Disclaimer: Om Kishimoto-sensei
---o---
Warning: Sho-ai, a LittLe Boys Love, AU, Naruto's POV, don't Like, don't read this fict!!
--o--
Rated: T
-o-
"Jangan bodoh kau! Aku pulang pagi karena pekerjaan, kau tahu!"
"Pembohong! Jadi benar 'kan berita itu?! Kau selingkuh!"
PLAKK!
Tamparan keras mendarat tepat di pipi wanita separuh baya itu. Pipinya memerah seketika, wajah putihnya kini berubah warna menjadi warna yang tak enak untuk dipandang mata. "Kau..." ujarnya lirih sambil memegangi pipinya.
"Terserah! Aku lelah!" Pria berambut kuning itu pun memasuki ruangan kamarnya tanpa menghiraukan sang istri.
"Minato!!" teriaknya. Air mata mulai menggenangi mata indahnya. "Akh!!"
~I just Wanna Life~
Chapter 1
by: Aoi no Tsuki
Perlahan-lahan aku membuka mataku pagi hari ini. Setelah beberapa detik aku mengerjap-ngerjapkan kedua mataku terdengarlah sebuah suara yang cukup keras dari lantai bawah. Dan lagi-lagi aku mendengar suara teriakan-teriakan itu, pertengkaran antara ayah dan ibu. Aku benci mereka yang selalu berteriak-teriak dan saling menuduh. Aku benci! Aku ingin pergi dari sini, pergi menjauh hingga teriakan itu tak terdengar olehku lagi.
'Hentikan!' harapku dalam hati. Aku berharap Tuhan akan mendengar permohonanku itu. Entah karena apa lagi mereka bertengkar, aku muak! Aku muak dengan hidup ini, aku muak dengan semuanya. Muak untuk mendengarkan gertakan-gertakan itu. Sudah beberapa minggu ini hubungan mereka kurang harmonis, bisa dibilang sudah berada di ujung tanduk. Aku takut mereka akan berpisah, aku takut, sangat takut.
Aku mendudukkan diriku di atas ranjang, suara teriakan itu kini semakin menggertak. Mata biruku melihat sebuah cutter di atas meja belajarku. Dan kuputuskan untuk mengambil benda tajam itu. Entah pikiran apa yang meracuniku. Dengan perlahan kudekatkan benda itu pada pergelangan tangan kiriku. Lalu kutekan benda itu dengan ibu jari tanganku hingga sebuah garis merah pun terlihat. Aku tak tahu pikiranku berada di mana saat itu?
"Ukh!!" rintihku. Aku menahan rasa perih itu, tapi perlahan-lahan rasa perih dan sakit itu berubah menjadi sebuah kenikmatan yang menyenangkan. Kubuat lagi garis merah baru di bawah garis yang telah kubuat tadi, kali ini aku lebih menekannya. Setitik darah mulai keluar dari goresan itu, meluncur hingga menetes ke lantai kamarku. Aku masih merasakan perih yang menyenangkan itu. Sayatan-sayatan itu tak sebanding sakitnya dengan perasaan yang kurasakan sekarang ini.
Hening...
Mungkin mereka sudah capek untuk saling berteriak. Aku terdiam sejenak sambil memegangi rembesan darah dari lengan tanganku. Kupejamkan kedua mataku dan aku mencoba berpikir. Sekilas aku melihat senyuman manis nan hangat dari orang itu. Kedua mataku pun terbuka langsung. Pikiran bodoh apa yang kulakukan ini? Aku memang bodoh. Aku bisa disebut banci karena tak bisa menerima hidup yang telah diberikan Tuhan.
"Aku tak mau mati." lirihku. Entah mengapa perasaanku ingin tetap hidup di dunia ini bersama dengan orang-orang yang kusayangi dan aku cintai. Tapi dari semua itu aku merasa umurku takkan panjang. Dengan segera kuputuskan untuk menyudahi kegiatan ini. Kegiatan yang membuatku melupakan semuanya. Kegiatan yang membuatku melupakan masalah dunia barang sejenak saja. Kegiatan yang juga bisa membuatku mati dan takkan ada lagi di dunia ini. Entah kapan lagi aku akan membuat sayatan-sayatan itu. Perlahan aku menegakkan tubuhku lalu berjalan mengambil sebuah perban putih di kotak P3K yang berada di kamarku. Setelah lemari kecil itu terbuka. Kuambil benda berwarna putih itu lalu kubalutkan benda itu pada bekas sayatan tadi. Memutarnya lalu menempelkan sebuah plester sebagai penutup. Aku membereskan semuanya hingga tertata rapi seperti awalnya. Kulihat bingkai foto yang terpajang di atas meja kecil itu. Bahagia, ya, wajah dalam foto itu terlihat sangat bahagia. Aku ingin seperti dulu lagi. Tapi sekarang itu tak mungkin. Kedua kakiku berjalan ke arah pintu kamarku. Pandanganku menatap lurus benda berbentuk kotak panjang itu. Berhenti di depan pintu cokelat dan sedikit menarik nafas.
KLEKK...
Kubuka gagang pintu itu hingga sedikit celah terlihat, sinar putih menyambutku saat itu. Aku memperhatikan sekelilingku dari celah tersebut. Tak ada siapa-siapa, sepi dan kosong. Tanpa pikir panjang kulangkahkan kakiku hingga aku berada di luar kamar dan berjalan menuruni anak tangga satu persatu sambil mencari sosok kedua orangtuaku. Tapi tak ada siapapun di sana, lagi-lagi kesendirian menghampiriku. Tak ada yang menemaniku dan tak ada yang peduli padaku.
06.45 a.m
Kulihat jam dinding yang berwarna cokelat tua itu, lima belas menit lagi bel masuk sekolah akan berbunyi. Tapi aku belum juga bersiap untuk berangkat sekolah. Aku malas pergi ke sekolah. Aku berdiam diri di ruang keluarga, kakiku tak ingin melangkah kemanapun, hanya di sini. Di ruangan ini, di tempat yang penuh dengan kenangan indah bersama ayah dan juga ibu. Tatapan sendu kini terpajang di wajahku, entah mengapa sebutir air mata menetes melewati pipiku. Aku tak merasakan kesedihan, aku tak merasa kesepian, aku tak merasa benci akan semua hal ini. Tapi semua itu bohong! Bohong! Aku merasakan semua itu, aku rindu ayah dan juga ibu. Aku rindu mereka semua. Aku rindu... Sebagai lelaki aku memang lemah, sangat lemah.
BRUKK...
Aku jatuh terduduk di atas lantai yang dingin itu. Lututku tak kuat lagi untuk menahan seluruh berat badanku. Terdiam aku memeluk erat kedua lututku. Kubenamkan wajahku di atasnya. Betapa menyakitkannya menjadi diriku. Semua mengira bahwa seorang Namikaze Naruto sepertiku ini adalah seorang anak yang memiliki kehidupan yang sempurna dan bahagia tapi itu adalah sebuah kebohongan besar yang pernah kudengar. Sangat besar. Aku tertawa mendengar itu semuanya. Hidupku tak sesempurna yang orang bayangkan. Mereka semua tak tahu apa-apa tentangku dan juga keluargaku. Keluarga Namikaze, keluarga terpandang yang dihormati oleh orang-orang kalangan atas dan juga terkenal dalam bidang bisnisnya.
Semua kebahagiaan dalam hidupku hancur ketika aku mendengar berita perselingkuhan ayahku dengan seorang wanita. Aku tak percaya ayah bisa melakukan itu terhadap ibuku yang selama puluhan tahun menjadi pendamping dalam hidupnya. Itu semua bohong! BOHONG!! Aku terus menyangkal semua berita bohong itu. Tak mungkin ayah melakukan itu. Ayahku orang baik. Dia sangat baik. Aku sayang mereka berdua, aku sangat menyayangi ayah dan juga ibu. Tapi mereka... Mereka telah melupakanku sebagai anaknya. Entah karena waktu mereka yang benar-benar sibuk ataukah hanya berpura-pura saja tak mengenalku sebagai anak satu-satunya bagi mereka. Aku lelah, aku lelah dengan semua ini. Aku ingin mati saja jika terus begini. Hidupku bagaikan sebuah permainan. Aku benci, benci!
TOK... TOK... TOK...
Suara ketukan pintu itu memecahkan pikiranku. Aku malas untuk membukanya. Aku tak ingin diganggu. Aku ingin sendiri!
TOK... TOK... TOK...
Orang itu mengetuk kembali pintu rumahku. Tapi aku tetap tak menghiraukannya. Masa bodoh dengan itu!
TOK... TOK...
'Diam!' batinku membentak orang yang mengetuk pintu itu. 'Dasar sialan!' hinaku pada orang itu.
Diam...
Tak berapa lama ketukan pintu itu menghilang, mungkin orang yang mengetuk pintu tadi sudah pergi dan jenuh karena tak ada yang membukakan pintu untuknya.
"Naruto?" Aku terlonjak kaget ketika nama itu disebutkan. Kudongakkan kepalaku ke arah suara itu. Betapa kagetnya dirku, aku melihat sosok itu berada di depanku.
"Sasuke?!" pekikku.
"Hn, kenapa kau tak berangkat sekolah lagi, hah?"
"Bukan urusanmu, Teme. Kau juga." seruku yang menyadari bahwa Sasuke masih mengenakan pakaian seragam sekolah dengan sebuah tas yang dibawanya.
"Itu karena kau."
"Dari mana kau masuk kesini?" seruku ketus.
"Pintunya tak terkunci, Dobe." Aku hanya terdiam dalam posisiku.
Teme, orang yang kupanggil Teme ini bernama Uchiha Sasuke, dia adalah teman kecilku. Bagiku dia adalah tempat yang berharga untukku, tempat untuk meluapkan semua perasaanku, tempat untuk meluapkan semua emosiku dan juga tempat berteduh untukku. Hanya dia yang tahu tentangku, hanya dia! Orang yang memiliki mata onyx yang lembut dan rambut pantat ayamnya lah yang menjadi kebanggaannya. Tapi sayang dia sudah tak mempunyai ayah lagi. Aku masih beruntung karena keluargaku masih tetap utuh dan lengkap.
"Kau menangis lagi ya, Dobe?" tanyanya sambil berjongkok di hadapanku, jemarinya mengelus lembut rambut pirangku.
"Tidak, aku tak menangis. Kau salah lihat." ujarku membenamkan kepalaku lagi. Memang benar, memang benar aku menangis. Tapi aku tak boleh terlihat lemah, 'kan?
"Hn, jangan berbohong padaku. Aku tahu kau." ujarnya sambil memeluk tubuhku. Seorang Namikaze sepertiku bisa jatuh dengan mudahnya di hadapan Uchiha sepertinya. Aku hanya terdiam dalam dekapannya. Aku memang lemah.
"Sasuke..."
"Hn?"
"Aku ingin berteriak." pintaku masih dalam dekapan hangatnya.
"Berteriaklah sampai kau puas, aku tak tak melarangmu. Kau tahu, Naruto?"
"Apa?"
"Aku ingin Naruto milikku kembali seperti dulu. Kembali menampakkan senyum manisnya dan juga mata birunya yang indah."
"...."
"Bisakah?"
"Aku tak janji. AKKHH!!" Perlahan-lahan dia melepaskan pelukannya dari tubuhku. Aku merasa lega. "Terima kasih, Sasuke." Ucapku sambil menatap mata onyxnya.
"Hn, kau tak berangkat sekolah?"
"Tidak, mereka bertengkar lagi."
"Hn, aku tahu. Ayo keluar." ajaknya seraya menggeret lenganku.
"Kemana? Aku masih memakai piyama, hei~"
"Ikut saja." Dengan lembut dia menggenggam tanganku erat. Aku melangkahkan kakiku mengikutinya.
"Kenapa dengan tanganmu itu, Dobe?" tanyanya sambil melihat lengan kiriku yang dibalut oleh perban putih.
"I-ini... Tidak apa-apa. Hanya luka kecil." Aku menjauhkan posisi tanganku yang terbalut perban dari Teme.
"Bohong! Kemarikan lenganmu yang satunya lagi!"
"Tidak! Aku tidak apa-apa!" gertakku. Teme menangkap lengan kiriku, dengan cepat aku pun menepis tangannya.
"Jangan pegang!" gertakku lagi. Mata onyxnya terbelalak melihatku, aku menggertak Teme. "Maaf," kataku pelan.
GREP...
Mata biruku terbelalak ketika Teme memelukku dengan erat. "Aku ingin Dobe-ku yang dulu kembali." ujarnya lirih tepat di telingaku. Nada itu membuat dadaku sakit dan sesak. "Aku ingin Dobe milikku tersenyum dan tertawa untukku." lanjutnya.
"Maaf, Sasuke..."
...BER-SAM-BUNG...
Maaph jika masih ada kesaLahan dan typo daLam fict Tsuki. I hope you Like this. Tak tahu kenapa bisa buat yang kaya' gini. Hah…
Fict yang udah Tsuki buat sejak buLan Agustus 2009 und tersimpan Lama di fLashdisk.
…skaLi ripiew tetep ripiew ayo maju kasih ripiew…
Arigatou Gozaimashu
Aoi no Tsuki
August '09
