

Dan aku juga yakin, dia pun merasakan hal yang sama.

Aku tahu, aku sangat sangat tahu, bahwa akupun tidak berhak untuk itu, aku tidak mempunyai hak untuk memilikinya. Aku tidak bisa, tidak ada yang mendukung hubungan terlarang antara saudara kandung. Tidak ada.

Dan karena itu, aku mencoba untuk mengambil keputusan yang teramat bodoh bagiku.

Dan aku menyesali keputusan yang terakhir kali kubuat.

.

.

.

.

.

.

.

.

I N S A N E

.

Disclaimer :

Gintama Chara's : Sorachi Hideaki

Cover えん子 (Pixiv)

Story : yuuaya

.

Note :

FF ini dalam bentuk oneshot yang terdiri dari beberapa drabble (mungkin).

Kemungkinan OOC untuk kelangsungan cerita.

Alur benar-benar campuran dan acak, Sudut pandang mungkin akan berganti.

.

.

Warning! : INCEST

.

.

Cerita ini hanya fiktif, harap jangan ditiru di dunia nyata.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

[ 25 Februari, 18.25 ]

"Aku mau menikah dengan Okita Sougo, Papi."

Semua orang terkejut mendengar keputusanku. Tapi aku bisa mengatakan bahwa keterkejutan itu adalah suatu hal yang membahagiakan bagi mereka, terutama untuk Papi dan Mamiku.

Aku sengaja untuk memberitahukan itu ketika kami berkumpul. Benar, saat ini adalah waktu makan malam bagi kami, jadi bagiku, saat ini adalah waktu yang tepat untuk mereka tahu keputusan yang kuambil setelah satu minggu mereka menunggu, dan setelah satu minggu aku memikirkan itu.

Benar, semua anggota keluargaku berkumpul. Dan keputusanku itu, tidak luput dari pendengaran kakakku yang sedang duduk di sampingku.

Tanpa aku memandangnya pun, aku tahu dia saat ini tengah menatapku. Dan aku tahu dia juga terkejut, tapi sayangnya, itu bukanah suatu hal yang membahagiakan baginya. Sebaliknya, itu adalah suatu hal yang dapat menghancurkan hatinya.

Dan mungkin lebih hancur dariku.

Bahkan aku bisa merasakan bahwa emosinya saat ini sedang meluap. Tapi aku tahu, dia tidak akan memperlihatkannya, terutama di depan papi dan mami.

"Kouka, kita perlu merayakannya!" Papi berteriak dengan penuh kegirangan —kedua tangannya masing-masing menggenggam sendok dan garpu.

"Benar, Kankou. Kita harus merayakan besok." Mami menyahut dengan wajah yang sumringah. Aku dapat melihat jelas pada kedua mata emerald-nya bahwa ada suatu kebahagiaan yang terpancar dari sana.

"Tidak, tidak sayang, kita harus merayakannya sekarang juga. Kita telah menunggu hal yang membahagiakan ini." Papi berbicara dengan menunjuk-nunjukkan sendok di tangannya, "Kagura, terima kasih banyak karena kau menerima lamaran darinya, papi sangat senang."

"Benar sayang," mami tersenyum cerah padaku, "kau benar Kankou, aku akan memesan makanan sekarang dan mengundang para tetangga untuk makan malam sekarang. Lagipula ini masih sore, jadi tidak masalah, benar 'kan Kagura?"

Aku hanya mengangguk dengan penuh keraguan, tapi aku berusaha untuk mengukir senyuman di wajahku, berusaha menyenangkan papi dan mami. Aku tidak bisa menolaknya, kalau itu salah satu hal yang bisa membuat mereka bahagia, aku akan melakukannya dan menyetujuinya.

Mami tersenyum lembut padaku, dia mengalihkan pandangannya kepada kakakku yang sempat menghentikan makannya. "Kamui, apakah mami boleh minta tolong?"

Kakakku melanjutkan makannya, dia mengiris daging dan mengambilnya dengan garpu, kemudian dia masukkan ke mulutnya, "Boleh mami, apapun untuk mami."

Tapi aku benar-benar tahu bahwa dia mencoba menyembunyikan perasaan yang mungkin sedang berkecamuk di hatinya. Seperti aku, Kamui juga tidak bisa melakukan apa-apa jika itu menyangkut tentang kebahagiaan orang tua kami, terutama mami. Dan aku sekarang sangat tidak yakin bahwa jiwanya sedang stabil.

Karena aku juga merasa begitu.

"Terima kasih sayang, kalau begitu coba hubungi restoran langganan kita dan pesan makanan di sana."

"M-mami, tidak bisakah kita merayakannya besok saja? Aku- aku ... " aku berbicara dengan tergagap-gagap, aku tidak tahu apa yang harus kukatakan, tapi aku tidak ingin menyakiti Kamui lebih dari ini, jadi setidaknya aku bisa mencegah kedua orang tuaku untuk merayakan hal yang paling tidak diinginkan oleh Kamui, setidaknya untuk saat ini. "Aku sekarang capek karena Soyo-chan mengajakku keluar seharian tadi, hehehe."

"Eh, kau tadi keluar dengan Soyo? Bukankah kau keluar dengan Kamui?" papi bertanya padaku.

"I-iya benar. Mereka sedang berkencan, lalu aku ikut, dan ternyata itu sangat melelahkan, hahaha." dan dengan begitu bodohnya, aku tidak sengaja menaburkan garam ke luka kakakku.

Aku melirik Kamui, dan aku bisa melihatnya sedikit tersentak, tapi mungkin hanya aku yang bisa menyadarinya. Karena aku selalu memperhatikannya, jadi hal terkecil yang ada pada dirinya, aku bisa mengetahuinya.

"Kamui? kau berpacaran dengan Soyo? Astaga! Hari ini adalah hari yang paling membahagiakan, kedua anak kita memilih orang yang kita inginkan. Mungkin kau harus cepat-cepat melamarnya, dengan begitu kita bisa menikahkan kalian berdua bersamaan. Bukankah itu bagus?" kali ini papiku dengan penuh semangat mengungkapkan hal yang paling tidak kuinginkan.

Aku memang egois, sangat egois. Aku menyakiti hati Kamui dengan menyetujui lamaran dari orang lain, tapi aku sangat tidak suka bahwa Kamui juga mungkin akan melamar orang lain. Tapi tidak mungkin, aku tahu Kamui tidak akan melakukan itu. Karena aku tahu bahwa dia tidak menyukai Soyo —temanku, yang disukai dan dicintainya hanyalah—

"Benar, aku akan melamarnya besok."

Dan saat itulah, hatiku serasa hancur berkeping-keping. Semua yang kusegel erat di dalam hati, seketika membuyar. Apakah aku salah jika mengatakan bahwa aku menyesal? Hanya karena aku mengatakan suatu kebohongan untuk menenangkannya, hal itu menjadi bumerang padaku.

Benar, 'kan? Aku sangatlah egois. Aku akan menikah dengan orang lain, tapi aku tidak menginginkan Kamui menikah dengan orang lain.

Aku membelalakkan mataku menatap Kamui yang berada di sampingku dengan penuh pertanyaan- bukan, sebenarnya tidak ada hal yang perlu ditanyakan lagi. Kedua alisku terajut, kedua telapak tanganku mencengkeram rok yang kukenakan, aku bisa merasakan kedua tanganku sedikit bergetar.

"Astaga! Papi dan mami sangat senang. Berarti sudah diputuskan bahwa kalian akan menikah di hari yang sama."

Aku masih menatap Kamui yang saat ini menyeringai hingga melengkungkan kedua matanya kepada papi dan mami yang sedang bergembira.

Ternyata hal itu lebih menghancurkanku daripada yang kukira.

Sungguh, saat ini aku ingin membawa kabur kakakku dan berlari jauh hingga tidak ada siapapun yang bisa menemukannya atau yang bisa memilikinya.

Hanya aku.

Dan harus aku.

Tapi tidak bisa.

Kamui mengalihkan pandangannya padaku —dia masih tersenyum manis— aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya, tidak, sebenarnya aku sangat tahu. "Terima kasih." dia berkata lirih padaku sebelum berdiri dari kursinya, "Aku akan menghubunginya sekarang agar dia bisa bersiap-siap besok, papi."

"Ah, itu benar. Semangat Kamui-kun~" papi melambaikan tangan padanya —sedangkan mami hanya tersenyum senang melihat Kamui berjalan ke arah kamarnya.

Tidak seperti Kamui, aku tidak bisa memasang wajah palsu. Jadi mungkin papi dan mami bisa melihat wajah sedihku sekarang. Bahkan aku tidak bisa menahan air mataku ketika air mata itu membendung pada kelopak mataku. Dan sekarang telah terjatuh.

Menjadi hasil dari sakit yang kurasakan.

"Kagura, kau kenapa sayang?" mami bertanya padaku ketika melihat air mataku yang sudah mengalir di pipiku.

Aku masih terdiam dan mengusap air mataku, aku hanya menggeleng dan berusaha untuk tersenyum.

"Kouka, dia itu putri kita yang cengeng, dia saat ini menangis bahagia, kau tahu?"

"Benar mami, aku sangat bahagia sekarang hingga tidak bisa menahannya." kataku dengan suara yang sedikit menekan. Aku berusaha untuk mengeluarkan suara dengan sewajarnya, tapi bagiku, aku hanya bisa mengeluarkan suara kesedihan. Aku berharap kedua orang tuaku tidak menyadarinya.

Mami mendengus pelan, "Kagura, mami tahu kau sangat bahagia, tapi walaupun itu air mata kesedihan atau kebahagiaan, mami tetap tidak suka melihatnya."

"Um," aku mengusapi seluruh wajahku, dan dengan menyakitkan aku melukiskan senyuman hangat di wajahku hingga mataku tertutup, "Aku sangat bahagia."

Tidak kusangka, hubungan terlarang yang telah kujalin dengan kakakku selama bertahun-tahun, akan berakhir dengan sangat menyakitkan.

Karena aku tahu alasannya; yaitu tidak ada yang akan merestui atau menyetujui hubungan terlarang antara saudara kandung, dan—

[ 25 Februari, 20.01 ]

Aku hanya diam mematung duduk di jendela menatap dahan pohon yang terlihat dari kamarku. Tapi aku tahu, hanya tatapanku saja yang mengarah pada dahan itu, tidak dengan pikiranku.

Aku terkejut karena adikku telah mengumumkan hal yang paling tidak ingin kudengar.

Aku mengerti jika hubungan yang ada diantara aku dan adikku tidak akan lama, dan cepat atau lambat akan berakhir. Tapi aku tetap memaksakan kehendakku sendiri.

Aku yang telah membuat adikku jatuh terperosok ke dalam jurang yang penuh dosa.

Aku yang telah membuat adikku yang manis dan polos melakukan hal yang terlarang.

Dan aku yang bersalah karena tidak dapat menghentikan itu.

Dan aku tahu ...

Dia mungkin telah gila karenaku.

Aku tidak bisa berbuat apa-apa, aku ingin menentang dengan keras dan lantang di hadapan mereka dan memberitahukan bahwa aku sangat keberatan dengan keputusan adikku.

Tapi tidak bisa.

Aku ingin melihat mami bahagia dan tersenyum.

Karena hidupnya sudah tidak lama lagi.

[ 20 Januari, 16.50 ]

"Kamui ... " Kagura bergumam pelan, memelintir rambut panjang kakaknya dengan jemarinya dan mempermainkannya. Dia sangat mencintai rambut panjang yang senada dengan warna rambutnya sendiri —walau milik kakaknya sedikit lebih gelap— karena itu sangatlah lembut. Bahkan mungkin lebih lembut darinya. Sesekali dia mendekatkan kepalanya ke tubuh kakaknya hanya untuk mencium aroma tubuhnya yang juga sangat dicintainya.

"Hmm?" Kamui hanya berdehem pelan juga, dia sibuk mengelus-elus pipi adiknya yang halus dan pucat —Kamui paling suka itu, tapi dia juga sangat suka ketika ada semburat kemerahan yang menghiasi pipi pucat adiknya, itu seperti buah apel yang membuat Kamui ingin memakannya. Sesekali dia mengelus dan merapikan rambut adiknya yang berantakan karena gerakan kasar yang dilakukannya tadi.

Kagura mendongakkan wajahnya dan mengalihkan tatapannya dari dada telanjang Kamui menuju atas —menemui wajah tampan dan seksi milik kakaknya, mengunci tatapan mempesona dari kakaknya, "Kau mencintaiku?"

Kamui tersenyum —bibir tipis kemerahannya begitu menggoda, "Kenapa kau tanyakan hal itu padaku?" dia sedikit bergeser untuk menemui dan mendekatkan wajahnya ke wajah Kagura.

Hidung mereka saling bersentuhan, mereka dapat merasakan nafas hangat dari masing-masing, kedua pasang mata biru itu saling mengikat. Mereka hening dalam beberapa saat, saling menikmati, memuji, mengagumi pemandangan yang ada di hadapannya. Menyalurkan cinta dalam intensitas matanya.

"Karena ... " Kagura berbisik lembut, dia semakin mendekatkan bibirnya ke bibir kakaknya yang masih menyeringai dan menyentuhnya dengan tipis, hidung mereka saling bergesekan, kemudian dia menggumamkan dengan lembut bahwa dia—

"Karena aku mencintaimu."

Aku tidak tahu sejak kapan aku menaruh hatiku padanya, yang aku tahu hanyalah; bahwa aku mencintainya.

[ 25 Februari, 23.40 ]

Kegelapan kamar menyelimutiku, mataku sudah sangat sembab karena tangisanku yang tiada hentinya. Aku bersyukur karena kamarku jauh dari kamar papi dan mami, sehingga mereka tidak bisa mendengar senggukanku.

Mereka benar, aku masih cengeng. Sangat cengeng. Terutama jika itu berurusan dengan Kamui.

Dinginnya lantai tidak ada hubungannya dengan dingin yang dialami tubuhku.

Aku tahu, aku tidak bisa keluar dari kamar dengan keadaanku yang seperti ini besok pagi. Dan juga, aku pun tahu bahwa besok pagi aku akan mengalami hal yang paling tak kuinginkan.

Ketika kakakku menyatakan cintanya padaku untuk yang pertama kalinya, aku sangat senang, sangat sangat senang, entah iblis apa yang merasuk ke dalam diriku, akupun mengikuti alur yang diberikan oleh Kamui saat itu.

Dan kami melakukan sebuah dosa untuk yang pertama kali.

Aku tahu, kami harus menghentikannya, karena cepat atau lambat, hubungan itu akan berakhir.

Tapi tidak bisa.

Aku telah gila karenanya.

Aku mulai berpikir, apakah yang kurasakan ini adalah hasil dari semua dosa yang telah kulakukan dengan kakak kandungku?

Tidak, sebenarnya dari dulu aku sudah mengerti bahwa jika kami menjalani hubungan penuh dosa itu, kami akan menanggung akibatnya masing-masing.

Tapi kami tetap meneruskannya.

Hingga sekarang, mungkin adalah akhirnya

[ 28 Februari, 22.20 ]

Aku mengaduk es batu dalam gelas yang berisi bir dengan cara memutar-mutarkan sendok kecil yang kupegang. Tatapanku terkunci pada dua es batu yang saling berbenturan dan aku tahu es batu itu akan larut cepat atau lambat. Aku tersenyum miring, kemudian mengangkat gelas itu dan menenggaknya sekaligus.

Aku meletakkan gelas kaca itu ke meja kayu dengan keras, sehingga mungkin banyak orang yang menatapku, tapi aku tidak peduli.

"Kagura, kau terlalu banyak minum."

Aku meletakkan daguku ke meja, dan menyentuh serta mengitari pingiran gelas —yang isinya hanya tinggal es batu— dengan jari telunjukku. Aku bergumam pada gadis yang ada di sampingku, "Kau yang terlalu banyak minum, Nobutasu."

Gadis itu menampilkan wajah datarnya. Aku sebenarnya heran dengannya, mengapa dia masih begitu kuat ketika dia sudah menghabiskan beberapa botol bir. Sedangkan aku, hanya minum tiga gelas kecil saja kepalaku sudah berat, kalau bisa, aku akan melepas kepalaku ini. Tapi sayang, aku masih ingin melihat senyuman kakakku lagi.

Yang mungkin sekarang hanyalah senyuman palsu.

"Yah, tapi aku baik-baik saja, secara mental ... mungkin." dia mengangkat bahu, menyangga dagu dan pipinya pada telapak tangannya dengan siku yang bertumpu pada meja, "Tapi aku cukup terkejut, bahwa Kamui telah melamar Soyo."

"Kau terkejut~? Tenang saja ... itu berarti ... " aku menunjukkan dari telunjukku ke depan wajahnya, "kau masih nor—mal."

"Normal?" dia terkekeh, sebenarnya lagi-lagi aku heran padanya, karena yang aku tahu; dia sangat jarang tertawa dengan ringan seperti itu, apalagi dengan topik pembicaraan yang sama sekali tidak lucu bagiku. Tapi mungkin itu karena efek dari minuman yang telah dia habiskan.

"Aku mungkin normal, jika aku tidak terkejut~" dia melanjutkan dengan nada yang menyanyi.

Aku mendengus dengan kasar, "Kenapa? Apa kau cemburu~?"

"Sedikit."

Dan ada satu lagi alasan yang membuatku benar-benar ingin membawa Kamui lari.

[ 20 Januari, 14.00 ]

BRAK!

Kagura terkesiap, dia menolehkan kepalanya menuju pintu yang saat ini telah terbuka dengan keras dan kasarnya oleh seorang pria yang tengah berdiri dengan senyuman khasnya.

"Kamui! Bisakah kau mengetuk pintu dulu?" Kagura merutuk kesal ketika dia melepas kaos kaki panjangnya.

Kamui berjalan menghampiri Kagura, "Itu kebiasaanku," dia melihat adiknya —yang duduk di kasur— sedang menggulung kaos kakinya menjadi satu dan dilemparkannya ke samping lemari, "Bisakah kau sedikit menjaga kerapian?" Kamui bertanya padanya.

"Itu kebiasaanku," Kagura menyeringai, dia menompangkan badannya dengan kedua tangannya kebelakang yang bertumpu pada kasur, entah sengaja atau tidak, posisi itu membuat Kagura seakan menunjukkan dadanya.

"Apa kau menggodaku?" dalam posisi berdiri di hadapan Kagura, Kamui merunduk, dia mendekatkan wajahnya —sangat dekat— ke wajah adiknya, memperlihatkan mata birunya yang menawan dan menatapnya dengan penuh arti.

Kagura semakin menyeringai, "Siapa tahu?"

Seketika, Kamui menerjang tubuh adiknya —menjatuhkannya ke kasur— mencium dan melumat bibirnya dengan penuh semangat dan sesekali menghisap kelopak manis bibir adiknya kemudian menggigitnya.

Hal itu membuat Kagura membuka mulutnya, dan —dengan senang hati— membiarkan lidah Kamui memasukinya.

Kagura merintih pelan ketika lidah kakaknya menyapu sebagian rongga mulutnya sebelum mengajaknya bertarung dengan lidahnya. Tapi dengan mudah, tentunya Kamui langsung mendominasi. Seakan-akan dirinya adalah seorang pria yang memang diciptakan untuk bisa melakukan ciuman yang sangat menggairahkan, sehingga Kagura langsung lemas hanya karena ciuman saja.

Tanpa melepas ciuman mereka yang berisik, mereka dengan perlahan menggeser diri untuk menyamankan posisinya di ranjang.

Kagura merangkul erat kepala kakaknya dan menjalin jemarinya ke rambut yang dicintainya itu.

Itu sangat lama, mereka saling melampiaskan cinta mereka melalui ciuman yang panas itu.

[ 02 Maret, 01.10 ]

"Satu minggu lagi? kau yakin?"

Aku semakin menenggelamkan wajahku ke bantal, sebisa mungkin aku mengangguk-anggukkan kepalaku sebagai jawaban.

Aku tidak mendapatkan tanggapan lagi, tapi ketika aku mulai kehabisan nafas, aku mengangkat kepalaku dan mendengus, "Lagipula, Shinsuke, aku sudah melakukannya; aku sudah terlanjur melamar Soyo, dan dia dengan senang hati menerimanya, dan si botak itu sudah menetapkannya, dan ... aku tidak bisa mengecewakan ibuku."

Pria bersurai ungu gelap yang duduk disampingku —membawa stik game— hanya menyeringai, tapi kemudian dia membuka mulutnya, "Begitulah kehidupan." tanggapnya singkat.

Aku membalikkan badan dan merentangkan kedua tanganku, "Dan aku ingin menikmatinya, tapi sayangnya kehidupanku sangat konyol."

"Dan kau sendiri yang membuat kekonyolan itu, bukan?" Shinsuke bergumam tanpa mengalihkan perhatiannya pada monitor dan jari-jarinya terus bergerak.

Itu memang benar, aku tidak bisa menyangkalnya. Semua yang telah terjadi itu karenaku. Jadi itu adalah salah-

"Tapi kau jangan menyalahkan diri sendiri."

Aku menengok dengan tatapan penuh keingintahuan kepada temanku karena secara sengaja atau memang kebetulan, aku merasa dia bisa membaca pikiranku. Aku tersenyum hangat, "Aku hanya ingin membuat ibuku bahagia, itu—"

"Itu saja?"

Benar apa kukata, Shinsuke mungkin jelmaan dari penyihir yang bisa membaca pikiran orang. Tapi aku senang, aku senang karena dia adalah orang yang bisa mengerti diriku. Aku menghela napas dan memejamkan mataku, "Andai saja aku gay, pasti aku akan lebih memilihmu, Shinsuke."

"Dan aku akan menenggelamkanmu di palung terdalam."

"Eeehh, kurasa itu bagus~"

Shinsuke mendengus pelan, dia meletakkan stik ke lantai, kemudian berdiri dan mengambil jaket yang tersampir di pintu lemari serta kunci di meja kopi, dia melirik padaku, "Ayo."

Aku mengerutkan kening, menatapnya dengan penuh pertanyaan, "Ayo? Ke mana? Ke pelaminan?"

"Ya. Ke pelaminan untuk menikahkanmu dengan anjingku."

[ 02 Maret, 06.20 ]

Kagura keluar dari kamar mandi dengan keadaan rambut yang basah dan handuk kecil yang disampirkan di kepalanya, memang masih sangat pagi baginya, tentunya ada alasan yang menyertainya; dia harus melakukan sesuatu hari ini.

Kagura mengernyit ketika ada suara ketukan di jendelanya. Perlahan berjalan ke arah jendela yang masih tertutup gorden, dia bisa melihat siluet samar dari balik gorden.

Dan siluet itu, Kagura sangat mengenalinya. Karena hanya 'dia' yang mempunyai antena di kepala.

Kagura membuka gorden dengan cepat. Perkiraannya benar, di luar jendela; berdiri seorang pria dengan senyuman khasnya hingga matanya melengkung, dan tangan kanannya diangkat seakan menyapa.

Kagura membuka jendela kacanya, "Kamui! Kau dari mana saja?!" dia bertanya —bergeser dari tempat berdirinya karena pemuda itu langsung masuk ketika dia membukakan jendelanya. "Kenapa kau masuk dari jendela dengan tib— emmm" kalimatnya terpotong, ketika Kamui menarik badannya dan menciumnya dengan rakus.

Kali ini, Kagura memberontak,

Karena mereka harus menghentikan hubungannya.

Tapi dia tidak bisa lepas dari kekuatan besar yang digunakan oleh Kamui —yang memeluk dan mencengkeram tubuh beserta kedua tangannya— dan ciumannya yang semakin kasar.

Tapi Kagura tetap berjuang untuk memisahkan tautan mereka,

Karena dia tahu, jika dia tetap melanjutkannya, dia tidak akan bisa lepas selamanya.

Ketika Kamui sedikit lengah, Kagura memanfaatkan keadaan untuk mendorong tubuh kakaknya; dan tautan mereka terlepas; menyisakan saliva di dagunya. "Kau mabuk?!" Kagura bertanya cukup keras.

Karena Kagura bisa merasakan beraneka macam rasa bir yang berbeda di lidah kakaknya, dan jika dia memerhatikan Kamui secara lebih; dia bisa melihat nafas Kamui yang sedikit memburu dengan mata sayup dan wajah yang cukup kemerahan.

Tangan Kamui menggapai bahunya lagi, tapi Kagura langsung menepisnya dan menjauhkan diri darinya. Dia sebenarnya tahu, Kamui tidak akan berhenti jika sudah sampai seperti itu. Tapi dia juga tahu bahwa dia harus menghentikannya.

Tanpa memberi kesempatan Kagura untuk menyadarinya, dengan kasar, Kamui menarik tubuh Kagura dan melemparkannya ke ranjang dengan keras sehingga membuat Kagura memekik kecil.

Tanpa penundaan lebih lanjut, dan tanpa memberi kesempatan kepada Kagura untuk menghindar, Kamui segera menindih tubuhnya —mengunci kedua kakinya; dengan satu lutut yang ditekan ke selangkangan Kagura— dan segera mendaratkan bibirnya ke leher jenjang adiknya.

Kagura menggeliat, dia tidak bisa berkutik sedikit pun dibawah kekuatan besarnya. Kedua tangannya berusaha mendorong bahu kakaknya; tapi usaha itu sama sekali tidak mempengaruhinya. Kagura mengerang ketika merasakan gigitan sebelum merasakan hangatnya lidah yang ada pada lehernya, "Kamu...i," napasnya tersengal.

Tanpa melepas ciuman dan hisapannya, Kamui meraih kemeja putih Kagura dan melepas kancingnya dengan paksa —menarik kemudian merobeknya; lalu melepas tautan bra putih pada bagian depannya untuk memperlihatkan dada Kagura yang sintal.

"Kamui ... to-tolong ... " dengan napas yang tertahan ketika Kamui masih menciumi lehernya dengan ganas, Kagura berusaha menghentikannya dengan permohonan, " ... aku mohon, ehh ... mami dan papi masih— aahh–" dia mengerang ketika merasakan jari tangan Kamui yang memutar dan mencubit pucuk dadanya, serta lututnya yang semakin ditekan ke selangkangannya.

Kamui tidak memerdulikan permohonannya. Tanpa melepas bibirnya pada kulit Kagura, dia menurunkan lidah dan bibirnya untuk menemui bahu menuju dada bagian atas, kemudian pada bagian dada, dan berhenti di buah dadanya. Dia menghisap dengan keras pada pucuk dadanya, sehingga Kagura mengerang dan melengkungkan punggungnya; menggeliat hebat.

Kagura bisa merasakan kelembapan pada daerah kewanitaannya, hingga mungkin Kamui bisa merasakan melalui lututnya yang semakin digesek-gesekannya dengan menekan.

Tangan Kamui meraih dadanya yang bebas, dan meremasnya kuat; membuat Kagura mengeluarkan jeritan yang tertahan. Napasnya semakin memburu dengan tertekan ketika Kamui sama sekali tidak menghentikan aksinya.

"Kagura~!"

Kagura membelalakkan kedua matanya ketika mendengar suara dari luar kamarnya, kemudian diiringi dengan ketukan lembut di pintu kamarnya.

Dia mencoba mendorong Kamui lagi dengan seluruh tenaga yang bisa dia keluarkan saat itu, dan berbisik "Kamui ... tolong, henti ... kan, ehhh," tapi gagal, Kamui sama sekali tidak menghiraukannya, dia semakin menghisap pucuk dada Kagura dengan keras, meremas dadanya dengan kuat, dan menekan selangkangannya dengan lebih.

Kagura memejamkan matanya erat; menahan semua erangannya, jantungnya memompa dengan cepat.

"Kagura~? Kau di dalam, sayang?" suara itu kembali lagi.

Kagura mencoba menyetabilkan napasnya, "I-iya mami!" dia berteriak. Diam-diam bersyukur karena pintu kamarnya dia kunci dari dalam.

"Bisakah kau membuka pintu?"

"Tidak! Ma-maksudku— ehhh–" dia dia berusaha dengan keras untuk menahan erangannya ketika tangan Kamui bergeser untuk menemui pahanya; menyentuh kewanitaannya. "—aku m-masih ... ganti baju mami!" Kagura bernapas dengan memburu. Hanya mengucapkan satu kalimat pendek saja, dia merasa seakan telah berlari marathon.

"Baiklah~ di mana kau menaruh obat mami kemarin~?" Kouka bertanya dengan keras tapi dengan nada yang lembut; di balik pintu.

"Di-di laci meja televisi!, haahhh ahh—" akhirnya Kagura tidak bisa menahan erangan ketika Kamui merobek celana dalamnya dengan kuat dan langsung memasukkan tiga jarinya sekaligus ke dalam kewanitaan Kagura yang sudah sangat basah. Kagura membungkam mulutnya dengan tangannya sendiri ketika menyadari akan kemungkinan ibunya mendengarkan erangannya.

"Mami tidak menemukannya, sayang~ dan, kau kenapa? Apa yang terjadi?"

Kagura mengeluarkan erangan lirih yang sangat tertahan saat Kamui mulai menggerakkan jemarinya, hanya mereka berdua yang bisa mendengarnya. Kamui sama sekali tidak peduli, Kagura tahu bahwa kakaknya sulit untuk berhenti jika sudah sampai sini, tapi kali ini dia benar-benar kelewatan karena di balik pintu kamar Kagura; ibunya sedang berdiri.

"A-ada di s-sanaah, m-mami." dia menjawab sambil mencengkeram kuat punggung kakakknya.

"Kagura? Kau tidak apa-apa?"

"A-aku hanya ... ehhh hehh ... kesulitan ... pakai celana, mami!" Kagura mendongakkan wajahnya keatas ketika Kamui menggerakkan tangannya semakin keras dan dalam dan menggigit pucuk dadanya secara bersamaan.

"Kalau begitu pakai rok saja! Baiklah, segeralah keluar, mami sama sekali tidak menemukan obat mami."

"I-iya mami—" Kagura sedikit terkejut karena Kamui langsung mencium bibirnya dan melumatnya dengan kasar juga.

Sebenarnya, Kagura suka dengan apapun yang dilakukan Kamui padanya; termasuk perlakuannya yang kasar, tetapi kali ini, keadaan ini, benar-benar berbeda.

Mereka sudah tidak boleh melanjutkan lagi hubungan mereka. Karena mereka tahu, satu minggu lagi, mereka sudah memiliki kehidupan masing-masing.

Karena satu minggu lagi mereka tidak akan bersama.

Dan mereka tahu, mereka tidak bisa menghindarinya. Karena mereka hanya ingin menuruti keinginan ibunya, yang mungkin adalah ...

keinginan terakhirnya.

Ketika kaki Kagura mengejang, tubuhnya sedikit bergetar, dan kewanitaannya mengeluarkan cairan yang lebih; Kamui menghentikan aksinya, Kamui menghentikan semuanya.

Kamui mengeluarkan jarinya dari kewanitaan adiknya, dan mengangkat bibirnya —wajahnya— dari bibir adiknya, dia menatap sendu adiknya yang sedang terengah-engah —yang juga menatapnya.

Mereka hening sesaat. Tidak ada yang memulai pembicaraan selama beberapa detik —mungkin satu menit, mereka hanya saling menatap ke dalam masing-masing sepasang mata yang bernada sama. Menikmati kenyataan bahwa ada bayangan dirinya pada mata yang tengah ditatapnya.

Setelah Kagura mulai bernapas dengan stabil, Kamui memisahkan bibirnya; sedikit membuka mulutnya, dan bersuara dengan bisikan, "Maafkan aku ... "

Kagura langsung meraih kepala Kamui dan membenamkan mulutnya pada mulut kakaknya.

Kagura tidak bisa menahan perasaannya, semua perasaan telah tercampur aduk di dalam hatinya. Dia sudah tidak dapat membedakan bagaimana dia harus senang dan bagaimana dia harus sedih. Karena itu, dia hanya bisa mengekspresikan perasaannya melalui air matanya.

[ 02 Maret, 08.45 ]

Bed kecil itu menggelinding dengan tergesa-gesa dengan dua orang perawat dan satu dokter yang mengiringi.

Aku mengikutinya dengan tangis yang tiada henti. Melihat mamiku sedang berjuang untuk mendapatkan nafasnya —mata emerald-nya terbuka lebar, dadanya naik turun dengan sangat kentara, bunyi napasnya begitu mencekik— dengan bantuan masker oksigen yang dipasang di hidung dan mulutnya.

Aku bahkan tidak bisa menyemangatinya karena isakan dan senggukanku yang keras, dan aku tidak bisa menghentikannya.

Sebenarnya aku ingin mengikuti mamiku dan menemaninya berjuang di dalam ruangan yang berplakat merah itu, tapi papi menghentikanku, dia memelukku dengan erat dan mencium kepalaku. Aku juga dapat merasakan tubuhnya gemetar, mungkin dia menahannya.

Aku semakin tidak bisa mengendalikan tangisanku. Seperti anak kecil yang kehilangan mainannya, aku menangis dengan teriakan, tidak peduli jika banyak orang yang memperhatikanku. Tidak peduli jika aku mengganggu orang lain yang sakit. Tidak peduli jika mamiku akan mendengarkanku. Tidak peduli jika—

Kamui tidak ada di sini.

Aku tidak tahu itu, aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya.

Aku tidak tahu mengapa dia tidak ikut menemani mami ke sini.

Aku tidak tahu apa yang dilakukannya.

Aku tidak tahu mengapa tadi dia hanya diam saja.

Aku tidak tahu,

Dan aku membenci itu.

Aku membenci,

Aku membenci Kamui karena gara-gara dia, mami khawatir dengannya karena tidak pulang semalaman,

Karena gara-gara dia, mami telat untuk meminum obatnya,

Gara-gara dia, penyakit yang diderita mami kambuh dengan parahnya,

Dan sekarang ... dia tidak ada di sini?

Sangat bodoh.

[ 02 Maret, 13.20 ]

"Mami ... " Aku menggenggam tangan kanan mami yang lemah, dan menempelkannya ke hidung dan bibirku.

Mami tersenyum hangat, sangat hangat, hingga aku merasa bahwa hatiku kedinginan. "Kagura ... maafkan mami." bibirnya sangat pucat- tidak, bukan hanya bibirnya, tetapi juga wajahnya. Tapi walaupun begitu, dia berusaha mengukir senyuman indah di bibir itu.

Untuk menenangkan hati anaknya.

"Tidak terasa, kau sudah dewasa, sayang." dia melanjutkan dengan suara yang lirih.

Aku menggeleng, kedua mataku yang sembab mulai berkaca-kaca lagi, "Tidak, mami, aku masih kecil, aku masih kecil, aku masih butuh dukungan mami, aku masih butuh peringatan mami, aku masih kecil, aku masih butuh itu, aku masih ... " dan air mataku jatuh lagi, "Aku masih butuh kehangatan dari pelukan mami."

Mami terkekeh pelan dengan lembut, sangat lembut, hingga aku hanya bisa mendengarnya dengan samar, "Kau akan mendapatkan itu, sayang ... " tangannya yang kupegang terangkat dengan pelan, dan menemui rambutku —mengelus rambutku dengan lembut.

"Kau ingat cerita yang sering mami ceritakan dulu?" dia bertanya.

Aku memejamkan mataku, "Aku lupa, jadi, tolong ceritakan lagi setiap malam nanti." aku membuka mataku dan menatapnya dengan memelas, "Aku mohon!"

Lagi-lagi mami hanya tersenyum hangat, dia mengalihkan elusannya dari rambutku menuju pipiku, "Ada seorang pangeran ... yang akan menjemput tuan puteri yang sedang kesepian ... dan dia memberikan kebahagian ke tuan puteri itu," dia menjeda, "Kau ingat?"

"Aku tidak ingat mami," bohong, aku sebenarnya mengingat persis cerita itu. Tapi aku hanya ingin mami ... aku hanya ...

"Kagura, biarkan mamimu beristirahat." aku mendengar suara berat papi setelah suara pintu yang terbuka.

Aku hanya mengangguk. Aku tahu, aku tidak bisa memaksakan mami untuk terus terjaga, karena dia juga butuh istirahat untuk memulihkan dirinya.

Aku berdiri dari kursi yang kududuki, dan berjalan mengambil sebuah nampan kosong berisi alat makan makan yang kotor —berniat untuk menaruhnya di tempat yang telah disediakan di luar ruangan. Dan aku mendengar suara pintu yang terbuka lagi, aku kira itu hanya seorang perawat atau dokter yang akan memeriksa mami,

Tapi ketika aku membalikkan badan, aku melihat wajah yang sekarang aku sangat muak untuk menatapnya saja.

Dan tanpa berpikir lebih jauh, aku berjalan ke arahnya, memberatkan tumpuan pada tangan kiriku untuk membawa nampan, kemudian mengangkat tangan kananku yang bebas untuk menemuinya,

dan menamparnya.

Semua mata tertuju padaku, dan aku juga tahu persis apa yang sedang kulakukan, aku bahkan tidak peduli jika mami melihatku.

Aku melihat Kamui sempat membelalakkan matanya terkejut karena menerima perlakuanku yang sama sekali belum kulakukan padanya, tapi dengan cepat, dia memandangku dengan senyuman lembutnya.

Aku semakin muak dengan senyumannya, dan berniat untuk menamparnya lagi— tapi itu tertahan.

Bukan berarti ada yang menahan tanganku yang telah terangkat, bukan seperti itu.

Tapi aku membeku ketika melihat temanku yang tengah berdiri di belakang kakakku.

"S-soyo-chan?"

Gadis itu tersenyum hangat padaku, tapi intensitas matanya sedih, aku tahu dia sedih karena keadaan mamiku. Karena dia adalah satu-satunya temanku yang paling dekat dengan keluargaku.

Dan aku melihat ada seorang pria yang sudah lumayan tua, memakai kaca mata, rambutnya sudah memutih, dan yang paling mencolok adalah; dia mengenakan baju hitam panjang dengan lengan yang panjang pula, dan memakai kalung bertanda salib, juga mengalungkan sebuah selendang merah yang masing-masing sisinya mempunyai gambar salib juga.

Dia adalah seorang pendeta.

Dan tanpa ada yang menjelaskannya pun, aku mengerti hal apa yang akan terjadi.

Seakan seorang anak indigo yang bisa melihat masa depan, aku langsung membayangkan hal yang akan terjadi dalam beberapa saat kemudian setelah ini.

Nampan yang tengah kubawa, sekarang terjatuh. Membuat suara yang cukup memekakkan telinga.

Dan tanpa berpikir apapun, aku berlari ke luar ruangan rumah sakit.

Aku tidak tahu harus berlari ke mana.

Kemudian aku menyadari, bahwa saat itu juga, aku telah kehilangan kedua orang yang aku cintai.

[ 20 Januari, 14.25 ]

"K-kamui— aaaahhh ... " Kagura mencengkeram erat punggung kakaknya ketika sang kakak memasukkan kejantanannya ke dalam liang surgawinya dengan sekali dorongan.

Kamui berhenti sejenak setelah memperdalam dorongannya, dia ingin memperlakukan adiknya dengan lembut dan memanjakannya. Walaupun itu sangatlah sulit untuk dilakukan Kamui, sangat sulit, sensasi kesempitan dinding kewanitaan Kagura membuatnya tidak bisa berpikir jernih, ingin rasanya dia menumbuknya tanpa ampun.

Tapi Kamui tidak mau menyebabkan ketidaknyamanan pada wanita yang sangat dicintainya.

Meski mungkin Kagura tidak keberatan.

Kamui mengecupi wajah Kagura, dari mulai kening pucatnya, kedua mata birunya, hidung mancungnya, kedua pipi meronanya, dan bibir mungilnya. Dia mencintai semuanya.

Ketika Kamui mendaratkan bibirnya ke bibir Kagura, Kagura yang mengambil kesempatan terlebih dahulu untuk melahap bibir tipis yang seksi milik kakaknya, dia berniat dan mencoba untuk mendominasi ciuman dengan memasukkan lidahnya ke dalam mulut kakaknya —dengan merangkul kepalanya. Tapi semua sia-sia, Kamui lebih unggul dalam hal ciuman.

Kagura merasakan kewanitaannya berdenyut, secara eksperimental, dia menggerakkan pinggulnya untuk membujuk Kamui melakukan hal yang lebih berani.

Mata kamui kabur ketika Kagura menggerakkan pinggulnya, dan dia ada di batasan kewarasannya.

Kamui menarik diri sampai ujungnya tersisa, kemudian dia membanting dirinya dengan kekuatan penuh sehingga membuat Kagura mendengking. Dia mengulangi lagi, lebih cepat dan lebih keras sampai Kagura mengerang keras. Kontrol diri Kamui sudah hilang bahkan dari pertama dia memulainya.

Dan rencana Kamui untuk memanjakan dan memberi kelembutan kepada adiknya, lagi-lagi telah gagal.

Karena dia kehilangan kewarasannya jika itu berhubungan dengan Kagura.

Kamui terus menggerakkan pinggulnya dengan kasar, sehingga Kagura mengerang dengan tidak terkendali. Kagura berusaha menatap Kamui yang sedang bergerak liar di atasnya. Kagura suka itu, dia suka memandangi wajah kakaknya yang terlihat sangat seksi baginya.

Dengan napas yang sedikit tertahan, peluh yang membasahi wajahnya —yang juga memerah— dan terkadang, dia mengeluarkan suara desahan yang seksi; membuat Kagura mudah terangsang lebih dan lebih.

Kagura mengangkat tangannya dari punggung Kamui ke jalinan rambutnya, kemudian dia berusaha untuk melepaskan ikat rambutnya; membuat rambut panjang Kamui terurai indah. Kemudian mengarahkan wajah Kamui ke wajahnya untuk menciumnya dengan penuh gairah juga.

Dengan gerakan yang berlanjut semakin cepat dan keras, membuat Kagura tersengal; sehingga dia tidak bisa melanjutkan ciumannya ke bibir Kamui.

Kamui menggeram dan menggigit pundak Kagura cukup keras untuk meninggalkan bekasnya. Sementara Kagura menggoreskan kuku pada punggung Kamui.

Kamui merasakan bahwa puncaknya akan datang, sehingga dia berlutut dan mengangkat kaki Kagura; meletakkan betisnya di pundaknya, membuat kemungkinan agar dirinya bisa menembus lebih dalam.

"Kagura ... " Kamui menggeramkan namanya saat dia merasa pembebasannya.

"K-kamui ... aahh," Kagura semakin menusukkan kukunya pada punggung kakaknya ketika dia juga mengalami hal yang sama.

Gerakan Kamui semakin cepat ketika akhirnya dia berhenti —menusuknya sangat dalam— saat dia merasa simpulnya terlepas, dan meredam teriakan Kagura dengan bibirnya.

Dia merasakan tubuh Kagura bergetar beberapa saat, tangan Kagura berpindah dari punggungnya menuju kepalanya, menjalin jarinya ke rambutnya, dan melanjutkan ciumannya yang penuh dengan hasrat.

Perlahan, Kagura membalikkan tubuhnya ke samping; Kamui mengikutinya, sehingga Kagura membuat kakaknya saat ini berada di bawahnya —tanpa memisahkan keintimannya. Kagura melepaskan pangutannya, menjalarkan mulutnya menuju leher pucat kakaknya kemudian turun ke dada bidangnya, dan berhenti pada kuncup kecil dadanya.

Kagura mendecakkan lidahnya untuk mengitarinya dan sesekali menggigitnya ringan.

Ketika Kagura merasakan panjangnya mulai semakin keras di dalamnya, dia mengangkat wajahnya dan menyeringai ke hadapan Kamui. Lalu Kagura menegakkan dirinya untuk menaik-turunkan tubuhnya sendiri dengan erangan kenikmatan.

Kamui mengangkat tubuhnya sendiri dan menemui tubuh adiknya yang sedang bergerak liar di atasnya, dia menarik kepalanya dan mencium bibirnya seakan dia tidak pernah bosan untuk menciumnya.

Dan mungkin, aku memang ditakdirkan untuk merasakan rasa sakit itu.

[ 09 Maret, 10.15 ]

Benar, aku menyesali kepusutan dan kebohonganku.

Keputusan bahwa aku mau menerima lamaran dari Okita Sougo, dan kebohongan bahwa kakakku berhubungan dengan Tokugawa Soyo.

Karena dua hal itu benar-benar menghancurkan hatiku.

Sudah satu minggu berlalu sejak kematian mami, bahkan kedua mataku masih bengkak karenanya. Aku tahu bahwa cepat atau lambat mami meninggalkanku, meninggalkan kami, tapi tetap saja, meskipun aku sudah melatih jiwa agar tetap kuat, aku tetaplah seorang gadis yang cengeng.

Dan aku juga tahu, Kamui benar-benar menyelesaikan dan menuruti keinginan mamiku di hari akhirnya, yaitu ketika dia membawa Soyo-chan dan seorang pendeta ke hadapan mami seminggu yang lalu, mereka memutuskan untuk menikah di hadapan mami.

Karena aku tahu, Kamui sangat menyayangi mami.

Meski aku juga tahu, perasaannya dikorbankan.

Sejak seminggu itu juga, aku sama sekali tidak bertemu dengan Kamui sampai saat ini. Setelah aku berlari ke luar ruangan rumah sakit, aku menenangkan diri di tempat yang sepi selama beberapa jam. Dan ketika aku kembali, aku sudah tidak mendapati kakakku dan temanku itu —beserta pendetanya.

Aku hanya diam saja, tapi kemudian papi berkata padaku bahwa Kamui dan Soyo-chan telah resmi menjadi pasangan suami istri, dan Kamui akan pergi ke luar kota bersamanya.

Bahkan, ketika prosesi pemakaman mami, sepasang suami istri itu tidak menghadirinya. Tapi papiku sama sekali tidak mempermasalahkan itu. Dan aku pun begitu. Karena pada saat itu juga,

Aku telah ditinggalkan oleh kedua orang yang sangat aku cintai.

Aku menghela napas, mengusap air mata yang lagi-lagi membasahi pipiku. Aku memandang sebuah kaca besar yang ada di depanku, aku melihat diriku yang mengenakan gaun putih megah, dengan hiasan di rambutku yang disanggul.

Walaupun beberapa menit lagi pernikahanku akan digelar, aku masih belum siap untuk meletakkan hatiku pada calon suamiku.

Aku masih belum siap untuk melupakan kakakku.

Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Ini adalah amanat mami, ini adalah keinginan mami, aku hanya ingin mami bahagia di sana. Jika Kamui bisa menuruti keinginan mami dengan menyegel hatinya erat, aku juga harus bisa melakukan hal yang sama.

Aku menarik napas panjang, dan menghembuskannya.

Aku harus siap.

BRAK!

Aku menolehkan kepala ke arah datangnya suara, kedua mataku terbelalak lebar ketika mendapati seorang pria yang berdiri di tengah pintu dengan senyuman khasnya.

Itu seperti kejadian-kejadian yang lalu, dan dia sama sekali tidak mengubah perilakunya.

Aku tersenyum hangat hingga kedua alisku tertaut, "Bisakah kau mengetuk pintu dulu?" tanyaku dengan lembut.

Dan seperti biasanya, dia berjalan ke arahku dan begumam dengan nada menyanyi, "Itu kebiasaanku~" kemudian berdiri di depanku, dan mendekatkan wajahnya ke wajahku, "Kau sangat cantik." dia memujiku.

Aku tersipu, aku juga menatap matanya dekat, sangat dekat hingga aku bisa merasakan napas hangatnya. Dan entah mengapa, ada dua hal yang aku rasakan secara bersamaan saat itu; yaitu rasa kerinduanku dengannya walaupun hanya satu minggu tidak bertemu, dan kesedihanku karena aku tidak bisa memilikinya lagi.

Dan seperti biasanya juga, Kamui semakin merunduk dan semakin mendekatkan wajahnya lagi, tangannya meraih daguku, menuntunku agar bibirku menemui bibirnya.

Aku tahu aku harus menghentikan itu, tapi aku tidak melakukannya.

Kamui menciumku dengan semua hasratnya, hingga aku menjadi sangat lemas olehnya, aku selalu menyukai keunggulannya itu.

Dan ketika kami memisahkan diri, aku meneteskan air mataku lagi. Dia menatapku dengan lembut, tangannya mengusap pipiku yang telah basah, lalu mencium keningku dan berkata dengan lembut, "Tidak apa-apa."

Aku menanggapinya dengan senyuman yang menyakitkan, kemudian aku memeluknya erat, sangat erat —hingga mungkin Kamui tidak bisa mengambil napas— seperti tidak ada lagi kesempatan untuk mendekapnya lagi. Tidak, memang tidak ada lagi kesempatan.

Ini adalah yang terakhir.

Biarkan aku memeluknya erat seakan dia tidak akan lepas dariku, dan menenggelamkan wajahku ke dirinya untuk menghirup aroma tubuhnya sehingga aku tidak akan lupa dengan itu.

Kamui membalas pelukanku, dia mencium kepalaku, kami sama sekali tidak mengubah posisi kami selama lebih dari satu menit. Tidak peduli jika ada yang melihat kami, sekalipun ada, mereka pasti hanya mengira bahwa kami melakukan hal yang sepantasnya dilakukan oleh saudara ketika lama tidak bertemu dan ketika adiknya akan menikah.

Mereka pasti mengira bahwa kami adalah saudara yang tengah berbahagia.

Padahal kenyataannya berbanding terbalik.

Aku mengerti memang, cepat atau lambat, hubungan terlarang yang kami jalani akan berakhir.

Dan inilah akhirnya.

"Kau harus pegangan yang kuat." dia berbisik pada telingaku.

Aku mengerjapkan mata, tidak mengerti apa maksud dari yang dikatakannya, "Heh? Apa— aaah!" aku sedikit berteriak karena terkejut dengan Kamui yang tiba-tiba mengangkat tubuhku dan menggendongku seperti seorang tuan puteri.

"Kamui! apa yang kau—"

"Kagura~ pegangan yang kuat, oke."

Dan pada saat itu juga, Kamui berlari keluar ruanganku dan segera menuruni tangga. Aku merasa kepalaku pusing karena itu, ditambah beban yang ada pada rambutku. Dan aku juga sebenarnya heran, bahwa aku tidak menemukan satu orang pun di aula kecil itu.

"Kamui! kau tidak bisa melakukan ini! Kita tidak bisa—"

"Diamlah Kagura, kau berisik."

"Ki-kita mau kemana?!" aku berteriak padanya ketika dia sudah mencapai area luar dan menuju parkiran mobil.

"Gereja." dia menjawab singkat.

"Tapi aku akan menikah di sini!" aku berteriak lagi. Dan kali ini aku juga dibuat heran dengannya karena ada seseorang yang membukakan pintu mobil untukku, yang kemudian Kamui memasukkanku ke dalam mobil itu. Aku cepat mengerti, bahwa mungkin dia adalah orang suruhannya.

"Kamui! tidak kau tidak boleh melakukan ini!" lagi-lagi aku berteriak padanya ketika dia masuk ke mobil melewati pintu satunya, dia duduk di sampingku. Dan aku membuka mulutku untuk berteriak lagi, tapi Kamui langsung mencium bibirku, mencegahku untuk mengeluarkan kata-kata.

Mataku terbelalak lebar, Kamui sama sekali belum pernah melakukan ini secara blak-blakan di depan orang lain. Tapi sekarang, dia tidak memerdulikan keadaan —bahkan ketika orang yang membukakan pintu mobil untukku tadi masuk ke kursi kemudi dan menjalankan mobilnya.

Dengan sekuat tenaga, aku mendorong bahu kakakku. Tapi itu percuma, dia menjadikanku lemas lagi karena perlakuannya, aku tersentak ketika dia menggigit bibirku setelah menghisapnya —membuatku membuka mulut dan dengan cepat dia memasukkan lidahnya.

Dia melakukan ini dibelakang sopir itu tanpa merasa malu sedikitpun.

Bahkan aku tidak mengerti apa yang ada di pikirannya saat ini. Karena aku tidak bisa berpikir, lagi-lagi lidahnya telah membuatku gila.

Setelah aku sedikit tenang, dia melepas pangutannya. Aku terengah-engah mengambil oksigen dengan kasar. "Kamui ... kenapa? Apa yang ... "

Kamui tersenyum hangat, menatap mataku dengan dalam, telapak tangannya mendarat ke pipiku dan mengelus-elus pipiku dengan ibu jarinya, dan berkata dengan lembut, "Aku mencintaimu," kemudian diiringi dengan kecupan di keningku.

Dan setelah itu aku sangat bahagia, karena menyadari bahwa Kamui selalu ada untukku.

[ 09 Maret, 11.00 ]

Kagura hanya diam dan menuruti Kamui, karena dia tahu, tidak ada yang bisa menolak ataupun memberontak hal yang telah diputuskan olehnya. Tidak ada yang bisa lari darinya. Termasuk Kagura.

Karena Kagura sudah terjerat dan terbelenggu olehnya.

Mobil itu berhenti di depan Gereja, menuju ke parkiran. Kagura melihat keluar melalu kaca mobil, dia mebulatkan matanya ketika mendapati banyak mobil di parkiran itu; termasuk mobil ayahnya dan calon suaminya.

Kemudian Kagura tersenyum lembut nan ironi ketika dia menyimpulkan bahwa dirinya akan menikah di gereja itu.

(Memang, apa yang diharapkan olehmu?)

Ternyata Kamui hanya menjemputku.

(Ya, memangnya apa yang kau harapkan, Kagura?)

Ternyata Kamui tidak menculikku.

(Kau terlalu naïf, Kagura.)

Ternyata Kamui tidak membawaku lari.

(Kau mempunyai pikiran yang buruk, Kagura.)

Ternyata Kamui merestuiku untuk menikah dengan orang lain.

(Sungguh sial kau, Kagura.)

Aku tahu.

Aku tahu.

Kamui keluar dari mobil, kemudian dia membukakan pintu untuk Kagura dari luar.

Sebelum Kagura melangkahkan kakinya keluar, Kamui mengangkatnya lagi dan menggendongnya seperti beberapa saat yang lalu.

"Tidak, Kamui!" Kagura memberontak.

Kamui tidak menghiraukannya, dia berjalan ke dalam Gereja.

Dan lagi-lagi, Kagura tidak bisa lepas darinya.

Kagura membulatkan matanya ketika ada banyak orang yang berada dalam Gereja dari perkiraannya. Dan walaupun mereka mengetahui bahwa Kamui membawanya seperti itu, mereka hanya tersenyum manis dan hangat.

Dia juga heran, mengapa ayahnya, calon suaminya; Okita Sougo, sahabatnya; Tokugawa Soyo dan Imai Nobume, teman kakaknya; Takasugi Shinsuke, pamannya; Sakata Gintoki, semua orang-orang dari kepolisian Shinsengumi, Shinpachi, Otae, semuanya, semua yang dia kenal; yang tengah menghadiri pernikahannya, semuanya tersenyum hangat.

Padahal yang Kagura tahu, dia tidak mengundang orang sebanyak itu. Dia hanya mengundang orang-orang yang khusus saja.

Dan Kagura menyimpulkan lagi,

Bahwa itu adalah kejutan untuknya. Untuk menikah dengan calon suami yang 'dipilih' oleh orang tuanya.

Kagura terkekeh secara mental,

Ternyata sama saja,

Kamui menciptakan lima langkah luas dari pintu masuk,

Tidak mengubah kenyataan bahwa aku akan menikah dengan orang lain.

Kamui menciptakan sepuluh langkah,

Ya, benar. Mereka membuat kejutan untukku, agar aku senang dengan pernikahan yang tidak kuinginkan,

Dua puluh langkah,

Tapi aku tidak merasa senang dengan kejutan itu. Sangat membencinya,

Kamui semakin mendekati pendeta.

Aku membencinya, karena sebentar lagi ...

Kamui berhenti di depan pendeta.

Karena sebentar lagi,

Kamui menurunkan adiknya di depan pendeta.

Karena sebentar lagi, aku akan—

"Kami telah siap untuk menikah."

.

.

.

.

.

.

.

.

"Ada seorang Pangeran ... yang akan menjemput Tuan Puteri yang sedang kesepian ... dan dia memberikan kebahagian ke Tuan Puteri itu,"

"—kau ingat?"

.

.

.

.

.

.

"Aku ingat, mami."

.

.

Fin

.

.

.

.

.

.

.

(atau enggak?)

.

.

A/n :

Yha ... apaan? Sumpah, acak-acakan banget 'kan ya? Ahaha aku tahu, makasih!

Enw, terima kasih banyak sudah mau mampir dan membaca ff ini~ *sungkem*

Sebenernya~ ini buat asupan diri sendiri aja, aku kekurangan kamukagu m rated pfftt :'v /ga. Pengen buat, tapi bingung sama plotnya, dan ... beginilah jadinya. *garuk-garuk tembok*

Ada shipper Kamukagu di sana~? Review ya~

Sekian, terima kasih,

Aya