The Dying Game

.

.

.

Prolog

.

.

.

Koyuki tersenyum puas saat memandang dirinya di cermin. Tubuhnya yang sintal melekuk indah dalam balutan mini dress. Lipstik merah terang yang menghiasi bibirnya tampak kontras dengan rambut legam dan kulit mulus sebening mutiara. Dan sebagai sentuhan terakhir untuk menyempurnakan penampilannya malam ini, Koyuki pun menanggalkan cincin kawinnya.

Semburat penyesalan muncul di hatinya. Namun, ia buru-buru menepis perasaan bodoh itu. Tak ada gunanya menyesal ketika dia sudah melangkah sejauh ini demi memenuhi ambisinya.

Hanya beberapa langkah lagi hingga ia mencapai impian terbesarnya. Malam ini impiannya akan segera terwujud dan Koyuki tidak ingin mengacaukannya hanya karena perasaan bersalahnya pada sang suami.

Koyuki melihat jamnya. Sudah hampir pukul delapan malam. Wanita itu berharap kliennya tidak datang terlambat atau suaminya akan curiga jika ia pulang terlalu malam. Tak lama kemudian terdengar suara bel di pintu. Koyuki memastikan kedatangan tamunya dari lubang kecil di balik pintu.

"Akhirnya," batinnya penuh kelegaan saat melihat seorang pria berpakaian perlente berdiri di balik pintu apartemennya.

"Wow! Lihat dirimu! Kau sangat cantik malam ini." Kliennya terperangah melihat penampilan Koyuki ketika wanita itu menyambutnya di depan pintu. Koyuki hanya tersenyum tipis lalu mempersilakan tamunya masuk. Ia membantu pria itu melepaskan mantelnya kemudian menyimpannya di kabinet dekat pintu.

"Tidak usah biar aku saja," kata pria itu ketika Koyuki menawarkan bantuan membawakan koper kerjanya ke ruang tamu.

Meski wajah pria itu tak setampan suaminya, namun Koyuki menyukai seleranya berpakaian dan wangi parfumnya yang seharga jutaan dollar. Selalu elegan dan mewah. Sangat mencirikan status sosialnya.

Tanpa berlama-lama, mereka pun saling bercumbu bak sepasang kekasih ketika sampai di ruang tamu. Meski tak pernah berhubungan badan, namun pria itu sangat hebat dalam bercumbu. Bukan berarti suaminya tidak pandai melakukan itu. Tapi pria yang tengah menindihnya di sofa ini, mampu membuatnya mencapai puncak berkali-kali hanya dengan lidahnya.

Udara di ruangan itu semakin panas seiring pergumulan kedua insan berlainan jenis yang kian memanas. Ujung dress Koyuki sudah terangkat di atas pinggang, sementara celana dalamnya entah kemana. Tapi Koyuki tidak peduli. Ia ingin menikmati momen ini bersama pria yang tak hanya mampu memuaskannya secara seksual tapi juga mampu mendukungnya secara finansial.

"Hhh.. Hhh.. Hhh.." Koyuki mulai sulit mengatur napasnya. Sensasi kenikmatan itu makin tak tertahankan, dirinya bisa meledak kapan saja jika pria itu tak melambatkan ritmenya. Genggamannya di rambut pria itu semakin erat seiring dengan pergerakan lidah sang pria yang semakin cepat.

"Arghhh…" Koyuki mengerang ketika lidah pria itu merangsek semakin dalam, bergerak naik turun, maju mundur, menggagahi seluruh bagian dalam area kewanitaannya dengan liar. Tanpa sadar Koyuki mengangkat pinggangnya, mendesak pria itu untuk melakukan penetrasi yang lebih dalam.

"Ohh.. Yes! Lebih dalam… Lebih cepat…" Tubuh Koyuki mulai menggelinjang.

Sensasi erotisme mulai menyengat titik-titik syarafnya. Menyadari Koyuki yang hampir mencapai batasnya, pria itu pun menarik lidahnya keluar kemudian beralih mengincar bagian paling sensitif dari area kewanitaan Koyuki, mengisapnya dengan rakus dan mengantarkan wanita cantik itu menuju puncak kenikmatan.

Tubuhnya bergetar hebat. Koyuki meneriakkan nama pria itu ketika ia mencapai puncak. Dia selalu tahu siapa saja laki-laki yang berhasil memuaskannya dan barusan adalah klimaks terdahsyat yang pernah ia alami seumur hidupnya.

Sudah cukup lama ia tidak mendapatkan kenikmatan seperti itu. Suaminya sibuk bekerja dan seandainya mereka punya cukup waktu senggang untuk melakukan hubungan seks, suaminya yang lebih banyak mendominasi. Semua Uchiha memang suka mendominasi, tidak peduli di meja hijau atau di atas ranjang.

Pria itu tersenyum puas melihat ekspresi kelelahan di wajah Koyuki. Pria itu tak perlu wajah rupawan untuk melambungkan reputasinya sebagai penakluk wanita menyaingi Sasuke. Apalagi kini pria itu berhasil menaklukan satu-satunya wanita yang menjadi pusat kehidupan Sasuke Uchiha. Sungguh balas dendam itu sangat manis!

"Dia bisa membuatku seperti ini hanya dengan lidahnya! Bagaimana jika aku benar-benar bercinta dengannya?!" Otot kewanitaannya berkedut hanya dengan membayangkan dirinya menyatu dengan pria berbadan tegap yang kini sudah berdiri di hadapannya.

"Well, kurasa sekarang sudah waktunya." Ekspresi pria itu berubah. Ia menatap Koyuki yang masih terbaring lemas di sofa dengan sorot mata yang tak bisa dijelaskan maknanya. Koyuki menjadi sedikit tegang.

Ketika pertama kali bertemu pria itu di sebuah pesta, kesan aneh dan mencurigakan langsung terbersit di benak Koyuki. Tapi Koyuki memilih untuk mengabaikannya, apalagi ketika pria berambut ikal itu bersedia menjadi investor bisnis rumah mode yang akan didirikannya. Tidak seperti sang suami yang selalu penuh perhitungan dan menganggap bisnis rumah mode bukan bisnis yang tepat baginya.

Pria itu beranjak mengambil kopernya, meletakkannya di atas meja dan membukanya. Koyuki berusaha untuk duduk, merapikan tatanan rambutnya dan menurunkan dressnya hingga menutupi pahanya yang polos. Ia mengira pria itu akan mengeluarkan dokumen-dokumen yang dibutuhkan untuk melegalkan perjanjian bisnis mereka. Tapi ternyata dugaannya salah.

Koyuki hanya sempat melihat pria itu mengeluarkan sapu tangan dari dalam koper, sebelum ia membekap mulut dan hidung Koyuki dengan satu gerakan cepat.

"Tidak… Tidak mungkin ini terjadi…" Tiba-tiba saja pandangan Koyuki menjadi gelap, hingga akhirnya wanita itu tak sadarkan diri.

.

.

.

Sakit kepala hebat menderanya ketika ia membuka mata. Koyuki tak yakin sudah berapa lama ia pingsan. Ia mengedip beberapa kali sambil mengedarkan pandangannya ke sekitar ruangan yang temaram. Rasa takut menghinggapi ujung-ujung syarafnya ketika ia menyadari kedua tangan dan kakinya terikat di sisi tempat tidur.

Penerangan di kamarnya hanya berasal dari dua buah lampu yang berada di atas nakas di samping tempat tidur. Sama-samar Koyuki melihat pria itu berdiri tak jauh dari ranjangnya. Sinar bulan yang masuk melalui jendela menyorot persis ke wajah penyerangnya. Sebuah senyum aneh tersungging di wajah pria itu.

"Aku sudah menunggumu terbangun, Sayang," laki-laki itu berkata sambil melangkah mendekati Koyuki.

"Ke-ke-kenapa?" Koyuki mengumpulkan keberaniannya bertanya pada pria itu. "Kenapa kau melakukan ini kepadaku?" Wanita itu berusaha bersikap setenang mungkin meski jantungnya berdegup kencang dan rasa takut menyelimutinya.

"Menurutmu, apa yang akan kulakukan?"

Koyuki langsung menyadari kalau pria itu tidak akan memerkosanya. Tidak. Buat apa pria itu memerkosanya sekarang jika dalam beberapa bulan belakangan Koyuki sudah menyerahkan tubuhnya dengan sukarela kepada pria itu.

Jadi, pria itu tidak akan memerkosanya. Maka itu berarti… "Ya Tuhan… Kumohon jangan biarkan ia membunuhku…"

"A-aku mohon… Le-lepaskan aku… A-aku akan melakukan a-apa pun…" Koyuki bergetar ketakutan. Ia menarik napas dalam-dalam dan menelan ludah berkali-kali dalam usahanya menenangkan diri, tapi semuanya terasa sia-sia ketika ia mendengar tawa mengerikan pria itu.

Mulutnya menganga saat menyadari pria itu memegang benda yang memantulkan cahaya keperakan di tangan kanannya. Sebuah pisau daging!

Sekejap saja Koyuki dihinggapi bayangan mengerikan yang mungkin akan terjadi pada dirinya.

"Dia akan membunuhku! Dia akan membunuhku dengan pisau itu!" Jantungnya berdebar keras, napasnya tersengal-sengal dan keringat dingin mulai membanjiri wajahnya.

Pria itu membungkuk di depan Koyuki, meraih rambut hitamnya yang lembut dengan tangan kiri seraya berkata, "Seandainya kau memiliki rambut pirang atau merah," dengan nada sedikit kecewa.

"Sasuke! Sasuke, tolong aku!"

Bayangan sang suami memenuhi pikirannya. Kini ia benar-benar menyesali pengkhianatan yang sudah ia lakukan.

"Sasuke, maafkan aku…"

"Apa kau takut, Sayangku?" Koyuki hanya mengangguk lemah menjawab pertanyaan pria itu.

"Sudah seharusnya," tandas pria itu.

"Please… Jangan bunuh aku…" Koyuki mulai menangis, memohon agar pria itu mengurungkan niatnya. Tak memedulikan rengekan Koyuki, pria itu kemudian merangkak naik ke atas tubuhnya, mengangkat pisaunya kemudian…

"Arrgh… "Jerit kesakitan Koyuki tercekat ketika pria itu menghunjam jantungnya. Darah segar mengalir deras dari luka tikaman di dada wanita itu. Koyuki pun menghembuskan napas terakhir…

.

.

.

.

.

Naruto by Masashi Kishimoto